Thursday, August 29, 2013

Lahirnya Langit - Part 3: Keajaiban Hypnobirthing


Saya hanya bisa tersenyum dan tak berhenti kagum setiap kali saya mengingat proses ketika saya melahirkan Langit. Tuhan sungguh Maha Besar.

Ketika saya hamil, saya membaca banyak buku dan informasi tentang kehamilan dan persalinan. Salah satunya yang paling saya fokuskan mengenai Hypnobirthing. Teknik dimana yang kata banyak orang mampu melahirkan tanpa rasa sakit. "Apa iya?" itu yang dulu ada di dalam pikiran saya. Mengikuti kelas Hypnobirthing, tapi kemudian kadang terbersit rasa ragu. Berlatih relaksasi dan yoga, tapi kemudian kadang tetap merasa takut. Wajar sih, saya kira. Namun dibalik semua keraguan dan ketakutan saya yang kadang-kadang itu tersimpan lebih banyak semangat, keyakinan, percaya diri dan doa-doa yang selalu ditinggikan. Sekarang kalau ada yang bertanya bagaimana proses melahirkan saya kemarin? Sakit? Saya dengan mantap akan bilang, GAK SAKIT!

Sebagian orang mungkin terlalu naif untuk percaya apa iya melahirkan bisa gak merasa sakit. Sebagian lagi mungkin bilang, sakit sih tetap sakit, cuma bagaimana kita mengontrol rasa sakit itu sedemikian rupa agar terasa nyaman. Dulu, saya bilang yang kedua. Tapi sekarang saya bilang, memang proses melahirkan Langit tidak terasa sakit.

Mulas, memang. Tapi mulas yang rasanya seperti orang ingin buang air besar, lalu ada perasaan ingin mengejan, merasa seperti ada sesuatu di dalam yang ingin dikeluarkan, apa akan kalian bilang itu 'sakit'? Saya sih tidak. Mulas yang datang masih bisa saya tahan, meski beberapa kali rasa mulasnya kuat sekali sampai lemas rasanya. Yah, anggep aja kaya orang mau 'pup' udah kebelet, tapi masih ngantri di depan toilet. Mentok-mentok kan cuma keringet dingin sama merinding, ya gak? Hehehe...

Tapi, lagi-lagi diibaratkan seperti orang mau 'pup', saat tau ada sesuatu yang ingin dikeluarkan, saat mulas datang kalian kan seharusnya senang bukan, karena tau nanti akan merasa 'lega'? Seperti itulah kurang lebih yang saya rasa.

Sejak ketuban pecah di rumah, saya tidak merasa takut, sakit, nyeri, deg-degan, panik, dll. Saat tau ketuban saya pecah, saya berkata dalam hati, "Ini waktunya." Saya hanya tak henti membaca surat Al Ikhlas setiap kali rasa mulasnya datang. Seperti yang saya tulis sebelumnya juga, setiap mulas datang kata 'tenang' seperti otomatis berkumandang di dalam kepala saya terus menerus dan saya selalu mengatur napas.

Kalau saya ingat-ingat sekarang, sebagian besar kejadian yang terjadi ketika malam saya melahirkan Langit semua berlangsung seperti yang diharapkan. Persis seperti bunyi afirmasi-afirmasi positif yang selama ini saya ucapkan ketika berlatih hypnobirthing dan relaksasi.

Saat waktunya Langit 'keluar' jalanan lancar. Kami tidak kesulitan mendapat kendaraan untuk ke rumah sakit. Proses melahirkan berjalan nyaman, lancar dan tenang. Berat Langit di atas 2 kg. Semuanya terjadi!!!

Hari itu Senin malam, biasanya jalanan dari rumah masih ramai. Tapi saat itu kurang dari 10 menit kami sudah tiba di rumah sakit, padahal biasanya saat melewati perlintasan kereta api selalu macet. Kendaraan mudah? Yup! Ketuban pecah, saya ganti baju, telpon mama, ambil tas dan buku, jalan keluar, eh taxi sudah siap menunggu. Gak perlu nunggu untuk setap setopin taxi lewat dulu.

Proses melahirkan berjalan nyaman, lancar dan tenang. Jelas! Saya tidak merasa sakit, nyeri, atau ngilu. Bahkan tes periksa dalam yang selalu saya bayangkan akan nyeri, ini biasa saja rasanya. Saat masuk kamar bersalin saya sudah pembukaan tiga. Siapa yang akan kira bahwa yang kata suster masih sekitar tujuh jam lagi sampai pembukaan lengkap, tapi ternyata hanya dalam satu jam saya nambah enam bukaan, menjadi bukaan sembilan. Selama proses melahirkan langit saya tidak merasa ngos-ngosan kehabisan napas, saya tidak jejeritan histeris. Sejak saya mengejan pertama kali hingga Langit akhirnya keluar hanya memakan waktu kurang lebih 40 menit. Saya mengejan hanya sekitar tujuh kali kalau tidak salah ingat. Bahkan saat Dr. Ekarini melakukan tindakan Episiotomi (menggunting area antara vagina dan dubur untuk memperlebar jalan lahir) saya tidak merasa sakit, tepatnya saya tidak sadar kalau area perineum saya sudah digunting. Kalau bukan karena saya melihat Dr. Ekarini hendak meletakan gunting kembali, saya tidak akan tau bahwa tindakan Episiotomi tersebut sudah dilakukan.

Saat proses IMD selesai dan saya sudah dimandikan oleh suster, saya diberitahukan bahwa Langit sudah ditimbang, beratnya 3,032 kg. I never expected! Dulu saat usia kehamilan saya memasuki tujuh bulan, janin Langit bahkan belum mencapai berat 1 kg. Saya bahkan sampai dirujuk ke RS Cipto untuk USG lagi meyakinkan bahwa berat bayinya kurang bukan karena mengidap kelainan. Sejak saat itu, setiap saya berlatih hypnobirthing dan relaksasi, saya hanya mengatakan berat Langit saat lahir di atas 2 kg. Saya kadang bicara dengan ari-ari dan tali pusat Langit dalam latihan saya. "Ari-ari dan tali pusat bekerjalah dengan baik agar adek bayinya tumbuh sehat dan beratnya saat lahir di atas 2 kg." Itu yang selalu saya ucapkan. Kekhawatiran saya mengenai berat badan Langit waktu itu adalah, jika beratnya saat dilahirkan kurang dari 1,5 kg maka proses Inisiasi Menyusui Dini (IMD) tidak dapat dilakukan. Sementara saya ingin sekali melakukan IMD dengan Langit. Puji Tuhan, saat keluar bahkan beratnya lebih dari 3 kg.

Kalau mau mencari apa yang tidak 'terwujud' dari hasil latihan hypnobirthing saya, hanya pada bagian mengejan saja. Dulu saat hamil, setiap latihan relaksasi dan saya berbicara dengan Langit yang kala itu masih di dalam perut, saya berkata kepadanya, "Nanti adek keluarnya lancar ya. Mama dua kali mengejan adek udah keluar ya." Itu... Dua kali mengejan, saya berharap Langit sudah keluar, tapi ternyata tidak. Hanya itu saja. Tapi toh, tetap saja segala proses lainnya berjalan baik dan lancar seperti yang diharapkan.

Satu hal yang masih saya tertawakan kalau ingat malam ketika melahirkan Langit. Ketika proses persalinan selesai dan saya sedang dalam proses IMD dengan Langit, suami saya bilang, "Lahirannya gitu doang ya ternyata." Saya  bilang, "Iya ya, ga heboh gitu." Kemudian kami berdua malah ketawa cekikan.

Saya bersyukur teramat sangat untuk proses kelahiran Langit ini. Bahwa ternyata Tuhan memberikan begitu banyak kemudahan, keajaiban, dan keindahan.

Saya, mungkin salah satu orang yang sukses melahirkan dengan praktek hypnobirthing. Tapi jika ada yang bilang bahwa hypnobirthing ga ada pengaruhnya apa-apa, bahwa melahirkan tetap saja proses yang menyakitkan, saya akan bertanya kembali, "Seberapa besar upaya kalian untuk memberdayakan diri?"

Hypnobirthing, saya yakini bukan praktek sulap, yang sekali datang lalu 'cling' semua lancar dan rasa sakit hilang. Hypnobirthing bukan sihir. Kalau kalian ikut kelas hypnobirthing, tapi setelah itu ga berlatih lagi di rumah, ga olahraga, ga senam atau yoga, ga mau latihan relaksasi, ga mempraktekkannya sehari-hari, ya jangan harap lahirannya lancar dan tanpa rasa sakit.

Saya sejak mengikuti Hypnobirthing saat hamil usia 4 bulan, hampir tiap hari saya latihan senam yoga dan relaksasi. 2x sehari, pagi saat bangun tidur dan malam saat mau tidur. Dan sesering mungkin memasukan afirmasi positif ke dalam pikiran saya. Kadang saat dalam perjalanan ke kantor, saat abis solat, atau saat bengong.

Hasilnya? Alhamdulillah. Saya melahirkan tanpa rasa sakit.


Salemba,
Mei, 2013



Lahirnya Langit - Part 2


Saat BBM dari Adis yang menanyakan saya sekarang sudah berada di mana masuk, tepat saat saya keluar dari taxi. Saya bilang sudah sampai rumah sakit.

Satpam di depan sempat menawarkan apa saya mau pakai kursi roda, tapi saya tolak. Saya pilih untuk jalan kaki saja sampai ke kamar bersalin. Karena beberapa minggu sebelumnya saya sudah daftar kamar di sini, jadi saat itu kami langsung menuju kamar bersalin tanpa basa basi dulu untuk proses administrasi.

Suster Ningrum, suster yang sama saat saya datang mendaftar kamar saat itu, langsung membuka pintu saat bel pertama saya tekan. Saya bilang ketuban saya sudah pecah. Dia langsung membawa saya ke kamar bersalin, meminta saya ganti pakaian. Katanya pihak RS Carolus sudah menelpon Dr. Ekarini untuk datang.

Saya masih bisa bolak-balik sendiri ke kamar mandi untuk ganti pakaian dan siap untuk diperiksa dalam. Saat saya masih di dalam kamar mandi, mama sudah sampai. Saya sempat menelpon mama sebelum pergi ke rumah sakit tadi. Kebetulan mama masih di kantor dan langsung menuju ke RS Carolus.

Setelah saya selesai tukar pakaian, saya langsung diminta berbaring di atas tempat tidur untuk diperiksa dalam oleh suster. Saya ingat ketika itu hampir setengah 11 malam. Susternya bilang baru pembukaan 3. "Masih kira-kira tujuh jam lagi ya, Pak. Masih lama kok. Sejam kira-kira satu bukaan," kata susternya.

Saya langsung melihat jam di dinding. Berarti sekitar pukul 4 atau 5 subuh baru keluar dong bayinya, dalam hati saya. Tapi entah bagaimana saat itu juga saya yakin tidak akan menunggu selama itu untuk melihat bayi saya. Rasa mulas datang semakin kuat dan kencang. Saya sempat kesal karena saat saya berbaring sambil merasakan mulas, ternyata masih juga saya ditanya ini itu soal data-data pribadi dan printilan lain-lainnya. Saya pikir kan kemarin waktu mendaftar saya sudah tulis semua informasi tentang saya, suami, dll. Kenapa juga ini suster masih tanya-tanya lagi?!

Kalau bukan karena merasai mulas di perut, pasti saya sudah ngomel ke itu suster. Hehehe...! Saat rasa mulas datang bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan dari suster itu, saya jawab hanya dengan bergumam atau dengan suara sebisanya. Ya, coba bayangin aja deh, orang lagi ngerasain mulas pake ditanyain "Punya penyakit gula, Bu? Jantung? Ginjal? Asma? Anemia?" Hadeeeuuuhh... Belom pernah keselek truk semen ya, Sus?!? :D

Saat pertanyaan-pertanyaan itu selesai diajukan, baru saya ditinggal berdua dengan suami di dalam ruang bersalin. Suster sempat membawakan bola pilates, katanya enjot-enjotan aja dulu biar cepat bukaannya, tapi saya antara ngantuk, mulas, dan pengen rebahan aja rasanya, jadi bola itu cuma diem dipojokan, tak tersentuh sama sekali. Saya rebahan saja di kasur sambil memejamkan mata. Susternya sempat bilang waktu mau keluar, "Ibu, jangan tidur ya, nanti ga nambah-nambah bukaannya." Saya cuma mengiyakan. Tapi saya percaya tidur ga berpengaruh sama soal pembukaan (langsung ingat cerita Ibu Lanny-nya Hypnobirthing Indonesia, tentang seorang ibu yang berhasil melahirkan sambil tidur saat sedang direlaksasi).

Saya sih memang sempat mikir, "Kalau gue cuma tiduran aja nanti lama lagi pembukaan lengkapnya." Tapi apa daya, mata aye udah setengah watt pula. Setiap mulas datang saya pejam mata sambil baca surat Al-Ikhlas dan kata 'tenang' seolah diputar secara otomatis di dalam otak saya. "Tenang, tenang, tenang," kata itu bergema terus menerus di kepala tanpa saya sengaja. Alhamdulillah, meski rasa mulas datang hampir tiap tiga menit sekali saya masih ingat betul semua teknik pernapasan yang diajarkan saat Hypnobirthing maupun di kelas senam hamil. Dan itu saja yang saya praktekkan!

Sejam kemudian suster yang tadi datang lagi. Katanya darah dan lendir saya sudah banyak sekali, jadi dia akan melakukan pemeriksaan dalam lagi. And you know what she said? "Wah, udah pembukaan sembilan, Bu. Cepat banget ini. Mulasnya bagus berarti ibunya. Anak pertama biasanya lama. Ini cepat banget tapinya, cuma sejam dari pembukaan tiga, sekarang udah pembukaan sembilan." Uhuuuuyy!!! See? See? See? I knew it. It won't take so long long long time to see my baby. *girang*

Sang suster lalu keluar dan memberitahu suster lainnya untuk segera mempersiapkan peralatan tempur. Rasa mulas disertai dorongan untuk mengejan mulai datang. Dan segerombolan suster mulai hilir mudik keluar masuk kamar bersalin. Saya langsung merem! Iya, merem! Kenapa? Karena saya parnoan orangnya kalau ngeliat itu peralatan perang. Jadi daripada nyali saya mendadak ciut, makanya saya merem. Cuma suara-suara roda didorong, klentang klentingan besi dan suara-suara orang bicara saja yang saya dengar. Seorang suster berkata bahwa Dr. Ekarini sudah datang dan dia bilang kepada saya, kalau ada rasa ingin buang air besar, ngeden aja, tapi jangan dipaksa.

Saya yang tadi diem aja merasai mulas itu, sekarang mulai bersuara, karena mulas disertai dorongan untuk mengejan makin kuat terasa. Mulut saya otomatis mengeluarkan lenguhan. Selalu, ketika saya bersuara, suster-suster di sana menginstruksikan untuk mengambil napas dan buang napas perlahan.

Saat Dr. Ekarini masuk, saya lihat jam sudah menunjukan sekitar setengah satu pagi. Seorang suster mulai menginstruksikan kepada saya untuk mengangkat kaki dan mengejan sekuatnya saat tiap kali merasakan dorongan itu datang. Alhamdulillah lagi, saya ingat semua teknik mengejan yang diajarkan Suster Theresia di kelas senam hamil. Saya mengejan kurang dari 10 kali. Dan pukul 01.05 lahirlah anakku yang pertama.

Selamat datang, Muhammad Jenar Samudra Langit.



Salemba,
Mei 2013.

how cute he is.. :*

Lahirnya Langit - Part 1


Hari itu hari pertama saya menikmati cuti hamil dari kantor. Akhirnya saya ambil cuti lebih cepat dua minggu dari Hari Perkiraan Lahir (HPL) dan nambah seminggu dari cuti tahunan. Artinya saya baru akan balik ke kantor seminggu setelah Lebaran nanti. Senang rasanya gak perlu bangun pagi untuk berangkat kerja. Sejak weekend lalu setiap pagi saya bangun untuk pergi ke pasar dan masak di rumah. Maklum kalau kerja mana sempat pagi-pagi ke pasar dulu. Tapi ya gitu, dengan perut besar masak sedikit di rumah aja rasanya juga tetap capek.

Gema gak pergi kerja hari itu karena sedang pusing dan flu, badannya juga agak demam. Jadi seharian kami berdua di rumah saja, dan dia tidur melulu. Habis makan siang saya juga pergi tidur. Kesempatan langka gak boleh disia-siakan. Kalau kerja paling cuma bisa rebahan 15 menit abis sholat, sekarang aku sudah bisa tidur sepuas-puasnya dooong. Hehehe...

Saya terbangun jam setengah 4 sore karena merasa mulas. Tapi gak sampai 5 menit mulasnya hilang. Saya tau itu cuma kontraksi palsu dan karena rasa ngantuk masih melanda, saya langsung ketiduran lagi. Sekitar jam 4 lewat 5 menit rasa mulasnya datang lagi sampai saya terbangun, lalu keingat bahwa belum sempat sholat ashar. Saya pikir nanti kalau mulasnya hilang, saya mau sholat dulu. Tapi begitu hilang, eh, malah ketiduran lagi. Hehe! Jam 4 lewat 35 menit, jam 5 kurang 5 menit, Jam 5 lewat 20 menit, Jam 6 kurang 10 menit, rasa mulas itu melanda lagi. Pikir saya, duh, kok mulas melulu ya, tapi sempat saya cek tidak ada darah atau flek yang keluar. Jadi saya tenang saja.

Saya mandi menjelang magrib lalu setelah sholat saya bilang ke Gema bahwa dari tadi saya merasa mulas, dia cuma bilang gak apa-apa. Menjelang jam 7 rasa mulasnya makin sering datang, kira-kira setiap 10 sampai 7 menit sekali. Tapi yang ini ditambah dengan rasa pegal di pinggang belakang. Kadang mulasnya gak tertahan sampai lemes rasanya dan bikin saya pengen tiduran terus.
Saat jam makan malam saya suruh Gema makan duluan, saya bilang nanti saya nyusul makan kalau mulasnya sudah hilang. Saat rasa mulas mereda saya pergi ke dapur, tapi baru juga ngambil piring eh sudah mulas lagi. Jadi saya tinggalkan itu piring dan pergi tiduran lagi di kamar. Saya niatkan dalam hati saat tiduran itu, nanti kalau mulasnya hilang pokoknya makan dulu terus tiduran lagi deh sambil BBM Adis untuk tanya-tanya. Waktu mulas reda, saya ke dapur untuk ambil nasi, tapi siapa kira baru juga ngambil nasi sesendok, mulas datang lagi begitu kuat. Saya buru-buru balik ke kamar untuk tiduran.

Makan saya malam itu gak nikmat, karena makan sesuap lalu mulas, sesuap lagi, mulas lagi. Rasanya mau rebahan aja. Saya kirim BBM ke Adis sekitar jam 8. Saya bilang bahwa dari tadi sore saya mulas terus, tapi belum ada flek atau darah yang keluar. Adis bilang observasi aja dulu apa mulasnya makin sering atau gak, takutnya hanya kontraksi palsu dan coba sabar dulu sampai kira-kira jam 10. Kalau nanti memang udah gak tahan mulasnya, katanya ke RS aja.

Menjelang jam 9 akhirnya saya akhiri BBM-an dengan Adis. Saya ingat waktu itu saya bilang, "gue bawa tidur dulu aja deh, siapa tau nanti ilang mulasnya." Lalu saya masuk kamar untuk tidur, sementara Gema lagi sholat isya di ruang tamu.

Begitu saya rebahan, mulasnya datang lagi. Duh, udah mau tidur masih mulas juga, pikir saya. Jam 20.55 waktu itu, saya ingat betul. Mulasnya hanya sebentar lalu hilang. Saya sempat terlelap nyenyak sebentar sebelum mulas yang kedua datang. Dan, breeessss....

21.10, ketuban saya pecah! Deg! Saya tahu pasti ketuban saya pecah. Airnya mengalir tanpa henti. Saya sempat panik rasanya, tapi sedetik kemudian ntah karena apa saat itu di otak saya seperti berkata, "Tenang, tenang! Ini saatnya."

Saya memanggil Gema dua kali dari dalam kamar, tapi tidak ada jawaban. Saya tahu dia pasti masih sholat.

Saat ketuban pecah itu rasa mulasnya mendadak hilang dan tak ada rasa sakit. Saya berdiri, dan melihat kasur sudah basah seperti diompoli. Saat itu Gema masuk ke kamar. Wajahnya kelihatan panik tapi kemudian bersikap tenang. Saya cuma bilang, "Ketuban aku pecah, panggil bibi, Yank. Ke rumah sakit aja sekarang."

Saya ganti pakaian dalam dan di saat itulah saya baru lihat ada lendir dan darah. Selesai itu saya masukan handphone dan buku 'Gentle Birth' ke dalam tas, lalu saya bersiap keluar. Resmi, sepupu suami saya, sudah siap di depan dengan taxi. Saya masih sanggup jalan keluar rumah sampai di depan jalan. Begitu masuk di dalam taxi, saya kirim BBM ke Adis, "Ketuban gue pecah. Ini mau ke rumah sakit sekarang."


Salemba,
Mei 2013

Here he is... the one and only... LANGIT

Helloooo...

Hi all readers...

Saya sudah melahirkan dan sudah kembali ke kantor. Hampir empat bulan blog ini dianggurin.

Sekarang mau mulai tulis menulis lagi di sini.

Welcome back, me!