Thursday, February 7, 2019

Pembuatan Visa Australia Secara Online, 3 Jam Saja!



Perjalanan saya ke Australia di bulan Desember 2018 lalu sebetulnya bukanlah sesuatu yang direncanakan. Kalau bukan karena my lifetime-favorite singer, Shania Twain, menyelenggarakan world tour yang mampir ke Australia, mungkin saya tidak pernah menginjakan kaki di benua ini.

Karena sebagai warga negara Indonesia kita wajib memiliki visa untuk mengunjungi negeri kangguru ini, maka sejak tiket konser sudah dikantongi, hal pertama yang saya cari tau adalah tentang persyaratan pembuatan visa Australia. Dari hasil browsing sana-sini, akhirnya saya ketemu lagi dengan blog Java Milk (dulu saat mau apply visa UK blog ini juga yang jadi panduan saya). Nah, dari sini saya tau bahwa sejak tahun 2017 kita sudah bisa mengajukan visa Australia secara online.

Keuntungannya apa mengajukan visa secara online? Dalam hal ini tentu kamu hemat waktu dan biaya, karena semua bisa dilakukan dari mana saja, tanpa perlu datang ke VFS di Kuningan City (tempat mengajukan visa Australia secara offline di Jakarta). Pembayaran bisa dilakukan dengan credit card, dan berhemat sekitar IDR 165,000 (biaya admin yang harus dibayar jika kamu mengajukan secara offline). Setelah submit semua dokumen persyaratan secara online, kamu tidak perlu datang lagi untuk interview, foto, atau pun pengambilan sidik jari. Hasil visa kamu akan dikirimkan via email.

Dari berbagai sumber yang saya baca, pembuatan visa Australia ini memakan waktu sekitar 30 hari kerja. Jadi sebaiknya kamu apply visa sekitar 1-2 bulan sebelum tanggal keberangkatan. Karena saya pergi di pertengahan Desember, maka sejak awal Oktober saya sudah mempersiapkan semua dokumen persyaratannya. Apa saja yang dibutuhkan?


Required Documents:

- Print dan isi formulir aplikasi visa (Form 1419 - untuk turis). Form bisa kamu download melalui website resmi VFS

- Passport halaman depan dan belakang yang masih berlaku minimal 6 bulan sebelum tanggal keberangkatan

- Semua halaman passport yang sudah ada cap imigrasi negara lain / Evidence of previous travel

- Foto ukuran 3,5 x 4,5 cm, background putih

- Akte lahir

- Kartu keluarga

- Print out rekening tabungan atau slip gaji selama 3 bulan terakhir

- Tiket pesawat pulang-pergi

- Bukti pemesanan hotel 

- Itinerary

* (Opsional) Jika aplikasi diajukan oleh orang lain maka harus mengisi Form 956a dan Form 1229 untuk anak di bawah usia 17 tahun.

Semua dokumen di atas harus kamu scan dengan baik (tidak buram, tidak blur, tidak kotor) dan disimpan dalam format PDF atau JPG. Untuk formulirnya tentu saja harus kamu isi terlebih dahulu sebelum di-scan ya. Biaya yang harus dibayarkan sebesar AUD 142 per orang.

Nah, karena saya ini bekerja sebagai freelancer, saya menyertakan beberapa dokumen penunjang juga. Karena apa? Pertama, saya pernah punya riwayat mendapat penolakan pengajuan visa (baca ceritanya di sini). Kedua, ya karena pekerjaan freelancer ini yang sering dianggap bisa "kabur" sewaktu-waktu, jadi daripada dianggap mau jadi imigran gelap, lebih baik disiapin aja dari awal bukti penunjangnya. Apa saja?


Additional Documents:

- Surat referensi dari semua perusahaan tempat saya bekerja sebagai freelancer
- Surat Nikah
- KTP
- Print out tagihan kartu kredit selama 3 bulan terakhir
- Print out rekening tabungan suami selama 3 bulan terakhir
- Slip gaji suami selama 3 bulan terakhir


Sama dengan dokumen di atas tadi, semua harus di-scan dengan baik (tidak buram, tidak blur, tidak kotor) dan disimpan dalam format PDF atau JPG.

Catatan: setelah di-scan, masing-masing dokumen diberi nama yang jelas. Misalnya, "Copy Passport Front and Back Side".

Setelah semua dokumen tersebut telah siap, langkah berikutnya adalah membuat Immi Account. Akun ini diperlukan jika kamu ingin mengajukan visa Australia secara online. Setelah membuat akun, akan ada email verifikasi yang perlu kamu klik sebelum lanjut ke proses berikutnya. 

Selanjutnya tinggal login ke Immi Account kamu, kemudian pilih New Application, lalu Visitor Visa (600). Lanjutkan dengan isian seperti lokasi kamu, alasan pengisian visa, data diri, sampai ke tahap upload.

Nah, ditahap upload ini kamu harus perhatikan, ada bagian "Required" dan "Recommended". Maka semua dokumen wajib persyaratan visa (passport, foto, itinerary, evidence of previous travel, bukti keuangan, family)  harus kamu upload ke bagian "Required". Jika ada dokumen penunjang bisa kamu upload ke bagian "Recommended". Setelah selesai tinggal klik "Submit Application".

Kamu akan menerima email "ÏMMI Acknowledgement of Application Received" dan tinggal tunggu deh email pemberitahuan berikutnya (IMMI Grant Notification) untuk hasil visa kamu. Jika dapat visanya maka bisa kamu print dan di-attach di passport kamu. Walaupun katanya tidak diperlukan, tapi saya tetap melakukan itu untuk jaga-jaga di imigrasi.

Dan tau apa? untuk pengajuan visa Australia saya yang pertama kali ini saya mendapatkan hasilnya hanya dalam waktu 3 jam saja. Dan multiple untuk 3 tahun. Wow, it was a big shocking for me, to be honest!


Disclaimer: lama proses pengajuan visa setiap orang bisa berbeda-beda, cerita di atas hanyalah pengalaman saya pribadi. Tapi katanya, katanya lho yaa, memang pengajuan visa Australia adalah salah satu yang paling mudah dan cepat.


Kiri: email setelah submit aplikasi, 12 Okt 2018, pukul 10:09
Kanan: email hasil visa, 12 Okt 208, pukul 13:05


Monday, February 4, 2019

Live My Life On My Own Terms

• Love myself first, then others. Self-love is not selfish, it's important.

• Menerima diri ini apa adanya. Belajar memaafkan masa lalu

• Be kind and be honest to myself first, then others.

• My happiness is my responsibility. And I don't responsible for other people's happiness.

• Sehat badan, sehat pikiran, dan sehat jiwa.

• I'm in control of my own life. Kehidupanku adalah pilihanku. Aku bertanggungjawab atas semua pilihan yang aku ambil.

• Hidup: 99% berusaha, 1% pasrah (atas ketetapan -Nya).

• I have a freedom to express myself and do what I want to do, as long as I know I don't bring harm to others.

• What others thinking about me is not my business.

• Don't compare my timeline with other people's timeline. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing.

• I am enough and fullfilled.

• Work hard and be productive.

• Mandiri secara finansial dan mandiri secara pikiran.

• Bisa berbagi dan membantu lebih banyak secara materi dan non materi.

• Be grateful, always

• Bebas hutang dan harus punya investasi.

• Travel when possible

• Keep learning new things to improve myself.

• I would not consciously showing off my material things. I have my own class you can't compare with it.

• Everything take time, be patient! Apa yang kulakukan hari ini hasilnya mungkin tidak terlihat sekarang tapi pasti Tuhan dan semesta sedang bekerja untuk kehidupanku.




PS: This is my terms to living my own life. Dibuat setelah hari Sabtu lalu mengikuti workshop dengan Claudia Kaunang. Empat jam menghabiskan waktu untuk belajar banyak hal baru, pengetahuan baru, dan mendapat ide-ide baru. Tahun 2019 ini saya ingin lebih peduli dan fokus kepada diri sendiri. Melakukan improvement untuk diri sendiri dengan mengikuti workshop/kursus/seminar untuk memperkaya ilmu serta kemampuan saya. Ini hidup saya, kalau bukan saya sendiri yang peduli, siapa lagi? Terms yang saya buat di atas mungkin saja akan berubah lagi ke depannya. 

You also can make it your own version.

Sunday, February 3, 2019

One Day Tour: Stratford upon-Avon, Stow On the Wold, Oxford

September, 2017


Perjalanan dari London ke Oxford diiringi hujan sepanjang jalan. Hening mendominasi suasana di dalam mobil yang membawa kami ke sana. Sesekali saja sang tour guide berbicara tanpa ada yang menanggapi. Saya sibuk memandang ke luar jendela menikmati hamparan padang datar yang luas khas countryside Inggris dan juga hutan penuh pohon birkin yang daunnya mulai memberi warna khas musim gugur.

Pemberhentian pertama kami di Stratford upon-Avond, sebuah kota kecil yang cantik tempat kelahiran penyair terkenal William Shakespeare. Kami mengunjungi The Shakespeare Center, semacam museum tempat menyimpan banyak koleksi dari kehidupan Shakespeare di masa dulu. Kemudian kami memasuki rumah yang dipercayai sebagai rumah tempat kelahiran Shakespeare. Kalian bisa melihat berbagai  barang di dalam rumah tersebut masih terawat dengan baik, tempat tidur dimana Shakespeare dilahirkan pun masih berada di sana. Penampakan rumah ini khas sekali bangunan Inggris di masa lalu, dengan taman yang cantik di sekelilingnya. Di bagian belakang terdapat toko suvenir, menjual berbagai barang yang berhubungan dengan Shakespeare. Perjalanan dilanjutkan menuju Anne Hathaway's Cottage, yang merupakan rumah masa kecil dari istri William Shakespeare. Sayangnya kami hanya diberi waktu 5 menit untuk turun dan mengambil foto. Saya kira kami akan mampir juga di Trinity Church, gereja yang terdapat makam Shakespeare, namun ternyata tidak. Dan gerimis mulai turun kembali saat kami melanjutkan perjalanan menuju Costwold.

Rumah tempat kelahiran William Shakespeare.

Hujan semakin deras ketika kami berhenti di Stow-on-the-Wold, Costwold, untuk makan siang. Costwold sendiri merupakan salah satu daerah di dekat Oxford yang memiliki banyak sekali desa kecil yang cantik. Bahkan karena keindahannya, oleh pemerintah Inggris wilayah ini dijuluki  sebagai "Area of Outstanding Natural Beauty". Kami hanya diberikan waktu satu jam oleh sang tour guide untuk berada di sini, jadi saya langsung menuju sebuah cafe kecil di sana untuk makan siang sekaligus berteduh. Setangkup chicken sandwich dan segelas minuman hangat cukup untuk mengganjal perut. Hujan mulai reda ketika saya selesai makan. Masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum perjalanan menuju Oxford dilanjutkan, jadi saya putuskan mengelilingi wilayah sekitar. Rumah-rumah dari batu berwarna kekuningan mendominasi bangunan-bangunan di sini. Rasanya seperti berjalan di dalam buku dongeng. Indah sekali. 

Kalau suatu saat nanti ada kesempatan lagi untuk datang ke Inggris saya pasti akan mengambil tour khusus di daerah Costwold untuk mengunjungi berbagai desa tercantik di Inggris Raya ini.

Deretan toko suvenir di Stow-on-the-Wold

Perjalanan menuju Oxford berlanjut dan hujan turun kembali. Kami tiba di Oxford sekitar pukul dua siang, masih gerimis, namun tak menghentikan walking tour kami ke Christ Church College, Bridge of Sighs, Boudlain Library, dan Divinity School. Sayangnya, kami tidak masuk ke dalam Christ Church College yang terkenal sebagai lokasi syuting film Harry Potter. Jadi keinginan saya melihat Great Hall Hogwarts dan tangga dimana Harry pertama kali bertemu dengan Prof. McGonagall tidak bisa tercapai. Sebagai Potterhead tentu saja saya kecewa. Namun kekecewaan itu lumayan terbayar ketika kami memasuki Divinity School. Tempat ini juga merupakan salah satu lokasi syuting film Harry Potter yang digunakan sebagai kelas dansa bersama Prof. McGonagall dan juga ruangan rumah sakit di Hogwarts, tempat Harry dirawat setelah bertarung pertama kalinya dengan Voldermort.

Meski hanya beberapa jam menghabiskan waktu di Oxford tapi kota ini jelas membuat saya jatuh cinta terutama dengan suasana dan bangunan-bangunan tuanya. Universitas Oxford di sini juga merupakan universitas tertua di Inggris dan menjadi almamater bagi banyak tokoh ternama dunia. Tanggal berdiri universitas ini tidak pernah diketahui secara pasti namun diperkirakan kegiatan belajar-mengajar di Oxford telah dimulai sejak tahun 1096. Tidak cukup sehari mengelilingi kota ini, mungkin menghabiskan dua malam di sini akan terasa lebih sempurna. Sayangnya waktu kunjungan saya kali ini tidak banyak. But it means there's a "I'll see you again" for Oxford.


Kenal ruangan ini? Yup! Tempat Ron Weasley belajar dansa dengan Prof. McGonagall.

Untuk tour yang saya ikuti ini adalah dari www.internationalfriends.co.uk. Kalau dinilai skala 1-10, nilai saya untuk tour ini hanya 5. Karena apa? Harganya cukup mahal untuk one day tour, saya membayar GBP 278 untuk dua orang. Kami tidak mendapat makan siang, sang tour guide juga tidak cukup attractive menurut saya pribadi, dan di beberapa tempat kami sangat diburu-buru. Kemudian kami juga tidak berhenti di Bourton on the Water (saya kira ini dikarenakan hujan saat itu), dan banyak tempat di Universitas Oxford yang hanya kami lewati dari luarnya saja.

Keputusan saat itu untuk mengambil tour ini adalah dikarenakan layanan mereka yang mempunyai meeting point di depan British Museum, yang mana lokasinya tidak jauh dari penginapan kami dan akan mengantar kami kembali ke London. Jadi kami tidak perlu repot lagi mencari transport ke- dan dari Oxford. Padahal salah satu tujuan utama kami ingin ke Oxford adalah untuk mengunjungi lokasi-lokasi syuting film Harry Potter dan tour ini rasanya memang tidak tepat.

Kalau kamu Potterhead dan punya tujuan yang serupa dengan kami, banyak sekali tour di Oxford yang menyediakan walking tour khusus Harry Potter. Salah satu yang jadi pertimbangan saat itu adalah www.experienceoxfordshire.org. Kalian bisa mengambil ""Harry Potter and Alice In Wonderland Official Oxford Tour" di sana, dengan harga yang jauh lebih murah, hanya GBP 25 per orang. Hanya saja tour ini tidak berlangsung setiap hari, dan hanya berdurasi 2 jam, meeting point pun berada di Oxford langsung, yang artinya jika kamu datang dari London, kamu harus cari sendiri transportasi untuk ke sana.


Friday, January 11, 2019

Berkaca Dari Perjalanan


Apa yang paling mengesankan dari setiap perjalanan? Banyak tentunya. Apalagi kalau kamu berkunjung ke negara lain yang lebih maju daripada negara tempat kamu tinggal. Banyak hal yang bikin kagum, banyak hal yang bikin takjub.

Dari perjalanan ke London, Melbourne, dan Sydney, banyak hal yang bikin saya merasa malu jadi orang Indonesia karena ngerasa, duh, ini negara ketinggalan banget deh. Kapan majunya? Kaya saat passport gak bisa di-scan di bandara Sydney, berdiri stuck hampir 20 menit di line imigrasi, diliatin orang-orang cuma gara-gara kertas passport yang udah tahun 2018 masih aja harus di-input manual karena gak bisa kebaca di mesin scanner. Tapi gak sedikit pula alasan yang membuat saya bersyukur jadi orang Indonesia. Saat menggigil kedinginan di London, rasanya udah mau mati, saya kangen banget ada di Jakarta yang mataharinya tiap hari muncul. Untuk makanan Indonesia yang enak-enak dan murah meriah, sementara makanan di sana udah hambar, mahal pula. Ya begitulah hubungan sama negeri sendiri, benci, benci, benci, tapi rindu.

Dari perjalanan di tiga kota besar ini yang membuat saya paling terkesan adalah soal sistem transportasinya yang canggih, serba teratur, bersih, dan tepat waktu. Selain itu apalagi? Banyak! Udaranya yang bersih, minim polusi, trotoar lebar untuk pejalan kaki yang gak perlu rebutan sama motor atau tukang jualan, banyak taman kota yang luas, museum yang bagus-bagus, infrastruktur yang baik, gak ada macet, gak ada motor yang seliweran sembarangan dengan klakson yang berisik. Yang paling utama soal kesadaran masyarakatnya yang tinggi untuk tertib dan disiplin.

Salah satu taman kota di Melbourne yang luas, bersih, gak ada pedangang kaki lima 😛


Menjadi negara maju itu bukan sekedar menyediakan fasilitas canggih luar biasa dan yang paling terdepan. Bukan cuma soal pemerintahan yang baik dan gak korup. Menjadi negara maju juga perlu mentalitas kuat serta kesadaran tinggi dari masyarakatnya untuk mau tertib, disiplin, mandiri. Sebaik apa pun pemerintahan, sehebat apa pun fasilitas yang diberikan, semua akan sia-sia kalau masyarakat yang hidup di dalamnya minim kepedulian dan kesadaran untuk menjaganya bersama-sama.

Tapi perjalanan ke luar negeri, mengunjungi negara-negara yang lebih maju juga tak sepatutnya dijadikan ajang sibuk mencaci-maki negeri sendiri hanya karena terpukau atas kehebatan negara lain. Karena kadang kita hanya terlalu sibuk menertawakan kekurangan tanpa tahu bagaimana menjadikannya lebih baik. Sibuk mengkritisi tapi tak mengambil peran nyata dalam memperbaikinya.

Perjalanan kerap kali membuat saya berkaca diri, apa yang perlu saya lakukan setidaknya yang dapat dimulai dari diri sendiri. Hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk menjadikan tempat kita tinggal terasa lebih baik. Sederhananya saja, gak buang sampah sembarangan, tertib antri, gak merusak fasilitas umum, dll.

Perjalanan itu selayaknya memang membuka mata dan pikiran kita untuk lebih luas lagi memandang dan mampu berpikir lebih bijaksana.


Oxford Street, London, trotoar luas hanya untuk para pejalan kaki. 😊





Thursday, January 3, 2019

Cerita Dari Para Homeless

London, September 2017

Sore itu saya baru saja keluar dari stasiun Tottenham Court Road, hendak balik ke hotel kami di Dean Street. Di tengah keramaian orang di sekitar Oxford Street seorang perempuan paruh baya, berkerudung hitam, dari wajahnya saya tebak sepertinya dari Timur Tengah, menghampiri saya. "Assalamualaikum, Sister... Can you buy me a food, please?", katanya. Saya menggeleng dan berkata, "No, sorry." sambil terus berjalan. Tidak sampai semenit saya jalan rasa bersalah menghinggapi diri. Saya ingat saat itu saya bilang ke Ena, "Yaaah, itu ibu-ibu tadi padahal cuma minta dibeliin makanan." Rasa bersalah itu tak kunjung hilang hingga saya tiba di hotel.

Malamnya Ena nonton Harry Potter and the Cursed Child, saya karena gak kedapetan tiket jadi kelilingan sendiri di Oxford Street, kemudian malah berakhir dengan belanja di Primark. Keluar dari Primark saya masih celingukan di sekitar Oxford Street karena mikir mungkin ibu-ibu tadi masih ada di sekitar sini. Tapi gak ketemu lagi. Semalaman itu gak tau kenapa saya ingat ibu-ibu itu terus.

Sampai di Jakarta cerita tadi saya kisahkan ke suami. Dia suruh saya sedekah di Jakarta aja sebagai pengganti rasa bersalah tadi. Jadi waktu itu saya niatkan masak sendiri, bikin nasi kotakan untuk dibagiin ke pengemis di sekitar wilayah dekat rumah. Apa rasa bersalahnya hilang? Ternyata tetap enggak. Bayangan atas kesombongan saya saat di London itu masih terus ada.



Cerita tadi memang kesannya biasa saja. Menolak memberikan uang ke pengemis kan di Jakarta juga sering, tapi entah kenapa peristiwa di London itu begitu membekas. Saya seperti ditampar entah oleh apa. Wajah ibu itu, apa yang ia ucapkan, lalu bagaimana cara saya menolaknya, semua detailnya masih jelas sekali saya ingat. Seperti ada hantu yang terus gentayangan di dalam pikiran dan membisikan betapa sombongnya diri ini.

Bagaimana tidak sombong, Allah kasih saya rejeki yang berlimpah sekali di tahun 2017 itu. Keinginan saya yang sudah bertahun-tahun untuk menginjakkan kaki di London dikabulkan, Visa UK yang sudah sempat ditolak ternyata diberikan kemudahan lagi untuk mendapatkannya. Tapi ketika ada orang lain minta sedikit saja rejeki dari saya, mudah banget saya tolak mentah-mentah.

Sudah setahun lewat sejak perjalanan di London saat itu, tapi peristiwa tersebut masih lekat dalam ingatan.

No one has ever become poor by giving

Sydney, Desember 2018

Sore itu juga sama. Saya dalam perjalanan balik menuju hotel. Sydney hujan badai, angin kencang sekali, sampai payung saya berubah jadi mangkok berkali-kali. Jarak dari stasiun King Cross menuju hotel tempat saya tinggal berjarak kurang lebih 1 km, dan saya harus jalan kaki ke sana. Jalanan gak ramai, semua orang berjalan cepat-cepat menghindari hujan angin yang kencang. Dari kejauhan saya lihat seorang perempuan duduk di depan toko. Mendekap dirinya, kehujanan, tanpa payung, bahkan tanpa mengenakan jaket. Seketika saya bertanya sendiri dalam hati, "itu pengemis bukan sih?" karena pakaiannya bersih dan cukup bagus, dan tak ada barang-barang di sekitarnya seperti kebanyakan pengemis lain yang saya temui di jalanan. Namun saat itu juga bayangan perempuan pengemis di London tahun lalu tiba-tiba muncul lagi di kepala saya. Saya yang juga kebasahan saat itu cuma mikir satu hal, jangan sampai kejadian seperti di London terjadi lagi.

Ketika jarak semakin dekat, perempuan ini sudah menatap ke arah saya. "Give me just ten cents, please!" katanya.

Alhamdulillah, penyesalan yang sama tidak lagi hinggap hingga saya menulis cerita ini.

Melbourne, The Most Liveable City in the World.

Apa yang mau saya sampaikan sebetulnya dari cerita ini adalah kita manusia kerap merasa ketakutan kekurangan rejeki, hingga mau berbagi pun rasanya berat sekali. Padahal rejeki sudah dijamin oleh Allah. Kenapa begitu sombong saat memiliki sesuatu? Padahal apa sih yang kita punya sebetulnya?

Kisah dalam perjalanan saya di atas tadi betul-betul menjadi ingatan yang lekat sekaligus pelajaran yang membuat saya belajar untuk terus bersyukur atas apa yang saya punya, sedikit apa pun itu dan kesadaran untuk selalu mau berbagi rejeki dengan orang lain.

Ada dua hadist yang sampai sekarang akan selalu saya ingat. Dikatakan... "Bersedekahlah, supaya engkau diselamatkan dari api neraka, walaupun hanya dengan sebutir kurma." Dan, "tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan kecuali ia bertambah, bertambah, bertambah."

Kadang kita memang perlu melihat ke bawah untuk terus bisa merasa bersyukur. 

Banyak cerita dari London dan Australia yang belum saya sempat tuliskan di sini, sebagiannya mungkin bahkan saya sudah lupa. Tapi cerita ini adalah kisah pertama dari dua perjalanan saya terakhir yang ingin saya bagikan di sini, sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, semoga juga bagi orang lain yang membacanya.

Berbuat baiklah. Niscaya kebaikan itu akan berbalik kepada kita.


PS: Ini sedikit kesan saya melihat para homeless di London, Melbourne dan Sydney. Meskipun  di negara maju, jumlah homeless di sana ternyata juga lumayan banyak. Tapi satu hal yang bikin saya kagum, banyak banget homeless yang saya temui selama diperjalanan, meski tidur di jalanan, meski ga punya rumah, mereka tetap baca buku. Buku dan anjing, dua hal itu yang  banyak saya lihat tetap mereka punyai meski berada di jalanan.


Jakarta, 3 Januari 2019
"Selamat Tahun Baru"