Wednesday, April 28, 2010

Perempuan Hujan Jatuh Cinta


Perempuan hujan sudah rindu dengan bau tanah basah. Ia rindu awan-awan mendung menemaninya menangis, menyamarkan airmatanya. Ia ingin menari-nari saat awan mulai menangis, meriangkan hatinya di dalam derasnya hujan. Membiarkan tubuhnya basah, merasakan arus-arus dingin di sekujur tubuhnya, ia rela hujan merasukinya. Perlahan ia ingin melupakan dan membuang jauh masalahnya. Ia ingin jatuh cinta hanya kepada hujan.

***



“Di sana hujan kah? Di sini jangankan hujan, Mas, gerimis saja malas mampir.”



“Iya. Hujan deras sekali.”



“Aku sudah kangen sama hujan, Mas. Tapi rasanya hujan masih lama datang. Mendung saja gak ada.”



“Panggil saja, pasti hujan datang. Lahirkan hujan dalam dirimu.



“Bagaimana caranya melahirkan hujan dari dalam diriku?”



“Ambil hujan di luar, rasakan airnya, rasakan basahnya, nikmati gigil dinginnya dan ikutkan arus rasa yang menjalari dirimu. Jadikanlah engkau kebasahan itu.”



“???…. Aku ga ngerti, Mas!”



“Pernah baca kumpulan cerpen ‘Hujan Menulis Ayam,’ Sutardji Calzoem Bahri?”



“Belum. Kenapa?”



“Nanti ada waktunya kamu akan mengerti.”



***



Perempuan itu bimbang. Ragu akan rasanya. Ia sadar, perlahan ia jatuh cinta kepada lelaki itu. Namun ia tak ingin lelaki itu terluka nantinya, sebab ia tahu bahwa tak mampu ia mencintai sepenuh hati. Ia tak kuasa menghalang. Ia ingin jatuh cinta kepadanya. Membalas rasanya. Berada dalam pelukan hangatnya dan mengatakan bahwa ia juga cinta.



Lelaki itu mencintainya. Ia tahu itu. Apa pun keadaannya, lelaki itu selalu ada untuknya. Membagi rasanya. Menemaninya. Mencintainya. Sementara Perempuan hujan itu masih ragu akan rasa dan bimbang akan rindu yang tak menentu. Jika lelaki itu sehari saja tak ada, ia risau, lalu rindu.



Ia sadar tak boleh membiarkan dirinya jatuh dalam rasa cinta kepada lelaki itu. Sebab nanti rasanya hanya akan buatkan luka dan derita bagi yang ia cinta. Sebab itu ia menahan rasa. Walaupun sesungguhnya ingin pula ia mencinta. Egoiskah ia?



Perempuan hujan itu selalu ingin lelaki itu memberi perhatian padanya, layaknya seorang kekasih. Malam ini ia bertengkar karena merasa diabaikan. Segala bujuk rayu akhirnya tercurah dari bibir lelaki itu, tapi rasa merajuknya lebih kuat dari segala bujuk rayu lelaki manapun. Ia tetap bergeming. Terus-terusan marah. Sampai lelaki itu muak jadinya. Lalu mengutukinya sebagai perempuan egois.



***

“Terus Mas belum mau pulang? Hari ini kan hari Jumat, biasanya orang-orang ingin pulang cepat. Lha kok ini malah betah di kantor.”



“Aku sebenarnya sudah mau pulang, tapi hujan deras sekali. Pandanganku tidak terlalu bagus kalau hujan deras. Aku ini minus 6,5 lho. Lagian aku bukan betah di kantor, tapi betah sama kamu, hehehe…”



“Halaaah… Bisa aja alasannya.”



“Bener kok, aku betah ngobrol sama kamu. Kadang kesepian membuat orang mampu dan ingin mengenal orang lain lebih dekat lagi.”



“Mas, aku boleh tanya pendapat?”



“Tentu saja.”



“Jika ada seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan. Kemudian dengan segala alasan perempuan itu selalu menolaknya. Sesungguhnya ia juga cinta. Namun ia sadar tak boleh membiarkan dirinya jatuh cinta kepada lelaki itu, karena nantinya hanya akan melukainya. Karena perempuan itu sadar ia tak mampu mencintai sepenuh hati. Jadi terus berusaha untuk tidak jatuh cinta. Walaupun sesungguhnya perasaan itu tidak bisa dihalang. Yang perempuan tidak mau kehilangan perhatian lelaki itu, tetapi tidak bisa menerima lelaki itu juga, tidak bisa membalas rasanya. Pertanyaannya… Egoiskah perempuan itu?”



“Tidak.”



“Kenapa tidak?”



“Kalau egois, dia akan ikuti perasaannya, meski akibatnya lelaki itu akan terluka. Kalau egois, dia akan turutkan cintanya, meski tak bisa memberi sepenuh hati.”



“Tapi kan perempuan itu tidak mengizinkan lelaki itu mencintai dia. Tapi ia tetap ingin perahtian itu ada. Sementara si lelaki selalu dengan setia membaginya. Apa tidak egois namanya?”



“Kalau dia masih takut lelaki itu terluka, dia tidak egois. Tapi kalau aku jadi lelaki itu, aku akan tetap berusaha mendapatkan cintanya, meskipun tahu akan terus dilukai, disakiti, diberdarahi, dikhianati, dicueki, diapain pun. Karena mencintai adalah memberi, bukan mendapatkan.”



“….”



“Non cantik, besok kita sambung lagi ya? Supir kantor sudah ngantuk, kasihan menunggku. Terima kasih ya telah menemani malam ini. Thanks bgt, sepi dan hujan, kau wakafkan waktumu untuk jadi temanku. Aku pamit dulu. Bye…”



“Oke, sama-sama, Mas.Aku juga terima kasih.”



***



Perempuan hujan itu menangis malam ini, tapi hujan juga tak datang menemani. Ia marah pada segalanya. Ia marah pada hujan, sebab tak kunjung juga datang saat ia ingin tangisnya disamarkan rintiknya. Ia marah pada Tuhan, sebab berikan segala rasa yang tak bahagia. Cinta tak pernah indah untuknya. Selalu saja derita dan sengsara. Perempuan itu hanya ingin mencinta atau dicinta. Tapi saat ia mencinta yang ada hanya cinta tak berbalas, sementara kala ia dicinta ia yang tak mampu membalas.



Ia sesungguhnya mencintai, Al. Ia hanya tak ingin Al terluka nantinya sebab rasanya yang mungkin masih ragu-ragu. Mereka terlalu jauh terbentang jarak, itu salah satu alasan Perempuan hujan itu menahan rasa.



“Al, tau kah kenapa aku tak bisa mencintaimu lebih dari sekadar kawan?”



“Tak tahu.”



“Sebab aku tak ingin menyakitimu nantinya. Taukah kamu bedanya mencintai dan dicintai?

Yang mencintai selalu ingin membagi, rela terluka, rela sengsara demi yang dicinta. Sementara yang dicinta tak ingin yang mencinta sengsara, terluka, dan menderita.”



“Kamu ingin mencintai saya kah? Saya kah yang dicintai?”



“Ketika tadi kamu mengatakan bahwa aku begitu egois, aku sadar. Selama ini aku memang selalu begitukan kepadamu?”



“You want me to say things honestly?”



“Apa?”



“Kamu selalu ingin saya memperlakukan kamu seperti layaknya kekasih saya, ingin saya selalu ada setiap kamu ingin, tapi jika saya yang ingin kamu ada untuk saya, kamu tak boleh buat seperti itu. Lain hal jika kita ini memang betul-betul sebuah pasangan. Saya mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab dan peduli kepada kamu.”



“Ya. Semua yang kamu bilang memang benar. Aku tidak tahu kenapa begitu, Al.”



“Itu lah, kamu tidak pernah menyatakan apa-apa kepada saya.”



“Because I can’t! You know, I can’t love you because I don’t want to hurt you.”



“ Because we’re far away?”



“Yeah, that’s one of my reasons. Too much reason for me, Al. We are too far.”



“We can take it slowly”



“No, I can’t! I just can’t…”



***



… 4 bulan kemudian …



Perempuan hujan itu jatuh cinta lagi. Kepada lelaki yang selama ini hanya menemaninya kala mereka sama-sama merasa sepi. Lelaki yang ia tahu juga mencintai hujan, tanpa tau pasti apa alasannya. Lelaki yang pernah mengajarinya bagaimana melahirkan hujan dari dalam dirinya. “Lelaki Hujan” - itu sebutan untuknya.



Sudah 4 bulan terakhir ini perempuan hujan selalu berusaha melupakan Al, yang dicintanya. Ia hanya berbagi kisahnya kepada “lelaki hujan.” Ia merinduinya dalam bayang-bayang. Ia ingin menari bersamanya ketika hujan turun nanti. Perempuan hujan dan Lelaki Hujan berdansa mesra dalam nyanyian guntur dan senandung awan mendung. Namun hujan tak kunjung datang. Sampai kapan ia menunggunya? Sementara rindunya akan basah dan wangi tanah sudah tak tahu malu lagi datang setiap hari. Apakah hujan sudah tak setia lagi untuknya? Bila ia menangis lagi siapa yang akan menemani?



Perempuan hujan itu menyimpan rasa takut, takut untuk mencintai si Lelaki Hujan. Sebab ia tahu cinta tak pernah bersahabat baik dengannya. Akankah ia kehilangan lagi segala nanti?



“Seandainya aku masih lajang, aku pasti datang saat hujan tak hadir untukmu. Memberi sejuk yang sama nyamannya ketika gerimis menyapu wajahmu. Memberikan gigil yang sama dinginnya ketika hujan membasahimu. Menyamarkan tangismu dalam pelukanku. Tapi aku tak bisa meninggalkan wanita ini.”



“Tapi, Mas… Aku mencintaimu. Tidakkah kau juga ingin datang? Hujan sudah lama tak setia padaku lagi, apa kau juga hendak pergi?”



“Percayalah, aku akan selalu disini. Walaupun aku tak di sisimu. Dengarlah, Non, engkau Mentari, walaupun hujan tak menemani tapi kan awan berseri. Seharusnya kau bersenang hati. Tapi, wanita ini, sungguh, aku tak mampu meninggalkannya.”



“Kenapa, Mas? Apa karena saat ia menangis hanya kamu yang mampu menyamarkan airmatanya? Apakah rintihannya lebih merdu dari gerimis. Apakah berada di sisinya lebih teduh dari langit mendung? Aku tak mengerti, Mas! Kamu tahu aku mencintaimu, Lelaki Hujan-ku. Kamu membiarkan aku jatuh cinta kepadamu seperti aku cinta kepada hujan. Tapi sekarang kau biarkan aku sendiri dengan rasa ini.”



***



Perempuan hujan hanya ingin jatuh cinta kepada hujan saja. Hanya pada awan mendung dan rintik gerimis. Ia tak ingin lagi Al atau pun Lelaki Hujan-nya. Ia yakin hujan sebentar lagi datang, kembali menyapanya, dan menemaninya menari dalam deras rintik-rintiknya. Ia tak peduli pada sakitnya, ia tak hirau lagi pada tangisnya sebab hujan samarkan airmatanya. Ia relakan hujan merasukinya. Merasakan mereka satu, menari, dalam iringan nyanyian guruh menyambar.



Ia rasakan perlahan rintik-rintik gerimis membasahi kepalanya, terus mengalir membasahi tubuhnya. Petir menyeru kepadanya, memberitahukan hujan siap datang menyapa. Perempuan hujan itu berlari keluar. Ia sungguh-sungguh dimabuk cinta, pada kekasihnya yang sudah lama tak kunjung datang. Di luar rumahnya ia tengadah, awan mendung telah kembali. Atap gentingnya perlahan merintik. Lalu wangi tanah basah itu menyeruak timbul menguasainya, wangi rumput dan harum angin itu. Perempuan hujan terus menari, menangis tak berhenti. Ia luahkan semua rindunya. Ia selalu percaya pada kekasihnya, meski nanti ia pergi lagi dan hanya meninggalkan kemarau. Tapi ia akan selalu kembali. Laksana rahim kemarau yang senantiasa melahirkan hujan.



Perempuan hujan itu tau, ia takkan pernah sendiri…

No comments:

Post a Comment