Showing posts with label Mengupas Jejak. Show all posts
Showing posts with label Mengupas Jejak. Show all posts

Monday, May 21, 2012

Menyentil Kepincangan Hukum Lewat Orkes 3 Gobang

Kau kira Tuhan cuma badut? Laknat, menimpamu di hari kiamat.
-Orkes 3 Gobang-


Teater musikal yang diadaptasi dari naskah "Three Penny Opera" karya Bertolt Brecht berhasil dipentaskan oleh Teater UI di Graha Bakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM) akhir pekan lalu (19-20 Mei 2012). Orkes 3 Gobang mengisahkan tentang Mekhit, sang perampok kelas kakap, membawa lari Poly, putri tunggal juragan pengemis Nata Sasmita Picum. Mekhit menikahi Poly sebagai salah satu istrinya. Sang juragan Picum naik pitam dan mengadukan Mekhit pada Polisi. Ibu Poly, Amalia, bersama Yeyen si pelacur yang menaruh dendam pada Mekhit pun menjebak Mekhit agar tertangkap polisi. Mekhit pun ditangkap, diadili dan terkena hukuman mati. Namun, hukuman itu berbalik menjadi sebuah pengangkatan Mekhit sebagai pejabat daerah.

Teater yang berlangsung sekitar tiga jam ini saya kira cukup berhasil menyentil problematika yang kerap hadir di dalam kehidupan masyarakat kita, yakni ketidakadilan dan kepincangan hukum yang semakin merajarela. Tokoh Mekhit dalam pementasan ini digambarkan berteman baik dengan seorang pimpinan polisi bernama Kartamarma. Berkat hubungan baiknya ini tentu saja Mekhit yang seorang bandit kelas kakap selalu mampu kabur dari jerat hukum. Bukankah ini cerminan dari wajah para "bandit" di Indonesia? Mereka yang punya uang dan kuasa lah yang bisa hidup senang.

Pementasan dari Teater UI ini selain memperhatikan aspek artistik, juga mengemban misi untuk mempertahankan budaya teater di kalangan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat. kritis pada ketidakadilan.

Namun ada hal yang saya kira patut menjadi masukan bagi panitia pementasan ini adalah dengan memberikan batasan usia kepada penonton yang akan membeli tiket. Berdasarkan pengamatan mata cukup banyak anak berusia dibawah umur yang datang menyaksikan pementasan ini sementara scene yang menampilkan adegan yang saya kira tidak pantas ditonton oleh anak dibawah umur dan kata-kata kasar begitu sering muncul sepanjang pentas.

Namun lepas dari itu, Orkes 3 Gobang  menyajikan pementasan yang sarat dengan nilai moral, pementasan ini cukup menghibur penonton juga dengan dialog-dialog humoris dan lagu-lagu yang disajikan. Dari 800 kursi yang tersedia di GBB, TIM di hari pertama terjual 631 tiket. Penampilan special dari Ketua Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta, Ramdansyah dan Politis Partai Golkar, Indra J. Piliang yang membacakan puisi juga menambah seru pentas ini.









 

Tuesday, March 20, 2012

[Book Review] : Selamanya Cinta


“A guy and a girl can be just friends, but at one point or another, they will fall for each other...
Maybe temporarily, maybe at the wrong time, maybe too late, or maybe forever” 
 -Dave Matthews Band

------------------------------------------------------

Satu lagi novel terbaru dari penerbit bukune, Selamanya Cinta, karya Kireina Enno. Sebagai pembaca setia blognya Mbak Enno selama dua tahun lebih, saya penasaran sama novel pertamanya. Beberapa bagian yang ada di dalam novel tersebut sudah pernah dituliskan di dalam blognya sebagai "Kisah Abe", tapi mengetahui keseluruhan cerita sebagai sebuah novel, rasanya akan memiliki sensasi yang berbeda. 

Selamanya Cinta berkisah tentang dua orang sahabat, Reina dan Abe yang saling jatuh cinta sejak di bangku SMA. Namun pengakuan yang tidak kunjung muncul dari kedua belah pihak membuat cinta yang hadir di hati tidak pernah terungkap selama bertahun-tahun. Penyangkalan kerap muncul meski cemburu sebetulnya melanda. Anggapan bahwa berpacaran dengan sahabat dekat sama saja dengan inses bahkan muncul dari Reina. 

Cinta yang selama ini hanya tersimpan di relung hati akhirnya harus bertemu dengan perpisahan. Namun jarak yang memisahkan raga tidak lantas melunturkan cinta Reina dan Abe. Perjumpaan kembali kemudian menjelma kehilangan yang panjang, tak lama setelah Abe akhirnya mengungkapkan perasaannya kepada Reina.

***

Menyelami kisah Reina dan Abe dalam novel ini, seperti memanggil kembali ingatan tentang cerita masa SMA. Masa orientasi siswa, kakak kelas yang menyebalkan, senior ganteng yang pintar main basket, gank murid populer, persaingan dan persahabatan.

Novel dengan kisah semacam ini ramai kita dapat temui dipasaran. Namun kelebihan novel ini menurut saya pribadi adalah pada ending-nya. Tidak banyak novel percintaan remaja SMA yang bisa memberikan kejutan pada pembaca. Jika pembaca kebetulan adalah pembaca setia blog Kireina Enno, saya kira tidak akan sulit menebak bahwa penulis tidak mungkin memberikan ending yang biasa-biasa saja. Satu hal menarik lagi, setiap kita memasuki bab baru dalam hal ini, quotes bagus dan indah selalu disajikan sebagai pembuka.

Kekurangan masih muncul sedikit di dalam novel ini. Seperti hilangnya awal kalimat pada hal 21. Kemudian kesalahan penulisan kata, seperti "brownies" ditulis menjadi "browniesh", lalu juga di hal. 91 kata "tuts piano" ditulis menjadi "tust piano". Ketidakkonsistenan pun terasa pada kata panggil antara Abe dan sahabatnya, Teddy, di hal. 258, meski memiliki arti yang sama, kata panggil "lo" kemudian tertulis "lu" pada kalimat berikutnya.

Namun kekurangan yang tidak seberapa dibanding cerita keseluruhannya, masih pantas dikatakan novel ringan yang cocok untuk teman bersantai ini layak untuk dimiliki. Kisah cinta di SMA tidak pernah membosankan untuk disimak rasanya, klasik namun menyenangkan.


pic from here

Thursday, May 26, 2011

Aning Purwa, Pemberontakan Seorang Perempuan

Teringat saya pada percakapan kami siang itu di Kloneng. "Puisi-puisiku tentang pemberontakan," katanya saat saya bertanya tentang puisi-puisi yang ia buat. Saya membaca seluruh puisinya yang saya temukan dalam catatan di Facebook-nya di hari saya kembali dari Jogja.

Menyelami puisi Aning rasanya seperti tenggelam dalam pada sosok perempuan yang memberontak dari pasung. Keberanian, ketegaran, sekaligus ketabahan terpampang jelas dalam kata-katanya. Pemberontakan itu terasa begitu kuat menonjol, perlawanan, membebaskan dirinya dari segala jerat. Hukum yang terbentuk dalam kehidupan kerap membuat perasaan terpenjara. Namun Aning menunjukan keberanian, ketegaran,  sekaligus ketabahan yang terpampang jelas pada kata-katanya. Mengetahui sedikit kisah hidupnya dari teman saya, Suci, yang membawa saya berkunjung ke Kloneng, memberi gambaran yang lebih terang untuk memahami puisinya. Jelas bahwa ternyata kehidupan ternyata tak selalu mulus dan seindah yang diharapkan. Namun Aning berani! Berani menghadapi, berani melawan.

Maka nikmatilah pemberontakan dan keberanian Aning di bawah ini:


Surat Cinta Dari-NYA


Kepada :
Aning

Aning,
Apa kabarmu sayang?
kemarin,AKU telah mengirim seorang lakilaki yang selalu menyakitimu,
apakah kau baikbaik saja?

Mmm,AKU juga telah membuatmu tak menemukan tanda keadilan,
Dan aku jauhkan darimu,kebenaran yang terang itu,
Apakah kau tidak tersesat sayang?

Aning,
AKU bahkan telah membuatmu di fitnah dengan kejinya
Oleh orangorang yang tak pernah puas menyakitimu,
Juga oleh lakilaki yang menganiayamu itu,
Tetapi,kenapa kau malah memaafkan mereka?
Kenapa kau tak membalas mereka?
Tak mendendamkah kau atas semua yang mereka lakukan?
Ikhlas kah kau sayang?

Ah,Aning...
Kau teramat sabar,tabah,dan kuat rupanya...

Atau,sebenarnya kau ingin menangis,tapi malu?
Karena,bukankah kau sendiri yang bilang
Kepada anakmu,temantemanmu,dan kepada siapapun
Bahwa :

”Hidup itu jangan mengeluh,dan jangan menangis....!”
katamu.

Oia, bukankah AKU juga sudah membuat hak hakmu di rampas tho?
Termasuk anakmu,
Yang kau lahirkan dari rahimmu dengan meregang nyawa itupun,
Aku jauhkan dari pelukanmu.
Apakah kau merasa tersiksa sayang?

Oh Aning,
Tanpa sepengetahuanmu,
AKU diam diam mengamatimu sayang.
Memperhatikanmu....diam diam.....
Ketika kau turun ke jalanan
Menggauli pemulung,pengemis,anakanak jalanan juga orang gila,
Bahkan pada malam lebaran itu,
Ketika takbir berkumandang dan kau tak lagi bisa menikmatinya,
Dengan keluarga,baju baru,kuekue,ketupat,dan tethek mbengeknya lebaran,
Seperti yang bisa kau nikmati di lebaran lebaran sebelumnya.

Aning...Aning...
Kenapa kau malah tidur di trotoar bersama mereka?
Dan baru menyambangi Rumah-KU ketika subuh tiba?
Padahal,malam itu AKU menunggumu...
AKU ingin mengajakmu bepergian ke suatu tempat yang nyaman.
Ah,tapi kau lama sekali sayang...

Hmm...
Tanggal 25-09-2009
Bukankah usiamu genap ke-25 pada tanggal itu?

Dan maaf sayang.
AKU tak menyiapkan kue taart dengan lilinnya,
Juga lupa mengucapkan selamat ulang tahun padamu,
Aih,apakah aku telah pikun ya?
Ah,tidak juga...
Buktinya,
Setelah AKU kirim untukmu seorang lakilaki temperamental,
Setelah AKU jauhkan keadilan dan kebenaran darimu,
Setelah AKU membuat kau di fitnah dan di tuduh dengan kejinya,
Setelah AKU membuat hak hakmu di rampas paksa,
Setelah AKU membuat anakmu jauh dari pelukanmu....

Dan setelah bukti cinta-KU padamu,
Setelah semua cobaan,ujian,kesakitan,penderitaan,yang aku berikan itu,

Akhirnya,AKU berhasil membuatmu telanjang di hadapan-KU sayang,dan akhirnya,

Bercintalah kita...

Lalu,kaupun berkata setelahnya,

”Ya Allah,Ya Tuhan,Ya Robb,Ya Kariim,Ya Rahman,Ya Rahim...”
”Tuhan...Sungguh nikmat sekali bercinta dengan-MU,
Sungguh benar benar nikmat,terima kasih Tuhan....”

Dan itulah,kado terbaik untukmu,sayang...

Aning,
Setiap waktu,AKU selalu menunggumu untuk datang kepada-KU
Dengan ketelanjanganmu tentunya.

Rindukanlah AKU selalu...

Salam Hening, Salam Sunyi.


Dengan Cinta,

Tuhan


29-09-2009



Mainanku Hilang/Aku (lakilaki) Pengecut


Bapak...
Aku takut sekali
ijinkan aku bersembunyi
di bawah ketiakmu
karena,tadi sore...
aku memukuli kepala istriku
dan melebamkan matanya
juga merontokkan giginya
karena dia
melihat bangkaibangkai
yang aku sembunyikan
dengan rapat di dalam peciku

Ibu...
Aku takut sekali
Biarkan aku meringkuk
Di dalam rok mu
Karena,tadi malam...
Aku menendang perut istriku
Yang sedang mengandung anakku
Dan banyak darah mengucur ke tanah
Karena dia
Menyentuh janinjanin yang aku aborsi
Dari para wanita selingkuhanku

Hore...
Bapak,Ibu...
Aku senang sekali
Ternyata istriku tak menangis
Tak meronta
Tak berteriak!
Dia diam saja
Persis seperti boneka

Tuhan...
Yang Maha Pengasih dan Penyayang
Yang Maha Maha
Aku gembira sekali
Ternyata istriku tak melapor ke polisi
Dia mau saja aku kebiri
Dia tak berlari
Dan,
Dia tak memasukkan aku ke bui,
Jadi napi...!

Ha ha ha
Wahai kawan kawan ku...
Istriku ini
Sungguh lugu
Benarbenar mainan yang lucu
Dia tak pernah berinterupsi
Tak pernah

Aih...
Bapak,Ibu...
Selamat pagi
Aku merasa gagah sekali pagi ini
Tapi,
Di mana istriku?
Di mana mainanku?
Dia lepas dari tanganku
Pergikah dia?
Hilangkah?

Oh,Tidak...!
Aku belum puas
bermainmain dengannya
Dia mainan terbaikku
Di manakah dia?!

Ahh!!
Tak seorangpun
Ku biarkan menemukan dan memilikinya
Bila tak jadi milikku
Maka,
Tak seorangpun!

Di mana dia?
Akan aku hancurkan saja,aku kubur
Lalu,
Aku beli mainan baru
Dan ku mainkan
di atas pusara itu.


Gunungpati,18 September 2009



Sajak Anakku


Anakku,
tetestetes air mata
laksana batubatu mukul sepi
linangan bening
menggenangi waktu
kala suara menjalari pilu
dari kalbu
yang di koyak
palupalu,pakupaku,pisaupisau,
dan pelurupeluru
: ngilu

di rintih perih
di darahdarah
memerah senja
terseok....ku tukar,ku gadai
pun ku luruh nyawa
selamat datang di dunia,
anakku.

pun gundah menengadah
dalam usap berusap
jarijari mungil gigil,
cahaya hangat
mendekap.

dalam resah mata
disana do'a menjelaga
di larilari kecil,
kerinduan akan sapa
: I b u....!

anakku,
warna jaman,
tak mampu menikam sayang.
detak jantung,isyarat naluri
raga meraga,merupa engkau.

jerujujeruji di pasungan,
terpatahkan.
tampari saja
hidup dan kehidupan.

nafas ibu
tak sampai berhembus padamu.
dekap ibu
tak kuasa menyentuhmu.
pun begitu
akulah ibu,
yang redup untuk binarmu.

meski kunangkunang
menakuti malam,
bayangbayang menakuti tuan
dan purnama
menakuti bulan.

Anakku,jangan menangis.....!
gagahlah!
tegaplah!
menanglah dari menang.
dengan segenap
ruhjiwakasihkalburinduku.

berjuanglah!
berperanglah!
di hidupmu,

Jangan takut,
Anakku.....!


EloProgo
07 September 2009



Kejujuranku


Aku mengakui
aku adalah
serupa binatang ganas beringas
bertubuh manusia
berjiwa iblis

aku
suka ber hurahura
agar termanipulasi
huruhara sebenarnya
yang berkecamuk di otakku
karena aku
memang bermuka dua, tiga, atau mungkin lima

Lapar akan duniawi
menjadikanku rakus
dan benarbenar mabuk
karena,
tahukah engkau
wahai saudara-saudara

akulah
maling necis berjas
yang selama ini
merampas hak hak kalian

akulah
pecundang berpeci hitam
yang berakting religius
menjadi raja dari segala pendosa

sungguh bagiku
Tuhan pun semua kitabNya
adalah sepele tele
remeh temeh
percuma!!
tak berguna!!

akulah
pengecut berdasi bau trasi
yang tiap langkahku
adalah kebusukan yang maha busuk

akulah
lakon sandiwara berdarah
yang benarbenar darah

akulah
penikmat sajian
yang teracik apik
dari cincangan
atas kepala kepala
yang di penggal
dari tubuh kebenaran murni
yang ku anggap basi

akulah
siluman yang sedang leluasa berpesta
di gedung dan istana
tempat kalian menaruh hormat untukku

Ya!!
aku sangat menikmati
alunan kegaduhan
yang telah kucipta sendiri

aku ini...
memang binatang ganas beringas
bertubuh manusia
berjiwa iblis
aku sungguh siluman laknat
benar-benar pecundang
bermoral busuk
dan pengecut
berlidah api

ha ha ha ha ha ha

Ahh...!!!
semoga saja
kalian tak pernah
mempercayai kejujuranku ini

Karena aku
memang tak pernah jujur!!

ha ha ha ha ha ha


Semarang, 14 November 2009



Aku Ingin Waras


Apa yang kalian lihat?
kenapa sorotsorot mata itu,
sungguh sangat meledekku?
kenapa jarijari itu menuding hina padaku?
seraya dengan bangga tertawa bak dewa!
kalian berkata :

"Orang gila....!
Orang gila....!
Orang gila....!"

Arrggh....!
Kalian kira,aku ini gila?

Hah!
Ya...ya...aku ini gila....
Hmm...Memang...memang...

Bukankah,
aku dengan wajah asliku sekarang?
wajah asliku sendiri
wajahku sendiri
wajah,sendiri...

Aha!
aku ada ide...
kenapa tidak kalian saja yang mengajariku
bagaimana menjadi waras
atau,setidaknya
tunjukkan padaku
cara cepat menjadi waras
aku pun sungguh ingin waras seperti kalian...
agar aku bisa menuding
ke wajah yang gila menurutku...

Maka,
tariklah benang dari langit
dan ikatkan pada otakku,
di bagian belahan bumi yang lain
telah di sediakan negaranegara gila,
lengkap dengan undangundangnya

Silahkan abadikan
lirikan sinis atasku
maka,tidurlah pulas nanti
agar temukan juga kegilaanmu menemaniku

Dan biarkan
sejenak waktu aku berkeliaran
di semesta kewarasan
untuk bisa mengintip,
dan memastikan
sedang tertawakah DIA?
setelah bencanabencana
yang di cipta-NYA dengan penuh cinta

Sungguh...
DIA,
tak ingin terlihat,
tak mau terlihat,
tapi aku melihat-NYA

Dan aku,
tak lagi menggiring do'a
yang beribu kali menjadi tanya
tak sudah...


10 Oktober, 2009



Ayun-ayunan


Si ayunan
berkata :

"Janganlah engkau lena
dan terbuai padaku,
pada angin sepoi yang membelai
dan nikmatnya aku,

Cepatlah tersadar
jika datang badai
atau jika taliku putus,

Pun
terjatuh dariku
terguling
terjerembab ke jurang,

Jangan mengeluh,
dan menangis...!"


Semarang,23 September 2009


Friday, April 15, 2011

Konser Koin Sastra: Bukti Nyata Para Pecinta dan Peduli Sastra

"Yang membedakan manusia dengan binatang adalah manusia membaca buku, sementara binatang tidak. Manusia yang bermartabat adalah manusia yang membaca buku sastra. Dan manusia yang memusnahkan sastra adalah  yang seperti binatang.



Kurang lebih begitulah kata-kata Hari Rusli yang disampaikan Mayong Suryo Laksono pada Konser Koin Sastra yang sukses digelar semalam di Bentara Budaya Jakarta (13/4). Mayong beserta Faby Febiola menjadi pembawa acara dalam acara Konser Koin Sastra yang diselenggarakan untuk menggalang dana untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Pusat dokumentasi yang memiliki "harta sastra" terlengkap se-Asia Tenggara ini terancam tutup setelah dikeluarkan SK yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo  yang menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta hanya akan memberikan dana bantuan untuk pengelolaan PDS HB Jassin sebesar Rp 50 juta per tahun. Jumlah dana yang diberikan Pemprov DKI makin berkurang setiap tahunnya, tahun ini ialah yang terparah. Hal inilah yang menggerakan hati para pecinta dan peduli sastra untuk menggalang dana untuk PDS HB Jassin atas nama #Koinsastra.

Konser Koin Sastra semalam dimeriahkan oleh lebih dari 20 artis dan seniman tanah air. Para pengisi acara tersebut adalah Dewa Budjana, Dwiki Dharmawan, Piyu Padi, Ari Malibu, Reda Gaudiamo, Djenar Maesa Ayu, Jose Rizal Manua, Sudjiwo Tedjo, Garin Nugroho, Hanna Fransisca, Cok Sawitri,  Ananda Sukarlan, Soimah Pancawati, Inayah Wahid, Gunawan Maryanto, Saras Dewi, Ayu Laksmi, Maya Hasan, Band Kotak, Efek Rumah Kaca, Float, dll. Malam itu pula diluncurkan sebuah buku kumpulan cerpen "Dari Datuk Ke Sakura Emas" yang ditulis oleh 14 penulis dimana seluruh hasil royalti penjualan buku ini akan disumbangkan untuk PDS HB Jassin.

***

Saya akhrinya datang cuma dengan Mbak Novi (plus si Mas-nya). Jajang & Mba Ai, Iboy,dan Gema yang sebelumnya janjian dengan saya gak jadi ikutan datang ke Konser Koin Sastra. Dari kantor saya berangkat sendiri modal nekat dengan supir taxi yang juga ga tau jalan. Saya sudah lama sekali gak ke komplek Gramedia Kompas sana, jadi lupaaa.... 

Saya tepat tiba jam setengah delapan malam dan suasana di sana sudah ramai sekali. Mbak Novi tiba setelah kira-kira 20 menit setelah saya sampai. Kami langsung ambil posisi di depan panggung, lesehan. Acara dibuka oleh Putu Fajar Archana selaku ketua pelaksana dan dilanjutkan oleh sambutan dari Ajip Rosidi dan Pimpinan Redaksi Harian Kompas.

Konser langsung terasa meriah ketika Reda Gaudiamo dan Ari Malibu sebagai pembuka menyanyikan "Gadis Peminta-minta", "Gadis Kecil" dan "Aku Ingin" -- musikalisasi puisi Toto Bachtiar dan Sapardi Djoko Damono.-- Garin Nugroho turut berkolaborasi membacakan pesan-pesannya saat Ari-Reda menyanyikan "Aku Ingin" (lagu ini pernah dipakai sebagai soundtrack film Cinta Sepotong Roti yang disutradarai Garin tahun 1990). Selain itu, penampilan paling seru bagi saya adalah ketika dalang edan, Sudjiwo Tedjo tampil bersama Soimah Pancawati diiringi oleh Dewa Budjana dan Dwiki Dharmawan, juga ketika Cok Sawitri berkolaborasi dengan Ayu Laksmi, Maya Hasan, dan penari asal Bali, I Wayan Sura dalam membawakan beberapa lagu dan sajak.

Rencana awalnya saya dan Mbak Novi tidak ingin pulang terlalu malam. Kami berencana pulang sekitar jam sepuluh, acaranya kan dimulai dari jam setengah delapan, cukuplah saya kira menyaksikan Konser Koin Sastra ini dalam waktu dua jam setengah. Karena besok pun saya masih harus kerja pagi begitu juga Mbak Novi. Tapi niatan itu gagal total. Jam 12 malam kami baru keluar dari Konser yang belum juga selesai itu. Pulang searah dengan Mbak Novi ke Rawamangun, saya tiba di rumah tepat jam satu pagi.

***

Dari Konser Koin Sastra semalam menunjukan dengan begitu jelas bahwa masih begitu banyak orang yang peduli atas keberlangsungan nasib Sastra Indonesia khususnya PDS HB Jassin. Konser dihadiri oleh ratusan orang, begitu ramai, dan begitu penuh cinta saya rasa. Gerakan yang lahir atas kepedulian berbagai pihak, yang awalnya hanya ramai diperbincangkan di jaringan Twitter dan Facebook saja, bisa menjadi sebuah bukti cinta yang ril. Seperti yang disampaikan oleh seorang penyair dari Bandung, Ahda Imran, yang  juga menjadi salah satu pengisi acara dari Konser Koin Sastra semalam, "Saya di sini hanya bisa membacakan puisi, tapi setidaknya ini adalah bukti kepedulian saya yang nyata terhadap PDS HB Jassin. Cinta yang nyata, bukan sekedar janji."

Dana yang terkumpul semalam dari Konser Koin Sastra sebesar Rp 172.732.665, padahal konser hanya terselenggara dalam waktu beberapa jam namun jumlah dana yang didapat lebih besar daripada yang diberikan Pemprov DKI Jakarta untuk jangka waktu setahun. Sementara Gubernur Metropolitan kita yang terhormat, Fauzi Bowo, telah menjanjikan akan memberikan dana Rp 1 milliar setiap tahunnya untuk PDS HB Jassin, kita tunggu saja bukti nyatanya. Namun saya kok sangsi.


Penampilan Sudjiwo Tedjo dan Soimah Pancawati

Dalang Edan diiringi Dewa Budjana dan Dwiki Dharmawan

Djenar Maesa Ayu membacakan cerpennya "Cat Hitam Berjari Enam"

Sambutan dari Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin

Feby Febiola feat. Mayong Suryo Laksono sebagai MC
Garin Nugroho berkolaborasi dengan Reda Gaudiamo & Ari Malibu





Cok Sawitri, Ayu Laksmi & I Wayan Sura

Jose Rizal Manua

Penampilan Saras Dewi dengan suami menyanyikan "Kupu-kupu Barong"


Foto dari sini

Saturday, April 2, 2011

Jadi Bertanya

Di kalangan sastrawan dan penyair, setelah heboh tentang sms Taufiq Ismail yang mengusir, melarang, membungkam beberapa acara diskusi buku mengenai Lekra di PDS HB Jassin belum lama ini, kini muncul berita plagiat puisi yang dilakukan olehnya. Puisi karya Doughlas Malloch yang berjudul "Be The Best of Whatever You Are" dianggap dijiplak oleh Taufiq Ismail dalam puisinya yang berjudul "Kerendahan Hati." Saya kutipkan kedua puisi tersebut di bawah ini.


Be The Best of Whatever You Are
Oleh: Doughlas Malloch


If you can't be a pine on the top of the hill
Be a scrub in the valley--but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can't be a tree.

If you can't be a bush be a bit of the grass,
And some highway some happier make;
If you can't be a muskie then just be a bass--
But the liveliest bass in the lake!

We can't all be captains, we've got to be crew,
There's something for all of us here.
There's big work to do and there's lesser to do,
And the task we must do is the near.

If you can't be a highway then just be a trail,
If you can't be the sun be a star;
It isn't by size that you win or you fail--
Be the best of whatever you are!


Kerendahan Hati
oleh: Taufik Ismail


Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri


Setelah itu, muncul pernyataan Fadli Zon, keponakan Taufiq Ismail yang juga Ketua Ikatan Alumni (ILUNI) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI) yang terkesan memberi pembelaan terhadap Taufiq Ismail yang membisu saja dihujat berbagai pertanyaan. Katanya, Itu bukan puisi Taufiq Ismail. Karena dalam puisi tersebut nama penulisnya adalah Taufik Ismail, pakai "k" bukannya "q", jadi itu bukan miliknya. Sementara dalam sebuah berita di internet, saya baca Taufiq mengatakan bahwa ia tidak mau berkomentar apa-apa. "Sedang saya pelajari dulu," katanya.

Saya jadi bertanya. Kalau "Kerendahan Hati" memang bukan miliknya, seperti yang dianggap Fadli Zon begitu setidaknya, kenapa Taufiq Ismail yang pakai "Q" bukannya "K" itu harus repot-repot mempelajari dulu?

Setelah "marah-marah" tentang diskusi Lekra di PDS HB Jassin dengan sms yang jauh dari santun kata-katanya, lalu plagiat puisi, apalagi yang hendak dicari TaufiqIsmail? Sensasi? Oh, sungguh. Gerangan apa dengan dirimu, Simbah?!


Jakarta, 3 April 2011

Tuesday, March 29, 2011

Ada Racun Dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik Ismail

oleh Martin Aleida



“HU AR Rini Endo. Saya baca di Internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Semboja, tapi judul berikutnya yg lebih penting “ttg pengarang2 Lekra.” Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas (Taufiq Ismail).”



Pesan beracun, yang menghambur sejak Jumat dinihari, 25 Maret 2011, itu tidak hanya diterima oleh HU (Husseyn Umar), Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, AR (Ajip Rosidi), Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, serta Rini dan Endo masing-masing sebagai staf PDS HB Jassin. Racun itu menyebar cepat, sangat cepat, dan banyak. Wallahu alam, saya tak tahu berapa orang lagi yang menerima pesan itu. Saya kira, pastilah banyak! Karena, menjelang tengah malam pada hari Jumat, saya masih menerima SMS serupa yang diteruskan oleh Titiek, putri Pramoedya Ananta Toer. Kegemparan tidak hanya sampai di situ. Bagai serangan selepas Subuh, pukul 05.45, pagar rumah saya bergetar. “Pak Ajip…” bisik istri saya begitu membalik setelah mengintai siapa gerangan yang bertamu sepagi itu.  

Pagi itu pertemuan saya dengan Ajip dengan cepat mencapai puncak yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Juga tidak oleh tokek yang sudah kehabisan mangsa. Ajip meminta saya untuk membatalkan diskusi mejabudaya, yang dituduh Taufiq Ismail sebagai diskusi mengenai pengarang Lekra. Dia meminta perhatian khusus dari saya, karena PDS sedang menghadapi masa konsolidasi setelah Gubernur Fauzi Bowo berjanji akan menambah dana untuk kelangsungan hidup pusat dokumentasi sastra itu. Untung masih pagi, saya bisa mengendalikan diri menghadapi orang yang datang membawa kekuasaan dengan pongahnya. Yang mendesak saya untuk membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan teman-teman. Saya hela nafas, dalam. Ucap saya: “Diskusi itu diselenggarakan oleh kelompok diskusi mejabudaya yang sudah berdiri sejak delapan tahun lalu. Diskusi akan membahas kumpulan tulisan Asep Sambodja dalam buku yang baru diterbitkan Ultimus, judulnya ‘Asep Sambodja Menulis,’  sekaligus peringatan 100 hari meninggalnya penulis. Itu diskusi buku. Bukan diskusi Lekra. Kami juga mengirimkan undangan lewat SMS kepada Taufiq. Dia boleh datang untuk ikut membicarakan buku itu.”

Penjelasan saya itu dengan keras dibanting oleh Ajip dengan hardikan: “Saya sudah baca buku itu! Tak perlu penjelasan! Pokoknya harus dibatalkan! Pilihannya cuma dua, kalian membatalkan diri sendiri atau dibatalkan oleh Taufiq Ismail. Taufiq akan datang membawa pasukan!” Begitu meluapnya emosinya di pagi yang memang tidak sejuk itu, sehingga Ajip lupa mengatakan bahwa buku Asep itu dia terima dari saya dua hari yang lalu. Kutatap matanya beberapa detik, jangka watu yang cukup memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengatakan sesuatu kepada dirinya sendiri yang beresonansi untuk menenangkan hati orang yang sedang dibakar amarah, apalagi amarah yang membabibuta. 

Hati saya sesungguhnya sudah terketuk ketika Ajip mengatakan dalam suasana mengkonsolidasi diri, PDS memerlukan ketenangan, mencari kesempatan untuk merenung. Tetapi, ketika dia mengamangkan palu godam berapi yang diterimanya dari Taufiq Ismail bahwa mejabudayaharus bubar dengan acara Asep Sambodjanya, darah saya mendidih. Saya tarik nafas dalam-dalam. “mejabudaya itu bukan saya punya, dia tidak punya hirarki, tak ada ketua, tak ada sekretaris, dia bergerak karena ada yang menginginkan kemajuan, kebetulan saya yang  aktif. Nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman pesan Bung Ajp ini. Keputusan ada pada mereka.” Penulis besar dari Tatar Sunda itu, yang cerita-cerita pendeknya sudah saya nikmati ketika saya baru duduk di SMP, tiba-tiba menyodorkan pantatnya ke depan, menenangkan hatinya dengan mereguk secangkir teh yang sejak dari tadi mengamati dirinya. Ajip bangkit, mengucapkan terima kasih, melafalkan salam. Kuikuti dia melewati serambi. Kubukakan pintu pagarku, dan dia pergi menyeret langkah kakinya yang kelihatan seberat pohon kelapa.

Begitulah. Saya segera mengontak teman-teman mejabudaya, memberi tahu merekatentang Taufiq Ismail yang akan membawa laskar Munafiqin untuk membubarkan diskusi menghormati Asep Sambodja. Beberapa pegiat dan pemikir budaya juga saya kabarkan mengenai ancaman pembubaran diskusi buku itu. Membubarkan diri atau dibubarkan pasukan Taufiq Ismail. Tidak mengejutkan saya, ketika teman-teman mengatakan, “Biarkan dia yang membubarkan supaya publik tahu siapa yang biadab!”

Sebelum diskusi dimulai, secara kronologis saya ceritakan kepada sekitar 50 peserta diskusi tentang apa yang sedang terjadi. Diskusi yang diawali dengan pengantar yang dibawakan Okky Tirto, penyair-pemikir muda, dan penyair Sutikno W.S., mendapat tanggapan hangat dari hadirin. Adi Wicaksono, dan diperkuat oleh penulis-pemusik Vukar, mengatakan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Asep Sambodja selayaknya diteruskan dan diperdalam oleh para peneliti sesudahnya, untuk melengkapi sejarah secara lebih luas, terutama sejarah kesusastraan Indonesia.

Diskusi berlangsung hangat walau pikiran sebagian teman terpecah. Mata, sebentar-sebentar melirik ke pintu masuk, siap untuk menghadapi gempuran kaum Munafiqin. Tegang juga rasanya dengan kuda-kuda yang terus terpacak seperti senapan yang terus terkokang, sementara musuh tak kelihatan batang hidungnya.  Sebelum azan Magrib diskusi ditutup. Kuda-kuda mengurai ketegangannya. Taufiq Ismail yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, aaaah… Ternyata cuma gertak sambal (ijo). Kasihan Ajip Rosidi yang meneruskannya sampai repot-repot melangkahi bendul rumah saya.

Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga Taufiq menyebutkan saya “pewaris ideologi ular berbisa”? Sekitar dua tahun lalu saya undang dia lewat SMS untuk menghadiri peluncuran kumpulan cerita pendek saya, “Mati Baik-Baik, Kawan,” dan dia datang, mengkritik salah satu cerita yang dia anggap lemah, serta bertukar pandangan dengan Agung Ayu yang menjadi pembicara utama dalam acara yang berlangsung di PDS HB Jassin itu. (Peluncuran buku itu tak ada hubungannya denganmejabudaya.)

Saya masih ingat, ketika untuk pertama kali saya berkenalan dengan dia, semasa saya bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO, mungkin hanya sekedar basa-basi, Taufiq memuji salah satu cerita pendek saya yang dimuat Horison akhir 1960-an. Dia kelihatannya berubah setelah saya dua kali tampil bersama dia sebagai pembicara di dua seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia tentang sastra dan G30S, di mana saya secara tedeng aling-aling mengkritik sikapnya yang menutup mata terhadap ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia tak berdosa yang jadi korban setelah bencana politik itu. Dia berbicara dengan catatan yang dibuat begitu akurat, tentang Komunis yang mebantai di mana-mana, tapi tidak sudi menyebutkan bahwa mereka yang dituduh Komunis dan simpatisannya yang justru di pelupuk matanya sendiri, dia anggap sebagai TIDAK ADA! BUKAN MANUSIA! Juga sikap saya yang antagonis dengan pendiriannya berhadap-hadapan dengan Lekra dan gerakan kebudayaan pertengahan 1960-an dalam apa yang dinamakan rekonsiliasi Lekra-Manifes Kebudayaan yang berlangsung di Teater Utan Kayu beberapa waktu yang lalu.

“… Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas.” Itu mungkin selarik dari puisi mutakhir Taufiq Ismail. Namun, kalau tidak dibaca dengan sebuah konstruksi sastrawi, maka kata-kata dalam pesan singkatnya itu tak-bisa-tidak dia bersifat perintah terhadap pimpinan dan staf PDS HB Jassin. Barangkali, kata-kata eks Lekra yang berhasil “buang air besar” di PDS, maksudnya adalah diskusi senirupa yang diselenggarakan oleh Bumi Tarung Fans Club yang berlangsung di PDS, 12 Maret 2011, yang coba digagalkan oleh Taufiq dengan membujuk Ajip sang budayawan, dan mengintimidasi Rini, staf pusat dokumentasi yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki itu.

Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa “memberaki” siswa-siswa sekolah menengah atas melalui program sastrawan bicara siswa bertanya, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. “Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya Anda suarakan,” begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis. Hikhikhik…[Dendang lagu Melayu menerabas dari rumah sebelah, meninabobo, katanya, ‘Buyung, anakku seorang, sudahi banjir air matamu di sini saja… langit tak bakal runtuh.’] Saya tidak melihat titik air matanya dengan mata kepala saya sendiri. Tapi, itulah kata-kata imajiner yang saya pungut beterbangan di jalan-jalan, juga di langit.

Untuk dia selalu saya doakan, kalau program itu bisa berkibar lagi. Siapa tahu, suatu ketika setelah pasukan sekutu berhasil menekuk Libya, Ford Foundation berkenan mengucurkan bantuan untuk program yang berguna untuk siswa-siswa sekolah menengah atas itu. Cuma harus diingat selama ini program itu samasekali bertolak-belakang dengan pedagogi pendidikan, karena sastrawan yang disertakan hanyalah teman-teman sendiri. Sudah saatnya melepaskan diri dari kungkungan tempurung kepala dewek.

Saya ingin bertanya dari dokumentasi yang disimpan siapa ada catatan yang menyebutkan bahwa HB Jassin kehilangan nafkah gara-gara Lekra. Sejak kapan HB Jassin bekerja di bawah “pemerintahan” Lekra, sehingga kesalahannya harus diganjar pemecatan. Catatan dari mana yang mengatakan Lekra membawahi Lembaga Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di mana HB Jassin bekerja? Kawan, sekalipun sebuah khayalan, logika hendaknya terpateri kuat-kuat di sana.

“Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini?” gugat Taufiq Ismail. Saya ingin bertanya, sejak kapan Taufiq Ismail diberikan Pak Jassin kuasa penuh untuk menafsirkan perasaannya? Saya tidak dekat, dan berusaha tidak duduk persis di depan meja kerjanya, sejauh itu berkenaan dengan karya sastra. Saya, sebagai watawan majalah TEMPO, pernah dua kali mewawancarai HB Jassin awal 1970-an, ketika kritikus ternama ini dalam proses menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sebagai basa-basi, sebelum memulai wawancara, saya katakan bahwa tiga cerita pendek saya dimuat Horison, yang dia pimpin. Dia tidak bertanya tentang latar belakang saya. Dia cuma senyum. Hamsad Rangkuti, yang bekerja di Horison di bawah pimpinan HB Jassin, mengenal saya, sebagai orang sekampung di Tanjung Balai-Kisaran. Saya tak tahu, dan tak perlu bertanya ke pada Hamsad, apakah dia pernah menceritakan latar-belakang saya kepada Pak Jassin. Sama seperti saya, Hamsad percaya bahwa cerita pendek hidup dengan membawa kodratnya sendiri, dengan keyakinan bahwa setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata.

PDS HB Jassin dalam sorotan. Saya yang sejak pensiun sering mangkal di situ, menulis hampir seluruh cerita yang perah saya terbitkan, termasuk satu novel. Endo Senggono, sebagai staf PDS, telah membuka ruang baca seluas 300 m2 sebesar-besarnya sebagai rumah para sastrawan dan pekerja seni di berbagai bidang: senirupa, film, musik, teater yang masih muda-muda untuk mangkal di situ, di luar jam kerja. Endo kelihatannya sadar sejarah, bahwa para seniman memerlukan tempat mampir, sebagaimana para seniman tahun 1950-an menemukan rumah di Pasar Senen. Dewan Kesenian Jakarta, dengan ruang tamu, dan sekat-sekat enam komite kesenian terlalu elit buat disinggahi.
Endo telah menjadikan PDS sebagai “pusat budaya,” rumah bagi anak-anak muda yang berbakat tetapi masih terlantar. Hati saya terenyuh ketika Ajip Rosidi mengatakan dia akan berupaya memutasikan Endo ke Dinas Kebudayaan dengan jalan membujuk sang kepala dinas. Karena Endo dianggap sesat. “Saya tak tahu apa motif Endo untuk memberikan kebebasan bagi semua orang untuk memanfaatkan PDS,” katanya.

Sepuluh tahun lalu Ajip menunjuk Endo untuk menggantikan Oyon Sofyan sebagai kepala pelaksana PDS, karena Oyon dianggap membangkang, menolak kebijakan Yayasan, karena menurut Oyon, Yayasan datang belakangan sesudah lahirnya pusat dokumentasi HB Jassin. Dalam kiprahnya selama sepuluh tahun, Endo tidak bebas dari kesalahan. Dan mustahil. Mungkin sebuah sistem disiplin sebuah kantor sudah terluka karena pintu yang sudah dia buka dengan hati yang jujur. Manusia terlihat kocar-kacir di situ. Namun, dia sudah membangun sebuah rumah buat mereka yang ingin berkembang. Membuka jalan. Membebaskan diri dari keterlantaran. Kita akan menulis dan melantunkan sebuah ode jika Endo, yang hanya bisa melangkah dengan bantuan ketiak penyangganya, dijatuhkan sampai terjerembab. ***

Tuesday, March 15, 2011

In Bed With Ayu Utami

Oleh : Saut Situmorang


Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ?(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”!

Kesepuluh hal di atas merupakan (+1) “sikap politik seks”, “ideologi tempat tidur” yang mesti dipahami oleh setiap laki-laki yang ingin mengajak Ayu Utami tidur, walau cuma sekedar sebuah one-night-stand doang. Tapi tentu saja ada detil-detil lain yang juga mesti diperhitungkan oleh setiap laki-laki pemuja Si Parasit Lajang penulis novel sensasional Saman ini. Bukankah, kata orang, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya tidak meninggalkan kesan yang cukup menawan untuk dikenang? Cuma separuh ilusi, sesuatu yang cepat retak dan gagal menjadi abadi, menjadi fantasi. Easy-come-easy-go-ism.


Tubuh yang indah adalah sebuah foreplay yang mesti ada dalam ars sexu?lis à la Ayu Utami. Jangan nyatakan birahimu dengan sekuntum mawar merah, itu mah udah kuno hah! Say it with your body, your hard and beautiful body! Ingat kan pepatah itu: Good man is hard to find, but hard man is good to find! Sebagai laki-laki Dunia Ketiga, kau tentu suka nonton film action Hollywood atau mini-series di televisi, bukan? Nah, tipe laki-laki bertubuh ideal Utamian itu adalah si jago karate asal Belgia Jean-Claude van Damme (terutama waktu dia masih memakai gaya rambut cepak Magelangan itu) atau si dewa laut David “Baywatch” Haseldoff. Sexual politics posmo, atau post-Kate Millett feminism, telah mengharuskan laki-laki untuk juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan perempuan. Militer dan olahragawan adalah sexual symbols abad 21 ini, bagi Sang Ayu. Kekuasaan para senator-orator Athena sudah berlalu, sekarang adalah zaman para gladiator Sparta. Untuk produk lokal, mungkin semacam blasteran antara Taufik Hidayat dan… Wiranto! Jangan lagi jadi anggota Taman Bacaan dan tenggelam dalam komik (yang underground sekalipun), apalagi Kho Ping Hoo. Mulailah ikut aerobics atau Tae-Bo. Karena good man is hard to find, but hard man is (van damme) good to find!


Dulu perempuan adalah korban pasif dari ideologi wham bam, thanks mam perkawinan patriarki, tapi sekarang politik kesetaraan jender telah menciptakan para Parasit Lajang yang tahu dan memburu apa-apa yang mereka mau, khususnya soal anatomi tubuh. Revolusi selera ini juga bisa dilihat pada para selebriti pornografi terutama para artis film XXX, para bintang laki-laki BF, para superstar para Ayu Utami dunia.
Hal lain yang mesti diingat setiap laki-laki pemuja Parasit Lajang kontemporer adalah – nikmatilah seks! The pleasure of sex, kalau mau kebarthes-barthesian. Lakukanlah seks demi kenikmatan seks itu sendiri, sex for sex’s sake, bukan demi yang lain, apalagi demi mendapatkan keturunan. Kalau kau mampu nge-seks minimum 25 menit, dengan basa-basi awal tak lebih dari cuma 5 menit, maka kau sudah sangat dekat dengan fantasi Samanismemu! Kau sudah lulus ujian Kamasutra Jahudi yang berat itu! Kau sudah mengerti Sigmund Freudmu! Eureka!!!



Pernah nonton Sex and Zen, film alegori Buddhis yang berdasarkan novel paling lama yang pernah dicekal dalam sejarah peradaban manusia itu, yaitu sejak zaman Dinasti Ming Cina? Minimalisme koan Zen yang khas budaya samurai, dalam film tersebut, telah dikembalikan ke selera baroque fiksi wuxia daratan Tionggoan. Alegori menggantikan haiku, kungfu ketimbang kendo. Verbalisme ketimbang kematangan konsep. Feminisme radikal posmo yang dipretensikan oleh judul buku Si Parasit Lajang ternyata cuma mengingatkan saya pada slapstick pseudo-cersil Sex and Zen – yang dalam film tersebut dengan apik dibawakan oleh aktor eksil orang awak dari Petisah, Medan sono, Lo Lieh-locianpwe – tapi minus imajinasi film dimaksud.


Sangat sulit membayangkan betapa seorang novelis kontemporer, yang bahkan diklaim telah melakukan sebuah “revolusi estetika” dalam fiksi kontemporer Indonesia, ternyata begitu membosankan “coretan-coretan biografis pendeknya”, yang nota bene cuma ditulis untuk media cetak yang gaul, ngepop. Bahasa yang sama sekali nggak kita banget, terlalu prosais mirip tulisan-tulisan di majalah dinding sekolah menengah kota-kota besar Indonesia, plus isu-isu yang dalam perspektif “cultural studies koran” pun terasa begitu tidak newsgenic, cuma menambah kesan betapa permainan font, warna, dan ilustrasi Si Parasit Lajang terasa sangat superfisial, dibuat-buat, sekedar biar dianggap beda belaka. Arty-farty. Eufemisme pretensi kerendahhatian ambisi dalam disclaimer Pra-Gagas buku – bahwa Ayu Utami bercerita dengan “ringan” tentang “hal remeh yang merupakan jerawat di muka raksasa persoalan”, yaitu “berbagai peristiwa di sekitar” yang kita anggap “biasa” dan “cenderung” lewatkan, padahal “berasal dari persoalan besar yang sering tak [kita] sadari” – gagal untuk menyembunyikan klaim terselubung betapa besar sebenarnya misi yang dibayangkan diemban buku “Seks, Sketsa, & Cerita” Ayu Utami ini.


Sebuah contoh berikut ini saya harap bisa menunjukkan apa yang saya anggap sebagai salah satu kontra-diksi antara teks dan konteks yang merupakan persoalan besar yang tak disadari, mungkin karena dianggap “hal remeh” seperti yang dikesankan, tanpa ironi sedikitpun, oleh Pra-Gagas buku di atas.


Kalau kita hubungkan judul buku Si Parasit Lajang dengan kenyataan diri penulisnya yang hidup “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki, maka di manakah “kelajangan” yang diklaim begitu heroik sebagai sexual liberation yang dibedakannya secara hierarki nilai dari perkawinan konvensional itu? Istilah “lajang” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti seperti istilah “single” dalam bahasa Inggris, yaitu seseorang yang jangankan menikah, pacar pun gak punya. Jomblo 100%. Seseorang yang hidup sendiri tanpa pasangan, baik yang berbeda jenis kelamin (kalau heteroseksual, seperti Ayu Utami) ataupun yang berjeniskelamin sama (kalau homoseksual), atau “not involved in an established romantic or sexual relationship” menurut Oxford English Dictionary (OED). Bagaimana mungkin Ayu Utami bisa mengklaim dirinya sebagai seorang “lajang”, yang “parasit” lagi, padahal dia hidup kumpul kebo dengan seorang laki-laki! Kerancuan pemakaian istilah seperti ini cukup dominan dalam bukunya itu hingga menimbulkan kecurigaan atas pengetahuannya tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin justru karena kekurangpahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tulisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang dianggap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis, di budaya Barat sana! Sebuah parasitisme konseptual!

Wednesday, August 4, 2010

Sastra Adalah Fiksi

Karya sastra adalah sebuah karya fiksi. Seluruh aspek yang ada di dalamnya diberdayakan untuk membangun sebuah dunia imajiner. Mulai dari narasi, dialog, tema, plot hingga tokoh-tokohnya. Semuanya diupayakan agar yang hadir kemudian terasa seolah-olah benar dan nyata.

Seolah-olah karena kebenaran dalam sastra punya acuan tersendiri yaitu imajinasi. Kita tidak bisa mengatakan apa yang disuguhkan dalam sebuah karya sastra adalah fakta-yang menyiratkan "sesuatu yang sesungguhnya." Rene Wellek dan Austin Werren dalam bukunya Theory of Literature, mengatakan bahwa fakta adalah rangkaian ruang dan waktu terjadinya sebuah peristiwa. Bisa dikatakan bahwa fakta adalah peristiwa itu sendiri.

Pernyataan ini membawa kita pada pemahaman yang lebih jauh bahwa semua yang diceritakan ulang, baik lisan atau tulisan, atau juga gambar dan film, akan jatuh menjadi fiksi. Peristiwa yang kembali disajikan ulang tidak akan membeberkan keseluruhan peristiwa itu sendiri, pasti ada detail-detail yang hilang.

Dalam dunia jurnalistik pun kebenaran berdiri dalam pondasi yang rapuh. Dia akan sangat mudah tergelincir dalam kubangan dusta. Hal ini bisa terjadi karena himpunan data, posisi angle yang diambil si wartawan, atau data yang diberikan narasumber. Himpunan fakta dan data yang tersedia tidak serta merta menjadikan kenyataan yang dikabarkan, atau diceritakan ulang, menjadi sebuah kebenaran. Makanya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Elements of Journalism mengatakan kebenaran dalam jurnalisme bersifat fungsional. Dia akan jatuh dalam dusta, tapi justru posisi ini yang mengharuskannya merevisi kembali fakta dan data yang disampaikan.

Charles Dickens, melalui Vincent Crummels, tokoh dalam novel ketiganya, Nicholas Nickleby mengatakan "art is not truth, art is a lie, that reveals the truth." Sastra adalah dusta, yang mengungkap kebenaran yang ditemukan oleh pembacanya. Kebenaran itu tidak berada dalam tubuh sastra, tapi kita harus melampauinya untuk menemukan kebenaran itu. Maka referensi pembaca akan sangat penting dalam membaca.

Namun demikian, kita tidak bisa juga serta merta mengatakan apa yang ditulis seorang sastrawan adalah sebuah dusta. Sebab mungkin saja apa yang dituliskannya merupakan sebuah kebenaran dari apa yang diambil dalam kehidupan nyata. Apalagi jika kita mengingat Aristoteles dan Plato yang pernah berfatwa bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.



Dikutip dari tulisan Gema Yudha.

Tuesday, August 3, 2010

Perempuan (Istri) Dalam Pandangan Purba; Lawan!

Ayu Utami pada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya di Kompas, 3 Agustus, 2010 mengatakan bahwa ia tidak takut hidup sendiri. Tidak takut menjadi lajang, karena hidup melajang adalah sebuah pilihannya yang merupakan "keputusan politik." Ayu bukan seorang yang anti-pernikahan, sejauh pernikahan itu melindungi pihak yang lemah. Dikatakan, pihak yang lemah umumnya adalah perempuan. Dan kenyataannya, perkawinan sering kali justru menjadi lembaga yang menindas perempuan.

Ada stigma yang berkembang pada masyarakat kita. Stigma tentang perempuan yang tertekan karena tidak kunjung dapat suami. Stigma yang melecehkan mereka karena dianggap tidak laku, cerewet, judes, dan sebagainya. Karena stigma-stigma itu yang membuat perempuan jadi takut jika tidak menikah. Karena ketakutan itu yang membuat mereka rela menikah dengan laki-laki yang mereka tahu tidak akan membuat dirinya bahagia.

Maka seperti Ayu Utami pula saya ingin melawan stigma. Saya tidak ingin terkungkung di dalam stigma hanya agar dianggap normal. Memaksakan status "nikah" agar dianggap menjadi perempuan yang menjalankan praktek adat dalam masyarakat.

Pernikahan adalah sebuah praktek kebudayaan. Dimana dikatakan bahwa menjadi tugas manusia lah untuk berkembang biak demi melestarikan kelangsungan hidup generasinya. Maka dalam pernikahan pula seharusnya dilandasi cinta dan kepercayaan. Harus tetap ada ruang bagi individu yang menjalin pernikahan itu. Bagi saya pribadi, yang terpenting ialah bukan hanya sekadar memperoleh kebebasan pribadi tetapi lebih jauh lagi menumbuhkan kesadaran akan kesetaraan hubungan suami-istri dan kedirian sebagai manusia. Perempuan yang menikah harusnya bisa merasa nyaman dengan pasangannya. Bukan berarti harus bermimpi menjadi Cinderella yang hidup bahagia selama-lamanya. Tapi menikah adalah sebuah hubungan yang mengikat dua pihak. Dimana di dalamnya harus tetap ada ruang privasi dan menghormati satu sama lain. Pernikahan seharusnya bukan menjadi penjara bagi wanita.

Hidup di dalam sebuah dunia yang menjunjung tinggi patriarki, mewajibkan anggapan bahwa laki-laki mempunyai peranan lebih besar daripada perempuan, baik di dalam masyarakat atau pun di dalam sebuah rumah tangga, dan lebih sering memberikan pandangan bahwa seorang wanita dalam sebuah perkawinan hanyalah diposisikan sebagai nomor dua. Yang harusnya menuruti kata suami, menjadi pelayan yang mengatur rumah tangga, dan hanya mengurus hal-hal "kecil". Sementara suami lah yang mempunyai peranan besar, karena laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah, pemimpin rumah tangga, dan mengurus hal-hal "besar." Diskriminasi terhadap perempuan ini jelas-jelas pun dipaparkan pasal 31 ayat 3 dalam UU Perkawinan secara eksplisit yang mengatur posisi suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Dilihat dari aspek biologis, psikologis, dan metodologis perempuan yang selalu merupakan subordinat laki-laki. Ditambah adanya budaya Jawa yang menjadikan perempuan sebagai kanca wingking bagi laki-laki dengan tugas macak (dandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan). Seolah-olah perempuan adalah seseorang yang harus memenuhi, memelihara, dan menyelesaikan urusan rumah tangga. Stereotipe perempuan yang digambarkan sebagai mahluk lemah, mahluk nomor dua, mahluk penurut, mahluk yang harus dilindungi, sudah berabad-abad melekat dalam pemikiran kebanyakan orang, menjadikan itu sebagai sebuah doktrin budaya.

Menghapus stigma dan stereotipe semacam itu bukanlah PR yang mudah diselesaikan. Perempuan yang berani melawan stigma pun lebih sering dianggap sebagai perempuan pemberontak, perempuan yang tak nurut adat, perempuan pembangkang. Pandangan seperti itu yang akhirnya menjebloskan kembali perempuan ke lubang yang sama. Yang pada akhirnya memilih untuk mengalah lagi kepada pandangan masyarakat yang mayoritas.

Saya pribadi ingin mengatakan, pandangan dan stigma terhadap perempuan seperti di atas sepertinya sudah tidak cocok diberlakukan dalam masa modern kini yang menuntut kesetaraan gender. Maka, pada tulisan ini saya ingin mendukung pernyataan Ayu Utami; seharusnya perempuan tidak perlu takut terhadap stigma. Perempuan sendiri lah yang seharusnya yang berusaha membuktikan dan menghapus stereotipe yang sudah melekat terhadapnya, dengan menunjukan bahwa perempuan juga BISA!

Space Yourself!

Tulisan di bawah ini saya kutip dari Kompas, 1 Agustus 2010. Tulisan merupakan karya Samuel Mulia.



Teman saya bercerita kalau pacarnya suka sekali memeriksa akun Facebook, telepon seluler, dan BB-nya tanpa seizin dirinya. Ia bahkan tak segan-segan bangun pukul 03.00 hanya untuk melakukan kegiatan cek dan ricek itu. Teman saya melanjutkan ceritanya. "Pacarku itu posesif banget, Mas."

Privasi itu bermakna ruang pribadi dan mengandung sesuatu yang rahasia. Artinya, ruang yang tak diganggu dan tak berhak diganggu oleh siapa pun. Ruang yang dikuasai oleh saya dan anda sendiri. ...Mau nanti ruangnya dibakar, dilukis, didiamkan saja, itu urusan saya dan anda. Tak ada seorang di luar itu yang berhak mencampur adukkan dan tidak setuju karenanya, dan berkata dengan mudah itu tidak bermoral. Lah, wong katanya a space to yourself dan rahasia, yaaa... enggak perlu ada persetujuan siapa pun, bukan?

...kasus yang pertama mungkin karena cemburu dan si pacar memang jenis yang tidak setia sehingga ketakutan kalau ketidaksetiaan itu terjadi pada pasangannya sendiri. Katanya cemburu itu timbul karena ada cinta di dalamnya. Itu saya tak mengerti. Buat saya itu manipulatif. Wong cinta, kok cemburu? Cinta itu baik, cemburu itu tidak baik. Jadi, cemburu itu bukan timbul dari rasa cinta, tetapi dari rasa tak percaya. Tak percaya kepada diri sendiri dan tak percaya kepada pasangan hidup, maksudnya.

Adalah hak setiap orang memiliki ruang dan rahasianya sendiri. Kalau ada yang mengganggunya atas nama cinta, atas nama uang, dan atas nama apa pun, mungkin itu menunjukan, kalau yang mengganggu lupa bahwa di dunia ini orang harus saling menghormati. Atau mungkin, ia sendiri tak tahu apakah masih perlu menghormati dirinya sendiri.

Wednesday, April 28, 2010

Hidup Antara yang Fana dan Abadi


“Waktu itu fana, kata kalender. …Tetapi jam berpendapat lain. waktu itu abadi katanya.”



Itulah sepenggal percakapan antara Kalender dan Jam mengenai waktu di dalam cerita “Kalender dan Jam” yang terdapat dalam buku kumpulan cerita Pengarang Telah Mati karya Sapardi Djoko Damono.

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. sebagian besar orang mungkin lebih mengenal Sapardi sebagai seorang penyair puisi dibandingkan dengan penulis cerita. Sapardi mulai menulis puisi sejak ia duduk di kelas 2 SMA. Sajak pertamanya dimuat pertama kali di tabloid Pos Minggu Semarang pada tahun 1957. Ia melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Ia sudah begitu banyak menghasilkan puisi. Karya-karyanya sangat terkenal di dunia kesusastraan Indonesia. Duka-mu Abadi, Mata Pisau & Akuarium, Perahu Kertas, Sihir Hujan, dan Hujan Bulan Juni merupakan beberapa buku kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan.

Beberapa puisi Sapardi juga pernah dimusikalisasikan sejak tahun 1990. Hujan Bulan Juni (1990), Hujan Dalam Komposisi (1996), Gadis Kecil (2005), dan Becoming Dew (2007) adalah sajak-sajak Sapardi yang dinyanyikan dan dimuat dalam cd dan kaset.

Sajak-sajaknya tidak saja dikenal di Indonesia tetapi juga di luar negeri seperti, Malaysia. Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Jepang, Belanda, Cina, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Beberapa karyanya juga pernah diterbitkan di Malaysia dan Jepang.

Karya-karya Sapardi telah banyak mendapat penghargaan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Antara lain: Anugerah Puisi Putera dari Malaysia 1983, SEA Write di Bangkok, Thailand 1986, Hadiah Dewan Sastra Kesenian Jakarta 1984, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1990.

Kini ia masih mengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.



Belakangan ini ia juga menulis cerpen. Pengarang Telah Mati (2001) dan Membunuh Orang Gila (2003) adalah buku kumpulan cerpennya. Dalam buku kumpulan Pengarang Telah Mati terdapat 28 cerita pendek. Salah satunya adalah “Kalender dan Jam”. Dari awal cerita ini tokoh Jam dan Kalender hanya memperdebatkan masalah waktu; apakah fana atau abadi.

Melalui cerita ini kita bisa melihat bahwa kehidupan ini tidaklah lepas dri waktu. Kehidupan yang berputar pun, tanpa kita sadari, sesungguhnya telah melewati waktu. Setiap orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda tentang waktu itu sendiri. Entah apakah waktu itu sesungguhnya fana atau abadi, setiap orang dan segala yang hidup di dunia ini, yang melewati kehidupan ini pastinya juga berada di dalam waktu.



Cerita yang ditulis oleh Sapardi sesungguhnya menarik. Penggunaan kata-kata yang dpilih dan gaya bahasa yang digunakan begitu mempesona. Hal ini membuat cerita-ceritanya terkadang terasa seperti puisi, ketika menulis sebuah cerita maka akhirnya terasa seperti sebuah puisi juga.

Jika melihat cerita “Kalender dan Jam” yang membicarakan tentang waktu ini, mungkin kita dapat membandingkan dengan puisi Sapardi yang berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”.



“Yang fana adalah waktu, kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

‘Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?’

tanyamu. Kita abadi.”



Dalam puisi ini pun, yang dibicarakan juga mengenai waktu. Tapia pa masalahnya jika waktu itu fana atau abadi? Bukankah kita akan tetap melewatinya di dalam kehidupan?

Seperti ketika Jam dan Kalender mempermasalahkan pula tentang proses mekarnya bunga wijaya kusuma dalam cerita ini. Kalender mengatakan bahwa itu adalah upacara kematian, tapi kata Jam itu adalah proses kelahiran, sementara lelaki di dalam cerita itu mengatakan bahwa itu adalah kesabaran, keindahan, dan permainan. Itulah hidup bukan? Ada kelahiran dan kematian tapi juga sekaligus permainan. Persepsi setiap orang tentunya boleh berbeda tentang kehidupan.

Sebuah paradoks yang bisa kita lihat dari cerita ini adalah masalah permainan waktu, yang disimbolkan dengan bunga wijaya kusuma. Kita melihat adanya perbedaan persepsi antara Kalender dan Jam tentang proses mekarnya bunga tersebut.

Jika melihat dari sudut pandang Kalender (dalam cerita ini tokoh Kalender digambarkan sebagai kalender sobek), ia mengatakan bahwa itu adalah proses kematian. Melihat kebiasaan pada umumnya, biasanya orang mengganti atau menyobek kalender di pagi hari. Melalui hal ini kita bisa melihat Kalender merasa bahwa pagi hari adalah waktu dimana hari kemarin telah berakhir (melambangkan kematian). Bunga wijaya kusuma pun akan layu di pagi hari.

Sementara melihat dari sudut pandang Jam, yang mengatakan bahwa proses mekarnya bunga wijaya kusuma merupakan proses kelahiran,mugkin juga benar. Jam selalu berputar. Bagi Jam, awal hari yang baru adalah saat tengah malam (pukul 00.01, dimana bunga wijaya kusuma pun mekar di tengah malam). Karena itu Jam mengatakan bahwa itu adalah proses kelahiran (dimana sesuatu baru saja dimulai).



Terkadang maksud dari cerita-cerita Sapardi memang sulit untuk dimengerti. Namun Sapardi tetap saja mampu membuat para pembacanya merasa tertarik untuk membaca cerita-ceritanya. Sapardi sungguh cerdik memang. Ia mampu menggambarkan benda-benda mati seperti kalender, jam, kaset, minyak tawon, cd, dll, menjadi begitu hidup sebagai tokoh di dalam ceritanya.

Dalam cerita ini kita bisa melihat bagaimana Sapardi menggambarkan benda mati seperti jam dan kalender yang justru “dihidupkan”. Tokoh Jam dan Kalender diperlihatkan begitu aktif. Sebagai benda mati mereka justru memperdebatkan masalah waktu. Tapi sebaliknya, tokoh lelaki di dalam cerita ini, yang merupakan mahluk hidup, justru “dimatikan”.

Tokoh lelaki digambarkan begitu pasif di dalam cerita ini. Sebagai mahluk hidup yang menjalani waktu ia “dipasifkan” di antara perdebatan Jam dan Kalender tentang waktu. Kita bisa melihat bahwa tidak ada dialog sama sekali untuk tokoh lelaki pada cerita “Kalender dan Jam” ini.

Kebanyakan tokoh di dalam buku Pengarang Telah Mati ini pun tidak menggunakan manusia sebagai tokoh utamanya. Sapardi menggunakan daun, bulan, bis kota, gerimis, dll, sebagai tokohnya. Hal ini mungkin tidak biasa di dalam sebuah cerpen. Tapi, toh, Sapardi tetap menganggap ini sebagai sebuah cerita bukannya puisi. “Niat saya memang menulis puisi tetapi cerita. Jadi saya anggap yang saya tulis itu cerita.” katanya di dalam kata pengantar buku ini.

Mungkin bagi para pembaca yang awam akan dunia puisi pasti akan terasa sedikit “aneh” saat membaca cerita-cerita Sapardi di dalam buku Pengarang Telah Mati. Seperti cerita “Kalender dan Jam” yang hanya meributkan tentang waktu, atau dalam cerita “Daun” yang hanya sibuk membahas tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab bahwa daun berwarna hijau. Cerita-cerita semacam ini tentunya sedikit berbeda dengan cerita-cerita kebanyakan. Tapi tentunya Sapardi memiliki maksud tersendiri di dalam cerita-ceritanya ini.

Dalam menulis puisinya pun, Sapardi sering kali menggunakan objek-objek alam, yang isinya tak jauh dari alam, kehidupan, manusia, Tuhan, dan cinta. Hal ini juga lah yang begitu terasa di dalam cerita-ceritanya.

“Prosa yang puitis, puisi yang prosais” (pernah dikatakan oleh seorang penulis artikel di Kompas untuk karya-karya Sapardi) mungkin memang gambaran yang sangat tepat bagi karya-karya Sapardi. Di dalam puisi-puisinya terkadang para pembaca seolah seperti membaca sebuah cerita, begitu pula sebaliknya, ketika membaca ceritanya terasa seperti membaca sebuah puisi (begitu singkat dan kata-kata yang begitu puitis).



Pengarang Telah Mati mungkin memang merupakan judul yang sangat tepat untuk buku kumpulan cerpen ini. Cerita-cerita Sapardi yang begitu puitis terkadang membuat para pembacanya memiliki persepsi yang berbeda-beda akan makna dan isi dari cerita tersebut. Itulah maksudnya “pengarang telah mati”. Sapardi di sini sebagai penulis membiarkan pembacanya memiliki persepsi masing-masing atas karyanya itu, dan pengarang dalam hal ini, memang telah mati, tidak ada hubungannya lagi dengan segala persepsi pembacanya itu.



Pada akhirnya pun usaha Sapardi untuk membuat cerita patut dihargai. Bagaimana pun karya-karyanya, entah puisi maupun cerita, tetap mampu diminati oleh pembacanya.