Sunday, May 16, 2010

Untuk Lelakiku



Pagi ini aku bangun dengan airmata lagi. Seperti seringnya begitu.
Namun kali ini sungguh-sungguh mengalir, sungguh-sungguh aku menangis.
Merasakan hangat bulirnya meresap ke dadaku.

Demi mu, demi ku, demi kita...
Aku inginnya mengajarimu (seperti yang Ia beritahukan kepadaku).
Memberi tahu yang mana hak dan kewajiban.
Bernegosiasi antara yang boleh dan yang tidak.
Bukan untuk menguasaimu.
Tapi ini demi masa depan.
Ia menyebutnya 'perjuangan kebahagiaanku' (dan -mu juga).
Dan bukan jawaban "Terserah" yang seperti biasa kuterima dari murid nakal dan keras kepala.

Demi kita, aku mohon berikan percaya.
Jangan melarangku!
Boleh kau menasehati (aku pun tak kan rugi).
Kau lihat sendiri, aku masih di sini.
Untukmu, untukku, untuk kita.
Bertahan walau sering-sering kita berkelahi, memaki, dan mengutuki.

Andaikan engkau Elang...
Yang dengan kerelaan mampu pergi tanpa sakit hati.
Mampu pergi dari hasrat memiliki.
Tapi hasrat mencintai?
Ia bilang itu di luar kendali.
Andaikan engkau Elang...
Yang rela diduakan hanya karena alasan amat sangat mencintai wanitanya.

Untuk Lelakiku, maaf...
Tapi kau harus rela diduakan.
Kali ini, esok, nanti, selama masa-masa kita masih bersama.
Aku mencintai kata-kata.
Amat sangat.
Seperti Ia mencintai wanitanya dulu.
Tak kan ku berhenti mengukir kenangan dalam goresan-goresan tintanya.
Tak kan ku berhenti mencari dalam-dalam rasanya.
Bercinta dan mencarinya kapan pun aku mau, untuk mengabadikan kisahku.
Bermanja-manja dalam maknanya.

Dan, jangan melarang!
Percuma!
Apa yang hilang dari hati jika masih tetap dikenang? Tak akan hilang meski dipaksa dibuang.
Jangan melarangku, berkomentar pada guru-guru yang mengajariku dan menginspirasiku pada sastra dan kata.

Pada suatu hari
Kelak jika aku mengandung nanti.
Aku sungguh-sungguh berharap akan mengidam sastra,
bukannya rujak mangga.

Untuk lelakiku...
Maka saat itu kau harus rela direpotkan, untuk mencarikan diriku makna kata-kata yang rasanya campuran asam manis suka dan duka.
Terserah bagaimana kadar pedasnya.
Mampukah kau temukan itu?
Ini demi bakal anakmu!

Demi mu aku sudah sering berdusta, bukan?
Rela ku kau miliki.
Masih adakah hasratmu, lelaki, memiliki wanita jika andainya mereka tak ber-payudara dan tak ber-vagina?
Rela kah kau bilang cinta?


*
Untuk anak-anakku kelak...
Tak perlu takut ibu tak menyusui kalian.
Namun andaikan susu bisa sama sejuknya dengan Hujan Bulan Juni,
aku yakin kalian tak kan menangis kehausan.
Karena hujan bagiku abadi.
Gerimisnya setia membasahi.
Andaikan saja cukup menyuapi kalian dengan sastra,
sampai kalian kenyang maknanya.
Tak kan kalian kelaparan.
Karena bagiku kata-kata kawan sejati,
kekasihku selamanya.

Tak kan ibu me-nina bobo-kan kalian dengan senandung biasa yang jutaan ibu nyanyikan.
Tak kan ibu menakut-nakuti kalian dengan gigitan nyamuk hanya sebab kalian tidak bobo.
Tak kan ibu relakan nyamuk-nyamuk menggigiti kulit mulus anak-anakku,
menikmati manis anyir darah kalian.

Kan kusenandungkan kalian lagu-lagu Dua Ibu.
Untuk anakku, gadis kecil ku, tidurlah...
Ibu bernyanyi:

Ada gadis kecil
diseberangkan gerimis
ditangan kanannya
bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang
ada pohon
dan seekor burung

Jika kaki-kaki kecil kalian sudah berani berlari
tak kan ibu halangi kalian bermain hujan.
Menari dalam rintik-rintik gerimisnya,
berlari-lari pada genangannya.
Biar kalian pahami dingin.
Rasakan ia sejati mengalir pada nadi dan darh tubuhmu.

*
Untuk lelakiku...
Ingat pesan ayahku.
Perlakukan aku sebagai perempuan yang engkau cintai dan bagian dari hidupmu.
Bukan sekadar wanita pendamping lelaki.

Aku sudah banyak berdosa.
Durhaka.
Pada ayah ibuku.
Yang percayanya aku khianati.
Tidak wajar kah jika aku takut berbohong lagi?
Dari hari ke hari, memupuk dosa.
Terkadang kuanggap lucu saat kau justru berkata "tak perlu tak enak hati."

Untuk lelakiku...
Ingat dalam-dalam pesan ayahku!
Perlakukan aku sebagai perempuan,
bukan sekadar wanita pendamping lelaki.

"Saya mendoakan kalian."




Jakarta,
27.10.2009

No comments:

Post a Comment