Showing posts with label Mengutip Langkah. Show all posts
Showing posts with label Mengutip Langkah. Show all posts

Friday, November 11, 2011

Di Sebuah Malam

kita masih berjalan diantara gelombang pasang
menikmati keindahan yang menjadi lusuh
mengamati lintasan kesibukan yang senyap

lalu kesunyian mengantar kita ke pemakaman
melewati jalan dengan dua latar;
kiri siang kanan malam
sambil bergandengan tangan

aroma kamboja lalu menyadarkan segala ingatan
kaupun tersenyum dengan hembusan kemenyan
“siapa yang akan duluan di kuburkan?”


-Gema Yudha-

pic from here


Friday, October 28, 2011

Engkaukah Itu, Yang Berdiri di Tikungan Itu

Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
-Taufik Ismail -



*Ditemukan dari tulisan Mbak Enno 

Thursday, September 22, 2011

Meneer Perlente

Oleh: Lou Cui Ceng - Indramayu


Kepada sekalian pembaca Dames, Heeren, oudste en jongste,
Disini kita disuguhken sairan getitled "Meneer Perlente".

Yang sehari-harinya berpakean precies als een Keizer,
Dengan kelakuan sombong als heeft een huis van ijzer.

Dia selalu hidup senang zonder hard te werken,
Maskipun dia punya utang kan niet di-reken.

Saban sore gaat hij met zijn fiets gerijden,
Tida perduli badan mesum nog niet gebaden.

Asal saja bisa lekas liat Indlansche vrou loopen,
Omdat kalu bisa hij wil vlug te koopen.

Tapi, astaga, baru saja meer dan een jaar,
Marika punya utang semua kan niet membajar.

Sampe alle menschen zeggen, dia kliwat terlalu,
Omdat dia utang perlunya om te wandelen melulu.

Itu meneer sudah tentu word erg cilaka,
Omdat alle reintenieren tentu menyadi murka.


Jang terhormat tuan pembaca tuwa dan muda,
Saja harep sekalian jangan sampe berluda;
Kerna saja tidak masuk sekola Blanda,
Jika ini sairan salah harep dibikin suda.



diterbitkan dalam majalah Panorama, 6 Juli, 1927

Monday, July 18, 2011

Your Mother

“The Prophet Muhammad (sws) told us that we must obey Allah and His messenger at all times. But who else did he tell us to listen to, and be close to?

“My Mother!”


Who should I give my love to?
My respect and my honor to?
Who should I pay good mind to - after Allah,
And Rasullullah?
Comes your Mother,
Who next? Your Mother
Who next? Your Mother
And then your Father

Cause who used to hold you
And clean you and clothe you?
Who used to feed you
And always be with you?
When you were sick, stay up all night,
Holding you tight?
That’s right no other, your Mother

Who should I take good care of,
Giving all my love?
Who should I think the most of - after Allah
And Rasullullah?
Comes your Mother,
Who next? Your Mother
Who next? Your Mother
And then your Father

Cause who used to hear you
Before you could talk?
Who used to hold you
Before you could walk?
And when you fell, who’d pick you up?
Clean your cut?
No one but, your Mother, your Mother

Who should I stay right close to?
Listen most to?
Never say no to – after Allah
And Rasullullah?
Comes your Mother,
Who next? Your Mother
Who next? Your Mother
And then your Father

Cause who used to hug you
And buy you new clothes?
Comb your hair and blow your nose?
And when you cried who wiped your tears?
Knows your fears? Who really cares?
Your Mother

Say Alhamdulillah,
Thank you Allah
Thank You Allah for my Mother


Get the song and video from here

Monday, July 11, 2011

Nothing's Gonna Change My Love For You

If I had to live my life without you near me
The days would all be empty
The nights would seem so long
With you I see forever oh, so clearly
I might have been in love before
But it never felt this strong


Our dreams are young and we both know
They’ll take us where we want to go
Hold me now, touch me now
I don’t want to live without you.

Nothing’s gonna change my love for you
You oughta know by now how much I love you
One thing you can be sure of
I’ll never ask for more than your love.

Nothing’s gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
The world may change my whole life through but nothing’s gonna change my love for you


If the road ahead is not so easy
Our love will lead the way for us like a guiding star
I’ll be there for you if you should need me
You don’t have to change a thing
I love you just the way you are.

So come with me and share this view
I’ll help you see forever too
Hold me now, touch me now
I don’t want to live without you.


Wednesday, July 6, 2011

Labirin Berujung Tunggal

Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka


Kelak ketika ia sepenuhnya sadar, bahwa nanti akan lahir seorang manusia dari tubuhnya, ia tercekam lagi oleh sebuah rasa longsor yang menggigilkan, yang diperparah oleh penalaran dan dibikin kekal oleh ingatan.

Terakhir kali rasa longsor itu menyeretnya, adalah saat ia melalui puncak dari percintaannya yang sudah berlangsung bertahun-tahun dengan hujan; hujan yang dengan lembut mengunjungi senja dan mengubahnya dari merah lembayung menjadi kelabu, dan akhirnya melulur batas antara langit dan bumi. Gerimis yang gugur bersama angin yang mendengkur, adalah ketulusan langit pada hijau daratan dan biru lautan. Ia ingat rasa sakit itu bermula sebagai rasa cinta diam-diam, dan tumbuh dengan kerinduan langit yang memeluk seluruh bintang; rasa sakit yang konon mencintai mereka yang banyak tidur dan bermimpi.

picture from here

Friday, July 1, 2011

Think of Me

Think of me, think of me fondly,
when we've said goodbye.
Remember me once in a while
please promise me you'll try.
When you find that, once again, you long
to take your heart back and be free -
if you ever find a moment,
spare a thought for me

We never said our love was evergreen,
or as unchanging as the sea -
but if you can still remember
stop and think of me
Think of all the things
we've shared and seen -
don't think about the way things
might have been . . .

Think of me, think of me waking,
silent and resigned.
Imagine me, trying too hard
to put you from my mind.
Recall those days
look back on all those times,
think of the things we'll never do -
there will never be a day,
when I won't think of you . . .


Can it be? Can it be Christine?
Bravo!
Long ago, it seems so long ago
How young and innocent we were...
She may not remember me,
but I remember her...
 
Flowers fades,
The fruits of summer fade,
They have their seasons, so do we
but please promise me, that sometimes
you will think of me!

A song from Phantom Of The Opera

-------------------------------------------------------------
I just watched this movie yesterday after all this time. I am melted with it. As always I am in love with musical movie. Click here to get the song.

Friday, June 24, 2011

A Letter To God

Oleh: Gregorio Lopes Y Fuentes*


Satu‑satunya rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.

Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawa­si langit ke arah timur laut.

“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat air, Bu.”

Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab:

“Ya, insya Allah.”

Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah, sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:

“Sini makan dulu!”

Saat mereka sedang makan, seperti yang telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dili­hat sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.

Pria itu pergi ke luar untuk melihat pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:

“Yang jatuh dari langit itu bukan tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar sepuluh centavo dan yang kecil‑kecil lima ….”

Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.

“Sekarang benar‑benar semakin buruk!” seru pria itu, geli­sah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”

Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya dan berkata kepada anak‑anaknya:

“Wabah belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….”

Malam itu penuh kesedihan.

“Semua kerja kita sia‑sia!”

“Tak ada seorangpun yang dapat menolong kita!”

“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpen­cil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti keru­gian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!”

“Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….”

Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.

Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos.

Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan.

“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….”

Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasuk­kannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan pera­saan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.

Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:

“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti keper­cayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat dengan Tuhan!”

Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang te­mannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.

Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.

Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Semen­tara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.

Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menya­lahi apa yang diminta Lencho!

Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempel­kannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya.

Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:

“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”

picture from here

.* Penulis Mexico

Harimau-harimau Mimpi

Oleh: Jorge Luis Borges*


Pada masa kanak-kanak aku adalah seorang pemuja berat harimau – bukan jaguar, “harimau” bertotol-totol yang mendiami pulau-pulau mengapung dengan enceng gondok sepanjang Parana dan keliaran Amazon yang membelit, tetapi harimau sebenarnya, turunan Asia yang berloreng-loreng, yang hanya dapat dihadapi oleh para tentara, dari sebuah benteng di atas gajah. Aku dapat berdiri berjam-jam di ujung, di depan sebuah kurungan kebun binatang; aku dapat memeringkatkan ensiklopedi yang tebal dan buku-buku sejarah alam dengan kemegahan harimau-harimaunya (aku masih ingat gambar-gambar itu, aku yang tidak dapat mengingat tanpa kesalahan pada sebaris alis wanita atau senyuman. Masa kanak-kanakku berkembang, harimau-harimau dan hasratku pada mereka memudar, tetapi harimau-harimau itu masih ada dalam mimpi-mimpiku. Dalam laut bawah tanah atau dalam kekacauan, harimau-harimau itu tetap bertahan. Ketika aku tidur aku diseret ke satu mimpi lainnya, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa harimau itu hanya sebuah mimpi. Pada saat yang bersamaan, aku sering berpikir. Ini adalah sebuah mimpi, sebuah pengalihan murni dari keinginan dan karena aku mempunyai kekuatan yang tak terbatas, aku akan mengeluarkan seekor harimau.


Oh, ketidakmampuan! Mimpi-mimpiku tidak pernah tampak melahirkan mahluk yang sangat aku harapkan harimau tak menampak, selain harimau yang mengering dan tampak lemah, atau tak mempunyai kemurnian tingkah laku atau dengan bentuk dan ukuran yang dapat diterima, atau harimau itu, secara bersamaan berkelebat sebentar saja, atau tampak lebih mirip seekor anjing atau burung, dibandingkan seekor harimau.

picture from here


*Penulis Argentina, dianggap salah satu tokoh sastra terbesar abad 20. Cerita di atas diambil dari kumpulan cerpennya "The Aleph."

Wednesday, June 22, 2011

Sepotong Tubuh

Oleh: Oka Rusmini


PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang panjang. Aroma bunga cempaka berhamburan, berlompatan dan turun dari keping rambutnya yang mulai rapuh.

"Aku ingin menari. Bisakah? Adakah tempat untukku menari? Aku masih memiliki tubuh. Setiap lekuknya kupersembahkan untuk Tuhan!" 

Dia menyanyikan kidung yang indah. Begini bunyinya. Alahu kumarem maremkan santonyakaremDuremkem sermemiymbcde seremkybbbbBeremkem senem geremdem bademrem. Entah apa artinya, tetapi orang-orang kampung senang mendengar suaranya yang indah. Dialah satu-satunya perawan suci di kampung itu, tempat para perempuan mengadukan nasib mereka. 

"Kau jelmaan dewi, tolong aku, lelakiku tak habis-habisnya mencangkuli tubuhku. Lihat!" 

Perempuan dua puluh tahun itu membuka kebayanya, puting susunya hampir lepas. Lehernya yang jenjang penuh gigitan. Punggungnya yang kurus dipenuhi tulang-tulang yang menonjol, penuh keratan. Kau bisa menyaksikan sapu lidi, potongan kayu, juga ada runcing pisau, dan paku. 

"Lelakiku berniat memakan tubuhku, tolong aku!" Perempuan itu bersimpuh, mencium lantai tempat perempuan setengah baya itu duduk. 

"Aku ingin menari? Kau ingin melihatnya?"

"Aku tidak ingin melihat pementasan tari. Katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku sudah tidak tahan. Lelaki itu terus memahat tubuhku. Aku bukan kayu, dan tidak ingin jadi patung hidup!"

"Pernahkah kau telanjang?""Apa maksudmu?""Aku bertanya padamu! Pernahkah kau telanjang?!"

"Pertanyaan apa itu!"

"Aku hanya ingin jawabanmu. Kalau kau minta tolong padaku, kau juga harus jujur menjawab pertanyaan yang kuajukan padamu. Hanya perempuan tolol yang tidak mengerti bahasa!"

"Aku sedang susah. Aku perlu bantuanmu. Aku capek mendengar pidato! Orang-orang di luar sudah sering meracau. Apa kau juga ingin belajar pidato? Di jalan-jalan kutemukan mulut-mulut terbuka. Ratusan suara muncul, tak mengubah apa pun. Tolong, jangan beri aku kotbah!"

"Aku tidak sedang berkotbah. Aku hanya ingin telanjang."

"Untuk apa?"

"Untuk menutup mulut para lelaki yang membuatku muak. Kau pikir aku tidak sumpek! Radio isinya kotbah, televisi juga. Hotel-hotel dipenuhi orang-orang yang membuka mulut mereka lebar-lebar. Kau pernah melihat para manusia itu memiliki mulut yang lebih besar dari tubuh mereka, bahkan kulihat mulutnya memakan kepala." 

"Hyang Jagat! Sungguhkah itu?!" 

"Iya. Aku melihat orang-orang di jalan berhimpitan, karena jalan raya sudah dipenuhi oleh tumpukan kertas seminar, huruf-huruf yang berlarian di trotoar. Aku sesak nafas!"

"Hyang jagat!"

"Makanya aku ingin telanjang, mungkin aku bisa membersihkan bumiku ini dari tumpukan suara-suara itu, aku akan menelannya."

"Dengan telanjang?"

"Iya. Kau mau ikut?"

"Aku seorang istri, aku akan berdosa bila mempertontonkan tubuhku di jalan! Apa kata Tuhan?"

"Tuhan tak pernah bersuara."

"Aku takut dosa."

"Pernahkah kau telanjang?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Aku ingin jawaban, pernahkah kau telanjang di depan orang lain?"

"Ya!"

"Kau senang melakukannya?"

"Rasanya tidak."

"Untuk siapa?"

"Lelakiku."

"Lelaki yang memahat tubuhmu ini?"

"Ya."

"Maukah kau telanjang untuk orang lain?"

"Lelakiku akan membawakan parang, lalu menebas kepalaku. Aku akan mati, jangan suruh aku melakukan itu. Di tubuhku, ada potongan daging yang baru tumbuh, usianya baru dua bulan."

"Kau harus ajak daging hidupmu itu telanjang."

"Tetapi dia masih potongan daging!"

"Itu yang bagus!"

"Besok, ketika matahari terbenam kau boleh datang padaku. Kau bisa lihat tubuhku. Kau mau?"

"Melihat tubuhmu?"

"Ya. Aku ingin menari telanjang."

"Apa menariknya tubuhmu?"

"Kau ingin menyaksikan tubuhku menelan sampah huruf-huruf yang ditebar orang-orang di luar itu kan?"

"Kau akan telanjang? Bukankah kau perawan suci tempat para perempuan mengadukan nasibnya?"

"Aku juga memiliki keinginan. Kau perempuan tolol! Apakah tubuhmu hanya untuk lelakimu? Tidakkah kau ingin bersedekah pada kosmis dan membiarkan kosmis juga menyaksikan aroma tubuhmu?"

"Kupikir kau mulai gila!" 

Perempuan muda itu menggigil. Telanjang di trotoar? Sambil menari? Bukankah itu ide gila!Hyang Jagat! Apakah perempuan di negeri yang penuh carut marut ini juga mulai gila! Perempuan itu berjalan ke luar. Benar saja, setiap dia berpapasan dengan mahluk, sepertinya dia benar-benar kaget. Mereka tidak memiliki telinga. Wajah mereka datar, mata mereka kosong. Tanpa malu-malu mereka telanjang, melepaskan seluruh serat yang menempel di tubuh mereka. Perempuan muda itu mencium bau bunga cempaka.Hyang Jagat! Tiba-tiba aja dia merasa ada yang mau melepaskan pakaiannya secara paksa, dia berteriak! Dan terus berlari!


picture from here

Perawan setengah baya itu mengusap rambut panjangnya. Membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Dia memejamkan mata sambil menghirup kuncup bunga mawar yang mulai merekah persis di depan jendela. Harum bunga itu begitu menggairahkannya. Dia merasa tubuhnya mulai berair. Helai-helai rambutnya mengusap seluruh bagian tubuhnya. Perempuan itu memejamkan mata.

"Apakah aku akan hamil?"

"Kau mau?"

"Ya, aku ingin hamil. Merasakan sebuah cairan bisa memecahkan dagingku. Apakah ada cairan yang begitu hebat! Konon tubuhku juga berasal dari cairan itu? Tetapi Karna tidak memerlukan cairan untuk lahir. Bisakah aku melahirkan anak tanpa memecahkan tubuhku, seperti Kunti melahirkan Karna?"

"Kau bukan Kunti!"

"Kami memiliki kesamaan!"

"Apa?!"

"Kami sama-sama perempuan!"

Suasana hening. Perempuan itu memejamkan matanya, lalu mengusap tubuhnya dengan udara pagi yang memiliki beratus-ratus tangan. Perempuan itu menggeliat, begitu banyak tangan mengusap tubuhnya. Dia merasakan kehangatan yang dalam, dia merasa dicintai dan dikasihi. Tiba-tiba saja dia ingat pada ibu! 

"Ibu, kaukah itu?"

"Kenapa, kau takut?"

"Tanganmukah?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Untuk apa? Kau suka sentuhanku?"

"Aku merindukan kau!"

"Jangan cengeng!"

"Tidak bolehkah perempuan menangis?"

"Tidak! Aku juga tidak suka mendengar suaramu yang merengek seperti itu. Tolol!"

"Di depanmu tidak bolehkah aku menangis?"

"Tidak!"

"Tetapi aku ingin menangis!"

"Aku akan pergi! Aku tak pernah mengajari kau kecengengan!"

Perempuan itu terdiam. Ya, ibu memang tidak pernah menangis, dia pernah menyaksikan aji membawa perempuan muda, memasukkan ke rumah dan memeliharanya tiga hari. Ibu tidak pernah menangis, beratus-ratus perempuan muda selalu datang dan pergi, memandang ibu dengan penuh ejekan. Ibu tetap tanpa ekspresi, sibuk majejahitan, atau mempersiapkan rangkaian sesaji untuk merajan. Kerja ibu hanya berkutat dengan benda-benda itu. Kadang terpikir oleh perempuan itu, apakah ibu memiliki kekasih para leluhur? Apakah ibu bercinta dengan mereka? Ibu tidak pernah menunjukkan kelaparannya sebagai istri? Sorot mata ibu tetap ingin.

"Ibu, pernahkah ibu memiliki keinginan?"

"Tentu."

"Apa?"

"Aku ingin kau tidak cengeng. Hanya perempuan tolol yang selalu mengeluh dengan hidup. Hidup itu harus diajak bertarung. Kau harus mampu bersabung dengannya. Kalau kau menang, itulah nikmatnya menjadi perempuan!"

"Apa artinya itu?"

"Cari sendiri, kelak hidup sendiri yang akan menuntunmu!"

Ibu tidak pernah berkata lembut. Suaranya tegas, bahkan cenderung kasar, padahal dia seorang rabi, istri terhormat. Tetapi ibu memang tidak begitu peduli dengan simbol-simbol kehormatan itu. Bagi ibu, bagaimana dia bisa tetap hidup dan mendidik anak-anaknya! Mungkinkah ibu memiliki kekasih para dewa? Dewa siapa yang mau menjadi kekasih ibu? Habis, ibu tidak pernah berhenti ke merajan. Jangan-jangan ibu bercinta di balik tembok pelinggih, atau di atas bunga kamboja, atau di bawah guguran bunga-bunga itu?

"Aku ingin telanjang!" 

Perempuan itu berteriak. Mengurai rambutnya, memandikan tubuhnya dengan kembang. Lalu di bukanya jendela lebar-lebar, dia meloncat, menari, dan berjalan di trotoar, sambil memunguti tumpukan huruf-huruf memasukkannya ke mulut. Semakin terik matahari semakin banyak perempuan mengikuti dirinya, mereka telanjang! Menelan huruf-huruf. Hyang Jagat, mereka hamil! Apa mereka akan melahirkan Kurawa? 



Denpasar, Juli 2002 


picture from here


Monday, June 20, 2011

Here Comes Your Man

Outside there's a box car waiting
Outside the family stew
Outside the fire breathing
Outside we wait 'til face turns blue

I know the nervous walking
I know the dirty beard hang
Out by the box car waiting
Take me away to nowhere plains
There is a wait so long
You'll never wait so long....

Here comes your man
Here comes your man
Here comes your man
Here comes your man

Big shake on the box car moving
Big shake to the land that's falling down
is a wind makes a palm stop blowing
a big, big stone fall and break my crown
There is a wait so long
You'll never wait so long....


Hey, here's your man
Here comes your man
Here comes your man 
Here he comes
Here comes your man
Here comes your man



picture from here

this song remind me of you...

Tuesday, June 14, 2011

Milkshake

daydream delusion
limousine eyelash
oh baby with your pretty face
drop a tear in wineglass
look at those big eyes
see what it means to me
sweetcakes and milkshakes

i'm delusion angel
i'm fantasy parade

i want you to know what i think
don't want you to guess anymore
you have no idea where i came from
you have no idea where we're going

lodged in life, like branches in the river
flowing downstream caught in the current

i carry you, you carry me
that's how it could be

don't you know me
don't you know me by now.. 



*A poetry from Before Sunrise


Tuesday, May 31, 2011

Mmwwwhhh!

Oleh: Seno Gumira Ajidarma


“Jadi apa yang akan kita lakukan kalau bertemu nanti?”

”Kita akan berciuman.”

“Berciuman?”

“Ya, habis mau apa lagi?”

“Bisa kan nggak usah pakai ciuman?”

”Ya bisa.”

“Tapi kenapa harus pakai ciuman?”

”Ya, nggak harus, tapi paki ciuman nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa?”

“Ya nggak apa-apa. Kenapa? Takut hamil?”

“Nggak.”

“Jadi kenapa?”

“Nggak apa-apa, seneng aja.”

”Nggak takut hamil?”

”Ciuman doank ya nggak pakai hamil-lah yaw!”

”Bisa aja kalau diterusin.”
 
“Ya nggak usah diterusin. Janjinya ciuman  doank.”

“Bisa aja keterusan.”

“Ya nggak apa-apa. Emang kenapa kalau keterusan?”

”Kamu bisa hamil.”

“Emang kenapa kalau hamil? Sudah punya suami ini!”



***


Mereka berciuman begitu rupa, lengket seperti ketan, tak peduli angin tak peduli hujan tak peduli badai tak peduli air bah melanda setinggi pohon kelapa. Ratusan ribu balatentara bergerak menyapu desa menyapu kota menyapu negara banjir darah tak terkira mengalir naik turun bukit mengempaskan dukalara kemana-mana. Banjir dari segala banjir menghanyutkan sejuta rumah sejuta sapi sejuta gerobak dan berjuta-juta pengungsi yang berteriak minta tolong dengan sia-sia tak bersuara ketika mega-mega seperti menari-menari melihat orang-orang mengambang menggapai-gapai sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia melambai-lambai entah untuk apa diatas genting di atas gedung di puncak stupa di puncak gunung air bah tetap melanda.


Mereka masih terus menerus berciuman dengan asyik dengan getol dengan kemesraan terhambur begitu cepat padat seperti kilat berkerjap menggemparkan langit menggemparkan semesta sampai bintang-bintang berjatuhan seperti hujan terhambur menggebu-gebu mendesing-desing seperti roket o hujan meteor tercurah menyapu bumi melewati pasangan berciuman yang tak perduli betapa langit berkedip-kedip seperti mata maha raksasa yang mengerjap-ngerjap dahsyat menggila tiada berhahahihi tak kusangka dia begitu tega menjadi lupa kepada cinta kepada siapa saja yang berjanji di bawah pohon beringin sungsang agar tetap setia sampai mapus tiada tara o ciuman yang dahsyat yang menggelegak berabad-abad dengan bunyi kecipak seekor ikan bersayap yang begitu muncul dari dalam air langsing terbang ke angkasa.




Ciuman yang begitu dahsyat membuat langit merah terbakar dan dari segala sudut patung yang berciuman itu tetap tampak seperti siluet bagaikan matahari ikut berputar bersama mata yang memandangnya ke sribusatu sisi aduhai bayangkanlah sepasang patung berciuman bergerak-gerak patung batu bergerak-gerak bagaikan sepasang insan beneran berciuman dengan bibir-bibir batu yang telah lengket berlumut menjamur jauh melebihi ketan jauh melebihi ketan sungguh-sungguh lengket begitu lengket rekat mereka tak lepas kebas seperti berabad-abad bibir bertemu bibir membatu di tengah hujan meteor yang memusnahkan dinosaurus menghanguskan rimba raya menyisakan pulau-pulau karang berbukit batu dengan fosil sepasang manusia berciuman di dasar lautan pasir yang begitu gersang begitu merangsang menghangatkan badan sehingga ciuman tiada pernah lepas membatu tanpa lipstik di bibir-bibir yang semula terpisah separuh semesta dan saling menabrak seperti halilintar membakar-bakar.


Manusia-manusia purba dari segala penjuru berdatangan membawa pentung rotan pentung kayu pentung batu dan saling meraba pipu meraba rambut meraba mata meraba hidung meraba bibir meski jari tiada steril tak kenal bakteri tak kenal kuman tak kenal bibit penyakit mekantar-kantar o tubruk-menubruk cium-mencium gulat-menggulat bergeliat mengaum meraung harimau loreng harimau kumbang grrrhhh saling mengancam demi ciuman sepanjang sejarah tanpa catatan tanpa buku tanpa perpustakaan yang melarang pasangan berciuman diantara rak-rak memanjang meski huruf-huruf mengosongkan halaman berbaris keluar jalan mencari bukit batu di pulau karang asal bisa berciuman di bawah langit senja yang merah membakar tanpa saksi harapan mata yang saling memandang penuh cinta penuh harapan sebelum akhirnya kelak kecewa dalam pengkhianatan aaarrggghhh!!!!


***


“Berapa lama kita kan berciuman?”

“Sampai kebas.”

“Apa itu kebas?”

“Sampai mati rasa.”

“Berapa lama kita akan berciuman sampai mati rasa?”

“Kenapa emang?”
“Jam berapa gitu aku mesti pulang?”

“Kenapa mesti pulang?”

“Yah,tahu sendirilah.”

“Nggak, aku nggak tahu.”

“Payah, kamu sendiri seorang istri,kan? Apa nggak  pernah pura-puranya mengharap suamimu pulang?"

“Pura-puranya sih selalu.”

“Hahahaha!”

“Hihihihihi!”

“Hehehehe!”

“Hohohoho!”

Monday, April 25, 2011

Kafka On The Shore

"Dalam perjalanan, seorang teman, dalam hidup, sayang."

...bahwa perjumpaan yang tidak disengajalah yang membuat kita terus maju.

"Bahkan pertemuan yang tak disangka-sangka adalah karena karma."

Bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup ditentukan oleh kehidupan kita sebelumnya. Bahkan dalam peristiwa kecil sekalipun tidak ada yang terjadi karena kebetulan.

Sunday, April 17, 2011

Donna Donna

On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky


How the winds are laughing, they laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through,
mand half the summer`s night.


Donna, Donna, Donna, Donna Donna, Donna, Donna, Don. Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna,


Don."Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,like the swallow so proud and free?


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly

Saturday, April 16, 2011

Karma*

Bayang bayang bulan dalam kolam
Sentuh malam terus tuk bergumam
Citra mana mempesona
Langit depan mata
Hembus angin air pun bergoyang
Bulan kolam hancur berkeping keping
Atas tetap benderang
Indah dan cemerlang


Karma manusia tak kan hilang jiwa
Meninggalkan raga
Walau bayang terhapus musnah pupus
Ditelan masa
Karma manusia tetap tersirat
Jejak langkahnya
Walau sampai di akhir hayat
Pala selalu kan terbawa


Bayang bayang bulan dalam kolam
Lukiskan lingkaran jiwa karma
Tiada karma terhindarkan
Pala ganjaran Tuhan



----------------------------------------

*Lirik dari Putu Wijaya. Terdapat dalam album "Nyanyian Dharma" - Album Rohani Hindu Dewa Budjana. Dinyanyikan oleh Trie Utami. Tembang ini juga dibawakan Soimah Pancawati dan Sudjiwo Tedjo pada acara Konser Koin Sastra di Bentara Budaya (13/4).

Thursday, April 14, 2011

Lembayung Bali

Menatap lembayung di langit Bali
dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
oh cinta

Teman yang terhanyut arus waktu
mekar mendewasa
masih kusimpan suara tawa kita
kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
tegar melawan tempaan semangatmu itu
oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini
oh mimpi

Andai ada satu cara
tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali

Wednesday, April 13, 2011

Negeri Di Awan

Di bayang wajahmu
Kutemukan kasih dan hidup
Yang lama lelah aku cari
Dimasa lalu

Kau datang padaku
Kau tawarkan hati nan lugu
Selalu mencoba mengerti
Hasrat dalam diri

Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kaubawa
Aku menuju kesana

Ternyata hatimu
Penuh dengan bahasa kasih
Yang terungkapkan dengan pasti
Dalam suka dan sedih

-------------------------------------------------------------------------------
lagi suka putar lagu ini pagi-pagi....

Tuesday, March 29, 2011

Ada Racun Dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik Ismail

oleh Martin Aleida



“HU AR Rini Endo. Saya baca di Internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Semboja, tapi judul berikutnya yg lebih penting “ttg pengarang2 Lekra.” Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas (Taufiq Ismail).”



Pesan beracun, yang menghambur sejak Jumat dinihari, 25 Maret 2011, itu tidak hanya diterima oleh HU (Husseyn Umar), Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, AR (Ajip Rosidi), Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, serta Rini dan Endo masing-masing sebagai staf PDS HB Jassin. Racun itu menyebar cepat, sangat cepat, dan banyak. Wallahu alam, saya tak tahu berapa orang lagi yang menerima pesan itu. Saya kira, pastilah banyak! Karena, menjelang tengah malam pada hari Jumat, saya masih menerima SMS serupa yang diteruskan oleh Titiek, putri Pramoedya Ananta Toer. Kegemparan tidak hanya sampai di situ. Bagai serangan selepas Subuh, pukul 05.45, pagar rumah saya bergetar. “Pak Ajip…” bisik istri saya begitu membalik setelah mengintai siapa gerangan yang bertamu sepagi itu.  

Pagi itu pertemuan saya dengan Ajip dengan cepat mencapai puncak yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Juga tidak oleh tokek yang sudah kehabisan mangsa. Ajip meminta saya untuk membatalkan diskusi mejabudaya, yang dituduh Taufiq Ismail sebagai diskusi mengenai pengarang Lekra. Dia meminta perhatian khusus dari saya, karena PDS sedang menghadapi masa konsolidasi setelah Gubernur Fauzi Bowo berjanji akan menambah dana untuk kelangsungan hidup pusat dokumentasi sastra itu. Untung masih pagi, saya bisa mengendalikan diri menghadapi orang yang datang membawa kekuasaan dengan pongahnya. Yang mendesak saya untuk membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan teman-teman. Saya hela nafas, dalam. Ucap saya: “Diskusi itu diselenggarakan oleh kelompok diskusi mejabudaya yang sudah berdiri sejak delapan tahun lalu. Diskusi akan membahas kumpulan tulisan Asep Sambodja dalam buku yang baru diterbitkan Ultimus, judulnya ‘Asep Sambodja Menulis,’  sekaligus peringatan 100 hari meninggalnya penulis. Itu diskusi buku. Bukan diskusi Lekra. Kami juga mengirimkan undangan lewat SMS kepada Taufiq. Dia boleh datang untuk ikut membicarakan buku itu.”

Penjelasan saya itu dengan keras dibanting oleh Ajip dengan hardikan: “Saya sudah baca buku itu! Tak perlu penjelasan! Pokoknya harus dibatalkan! Pilihannya cuma dua, kalian membatalkan diri sendiri atau dibatalkan oleh Taufiq Ismail. Taufiq akan datang membawa pasukan!” Begitu meluapnya emosinya di pagi yang memang tidak sejuk itu, sehingga Ajip lupa mengatakan bahwa buku Asep itu dia terima dari saya dua hari yang lalu. Kutatap matanya beberapa detik, jangka watu yang cukup memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengatakan sesuatu kepada dirinya sendiri yang beresonansi untuk menenangkan hati orang yang sedang dibakar amarah, apalagi amarah yang membabibuta. 

Hati saya sesungguhnya sudah terketuk ketika Ajip mengatakan dalam suasana mengkonsolidasi diri, PDS memerlukan ketenangan, mencari kesempatan untuk merenung. Tetapi, ketika dia mengamangkan palu godam berapi yang diterimanya dari Taufiq Ismail bahwa mejabudayaharus bubar dengan acara Asep Sambodjanya, darah saya mendidih. Saya tarik nafas dalam-dalam. “mejabudaya itu bukan saya punya, dia tidak punya hirarki, tak ada ketua, tak ada sekretaris, dia bergerak karena ada yang menginginkan kemajuan, kebetulan saya yang  aktif. Nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman pesan Bung Ajp ini. Keputusan ada pada mereka.” Penulis besar dari Tatar Sunda itu, yang cerita-cerita pendeknya sudah saya nikmati ketika saya baru duduk di SMP, tiba-tiba menyodorkan pantatnya ke depan, menenangkan hatinya dengan mereguk secangkir teh yang sejak dari tadi mengamati dirinya. Ajip bangkit, mengucapkan terima kasih, melafalkan salam. Kuikuti dia melewati serambi. Kubukakan pintu pagarku, dan dia pergi menyeret langkah kakinya yang kelihatan seberat pohon kelapa.

Begitulah. Saya segera mengontak teman-teman mejabudaya, memberi tahu merekatentang Taufiq Ismail yang akan membawa laskar Munafiqin untuk membubarkan diskusi menghormati Asep Sambodja. Beberapa pegiat dan pemikir budaya juga saya kabarkan mengenai ancaman pembubaran diskusi buku itu. Membubarkan diri atau dibubarkan pasukan Taufiq Ismail. Tidak mengejutkan saya, ketika teman-teman mengatakan, “Biarkan dia yang membubarkan supaya publik tahu siapa yang biadab!”

Sebelum diskusi dimulai, secara kronologis saya ceritakan kepada sekitar 50 peserta diskusi tentang apa yang sedang terjadi. Diskusi yang diawali dengan pengantar yang dibawakan Okky Tirto, penyair-pemikir muda, dan penyair Sutikno W.S., mendapat tanggapan hangat dari hadirin. Adi Wicaksono, dan diperkuat oleh penulis-pemusik Vukar, mengatakan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Asep Sambodja selayaknya diteruskan dan diperdalam oleh para peneliti sesudahnya, untuk melengkapi sejarah secara lebih luas, terutama sejarah kesusastraan Indonesia.

Diskusi berlangsung hangat walau pikiran sebagian teman terpecah. Mata, sebentar-sebentar melirik ke pintu masuk, siap untuk menghadapi gempuran kaum Munafiqin. Tegang juga rasanya dengan kuda-kuda yang terus terpacak seperti senapan yang terus terkokang, sementara musuh tak kelihatan batang hidungnya.  Sebelum azan Magrib diskusi ditutup. Kuda-kuda mengurai ketegangannya. Taufiq Ismail yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, aaaah… Ternyata cuma gertak sambal (ijo). Kasihan Ajip Rosidi yang meneruskannya sampai repot-repot melangkahi bendul rumah saya.

Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga Taufiq menyebutkan saya “pewaris ideologi ular berbisa”? Sekitar dua tahun lalu saya undang dia lewat SMS untuk menghadiri peluncuran kumpulan cerita pendek saya, “Mati Baik-Baik, Kawan,” dan dia datang, mengkritik salah satu cerita yang dia anggap lemah, serta bertukar pandangan dengan Agung Ayu yang menjadi pembicara utama dalam acara yang berlangsung di PDS HB Jassin itu. (Peluncuran buku itu tak ada hubungannya denganmejabudaya.)

Saya masih ingat, ketika untuk pertama kali saya berkenalan dengan dia, semasa saya bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO, mungkin hanya sekedar basa-basi, Taufiq memuji salah satu cerita pendek saya yang dimuat Horison akhir 1960-an. Dia kelihatannya berubah setelah saya dua kali tampil bersama dia sebagai pembicara di dua seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia tentang sastra dan G30S, di mana saya secara tedeng aling-aling mengkritik sikapnya yang menutup mata terhadap ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia tak berdosa yang jadi korban setelah bencana politik itu. Dia berbicara dengan catatan yang dibuat begitu akurat, tentang Komunis yang mebantai di mana-mana, tapi tidak sudi menyebutkan bahwa mereka yang dituduh Komunis dan simpatisannya yang justru di pelupuk matanya sendiri, dia anggap sebagai TIDAK ADA! BUKAN MANUSIA! Juga sikap saya yang antagonis dengan pendiriannya berhadap-hadapan dengan Lekra dan gerakan kebudayaan pertengahan 1960-an dalam apa yang dinamakan rekonsiliasi Lekra-Manifes Kebudayaan yang berlangsung di Teater Utan Kayu beberapa waktu yang lalu.

“… Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas.” Itu mungkin selarik dari puisi mutakhir Taufiq Ismail. Namun, kalau tidak dibaca dengan sebuah konstruksi sastrawi, maka kata-kata dalam pesan singkatnya itu tak-bisa-tidak dia bersifat perintah terhadap pimpinan dan staf PDS HB Jassin. Barangkali, kata-kata eks Lekra yang berhasil “buang air besar” di PDS, maksudnya adalah diskusi senirupa yang diselenggarakan oleh Bumi Tarung Fans Club yang berlangsung di PDS, 12 Maret 2011, yang coba digagalkan oleh Taufiq dengan membujuk Ajip sang budayawan, dan mengintimidasi Rini, staf pusat dokumentasi yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki itu.

Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa “memberaki” siswa-siswa sekolah menengah atas melalui program sastrawan bicara siswa bertanya, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. “Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya Anda suarakan,” begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis. Hikhikhik…[Dendang lagu Melayu menerabas dari rumah sebelah, meninabobo, katanya, ‘Buyung, anakku seorang, sudahi banjir air matamu di sini saja… langit tak bakal runtuh.’] Saya tidak melihat titik air matanya dengan mata kepala saya sendiri. Tapi, itulah kata-kata imajiner yang saya pungut beterbangan di jalan-jalan, juga di langit.

Untuk dia selalu saya doakan, kalau program itu bisa berkibar lagi. Siapa tahu, suatu ketika setelah pasukan sekutu berhasil menekuk Libya, Ford Foundation berkenan mengucurkan bantuan untuk program yang berguna untuk siswa-siswa sekolah menengah atas itu. Cuma harus diingat selama ini program itu samasekali bertolak-belakang dengan pedagogi pendidikan, karena sastrawan yang disertakan hanyalah teman-teman sendiri. Sudah saatnya melepaskan diri dari kungkungan tempurung kepala dewek.

Saya ingin bertanya dari dokumentasi yang disimpan siapa ada catatan yang menyebutkan bahwa HB Jassin kehilangan nafkah gara-gara Lekra. Sejak kapan HB Jassin bekerja di bawah “pemerintahan” Lekra, sehingga kesalahannya harus diganjar pemecatan. Catatan dari mana yang mengatakan Lekra membawahi Lembaga Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di mana HB Jassin bekerja? Kawan, sekalipun sebuah khayalan, logika hendaknya terpateri kuat-kuat di sana.

“Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini?” gugat Taufiq Ismail. Saya ingin bertanya, sejak kapan Taufiq Ismail diberikan Pak Jassin kuasa penuh untuk menafsirkan perasaannya? Saya tidak dekat, dan berusaha tidak duduk persis di depan meja kerjanya, sejauh itu berkenaan dengan karya sastra. Saya, sebagai watawan majalah TEMPO, pernah dua kali mewawancarai HB Jassin awal 1970-an, ketika kritikus ternama ini dalam proses menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sebagai basa-basi, sebelum memulai wawancara, saya katakan bahwa tiga cerita pendek saya dimuat Horison, yang dia pimpin. Dia tidak bertanya tentang latar belakang saya. Dia cuma senyum. Hamsad Rangkuti, yang bekerja di Horison di bawah pimpinan HB Jassin, mengenal saya, sebagai orang sekampung di Tanjung Balai-Kisaran. Saya tak tahu, dan tak perlu bertanya ke pada Hamsad, apakah dia pernah menceritakan latar-belakang saya kepada Pak Jassin. Sama seperti saya, Hamsad percaya bahwa cerita pendek hidup dengan membawa kodratnya sendiri, dengan keyakinan bahwa setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata.

PDS HB Jassin dalam sorotan. Saya yang sejak pensiun sering mangkal di situ, menulis hampir seluruh cerita yang perah saya terbitkan, termasuk satu novel. Endo Senggono, sebagai staf PDS, telah membuka ruang baca seluas 300 m2 sebesar-besarnya sebagai rumah para sastrawan dan pekerja seni di berbagai bidang: senirupa, film, musik, teater yang masih muda-muda untuk mangkal di situ, di luar jam kerja. Endo kelihatannya sadar sejarah, bahwa para seniman memerlukan tempat mampir, sebagaimana para seniman tahun 1950-an menemukan rumah di Pasar Senen. Dewan Kesenian Jakarta, dengan ruang tamu, dan sekat-sekat enam komite kesenian terlalu elit buat disinggahi.
Endo telah menjadikan PDS sebagai “pusat budaya,” rumah bagi anak-anak muda yang berbakat tetapi masih terlantar. Hati saya terenyuh ketika Ajip Rosidi mengatakan dia akan berupaya memutasikan Endo ke Dinas Kebudayaan dengan jalan membujuk sang kepala dinas. Karena Endo dianggap sesat. “Saya tak tahu apa motif Endo untuk memberikan kebebasan bagi semua orang untuk memanfaatkan PDS,” katanya.

Sepuluh tahun lalu Ajip menunjuk Endo untuk menggantikan Oyon Sofyan sebagai kepala pelaksana PDS, karena Oyon dianggap membangkang, menolak kebijakan Yayasan, karena menurut Oyon, Yayasan datang belakangan sesudah lahirnya pusat dokumentasi HB Jassin. Dalam kiprahnya selama sepuluh tahun, Endo tidak bebas dari kesalahan. Dan mustahil. Mungkin sebuah sistem disiplin sebuah kantor sudah terluka karena pintu yang sudah dia buka dengan hati yang jujur. Manusia terlihat kocar-kacir di situ. Namun, dia sudah membangun sebuah rumah buat mereka yang ingin berkembang. Membuka jalan. Membebaskan diri dari keterlantaran. Kita akan menulis dan melantunkan sebuah ode jika Endo, yang hanya bisa melangkah dengan bantuan ketiak penyangganya, dijatuhkan sampai terjerembab. ***

Tuesday, March 15, 2011

In Bed With Ayu Utami

Oleh : Saut Situmorang


Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ?(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”!

Kesepuluh hal di atas merupakan (+1) “sikap politik seks”, “ideologi tempat tidur” yang mesti dipahami oleh setiap laki-laki yang ingin mengajak Ayu Utami tidur, walau cuma sekedar sebuah one-night-stand doang. Tapi tentu saja ada detil-detil lain yang juga mesti diperhitungkan oleh setiap laki-laki pemuja Si Parasit Lajang penulis novel sensasional Saman ini. Bukankah, kata orang, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya tidak meninggalkan kesan yang cukup menawan untuk dikenang? Cuma separuh ilusi, sesuatu yang cepat retak dan gagal menjadi abadi, menjadi fantasi. Easy-come-easy-go-ism.


Tubuh yang indah adalah sebuah foreplay yang mesti ada dalam ars sexu?lis à la Ayu Utami. Jangan nyatakan birahimu dengan sekuntum mawar merah, itu mah udah kuno hah! Say it with your body, your hard and beautiful body! Ingat kan pepatah itu: Good man is hard to find, but hard man is good to find! Sebagai laki-laki Dunia Ketiga, kau tentu suka nonton film action Hollywood atau mini-series di televisi, bukan? Nah, tipe laki-laki bertubuh ideal Utamian itu adalah si jago karate asal Belgia Jean-Claude van Damme (terutama waktu dia masih memakai gaya rambut cepak Magelangan itu) atau si dewa laut David “Baywatch” Haseldoff. Sexual politics posmo, atau post-Kate Millett feminism, telah mengharuskan laki-laki untuk juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan perempuan. Militer dan olahragawan adalah sexual symbols abad 21 ini, bagi Sang Ayu. Kekuasaan para senator-orator Athena sudah berlalu, sekarang adalah zaman para gladiator Sparta. Untuk produk lokal, mungkin semacam blasteran antara Taufik Hidayat dan… Wiranto! Jangan lagi jadi anggota Taman Bacaan dan tenggelam dalam komik (yang underground sekalipun), apalagi Kho Ping Hoo. Mulailah ikut aerobics atau Tae-Bo. Karena good man is hard to find, but hard man is (van damme) good to find!


Dulu perempuan adalah korban pasif dari ideologi wham bam, thanks mam perkawinan patriarki, tapi sekarang politik kesetaraan jender telah menciptakan para Parasit Lajang yang tahu dan memburu apa-apa yang mereka mau, khususnya soal anatomi tubuh. Revolusi selera ini juga bisa dilihat pada para selebriti pornografi terutama para artis film XXX, para bintang laki-laki BF, para superstar para Ayu Utami dunia.
Hal lain yang mesti diingat setiap laki-laki pemuja Parasit Lajang kontemporer adalah – nikmatilah seks! The pleasure of sex, kalau mau kebarthes-barthesian. Lakukanlah seks demi kenikmatan seks itu sendiri, sex for sex’s sake, bukan demi yang lain, apalagi demi mendapatkan keturunan. Kalau kau mampu nge-seks minimum 25 menit, dengan basa-basi awal tak lebih dari cuma 5 menit, maka kau sudah sangat dekat dengan fantasi Samanismemu! Kau sudah lulus ujian Kamasutra Jahudi yang berat itu! Kau sudah mengerti Sigmund Freudmu! Eureka!!!



Pernah nonton Sex and Zen, film alegori Buddhis yang berdasarkan novel paling lama yang pernah dicekal dalam sejarah peradaban manusia itu, yaitu sejak zaman Dinasti Ming Cina? Minimalisme koan Zen yang khas budaya samurai, dalam film tersebut, telah dikembalikan ke selera baroque fiksi wuxia daratan Tionggoan. Alegori menggantikan haiku, kungfu ketimbang kendo. Verbalisme ketimbang kematangan konsep. Feminisme radikal posmo yang dipretensikan oleh judul buku Si Parasit Lajang ternyata cuma mengingatkan saya pada slapstick pseudo-cersil Sex and Zen – yang dalam film tersebut dengan apik dibawakan oleh aktor eksil orang awak dari Petisah, Medan sono, Lo Lieh-locianpwe – tapi minus imajinasi film dimaksud.


Sangat sulit membayangkan betapa seorang novelis kontemporer, yang bahkan diklaim telah melakukan sebuah “revolusi estetika” dalam fiksi kontemporer Indonesia, ternyata begitu membosankan “coretan-coretan biografis pendeknya”, yang nota bene cuma ditulis untuk media cetak yang gaul, ngepop. Bahasa yang sama sekali nggak kita banget, terlalu prosais mirip tulisan-tulisan di majalah dinding sekolah menengah kota-kota besar Indonesia, plus isu-isu yang dalam perspektif “cultural studies koran” pun terasa begitu tidak newsgenic, cuma menambah kesan betapa permainan font, warna, dan ilustrasi Si Parasit Lajang terasa sangat superfisial, dibuat-buat, sekedar biar dianggap beda belaka. Arty-farty. Eufemisme pretensi kerendahhatian ambisi dalam disclaimer Pra-Gagas buku – bahwa Ayu Utami bercerita dengan “ringan” tentang “hal remeh yang merupakan jerawat di muka raksasa persoalan”, yaitu “berbagai peristiwa di sekitar” yang kita anggap “biasa” dan “cenderung” lewatkan, padahal “berasal dari persoalan besar yang sering tak [kita] sadari” – gagal untuk menyembunyikan klaim terselubung betapa besar sebenarnya misi yang dibayangkan diemban buku “Seks, Sketsa, & Cerita” Ayu Utami ini.


Sebuah contoh berikut ini saya harap bisa menunjukkan apa yang saya anggap sebagai salah satu kontra-diksi antara teks dan konteks yang merupakan persoalan besar yang tak disadari, mungkin karena dianggap “hal remeh” seperti yang dikesankan, tanpa ironi sedikitpun, oleh Pra-Gagas buku di atas.


Kalau kita hubungkan judul buku Si Parasit Lajang dengan kenyataan diri penulisnya yang hidup “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki, maka di manakah “kelajangan” yang diklaim begitu heroik sebagai sexual liberation yang dibedakannya secara hierarki nilai dari perkawinan konvensional itu? Istilah “lajang” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti seperti istilah “single” dalam bahasa Inggris, yaitu seseorang yang jangankan menikah, pacar pun gak punya. Jomblo 100%. Seseorang yang hidup sendiri tanpa pasangan, baik yang berbeda jenis kelamin (kalau heteroseksual, seperti Ayu Utami) ataupun yang berjeniskelamin sama (kalau homoseksual), atau “not involved in an established romantic or sexual relationship” menurut Oxford English Dictionary (OED). Bagaimana mungkin Ayu Utami bisa mengklaim dirinya sebagai seorang “lajang”, yang “parasit” lagi, padahal dia hidup kumpul kebo dengan seorang laki-laki! Kerancuan pemakaian istilah seperti ini cukup dominan dalam bukunya itu hingga menimbulkan kecurigaan atas pengetahuannya tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin justru karena kekurangpahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tulisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang dianggap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis, di budaya Barat sana! Sebuah parasitisme konseptual!