Wednesday, April 28, 2010

Hidup Antara yang Fana dan Abadi


“Waktu itu fana, kata kalender. …Tetapi jam berpendapat lain. waktu itu abadi katanya.”



Itulah sepenggal percakapan antara Kalender dan Jam mengenai waktu di dalam cerita “Kalender dan Jam” yang terdapat dalam buku kumpulan cerita Pengarang Telah Mati karya Sapardi Djoko Damono.

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. sebagian besar orang mungkin lebih mengenal Sapardi sebagai seorang penyair puisi dibandingkan dengan penulis cerita. Sapardi mulai menulis puisi sejak ia duduk di kelas 2 SMA. Sajak pertamanya dimuat pertama kali di tabloid Pos Minggu Semarang pada tahun 1957. Ia melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Ia sudah begitu banyak menghasilkan puisi. Karya-karyanya sangat terkenal di dunia kesusastraan Indonesia. Duka-mu Abadi, Mata Pisau & Akuarium, Perahu Kertas, Sihir Hujan, dan Hujan Bulan Juni merupakan beberapa buku kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan.

Beberapa puisi Sapardi juga pernah dimusikalisasikan sejak tahun 1990. Hujan Bulan Juni (1990), Hujan Dalam Komposisi (1996), Gadis Kecil (2005), dan Becoming Dew (2007) adalah sajak-sajak Sapardi yang dinyanyikan dan dimuat dalam cd dan kaset.

Sajak-sajaknya tidak saja dikenal di Indonesia tetapi juga di luar negeri seperti, Malaysia. Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Jepang, Belanda, Cina, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Beberapa karyanya juga pernah diterbitkan di Malaysia dan Jepang.

Karya-karya Sapardi telah banyak mendapat penghargaan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Antara lain: Anugerah Puisi Putera dari Malaysia 1983, SEA Write di Bangkok, Thailand 1986, Hadiah Dewan Sastra Kesenian Jakarta 1984, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1990.

Kini ia masih mengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.



Belakangan ini ia juga menulis cerpen. Pengarang Telah Mati (2001) dan Membunuh Orang Gila (2003) adalah buku kumpulan cerpennya. Dalam buku kumpulan Pengarang Telah Mati terdapat 28 cerita pendek. Salah satunya adalah “Kalender dan Jam”. Dari awal cerita ini tokoh Jam dan Kalender hanya memperdebatkan masalah waktu; apakah fana atau abadi.

Melalui cerita ini kita bisa melihat bahwa kehidupan ini tidaklah lepas dri waktu. Kehidupan yang berputar pun, tanpa kita sadari, sesungguhnya telah melewati waktu. Setiap orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda tentang waktu itu sendiri. Entah apakah waktu itu sesungguhnya fana atau abadi, setiap orang dan segala yang hidup di dunia ini, yang melewati kehidupan ini pastinya juga berada di dalam waktu.



Cerita yang ditulis oleh Sapardi sesungguhnya menarik. Penggunaan kata-kata yang dpilih dan gaya bahasa yang digunakan begitu mempesona. Hal ini membuat cerita-ceritanya terkadang terasa seperti puisi, ketika menulis sebuah cerita maka akhirnya terasa seperti sebuah puisi juga.

Jika melihat cerita “Kalender dan Jam” yang membicarakan tentang waktu ini, mungkin kita dapat membandingkan dengan puisi Sapardi yang berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”.



“Yang fana adalah waktu, kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

‘Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?’

tanyamu. Kita abadi.”



Dalam puisi ini pun, yang dibicarakan juga mengenai waktu. Tapia pa masalahnya jika waktu itu fana atau abadi? Bukankah kita akan tetap melewatinya di dalam kehidupan?

Seperti ketika Jam dan Kalender mempermasalahkan pula tentang proses mekarnya bunga wijaya kusuma dalam cerita ini. Kalender mengatakan bahwa itu adalah upacara kematian, tapi kata Jam itu adalah proses kelahiran, sementara lelaki di dalam cerita itu mengatakan bahwa itu adalah kesabaran, keindahan, dan permainan. Itulah hidup bukan? Ada kelahiran dan kematian tapi juga sekaligus permainan. Persepsi setiap orang tentunya boleh berbeda tentang kehidupan.

Sebuah paradoks yang bisa kita lihat dari cerita ini adalah masalah permainan waktu, yang disimbolkan dengan bunga wijaya kusuma. Kita melihat adanya perbedaan persepsi antara Kalender dan Jam tentang proses mekarnya bunga tersebut.

Jika melihat dari sudut pandang Kalender (dalam cerita ini tokoh Kalender digambarkan sebagai kalender sobek), ia mengatakan bahwa itu adalah proses kematian. Melihat kebiasaan pada umumnya, biasanya orang mengganti atau menyobek kalender di pagi hari. Melalui hal ini kita bisa melihat Kalender merasa bahwa pagi hari adalah waktu dimana hari kemarin telah berakhir (melambangkan kematian). Bunga wijaya kusuma pun akan layu di pagi hari.

Sementara melihat dari sudut pandang Jam, yang mengatakan bahwa proses mekarnya bunga wijaya kusuma merupakan proses kelahiran,mugkin juga benar. Jam selalu berputar. Bagi Jam, awal hari yang baru adalah saat tengah malam (pukul 00.01, dimana bunga wijaya kusuma pun mekar di tengah malam). Karena itu Jam mengatakan bahwa itu adalah proses kelahiran (dimana sesuatu baru saja dimulai).



Terkadang maksud dari cerita-cerita Sapardi memang sulit untuk dimengerti. Namun Sapardi tetap saja mampu membuat para pembacanya merasa tertarik untuk membaca cerita-ceritanya. Sapardi sungguh cerdik memang. Ia mampu menggambarkan benda-benda mati seperti kalender, jam, kaset, minyak tawon, cd, dll, menjadi begitu hidup sebagai tokoh di dalam ceritanya.

Dalam cerita ini kita bisa melihat bagaimana Sapardi menggambarkan benda mati seperti jam dan kalender yang justru “dihidupkan”. Tokoh Jam dan Kalender diperlihatkan begitu aktif. Sebagai benda mati mereka justru memperdebatkan masalah waktu. Tapi sebaliknya, tokoh lelaki di dalam cerita ini, yang merupakan mahluk hidup, justru “dimatikan”.

Tokoh lelaki digambarkan begitu pasif di dalam cerita ini. Sebagai mahluk hidup yang menjalani waktu ia “dipasifkan” di antara perdebatan Jam dan Kalender tentang waktu. Kita bisa melihat bahwa tidak ada dialog sama sekali untuk tokoh lelaki pada cerita “Kalender dan Jam” ini.

Kebanyakan tokoh di dalam buku Pengarang Telah Mati ini pun tidak menggunakan manusia sebagai tokoh utamanya. Sapardi menggunakan daun, bulan, bis kota, gerimis, dll, sebagai tokohnya. Hal ini mungkin tidak biasa di dalam sebuah cerpen. Tapi, toh, Sapardi tetap menganggap ini sebagai sebuah cerita bukannya puisi. “Niat saya memang menulis puisi tetapi cerita. Jadi saya anggap yang saya tulis itu cerita.” katanya di dalam kata pengantar buku ini.

Mungkin bagi para pembaca yang awam akan dunia puisi pasti akan terasa sedikit “aneh” saat membaca cerita-cerita Sapardi di dalam buku Pengarang Telah Mati. Seperti cerita “Kalender dan Jam” yang hanya meributkan tentang waktu, atau dalam cerita “Daun” yang hanya sibuk membahas tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab bahwa daun berwarna hijau. Cerita-cerita semacam ini tentunya sedikit berbeda dengan cerita-cerita kebanyakan. Tapi tentunya Sapardi memiliki maksud tersendiri di dalam cerita-ceritanya ini.

Dalam menulis puisinya pun, Sapardi sering kali menggunakan objek-objek alam, yang isinya tak jauh dari alam, kehidupan, manusia, Tuhan, dan cinta. Hal ini juga lah yang begitu terasa di dalam cerita-ceritanya.

“Prosa yang puitis, puisi yang prosais” (pernah dikatakan oleh seorang penulis artikel di Kompas untuk karya-karya Sapardi) mungkin memang gambaran yang sangat tepat bagi karya-karya Sapardi. Di dalam puisi-puisinya terkadang para pembaca seolah seperti membaca sebuah cerita, begitu pula sebaliknya, ketika membaca ceritanya terasa seperti membaca sebuah puisi (begitu singkat dan kata-kata yang begitu puitis).



Pengarang Telah Mati mungkin memang merupakan judul yang sangat tepat untuk buku kumpulan cerpen ini. Cerita-cerita Sapardi yang begitu puitis terkadang membuat para pembacanya memiliki persepsi yang berbeda-beda akan makna dan isi dari cerita tersebut. Itulah maksudnya “pengarang telah mati”. Sapardi di sini sebagai penulis membiarkan pembacanya memiliki persepsi masing-masing atas karyanya itu, dan pengarang dalam hal ini, memang telah mati, tidak ada hubungannya lagi dengan segala persepsi pembacanya itu.



Pada akhirnya pun usaha Sapardi untuk membuat cerita patut dihargai. Bagaimana pun karya-karyanya, entah puisi maupun cerita, tetap mampu diminati oleh pembacanya.

No comments:

Post a Comment