Wednesday, June 22, 2011

Sepotong Tubuh

Oleh: Oka Rusmini


PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang panjang. Aroma bunga cempaka berhamburan, berlompatan dan turun dari keping rambutnya yang mulai rapuh.

"Aku ingin menari. Bisakah? Adakah tempat untukku menari? Aku masih memiliki tubuh. Setiap lekuknya kupersembahkan untuk Tuhan!" 

Dia menyanyikan kidung yang indah. Begini bunyinya. Alahu kumarem maremkan santonyakaremDuremkem sermemiymbcde seremkybbbbBeremkem senem geremdem bademrem. Entah apa artinya, tetapi orang-orang kampung senang mendengar suaranya yang indah. Dialah satu-satunya perawan suci di kampung itu, tempat para perempuan mengadukan nasib mereka. 

"Kau jelmaan dewi, tolong aku, lelakiku tak habis-habisnya mencangkuli tubuhku. Lihat!" 

Perempuan dua puluh tahun itu membuka kebayanya, puting susunya hampir lepas. Lehernya yang jenjang penuh gigitan. Punggungnya yang kurus dipenuhi tulang-tulang yang menonjol, penuh keratan. Kau bisa menyaksikan sapu lidi, potongan kayu, juga ada runcing pisau, dan paku. 

"Lelakiku berniat memakan tubuhku, tolong aku!" Perempuan itu bersimpuh, mencium lantai tempat perempuan setengah baya itu duduk. 

"Aku ingin menari? Kau ingin melihatnya?"

"Aku tidak ingin melihat pementasan tari. Katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku sudah tidak tahan. Lelaki itu terus memahat tubuhku. Aku bukan kayu, dan tidak ingin jadi patung hidup!"

"Pernahkah kau telanjang?""Apa maksudmu?""Aku bertanya padamu! Pernahkah kau telanjang?!"

"Pertanyaan apa itu!"

"Aku hanya ingin jawabanmu. Kalau kau minta tolong padaku, kau juga harus jujur menjawab pertanyaan yang kuajukan padamu. Hanya perempuan tolol yang tidak mengerti bahasa!"

"Aku sedang susah. Aku perlu bantuanmu. Aku capek mendengar pidato! Orang-orang di luar sudah sering meracau. Apa kau juga ingin belajar pidato? Di jalan-jalan kutemukan mulut-mulut terbuka. Ratusan suara muncul, tak mengubah apa pun. Tolong, jangan beri aku kotbah!"

"Aku tidak sedang berkotbah. Aku hanya ingin telanjang."

"Untuk apa?"

"Untuk menutup mulut para lelaki yang membuatku muak. Kau pikir aku tidak sumpek! Radio isinya kotbah, televisi juga. Hotel-hotel dipenuhi orang-orang yang membuka mulut mereka lebar-lebar. Kau pernah melihat para manusia itu memiliki mulut yang lebih besar dari tubuh mereka, bahkan kulihat mulutnya memakan kepala." 

"Hyang Jagat! Sungguhkah itu?!" 

"Iya. Aku melihat orang-orang di jalan berhimpitan, karena jalan raya sudah dipenuhi oleh tumpukan kertas seminar, huruf-huruf yang berlarian di trotoar. Aku sesak nafas!"

"Hyang jagat!"

"Makanya aku ingin telanjang, mungkin aku bisa membersihkan bumiku ini dari tumpukan suara-suara itu, aku akan menelannya."

"Dengan telanjang?"

"Iya. Kau mau ikut?"

"Aku seorang istri, aku akan berdosa bila mempertontonkan tubuhku di jalan! Apa kata Tuhan?"

"Tuhan tak pernah bersuara."

"Aku takut dosa."

"Pernahkah kau telanjang?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Aku ingin jawaban, pernahkah kau telanjang di depan orang lain?"

"Ya!"

"Kau senang melakukannya?"

"Rasanya tidak."

"Untuk siapa?"

"Lelakiku."

"Lelaki yang memahat tubuhmu ini?"

"Ya."

"Maukah kau telanjang untuk orang lain?"

"Lelakiku akan membawakan parang, lalu menebas kepalaku. Aku akan mati, jangan suruh aku melakukan itu. Di tubuhku, ada potongan daging yang baru tumbuh, usianya baru dua bulan."

"Kau harus ajak daging hidupmu itu telanjang."

"Tetapi dia masih potongan daging!"

"Itu yang bagus!"

"Besok, ketika matahari terbenam kau boleh datang padaku. Kau bisa lihat tubuhku. Kau mau?"

"Melihat tubuhmu?"

"Ya. Aku ingin menari telanjang."

"Apa menariknya tubuhmu?"

"Kau ingin menyaksikan tubuhku menelan sampah huruf-huruf yang ditebar orang-orang di luar itu kan?"

"Kau akan telanjang? Bukankah kau perawan suci tempat para perempuan mengadukan nasibnya?"

"Aku juga memiliki keinginan. Kau perempuan tolol! Apakah tubuhmu hanya untuk lelakimu? Tidakkah kau ingin bersedekah pada kosmis dan membiarkan kosmis juga menyaksikan aroma tubuhmu?"

"Kupikir kau mulai gila!" 

Perempuan muda itu menggigil. Telanjang di trotoar? Sambil menari? Bukankah itu ide gila!Hyang Jagat! Apakah perempuan di negeri yang penuh carut marut ini juga mulai gila! Perempuan itu berjalan ke luar. Benar saja, setiap dia berpapasan dengan mahluk, sepertinya dia benar-benar kaget. Mereka tidak memiliki telinga. Wajah mereka datar, mata mereka kosong. Tanpa malu-malu mereka telanjang, melepaskan seluruh serat yang menempel di tubuh mereka. Perempuan muda itu mencium bau bunga cempaka.Hyang Jagat! Tiba-tiba aja dia merasa ada yang mau melepaskan pakaiannya secara paksa, dia berteriak! Dan terus berlari!


picture from here

Perawan setengah baya itu mengusap rambut panjangnya. Membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Dia memejamkan mata sambil menghirup kuncup bunga mawar yang mulai merekah persis di depan jendela. Harum bunga itu begitu menggairahkannya. Dia merasa tubuhnya mulai berair. Helai-helai rambutnya mengusap seluruh bagian tubuhnya. Perempuan itu memejamkan mata.

"Apakah aku akan hamil?"

"Kau mau?"

"Ya, aku ingin hamil. Merasakan sebuah cairan bisa memecahkan dagingku. Apakah ada cairan yang begitu hebat! Konon tubuhku juga berasal dari cairan itu? Tetapi Karna tidak memerlukan cairan untuk lahir. Bisakah aku melahirkan anak tanpa memecahkan tubuhku, seperti Kunti melahirkan Karna?"

"Kau bukan Kunti!"

"Kami memiliki kesamaan!"

"Apa?!"

"Kami sama-sama perempuan!"

Suasana hening. Perempuan itu memejamkan matanya, lalu mengusap tubuhnya dengan udara pagi yang memiliki beratus-ratus tangan. Perempuan itu menggeliat, begitu banyak tangan mengusap tubuhnya. Dia merasakan kehangatan yang dalam, dia merasa dicintai dan dikasihi. Tiba-tiba saja dia ingat pada ibu! 

"Ibu, kaukah itu?"

"Kenapa, kau takut?"

"Tanganmukah?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Untuk apa? Kau suka sentuhanku?"

"Aku merindukan kau!"

"Jangan cengeng!"

"Tidak bolehkah perempuan menangis?"

"Tidak! Aku juga tidak suka mendengar suaramu yang merengek seperti itu. Tolol!"

"Di depanmu tidak bolehkah aku menangis?"

"Tidak!"

"Tetapi aku ingin menangis!"

"Aku akan pergi! Aku tak pernah mengajari kau kecengengan!"

Perempuan itu terdiam. Ya, ibu memang tidak pernah menangis, dia pernah menyaksikan aji membawa perempuan muda, memasukkan ke rumah dan memeliharanya tiga hari. Ibu tidak pernah menangis, beratus-ratus perempuan muda selalu datang dan pergi, memandang ibu dengan penuh ejekan. Ibu tetap tanpa ekspresi, sibuk majejahitan, atau mempersiapkan rangkaian sesaji untuk merajan. Kerja ibu hanya berkutat dengan benda-benda itu. Kadang terpikir oleh perempuan itu, apakah ibu memiliki kekasih para leluhur? Apakah ibu bercinta dengan mereka? Ibu tidak pernah menunjukkan kelaparannya sebagai istri? Sorot mata ibu tetap ingin.

"Ibu, pernahkah ibu memiliki keinginan?"

"Tentu."

"Apa?"

"Aku ingin kau tidak cengeng. Hanya perempuan tolol yang selalu mengeluh dengan hidup. Hidup itu harus diajak bertarung. Kau harus mampu bersabung dengannya. Kalau kau menang, itulah nikmatnya menjadi perempuan!"

"Apa artinya itu?"

"Cari sendiri, kelak hidup sendiri yang akan menuntunmu!"

Ibu tidak pernah berkata lembut. Suaranya tegas, bahkan cenderung kasar, padahal dia seorang rabi, istri terhormat. Tetapi ibu memang tidak begitu peduli dengan simbol-simbol kehormatan itu. Bagi ibu, bagaimana dia bisa tetap hidup dan mendidik anak-anaknya! Mungkinkah ibu memiliki kekasih para dewa? Dewa siapa yang mau menjadi kekasih ibu? Habis, ibu tidak pernah berhenti ke merajan. Jangan-jangan ibu bercinta di balik tembok pelinggih, atau di atas bunga kamboja, atau di bawah guguran bunga-bunga itu?

"Aku ingin telanjang!" 

Perempuan itu berteriak. Mengurai rambutnya, memandikan tubuhnya dengan kembang. Lalu di bukanya jendela lebar-lebar, dia meloncat, menari, dan berjalan di trotoar, sambil memunguti tumpukan huruf-huruf memasukkannya ke mulut. Semakin terik matahari semakin banyak perempuan mengikuti dirinya, mereka telanjang! Menelan huruf-huruf. Hyang Jagat, mereka hamil! Apa mereka akan melahirkan Kurawa? 



Denpasar, Juli 2002 


picture from here


No comments:

Post a Comment