Oleh: Oka Rusmini
PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang panjang.  Aroma bunga cempaka berhamburan, berlompatan dan turun dari keping  rambutnya yang mulai rapuh.
"Aku ingin menari. Bisakah? Adakah tempat  untukku menari? Aku masih memiliki tubuh. Setiap lekuknya kupersembahkan  untuk Tuhan!" 
Dia menyanyikan kidung yang indah. Begini bunyinya. Alahu  kumarem maremkan santonyakaremDuremkem sermemiymbcde  seremkybbbbBeremkem senem geremdem bademrem. Entah apa artinya, tetapi  orang-orang kampung senang mendengar suaranya yang indah. Dialah  satu-satunya perawan suci di kampung itu, tempat para perempuan  mengadukan nasib mereka. 
"Kau jelmaan dewi, tolong aku, lelakiku tak  habis-habisnya mencangkuli tubuhku. Lihat!" 
Perempuan dua puluh tahun  itu membuka kebayanya, puting susunya hampir lepas. Lehernya yang  jenjang penuh gigitan. Punggungnya yang kurus dipenuhi tulang-tulang  yang menonjol, penuh keratan. Kau bisa menyaksikan sapu lidi, potongan  kayu, juga ada runcing pisau, dan paku. 
"Lelakiku berniat memakan  tubuhku, tolong aku!" Perempuan itu bersimpuh, mencium lantai tempat  perempuan setengah baya itu duduk. 
"Aku ingin menari? Kau ingin  melihatnya?"
"Aku tidak ingin melihat pementasan tari. Katakan padaku apa  yang harus kulakukan? Aku sudah tidak tahan. Lelaki itu terus memahat  tubuhku. Aku bukan kayu, dan tidak ingin jadi patung hidup!"
"Pernahkah  kau telanjang?""Apa maksudmu?""Aku bertanya padamu! Pernahkah kau  telanjang?!"
"Pertanyaan apa itu!"
"Aku hanya ingin jawabanmu. Kalau kau  minta tolong padaku, kau juga harus jujur menjawab pertanyaan yang  kuajukan padamu. Hanya perempuan tolol yang tidak mengerti bahasa!"
"Aku  sedang susah. Aku perlu bantuanmu. Aku capek mendengar pidato!  Orang-orang di luar sudah sering meracau. Apa kau juga ingin belajar  pidato? Di jalan-jalan kutemukan mulut-mulut terbuka. Ratusan suara  muncul, tak mengubah apa pun. Tolong, jangan beri aku kotbah!"
"Aku tidak  sedang berkotbah. Aku hanya ingin telanjang."
"Untuk apa?"
"Untuk menutup  mulut para lelaki yang membuatku muak. Kau pikir aku tidak sumpek!  Radio isinya kotbah, televisi juga. Hotel-hotel dipenuhi orang-orang  yang membuka mulut mereka lebar-lebar. Kau pernah melihat para manusia  itu memiliki mulut yang lebih besar dari tubuh mereka, bahkan kulihat  mulutnya memakan kepala." 
"Hyang Jagat! Sungguhkah itu?!" 
"Iya. Aku  melihat orang-orang di jalan berhimpitan, karena jalan raya sudah  dipenuhi oleh tumpukan kertas seminar, huruf-huruf yang berlarian di  trotoar. Aku sesak nafas!"
"Hyang jagat!"
"Makanya aku ingin telanjang,  mungkin aku bisa membersihkan bumiku ini dari tumpukan suara-suara itu,  aku akan menelannya."
"Dengan telanjang?"
"Iya. Kau mau ikut?"
"Aku seorang  istri, aku akan berdosa bila mempertontonkan tubuhku di jalan! Apa kata  Tuhan?"
"Tuhan tak pernah bersuara."
"Aku takut dosa."
"Pernahkah kau  telanjang?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku ingin jawaban,  pernahkah kau telanjang di depan orang lain?"
"Ya!"
"Kau senang  melakukannya?"
"Rasanya tidak."
"Untuk siapa?"
"Lelakiku."
"Lelaki yang  memahat tubuhmu ini?"
"Ya."
"Maukah kau telanjang untuk orang  lain?"
"Lelakiku akan membawakan parang, lalu menebas kepalaku. Aku akan  mati, jangan suruh aku melakukan itu. Di tubuhku, ada potongan daging  yang baru tumbuh, usianya baru dua bulan."
"Kau harus ajak daging hidupmu  itu telanjang."
"Tetapi dia masih potongan daging!"
"Itu yang  bagus!"
"Besok, ketika matahari terbenam kau boleh datang padaku. Kau  bisa lihat tubuhku. Kau mau?"
"Melihat tubuhmu?"
"Ya. Aku ingin menari  telanjang."
"Apa menariknya tubuhmu?"
"Kau ingin menyaksikan tubuhku  menelan sampah huruf-huruf yang ditebar orang-orang di luar itu  kan?"
"Kau akan telanjang? Bukankah kau perawan suci tempat para  perempuan mengadukan nasibnya?"
"Aku juga memiliki keinginan. Kau  perempuan tolol! Apakah tubuhmu hanya untuk lelakimu? Tidakkah kau ingin  bersedekah pada kosmis dan membiarkan kosmis juga menyaksikan aroma  tubuhmu?"
"Kupikir kau mulai gila!" 
Perempuan muda itu menggigil.  Telanjang di trotoar? Sambil menari? Bukankah itu ide gila!Hyang Jagat!  Apakah perempuan di negeri yang penuh carut marut ini juga mulai gila!  Perempuan itu berjalan ke luar. Benar saja, setiap dia berpapasan dengan  mahluk, sepertinya dia benar-benar kaget. Mereka tidak memiliki  telinga. Wajah mereka datar, mata mereka kosong. Tanpa malu-malu mereka  telanjang, melepaskan seluruh serat yang menempel di tubuh mereka.  Perempuan muda itu mencium bau bunga cempaka.Hyang Jagat! Tiba-tiba aja  dia merasa ada yang mau melepaskan pakaiannya secara paksa, dia  berteriak! Dan terus berlari!
|  | 
| picture from here | 
Perawan setengah baya itu mengusap  rambut panjangnya. Membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Dia memejamkan  mata sambil menghirup kuncup bunga mawar yang mulai merekah persis di  depan jendela. Harum bunga itu begitu menggairahkannya. Dia merasa  tubuhnya mulai berair. Helai-helai rambutnya mengusap seluruh bagian  tubuhnya. Perempuan itu memejamkan mata.
"Apakah aku akan hamil?"
"Kau  mau?"
"Ya, aku ingin hamil. Merasakan sebuah cairan bisa memecahkan  dagingku. Apakah ada cairan yang begitu hebat! Konon tubuhku juga  berasal dari cairan itu? Tetapi Karna tidak memerlukan cairan untuk  lahir. Bisakah aku melahirkan anak tanpa memecahkan tubuhku, seperti  Kunti melahirkan Karna?"
"Kau bukan Kunti!"
"Kami memiliki  kesamaan!"
"Apa?!"
"Kami sama-sama perempuan!"
Suasana hening. Perempuan  itu memejamkan matanya, lalu mengusap tubuhnya dengan udara pagi yang  memiliki beratus-ratus tangan. Perempuan itu menggeliat, begitu banyak  tangan mengusap tubuhnya. Dia merasakan kehangatan yang dalam, dia  merasa dicintai dan dikasihi. Tiba-tiba saja dia ingat pada ibu! 
"Ibu,  kaukah itu?"
"Kenapa, kau takut?"
"Tanganmukah?"
"Kau tidak perlu tahu  siapa aku. Untuk apa? Kau suka sentuhanku?"
"Aku merindukan kau!"
"Jangan  cengeng!"
"Tidak bolehkah perempuan menangis?"
"Tidak! Aku juga tidak suka  mendengar suaramu yang merengek seperti itu. Tolol!"
"Di depanmu tidak  bolehkah aku menangis?"
"Tidak!"
"Tetapi aku ingin menangis!"
"Aku akan  pergi! Aku tak pernah mengajari kau kecengengan!"
Perempuan itu terdiam.  Ya, ibu memang tidak pernah menangis, dia pernah menyaksikan aji membawa  perempuan muda, memasukkan ke rumah dan memeliharanya tiga hari. Ibu  tidak pernah menangis, beratus-ratus perempuan muda selalu datang dan  pergi, memandang ibu dengan penuh ejekan. Ibu tetap tanpa ekspresi,  sibuk majejahitan, atau mempersiapkan rangkaian sesaji untuk merajan.  Kerja ibu hanya berkutat dengan benda-benda itu. Kadang terpikir oleh  perempuan itu, apakah ibu memiliki kekasih para leluhur? Apakah ibu  bercinta dengan mereka? Ibu tidak pernah menunjukkan kelaparannya  sebagai istri? Sorot mata ibu tetap ingin.
"Ibu, pernahkah ibu memiliki  keinginan?"
"Tentu."
"Apa?"
"Aku ingin kau tidak cengeng. Hanya perempuan  tolol yang selalu mengeluh dengan hidup. Hidup itu harus diajak  bertarung. Kau harus mampu bersabung dengannya. Kalau kau menang, itulah  nikmatnya menjadi perempuan!"
"Apa artinya itu?"
"Cari sendiri, kelak  hidup sendiri yang akan menuntunmu!"
Ibu tidak pernah berkata lembut.  Suaranya tegas, bahkan cenderung kasar, padahal dia seorang rabi, istri  terhormat. Tetapi ibu memang tidak begitu peduli dengan simbol-simbol  kehormatan itu. Bagi ibu, bagaimana dia bisa tetap hidup dan mendidik  anak-anaknya! Mungkinkah ibu memiliki kekasih para dewa? Dewa siapa yang  mau menjadi kekasih ibu? Habis, ibu tidak pernah berhenti ke merajan.  Jangan-jangan ibu bercinta di balik tembok pelinggih, atau di atas bunga  kamboja, atau di bawah guguran bunga-bunga itu?
"Aku ingin telanjang!" 
Perempuan itu berteriak. Mengurai rambutnya, memandikan tubuhnya dengan  kembang. Lalu di bukanya jendela lebar-lebar, dia meloncat, menari, dan  berjalan di trotoar, sambil memunguti tumpukan huruf-huruf memasukkannya  ke mulut. Semakin terik matahari semakin banyak perempuan mengikuti  dirinya, mereka telanjang! Menelan huruf-huruf. Hyang Jagat, mereka  hamil! Apa mereka akan melahirkan Kurawa? 
Denpasar, Juli 2002 
|  | 
| picture from here | 
 
No comments:
Post a Comment