Monday, February 28, 2011

Kau, Sang 'Pedang & Puisi'*

Rahasia. Semacam apa entah. Menelusur jejak asalmu. Darimana kita boleh jumpa. Cerita-cerita menjelma tanda yang bisa kubaca membawa ke arah masa lalumu. Dan lalu tanda tanya dimana-mana. Berserakan. Bimbang curiga atau ingin tahu.

Kamu. Tak dipahami. Entah bagaimana mengerti kedatanganmu yang tanpa ketuk pintu. Semakin kita mendekat semakin penuh tanda tanya akanmu. Sekadar jalan yang ditunjukan olehNya, sehingga membawaku pada bahagia yang entah sementara atau selamanya, atau nanti hanya sebagai memori yang akan dikenang kau pernah singgah di hati.

Begitu rahasia memang kita.



Seminyak, Bali, 28 Februari 2011
Gambar dari sini

Sudut

Terus saja kamu. Meletakkan aku di sudut itu. Seolah begitu mengerti bagaimana membaca aku yang mampu menerima segala maaf begitu saja. Seperti biasa.

Sapaan yang tak habis-habis dengan entah apa tujuan yang membuatmu begitu padahal aku begitu muak. Tak mampu bergerak. Merusak.

Di sudut yang paling temaram kamu memojokan aku, dengan segala memori yang kau anggap indah tentang kita. Cerdiknya.



Seminyak, Bali, 28 Februari 2011


Saturday, February 26, 2011

Melupakanmu

Menjauhimu. Menjemput sakit tersangat. Merayakan datangnya luka lagi.*

Melupakanmu. Melahirkan airmata cengeng tak berkesudahan. Sesak kala mata menyambut pagi.

Menjauhimu. Melupakanmu. Mengantarkan kita nanti pada bahagia yang pasti datang tepat waktu.



Bekasi, 26 Februari 2011

*Puisi Nozqa "Menjauhimu"


Tanpa Tanggal

Aku coba mengingat suatu hari yang entah kapan tapi pasti pernah kita lalui, ketika hati sama-sama menemukan sebuah rumah untuk ditempati. Suatu hari dimana kita menggenggam tangan untuk melewati rintangan di depan dengan segala janji masih mengiang di telinga. Suatu hari bagi kita tentang kebersamaan, tanpa bisa kutemukan tanggal, namun melahirkan senyuman. Ada bahagia.


Pagi ini disambut sesak subuh yang masih mengabut. Kenangan tentangmu. Membiru hati. Aku coba mengingat suatu hari, seharusnya masih segar dalam ingatan, tentang hangat pelukmu di dadaku. Namun kapan yang terakhir? Seperti serangan lupa ingatan yang melumpuhkan segala memori. Tak bisa kutemukan.


Tak pernah ada tanggal bagi kita, sehingga memori dikenang tanpa perlu membuka kalender. Sebab mungkin tercecer di jalanan tempat senja mengantarkan pulang. Atau tersangkut di pohon-pohon yang perlahan nanti menggugurkan satu-satu lembaran kisah kita. Meluruh. Dan kita berlalu tanpa ingatan sama sekali.



Bekasi, 26 Februari 2011

Friday, February 25, 2011

Sepeninggalmu

Ada saja yang tetap sepi meski jalan pulang yang kulalui tak pernah berubah, memantulkan kenangan setiap senja yang mengantarkan kita pulang kerumah. Kenangan yang ternyata bagi kita dalam nyatanya tak panjang umur.

Deras lebih deras airmata dalam perjalanan yang kini tanpamu. Namun kadang masih saja tangismu cerdik meletakkan aku di sudut. Terpojok dengan resah bersalah. Yang temaramnya seolah menutup dosa-dosa. Aku tak perlu marah.

Nanti sakit yang kukirimkan menghadirkan tawa dalam masa depan yang bagimu suram macam kamar tak berjendela. Tapi kita berhak tertawa. Pun dirimu. Bersabar saja dengan segala rasa yang tercipta. Detik-detik yang berlalu mengikis perlahan dukamu. Menguatkanmu.

Hilang dirimu sepi bagiku. Tapi kuat hatiku makin menjadi saat esok pagi terbangun dan sadar satu hari telah terlewati lagi. Dan kita hanya tinggal memori.

Dari semua itu ada yang masih indah, mungkin.



Jakarta, 25 Februari 2011

Cintaku Tak Ingat Pulang

Tak ada lagi yang mengetuk pintu. Tak usah kau tunggu, menanti. Sementara aku bukan sekadar terlambat pulang, tapi lupa jalanan yang biasa dilalui denganmu, yang menderu itu. Resahku begitu tersesat namun sahaja cinta yakin kemana menuju. Tau yang kumau.

Ia hanya tak ingin pulang kerumah dimana kau menunggu gelisah.



Jakarta, 25 February 2011

Titik

Hilang sudah ayunan di taman hati yang bagimu aku. Menggenang luka tak kunjung kering, sementara aku kemarau sejak lama. Kehilangan kata, ketika cinta dan luka rasanya sama saja*

Kau panglima pantang menyerah. Dukamu mengepung, terluka, berdarah. Katamu tetap takkan berhenti ku bertarung. Sementara aku ringkuk menutup pintu tak kunjung berkabung namun.

Usailah kita bertarung. Doaku mengantar kau kembali ke kotamu. Pulang. Menghujan deras duka pada keretamu yang laju membawa kenangan semasa dulu. Pun aku sama sakit. Menjauhimu. Melupamu. Namun ku masih ksatria. Tangguh oleh melankoli seperti ini.

Seperti nasib tak kuasa menolak mati, aku bubuhkan tanda besar di ingatanmu. Tak perlu kembali.


Jakarta, 25 February 2011

* Status Facebook Novi Diah

Thursday, February 24, 2011

Leona's Lullaby

Happy

Someone once told me that you have to choose
What you win or lose
You can’t have everything

Don’t you take chances
You might feel the pain
Don’t you love in vain
’cause love won’t set you free

I can’t stand by the side
And watch this life pass me by
So unhappy
But safe as could be

So what if it hurts me?
So what it I break down?
So what if this world just throws me off the edge,
My feet run out of ground
I gotta find my place
I wanna hear my sound
Don’t care about all the pain in front of me
I just trying to be happy
I just wanna be happy

Holding on tightly
just can’t let go
just trying to play my role
slowly disappear

But all these days
They feel like they’re they’re same
Just different faces
different place
Get me out of here

I can’t stand by the side
Ooh, no
And watch this life pass me by
Pass me by

So what if it hurts me?
So what if i break down?
So what if this world just throws me off the edge?
my feet run out of ground
I gotta find my place
I wanna hear my sound
don’t care about all the pain in front of me
I’m just trying to be happy

So any turns that I can't see
Like I'm a stranger on this road
But don't say victim
Don't say anything

So what if it hurts me?
So what if I break down?
So what if this world just throws me off the edge?
My feet run out of ground
I gotta find my place
I wanna hear my sound
Don’t care about all the pain in front of me
I just wanna be happy
Happy
I just wanna be
Oh
I just wanna be
Happy.


Better In Time

It's been the longest winter without you
I didn't know where to turn to
See somehow I can't forget you
After all that we've been through

Going coming thought I heard a knock
Who's there no one
Thinking that I deserve it
Now I realize that I really didn't know
If you didn't notice you mean everything
Quickly I'm learning to love again
All I know is I'm gonna be OK


Thought I couldn't live without you
It's gonna hurt when it heals too
It'll all get better in time
And even though I really love you
I'm gonna smile cause I deserve to
It'll all get better in time

I couldn't turn on the TV
Without something there to remind me
Was it all that easy
To just put aside your feelings

If I'm dreaming don't wanna laugh
Hurt my feelings but that's the path
I believe in
And I know that time will heal it
If you didn't notice boy you meant everything
Quickly I'm learning to love again
All I know is I'm gonna be OK

Thought I couldn't live without you
It's gonna hurt when it heals too
It'll all get better in time
And even though I really love you
I'm gonna smile cause I deserve to
It'll all get better in time

Since there's no more you and me
It's time I let you go
So I can be free
And live my life how it should be
No matter how hard it is I'll be fine without you
Yes I will

Thought I couldn't live without you
It's gonna hurt when it heals too
It'll all get better in time
And even though I really love you
I'm gonna smile cause I deserve to
It'll all get better in time


Jakarta Love Riot

Dua minggu yang lalu saya lihat tweet-nya Mbak Reda Gaudiamo akan interview di acara Apa Kabar Indonesia-nya TV One mengenai pertunjukan Jakarta Love Riot. Langsung saja saya hubungi Shanti di Twitter, ngajakin dia nonton, ternyata di saat yang bersamaan dia nge-tweet saya ngajakin nonton juga. Flip Flop! Pagi itu juga sambil lihat interviewnya Mba Reda saya langsung buka websitenya Raja Karcis untuk pesan tiket kelas 1. Done! Tinggal tunggu e-mail balasan konfirmasi saja paling lambat 48 jam. Pertunjukan drama comedy musical Jakarta Love Riot akan berlangsung dari tanggal 23-27 Februari 2011 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Saya dan Shanti cuma bisa nonton tanggal 23 itu saja (Shanti aja sih sebenernya karena tanggal 24 dan sampai akhir minggu dia gak akan ada di Jakarta).

Hari senin dalam perjalanan ke kantor ada e-mail masuk. Dari Raja Karcis. Bunyinya. "Maaf, untuk tgl.23 kami tidak jual." Baguuuuuusss. Saya langsung menghubungi Shanti. Raja Karcis dari pagi ditelepon tapi tidak ada jawaban. Curiganya saya tanggal 23 itu hanya untuk undangan dan Pers. Sampai di kantor saya langsung browsing untuk tiket box pertunjukan tersebut, akhirnya saya menghubungi EKI Dance. Info yang saya dapat untuk tanggal 23 tetap bisa dijual untuk umum namun hanya tersisa 6 kursi di balkon bagian pinggir, tanggal 24 tersisa di dua baris paling depan (means harus siap-siap pegel kepala karena nengak semalaman), tanggal 25 tersisa tiga bangku yang posisinya acak. Tapi sekali lagi Shanti cuma bisa tanggal 23 saja. Gak sampai setengah jam kemudian setelah sepakat dengan Shanti tetap nonton tanggal 23 meski harus rela lihat dari balkon bagian pinggir, saya menelepon kembali EKI Dance, memesan tiket untuk tanggal 23 yang tersisa secuil itu. Orang di seberang telepon itu berbicara.

"Tiketnya sudah habis, Mbak."
"Hah? Perasaan belum ada setengah jam saya telepon kemari. Tadi katanya masih ada 6 kursi di balkon?"
"Iya, tapi sekarang sudah habis."
"Cepet bener?"
"Memang"
"Gak bisa diusahakan supaya saya dapat tiket, Mas? Saya cuma berdua kok. Kalau bisa yang dempetan gitu, Mas, duduknya." *suara memelas tapi maksa*
"Hmm, sebenernya ada sih yang tadi belum confirm juga. Tapi di balkon, dempetan, cuma langsung menghadap panggung. Gini deh Mbak, tinggalin aja nomor handphone sama e-mailnya. Nanti saya tanya lagi dulu sama orangnya, kalau gak jadi saya kasih untuk Mbak.
"Tapi bisa dikabarin cepat?"
"Iya, abis ini langsung saya telepon orangnya."

Gak sampai 20 menit dari pembicaraan itu saya mendapat e-mail dari Mas Ratno, bagian ticketingnya EKI Dance itu. "Mbak, udah oke ya tgl.23 Feb di BB20, 22 seatnya." Wohooo, thanks, God! Singkat cerita, urusan transfer dan tiket sudah beres. Tinggal tunggu hari H-nya saja.


Kemarin saya dan Shanti janjian dulu di Obonk, seberang GKJ sebelum pertunjukan. Mau isi perut dulu. Di Obonk ramai orang yang dari penampilannya saya tau pasti mau nonton Jakarta Love Riot juga. Jam tujuh lewat sepuluh saya dan Shanti keluar dari Obonk dan langsung nyebrang ke GKJ. Suasana malam kemarin ramai sekali. Karena ini pertunjukan hari pertama, banyak artis dan undangan dari pers juga. Saya kasihkan ke Shanti voucher tiket yang dikirimkan lewat email untuk ditukar tiket asli. Shanti menyerahkan dua lembar tiket ke saya.

"Eh, kok tiket kita VIP ya tulisannya?"
"Eh? Iya ya. Eh, gimana sih ini?"
"Kita emang harusnya dimana?"
"Iiiih, kan gw bilang di balkoooon."
"Lha, mana gw tau."
*dua-duanya punya otak yang sepikiran, sambil senyum-senyum, lirik-lirikan*
"Udah, kita masuk aja yuk!"
"Eh? Ntar kalo kita diusir gimana neng?"
"Iih, udah gpp. Bilang aja kita ga tau. 
"Iya, ya, bilang aja kita cuma dibeliin tiketnya sama temen. Mana kita tau duduk dimana. Lagian siapa suruh ya kasih tiket yang salah (sambil cekikikan)."
"Udah, ayooo, kita masuk aja."
*berdua-duaan langsung gandengan sambil melipir menuju pintu masuk sambil cengar-cengir.*


Di pintu masuk saat kami menyerahkan tiket langsung ada panitia yang menyambut terus mengantarkan ke tempat duduk VIP kami itu (hahaha, berasa kelas atas dech). Persis duduk di sebelah kursi kami seorang lelaki berpenampilan cool abiiiiisss. Kata Shanti mirip Marty Natalegawa versi lebih muda, hihihi.... Saat kami mau duduk dia berdiri dulu mengizinkan lewat. Kami masih saja ribut gak penting mengenai tiket VIP tadi. Pasti lelaki mirip Marty itu udah eneg ngeliat tingkah kami berdua yang ribut cekikikan, foto-foto, ngomong muluuuu.... Kira-kira 10 menit kami duduk di sana tiba-tiba ada dua orang panitia yang menghampiri kami. Shanti yang langsung berdiri, pasang aksi bego dan muka datar. Saya lagi bbm-an sama orang kantor ngurusin masalah kunci tempat simpan petty cash yang gak tau ada dimana. Tapi saya tau itu panitia pasti ngomongin masalah tempat duduk yang tertukar.

Singkat kata, saya dan Shanti langsung dipindahkan ke kasta sudra yang meskipun posisi duduknya di atas. Gagal deh kami nonton dari kursi VIP. Hahahaha... (terkesan ngarep banget ya?!). Tapi tempat duduk asli kami di balkon pun tidak mengecewakan, karena paaaasss banget menghadap panggung. Pertunjukannya sukses abis deh. Keren! Canggih! TOP! Maknyuuuss....Yang paling saya suka dari pertunjukan tadi malam adalah actingnya Sarah Sechan. Gila! Total! Sukses mengocok perut. Dan penampilan Takako Leen, sumpah keren banget narinya. *mendadak kepengen jadi penari.*


Well, meski sampai rumah tengah malam dan hari ini masih harus kerja tapi benar-benar puas sama pertunjukan semalam. Meski cuma duduk di bangku VIP 10 menit, tapi lumayanlah, hahaha. Buat Shanti yang pagi ini Twitternya masih meratapi kegagalan kenalan dan duduk di sebelah Mr. Marty imitasi itu, ikhlaskan lah ya neng! Besok kita cari yang lain lagi. Wakakakak... :D

Ini foto tiket VIP-nya lho... :D


Wednesday, February 23, 2011

Mbak Novi & Mbak Ayu

Pernah membayangkan gimana rasanya punya teman maya yang begitu asik diajak bercerita? Saya bisa membayangkan dan asik sekali rasanya. Ada beberapa orang yang saya kenal menganggap punya teman di dunia maya itu seperti kurang kerjaan. Tapi saya tidak berfikir begitu. Tentu saja selama tidak neko-neko, dalam artian tidak sengaja buat cari gebetan (kalau terus jadi suka-sukaan itu urusan belakangan, haha), buat yang aneh-aneh, atau untuk hal-hal yang gak penting buat saya punya teman di dunia maya sah-sah saja. 

Saya punya beberapa teman baik dan seru di dunia maya, yang justru dengan mereka saya bisa ngakak gila-gilaan atau curhat tanpa beban. Pertama kali saya punya teman di dunia maya rasanya sekitar tahun 2006. Di tahun itu saya rasanya mengalami depresi akut karena seseorang. Yah, lagi sakit hati maksudnya. Salah satu cara saya mengalihkan pikiran dari lelaki itu adalah menghabiskan waktu dengan internet berjam-jam. Satu hal yang saya tidak pernah habis untuk keheranan, rasanya hampir semua teman maya yang saya punya selalu memiliki ketertarikan yang sama, (kebetulan) mengenal orang yang sama, atau kisah yang sama dengan saya.

Teman maya dalam hal ini menurut saya adalah orang yang awalnya saya kenal hanya melalui internet, tidak pernah saya kenal secara langsung sebelumnya, dan cukup aktif berkomunikasi dengan saya. Karena seperti di Facebook saja misalnya, banyak orang yang tidak saya kenal mengirimkan permintaan pertemanan. Kalau saya terima tapi kemudian tidak cukup aktif berkomunikasi dengan saya, ini tidak termasuk teman maya. Jujur saja, saya tidak akan menerima permintaan pertemanan di Facebook jika orang tersebut sama sekali tidak memiliki "mutual friends" (yang cukup saya kenal baik) dengan saya, info di Facebook-nya tidak memiliki ketertarikan yang sama (misalnya puisi, buku-buku atau berasal dari group-group puisi dan sastra yang saya ikuti), pasang foto yang aneh (muka artis Hollywood dari antah berantah), atau insting saya mengatakan tidak dengan alasan "yah, ga jelas aja."

Teman-teman maya saya tidak lelaki melulu dan tidak perempuan melulu. Campur. Dan saya ini termasuk teman yang setia lho meski cuma berteman secara maya. Teman maya pertama saya, yang saya kenal di tahun 2006, sampai sekarang bahkan masih berhubungan baik dengan saya, meski intensitasnya tidak sesering dahulu. Ada yang saya kenal dari tahun 2008, sampai sekarang masih aktif sekali ngobrol dengan saya bahkan jadi teman sharing yang top markotop! Ini salah satu yang paling The Best deh! Namanya? Rahasia aah... 

Mungkin nanti saya akan menuliskan tentang mereka yang lain, yang meski maya tapi begitu terasa nyata. Tapi ditulisan kali ini saya mau membicarakan tentang dua pasang perempuan yang seru dan  gila juga, hehe... Namanya Mbak Novi dan Mbak Ayu. Saya mengenal Mbak Novi lebih dulu, tidak ingat kapan pastinya, tapi sekitar bulan November tahun lalu. Mbak Novi ini saya kenal melalui Facebook. Saya yang mengirimkan permintaan pertemanan kepadanya. Dia salah satu teman Pak Asep (Alm.), saya mengenal dia karena kami sering sama-sama mengomentari status atau tulisan Pak Asep di Facebook dan dia terlihat cukup dekat dengan beliau. Sebelum Pak Asep meninggal saya justru rasanya tidak pernah mengobrol "pribadi" dengan Mbak Novi, tapi setelah kepergian Pak Asep bulan Desember tahun lalu, saya malah jadi semakin dekat mengenal Mbak Novi. Saya ingat waktu itu dia mengomentari tulisan saya untuk Pak Asep di Facebook. Setelah itu beberapa kali dia mengirimkan saya pesan, memberi tahu beberapa hal mengenai Pak Asep setelah kepergiannya. Saat ada acara Mengenang Asep Sambodja di PDS HB Jassin dari Mbak Novi lah saya tahu tentang hal itu.

Dengan Mbak Novi saya sudah pernah kopi darat. Waktu di PDS HB Jassin itu. Di situ pertama kali saya bertemu sama Mbak Novi, waktu itu masih malu-malu. Belum terlihat sikapnya yang sebetulnya ancuuuur hahaha... Tapi terlihat dia orang yang sangat supel. Dia yang mengenalkan saya dengan Mbak Medy Loekito, Ibu Diah Hadaning, Ibu Kartini dan Ibu Nonny saat itu. Sejak pertemuan di PDS HB Jassin itu saya jadi sering chatting sama Mbak Novi. Dari cerita tentang Pak Asep, kampus, sampai curhatan a la cewek-cewek pun keluar deh. Kebetulan juga waktu itu dia baru ngeh saya ini mantan mahasiswa Sastra Belanda, karena sebelumnya dia pikir saya dulu kuliah di jurusan Sastra Indonesia, alhasil saya kena deh dikerjain untuk bantuin bikin thesis-nya. Mbak Novi waktu itu sedang dalam tahap-tahap akhir pembuatan tesis S2-nya di FIB UI. Dia mengambil bahasan dari novel-novel kolonial, yang pasti ada bahasa Belandanya. Saya yang ketiban ditanyain artinya, hehehe... *ikhlas kok Mbak Novi*

Perkenalan saya dengan Mbak Ayu terjadi juga mirip seperti cara saya berkenalan dengan Mbak Novi. Waktu itu kami sama-sama mengomentari status Mbak Novi di Facebook. Akhirnya terjadilah obrolan saling nimpalin, ngeledekin Mbak Novi. Saya kemudian juga berteman sama Mbak Ayu lewat Facebook. Awalnya saya bingung mau panggil Mbak Ayu apa, karena namanya di  Facebook, Mas Triadnyani. Masa mau dipanggil Mbak Mas (bingung deh mau mbak apa mas, hehe). Ternyata namanya panjang betul I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani. Kata Mbak Novi panggil aja Mbak Ayu. So, oke deh. Mbak Ayu ini dulunya juga pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB-UI, teman Pak Asep juga. Sekarang beliau mengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali. Mbak Ayu juga penulis. Dengan Mbak Ayu saya belum pernah ketemu. Dia suka membuat puisi juga, jadi waktu baru kenal pun saya sudah kurang ajar request untuk selalu di tag dalam puisi-puisinya. Hehe!

Ngobrol sama Mbak Ayu dan Mbak Novi memang tidak sesering teman-teman maya yang lain, tapi justru saat sekalinya ngobrol bisa seru dan lucu. Kalau sesuai rencana, saya, Mbak Novi dan Mbak Ayu akan ketemuan di FIB-UI tanggal 22 Maret nanti, saat peluncuran bukunya Pak Asep lagi, sekalian ketemu Mbak Yuni juga -istri Pak Asep-. Atau kalau sempat weekend ini saat saya ke Bali, Mbak Ayu minta saya mampir ke rumahnya di Denpasar (kayanya gak sempat deh Mbak Ayu, maaaaapp...).


Jadi, Mbak Ayu dan Mba Novi kita ketemuan saja ya di kampus nanti! (Doakan rencana kalian menyuruhku bolos kerja berhasil yaaa, hehehe...!)




PS: Mbak Ayu, awas jangan lupa bawa kacang balinya ya, nanti Mbak Novi bisa ngamuk! :D




ini dia si Mbak Novi yang cauuur abiss, hehehe! :P














 

Hantu Gentayangan

rasanya menakutkan. ngeri. saat kamu tidak bisa pergi kemana-mana, selalu ada yang mengikutimu. mungkin tak terlihat tapi kamu tau dia tau mau pergi darimu. dia ada dibelakangmu siang dan malam, menantimu setiap sore-sore menjelang senja yang redup atau pun terang. ia menjelma bayanganmu. bayangan hitam yang dijahit lekat ketubuhmu. ia tak mau pergi darimu. hanya tak mau pergi.

aku tidak pernah mau melihat film horor di televisi atau pun di bioskop, mungkin. dengan iming-iming apa pun aku tidak mau melihat hantu. kadang memang aku penasaran. bagaimana rupa hantu? bagaimana rasanya ketakutan? bagaimana rasanya berteriak-teriak tapi hantu itu terus ada disekelilingmu. perasaan yang cemas, selalu was-was, lalu kamu tidak pernah bahagia lagi.

aku beberapa kali melihat film hantu memang. sehabis itu aku selalu tidak pernah berani masuk ke kamar mandi. di kamar mandi di rumah nenek dulu atau rumah ibu yang sekarang selalu ada cermn di kamar mandi. aku tidak mau bercermin di dalam kamar mandi. karena takut melihat hantu. jadi aku selalu menunduk setiap masuk ke kamar mandi. lalu di tempat tidur, biasanya aku akan segera menutup seluruh tubuh dengan selimut, meringkuk, dan sampai pagi posisi tidurku tidak berubah. diam di tempat karena terlalu takut.

sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak pernah melihat film hantu. kadang melihat cuplikan film horor di televisi pun aku langsung kalang kabut mencari remote untuk mengganti channel. aku tidak mau melihat hantu pokoknya. tidak mau. aku tidak mau ketakutan setengah mati.

dua tahun belakangan ini aku selalu merasa takut. perasaan sesak yang tak kunjung habis. perasaan aneh yang membuatmu menangis tanpa sebab, semalaman panjang. yang membuatmu kehilangan akal sehat perlahan-lahan. yang membuat kamu jauh dari segala mimpi-mimpi. hantu yang menimbulkan perasaan gamang dan kosong. yang membuat matamu tak lagi merupa jendela yang bercahaya. mungkin ini Dementor, yang menyerap seluruh kebahagiaanmu.

ada hantu yang terjahit lekat di sekeliling tubuhku. hantu yang gentayangan. ia tak mau pergi. meski sudah kuusir. hantu itu akan terus gentayangan dalam hidupku. terus-menerus. ia tak pernah mau pergi. karena tak ingin aku bahagia.


Tuesday, February 22, 2011

Enjoy Jakarta, Enjoy Museum!*

Saya dan Shanti udah mendadak seperti turis dari luar kota hari minggu lalu. Jam 11 siang kami ngejogrok di depan pintu masuk Museum Gajah di Jl. Merdeka Barat 12 Sambil menunggu teman-teman yang lain datang. Berdua duduk selonjor saja di tangga dekat tempat penjualan tiket masuk, cerita-cerita sambil ngeliatin abang-abang yang jualan souvenir di sana.


Hari minggu lalu, saya dan beberapa teman iseng jalan-jalan dan foto-foto, kelilingan museum di Jakarta. Awalnya rencana kami mau mengunjungi Museum Prasasti di daerah Tanah Abang. Daboe, Iboy, Shanti, Kiki, Adis dan saya janjian jam 10 pagi di halte TransJakarta di Dukuh Atas. Tapi saya dan Shanti dianter langsung ke Museum Gajah, sementara yang lain tetap janjian di tempat semula. Jam karet sepertinya udah jadi langganan setiap ada acara kumpul-kumpul. Sekitar jam 11an kami semua baru ketemu.

Awalnya saya kira kami akan langsung ke tempat tujuan utama, yaitu Museum Prasasti. Tapi karena ketemuan di Museum Gajah, akhirnya kami masuk dulu. Tiket masuk masih murah meriah, cuma Rp 5.000. Terakhir kali saya ke sini rasanya waktu semester awal kuliah, dengan keluarga, saat itu harga tiket masuk masih Rp 2.000. Museum Gajah yang sekarang sudah memiliki gedung baru yang lebih modern. Ini pertama kali saya datang untuk melihat gedung baru itu.



Jalan-jalan kami cuma kebanyakan foto-foto sama cekikikannya. Ini adalah potret dari perempuan-perempuan kurang kerjaan yang cuma mau have fun. Hahahaha...! Ada dua orang turis Belanda  yang kami lihat betul-betul membaca setiap keterangan yang ada di artefak-artefak di dalam museum itu. Sementara kami cuma cari objek yang asik dijadiin tempat foto-foto. Hehehe... Puas kelilingin semua ruangan di Museum Gajah perut mulai keroncongan, jam juga sudah menunjukan untuk waktu makan siang. Jadi kami memutuskan cari makan sambil tunggu Oneng yang mau nyusul habis selesai liputan dari Epicentrum. 

Akhirnya kami memutuskan untuk mampir dulu di Gajah Mada Plaza, yang ga terlalu jauh dari sana. Dengan dua taxi yang argonya gak sampe Rp 10.000 per taxi akhirnya sampai juga di Plaza yang seumur-umur belum pernah saya singgahi. Acara makan berlangsung dengan khidmat karena semua sudah mengalami lapar akut. Selesai makan kami berencana melanjutkan ke Museum Prasasti. Saya sempat sms Jajang mengajak dia untuk nyusul sehabis mengajar di kampus. Tapi sms Jajang menghancurkan segalanya, haha...*lebay ya?!* Selain dia bilang ga bisa nyusul ternyata dia bilang Museum Prasasti jam setengah 3 sore juga sudah tutup. Saat saya melihat jam, angkanya menunjukan jam 14:20. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum museumnya tutup.

Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada Museum Prasasti, Kota Tua pun jadi. Hehehe... Akhirnya tujuan pun dialihkan ke Kota Tua. Walaupun kata Jajang semua museum tutup di jam yang sama, tapi tetap pantang menyerah dalam urusan foto-foto dan jalan-jalan. Lagian ke Kota Tua gak perlu masuk museum, masih banyak gedung-gedung yang bisa dijadiin objek foto. Karena gak tau mau naik apa kami dengan PD-nya nanya tukang angkot yang kebetulan mangkal di depan Gajah Mada Plaza, kami cuma bilang mau ke Kota Tua dan pak supirnya bilang angkot dia lewat sana. Ya sudah kami segerombolan naik ke dalam angkot yang jalannnya kaya Odong-odong. Sepanjang jalan ada saja hal gak penting yang diomongin dan dikomentari. Nama-nama jalan yang kebetulan kami lewati pun bisa jadi bahan untuk cekikikan. Inilah senangnya saya pergi dengan teman-teman yang gila-gila ini, BEBAS STRES!

Sampai di Kota Tua suasananya ramai sekali. Ini sih mirip pasar malam (walaupun masih siang). Saya juga sudah lama gak ke sini, suasananya beda total! Saya terakhir kali ke sini di bulan Desember 2007. Waktu itu pelataran di depan Museum Fatahilah juga masih sepi. Ya, memang ada saja orang yang duduk-duduk di sana, melukis, foto-foto, orang-orang yang berjualan, tapi sumpah, sekarang beda banget! 


Sepanjang jalan penuh sama gerobak orang jualan makanan dan minuman. Ada juga yang menggelar dagangannya, persis kaya Blok M deh ini namanya. Mulai dari Tatoo temporary, penjual sendal, kalung, sepatu, sampai peramal yang cuma duduk mojok dekat tembok gedung-gedung tua pun ada. Buat saya pribadi, jadi ga terasa suasana kota tuanya. Di depan Museum Fatahilah sekarang banyak disewakan sepeda ontel warna-warni lengkap dengan topi kompeni dan noni belanda. Seru sih, tapi  keramean. Ah, hilang suasana kunonya!



Kami ga mampir ke museum apa pun di kawasan Kota Tua ini. Kami terus saja jalan sampai ke belakang Cafe Batavia. Tujuan kami berikutnya adalah Jembatan Kota Intan atau orang-orang biasanya bilang Jembatan Merah. Cuaca siang itu lumayan menguras keringat, padahal sudah mau menjelang sore. Saya pribadi selalu punya ketertarikan dengan gedung-gedung tua, makam-makan kuno, candi-candi, artefak dan peninggalan-peninggalan jaman dulu. Jadi meski panas-panasan tetap saja saya senang melihat gedung-gedung tua sepanjang jalan itu. Hal yang selalu disayangkan adalah tidak terpeliharanya peninggalan-peninggalan tersebut yang tertinggal hanya sebagai rongsok. Dan satu hal yang selalu saya benci dari tempat yang seharusnya bisa dijadikan objek wisata yang baik adalah masalah kebersihan. Sepanjang kali besar menuju Jembatan Merah aroma busuk air kali saja yang menemani kami. Airnya kental dengan sampah.



Di Jembatan Merah yang kami lakukan lagi-lagi cuma foto-foto dan duduk-duduk, hehe... Mungkin sekitar satu jam lebih kami ada di sana. Setelah itu kami balik ke pelataran Museum Fatahilah, di sini cuma duduk sambil makan dan minum menghilangkan capek kaki yang seharian jalan. Saat sudah hampir gelap kami baru balik menuju halte TransJakarta di Kota. 

Jalan-jalan menghilangkan jenuh dan stres seperti ini dengan teman-teman buat saya selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan meski selalu ditutup dengan rasa letih. So, kita tunggu rencana berikutnya untuk mengunjungi museum yang gagal hari ini, Museum Prasasti.


*Status BBM-nya Daboe hari itu. :D


Escape

Rencananya terdengar menggairahkan. Ayo, segera laksanakan! Saya harus bersiap mengucapkan selamat tinggal dengan kota yang bikin stres setiap saat, dengan orang-orang yang pasti  saya cintai, tapi ketika pulang adalah sebuah keharusan, maka hati yang harus didengarkan.

"Mbak, kos sama aku aja ya!"
"Ngapain kamu ikut ngekos sama aku?"
"Mau kabur dari bapakku. Hehe..."
"Yuuuuk...!"

Percakapan saya dengan Wulan, sebut saja begitu namanya, betul-betul membuat hati dan pikiran jadi ingin segera melaksanakan niatan itu. Saya harus kabur segera dari segala kejenuhan ini. Dengan semua tali yang mengikat kaki selama ini. Saya butuh ruang untuk bernafas. Dan jelas, Jakarta bukan tempatnya.

Ada sebuah desa di suatu kota yang ternama, tapi ini desa. Ada candi, ada bukit, ada rumah seni, ada orang-orang baru -orang-orang yang sudah saya ketahui dari Wulan-, ada suasana baru. Saya harus segera berhenti kerja. Lalu melakukan pelarian ini untuk satu sampai dua bulan, atau lebih, entah sampai kapan.

"Jangan kebanyakan berfikir! Kamu terlalu banyak pertimbangan. Banyak hal dalam hidup yang tidak pernah pasti, jadi tidak perlu ditimbang terlalu lama. Lakukan saja. Ikuti kata hati!"
"Sempruuul, enak aja kamu ngomong!"
"Otak kananmu perlu sering-sering dilatih tuh!"
"Pusing ah!"
"Bawa saja baju, laptop, buku dan duit. Terus kabur! Tuh si Wulan sudah mau nemenin kan? Apa sih yang ditakutin? Takut mulu aah..."
 "Kabur pun perlu direncanakan. Kalau gak, bisa gak hidup aku nanti."
"Aku hidup-hidup aja."
"Orang gila."

Sebut saja namanya Aji. Orang yang saya kenal entah darimana. Orang yang tidak pernah saya habis pikir bagaimana dia bisa hidup dengan caranya itu. Gak memikirkan masa depan, kalau kata Wulan. Saya dan Wulan pernah semalaman ngomongin Aji. Cara hidupnya, pemikirannya, cara pandang dalam hidupnya diluar normal bagi kami. Tapi kata Aji, orang-orang seperti saya dan Wulan, yang kebanyakan menggunakan otak kiri, perlu sekali-sekali merasa hidup "bebas" seperti dia.

Wulan dan Aji, dua orang ini datang dalam hari-hari saya belakangan ini, seperti malaikat yang membawa pesan. Datang tanpa pertanda apa pun, tanpa ketukan di pintu. Mereka hadir dan pesan-pesan itu saya terima dengan berbagai cara. Ini cara Tuhan, bagi saya. Mereka bisa membuat saya ngakak guling-gulingan. Menghadirkan cerita baru. Membuat saya merenung panjang. 

Nanti, beberapa bulan lagi. Saya tidak akan ada di sini. Tapi di sana dengan mereka. Di sebuah desa. Dengan candi, dengan bukit, bermain di rumah seni itu, dengan para penyair, penulis dan pelukis. Di sana, dengan kebahagiaan baru. Segeraaa!



Jakarta, 22 Februari 2011

gambar dari sini


* Meida lagi ngayal-ngayal di kantor karena kurang kerjaan. :D

Rencana

Dan karena Tuhan Maha Pembuat Rencana,
sesungguhnya telah Ia siapkan keceriaan dalam perjalanan panjangmu di depan.
Percayalah!

Senja

kenapa senja selalu jadi pengantar,
saat terangnya siang meredup menuju gelap malam?

Kamu

Selamat pagi, kamu.
Tamu di hatiku. Kupu-kupu di perutku.




Selamat Tidur

Sesungguhnya doa malammu akan Tuhan selipkan di bawah bantal
agar engkau bermimpi indah...
Selamat tidur!



Lindap

Pada jendela, di dalam bis, pohon-pohon, jalanan, dan gedung-gedung mengabut.
Pun kamu. Lindap.

Sunday, February 20, 2011

Tamat

Ketika kita tinggal memori,

tak perlu ada lagi penantian tak berbatas waktu yang kau tunggu meski kau bisa, selain ajal. Pintu kututup rapat sudah. Mengintip pun angin tak kuasa. Pengap memang. Tapi hati yang lama terpenjara bernafas lega, akhirnya tak risau dikerubung gema pertanyaan yang tak pernah berujung pada jawab. Lagu mana yang harus diputar, mengantarkan engkau pulang. Aku tak pernah diajarkan, mungkin seharusnya menjadi kebiasaan masa depan, menyiapkan kata perpisahan atau surat untuk dikirimkan. Tak kubuat juga puisi mengiris hati. Sudah cukup semua. Bahkan kita tak perlu kata pengantar. Tamat.


Bekasi, 19 Februari 2011

Wednesday, February 16, 2011

Dear Lord...

My Lord, My God...
I'm in trouble!

Please, help me.
I can't help myself. I can not find my way out.
I don' t know what should I do, I don't even know what I want.
It's just like nightmare everytime I sleep.
I'm scared.

I need your help.
Please... My Lord!
Help me!

Please...


Sunday, February 13, 2011

Biru, Cerpen Kedua Dalam Buku

Iseng-iseng berhadiah, mungkin judulnya. Cerpen yang kutulis dibukukan lagi. Ini cerpen kedua setelah beberapa tahun lalu, cerpen "Misteri Kematian Suamiku" juga masuk dalam buku kumpulan cerpen untuk Munir. Kali ini sedikit berbeda. Awalnya saya hanya melihat suatu pengumuman kompetisi menulis cerpen pada sebuah account Twitter yang yang saya ikuti, @nulisbuku. Diadakan kompetisi menulis cerpen dengan tema e-love story. Kompetisi ini diadakan untuk menyambut Valentine (Duuh.. ABG banget yaa, hihihi...). Cerpennya bersyarat harus happy ending, fiuh, tugas berat deh!

Iseng-iseng pula saya memberitahu beberapa teman lain yang suka menulis tentang kompetisi ini. Beberapa dari mereka juga tertarik dengan alasan yang sama dengan saya, yaitu, semua cerpen yang masuk akan dibukukan. Pemenang cuma akan ada satu orang dan mendapatkan notebook dari ACER. Tapi sekali lagi, semua cerita yang masuk  akan dibukukan itu jauh lebih menarik perhatian saya dibandingkan hadiah notebook ACER tersebut. Well, ga salah kalau nanti banyak yang beranggapan jadi bagus gak bagus pun tetap jadi buku. Yup! But, who cares??? Saya cuma mau ikutan bikin cerpen dan anggap saja dapat bonus tulisan saya dibukukan.

Happy ending! Oh, God... Ini tantangan tersulit bagi saya. Jujur saja, setiap saya menulis cerita atau puisi saya kira saya tidak pernah menulis sesuatu yang disebut "happy ending". Ya, mungkin pernah, tapi 1:100 sepertinya, karena hampir tidak pernah rasanya, makanya saya tidak ingat. Semua tulisan saya pasti yang sedih-sedih, yang mellow-mellow, yang menguras airmata, haha! Kalau kata teman saya Adis, mungkin terpengaruh kehidupan nyata kali yaaa. Sial!

Okee, happy ending yaa?! Hmmm, awalnya saya pikir bakalan jadi basi deh ini cerpen. Tema kompetisinya kan e-love story, online story, apalagi yang membuat happy ending kalau bukan kedua insan di dunia maya itu dipertemukan?! Atau memang otak saya saja yang kekurangan ide liar dan kreatif, hihihi... Ide cerita sudah ada di kepala saya, tapi saya belum juga  mulai menulis.

Hari minggu dua minggu yang lalu akhirnya saya mulai menulis, tapi baru jadi dua halaman saya sudah tidak mampu melanjutkan ceritanya. Teman saya adis beberapa hari sebelumnya malahan bilang ceritanya sudah jadi 19 halaman. Buseeeet... Niat banget nih orang, maksimal halaman padahal cuma 12. Saya lagi-lagi mentok sama syarat "happy ending" itu. Saya sudah membayangkan bagaimana akhir cerita saya sebetulnya tapi kenapa setiap menulis pasti secara otomatis saya melenceng dari arah "happy ending" itu. Akhirnya saya stop saja! Saya bilang ke teman-teman saya itu bahwa saya nyerah saja deh, gak jadi ikutan kompetisinya. Beberapa teman bilang harus tetap ikutan, tetap coba dulu, tapi saya sudah males. *penyakit langganan*

Deadline seminggu lagi, tapi saya selalu pulang malam setiap hari kerja. Sudah malas untuk menulis lagi cerpen itu, tapi saya tetap memikirkan bagaimana melanjutkan cerita itu. Akhirnya sehari sebelum deadline saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang juga ikutan kompetisi ini, saat saya bilang bahwa saya gak jadi ikutan, dengan entengnya dia bilang saya ini payah, gak ada apa-apanya, kebanyakan ngimpi aja tapi gak mau usaha keras. Sialan nih orang!!! Dikatain begini mana saya mau terima.

Malamnya saya sebetulnya sudah mau tidur saja, jam sudah menunjukan setengah 11 malam juga. Sudah gak mau peduli sama ejekan teman saya tadi itu juga. Tapi saat saya lagi tidur-tiduran di sofa, tiba-tiba datang begitu saja inspirasi untuk cerita itu. Saya tidak melanjutkan cerita dua halaman yang sudah saya tulis sebelumnya, tapi saya membuat cerita baru. Saya langsung ambil laptop dan mulai menulis. Non stop sampai jam setengah empat pagi. Akhirnya selesai juga. Pagi itu juga langsung saya kirimkan cerpen itu ke email admin nulisbuku.

Kemarin, 12 February 2011, acara launching buku E-Love Story itu diselenggarakan di Liquid Exchange Cafe, Epicentrum jam 15.00-17.00. Dari sekitar 500 cerita yang masuk akhirnya dibuat 36 buah buku. Saya tidak hadir dalam acara kemarin meski sudah registrasi. Teman saya, Iboy, yang akhirnya datang ke acara tersebut menggunakan ID-nya Adis, yang juga tidak jadi datang siang itu.

Sore harinya saya membuka website nulisbuku dan menemukan bahwa cerpen saya "Biru" masuk dalam buku no. 19, cerpen Adis "Kotak Cinta Dari Athena" masuk di buku no. 23 dan cerpen Ranang - teman yang senang "menghina" saya itu- "Surat Cinta" masuk di buku no. 24.

Well, this is it. *a la Farah Quinn*
Enjoy!



Thanks to Iboy untuk kiriman fotonya.

Tamu

ada yang datang (lagi)
mengetuk pintu
menerbitkan riak di perutku
ini rindu

ada yang hadir
di ruang tamu
dalam hatiku
kamu.


Bekasi, 12 Februari 2011

Tuesday, February 1, 2011

Hina

ada yang terluka
hatinya airmata
jiwanya terburai
bersimbah duka


Jakarta, 2 Februari 2011

Gadis Muram

Kulihat wajah gadis memuram
Dalam jendela
Waktu terus berjalan
Rasanya semacam sia-sia
Di matanya ada mendung
Mentari yang gerhana


Jakarta, 2 Februari 2011