Tuesday, February 28, 2012

Karena Menulis

Kata Pramoedya, "Tahu kah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun?
Karena kau menulis."

Kata suamiku, "Aku suka kamu, karena kamu menulis. Meskipun tulisannya jelek." :D

Kabar Bahagia

"Aku tidak permah memintanya, Tuhan."
"Tapi kau tidak pernah juga bilang tidak mau."
"Bukankah sudah cukup?"
"Memang. Tapi aku ingin memberi lagi."
"Rasanya aku tidak siap."
"Masih ada waktu bersiap sembilan bulan ke depan."

***

Malam itu aku tidur lelap sekali. Begitu merasa damai, sambil mengusap-usap perutku. Ada yang tumbuh di dalamnya. Sesosok janin dititipkan lagi kepadaku. Akan genap empat jumlahnya, nanti. Anakku.

***

"Halo!"
"Hei."
"Say, kita bisa ketemu siang ini."
"Bukannya kamu kerja?"
"Ada yang perlu kukatakan padamu."
"Mendesak?"
"Kabar bahagia."
"Lalu, nanti pekerjaanmu?"
"PNS, gampang kan, say."

***

Siang itu aku menyambangi kosannya. Dia sudah menunggu. Wangi sampo dan asap rokok tercium jelas, ketika aku memeluknya.


"Jadi, kabar bahagia apa?"
"Aku tidak pernah suka kondom. Kamu tahu, kan? Kukira asik juga, kita tidak perlu berurusan dengan benda itu, setidaknya untuk sembilan bulan ke depan."


Dia diam. Matanya berkedip sekali. Dengan jelas aku bisa lihat ada kekagetan yang tersirat di wajahnya. Lalu mengucapkan selamat.


"Tidak mau menciumku?" 

Sekilas. Dia mengecupku di pipi.

"Suamimu sudah tau?"
"Belum."
"Umh, anaknya, kan?"
"Hahaha...."



Monday, February 27, 2012

Di Atas Ranjang

Cintamu luntur
Ingin pun surut

Namun,
Gairah mendesak
Mendesah
Ciuman, ciuman, ciuman
Lalu erangan

Lantas,
Siapa yang kau ingat?
Siapa yang kau khianati?



Jakarta, 27 February, 2012

Beginilah

Aku, beginilah. Pemarah, penuh emosi, arogan, keras kepala, out of control. Melontarkan kata-kata yang melukaimu, melempar makian, juga (bisa saja) gelas ke dinding. Aku yang selalu ingin berjalan dalam garis batas, bermain aman, menjadi sempurna. Naif.

Sebagian besar orang mungkin menilai negatif. Sebagian juga mungkin iri.

Aku tidak memungkiri apa-apa. Menyerahkan saja apa pun pendapat orang terhadapku. Aku kadang bersikap acuh, masa bodo dengan kata orang, selama tingkah lakuku tidak mengusik mereka. Dan untuk hal ini, aku, kukira masih cukup waras untuk tidak membiarkan diriku dengan sengaja melukai kehidupan orang lain.

Jadi, kukatakan pada semua di luar sana, silahkan bertingkah sesuka jidatmu. Tapi jangan pernah sekali pun menyentuh hidupku, melukainya. Apalagi jika telah kukirimkan peringatan, lalu kau anggap lalu. Karena aku mampu menghajar mukamu dan meremukkan hidupmu.

Kukirimkan rasa kasihanku sebanyak-banyaknya bagi orang-orang yang memungkiri kesalahannya, merasa dirinyalah yang didzolimi, dan berpura-pura suci.

***

Aku, beginilah. Pemarah, penuh emosi, arogan, keras kepala, out of control.

Tapi aku tidak menjadi munafik.


So what if it hurts me? So what if I break down? So what if this world just throws me off the edge. My feet run out of ground. ...Don't care about all the pain in front of me,
I just wanna be happy.

-LL-

Kebahagiaan

kebahagiaan dalam rumah kita
ialah seurat nadi dan sebilah pisau
yang dihidangkan sebagai santap pagi
siang dan malam.



Jakarta, 27 February, 2012


pic from here

Ketika Gelap

ketika senja menjadi gelap, ranting-ranting
ialah hatiku, yang ditinggalkan
kelopak-kelopak bunga, berguguran

kesepian dalam malam yang resah
seperti janji yang dikhianati


Jakarta, 26 February, 2012


Langit Hitam

bagaimana aku menjelma bunga rekah
jika kenangan pada kita ialah langit hitam
yang terbentang tanpa ada ujung
yang kupandang


Jakarta, 26 February, 2012


Friday, February 24, 2012

Kuutus Rindu

kuutus rindu untuk menjemput matamu
biar kumiliki purnama untuk malam ini
kuutus rindu menjelma ombak
agar perahumu segera pulang ke dermaga

rintik hujan mengetuk jendela
mengabarkan kisah resah



Jakarta, 24 Februari, 2012


Tuesday, February 21, 2012

Missing

pic from here


hey, you, yes you!
I missing your poems...

Tuesday, February 14, 2012

Tak Ingin Pulang

Aku berharap suamiku seorang bajingan. Seorang keparat yang kelakuannya brengsek. Seorang suami yang jarang pulang karena senang tidur dengan perempuan lain diluar. Sehingga aku tidak perlu merasa bersalah ketika aku juga berlaku bejat. Bertingkah seperti pelacur. Atau karena aku juga tak ingin pulang. 

Tapi suamiku cuma lelaki biasa. Lelaki standar. Lelaki kantoran yang pagi-pagi berangkat kerja, lalu malam hari pulang ke rumah. Lelaki yang cuma setor uang tiap bulan, lalu gak mau pusing bagaimana mengurus anak-anak, yang penting semua beres. Lelaki yang sampai rumah maunya tinggal makan dan tidur. Kalau bukan aku yang menyodor-nyodorkan bayi kami untuk digendong, bisa kuhitung dengan jari berapa kali suamiku punya inisiatif sendiri untuk menghampiri dan mengajak main  anak-anak dan bayinya.

Aku mengurus anak-anak. Aku mengantar mereka ke sekolah. Aku membantu mereka mengerjakan PR. Aku mengajari mereka menyanyi dan mengaji. Aku mengajari mereka bermain musik. Aku mengajarkan mereka bagaimana caranya menjadi orang baik. Agar besar nanti mereka tidak menjadi bajingan atau pelacur.

Kalau bukan karena anak-anakku, aku kerap kali tak ingin pulang ke rumah. Aku ingin tetap berada di pelukan laki-laki itu. Laki-laki yang selalu memberiku rasa nyaman. Laki-laki yang mendengarkan lagu-laguku, yang membaca puisi-puisiku, yang menawarkan madu di tiap hariku. Laki-laki yang mau dengan diam duduk di sampingku sambil menikmati bunyi hujan yang turun.

Namun setiap kali aku tak ingin pulang aku juga takut. Takut anak-anakku mencari ibunya. Takut suamiku meneleponku berkali-kali, dan menyanyakan aku ada dimana. Aku takut dianggap tak bertanggung jawab. Aku takut dicap jahat. Aku memang pecundang. Aku tak ingin melepaskan rasa nyaman. Aku tak berani mengakui kebenaran. Aku tak ingin kehilangan rasa aman. Aku tak mau dianggap perempuan tak tahu malu.

Aku benci setiap kali harus pulang. Aku benci menghadapi perpisahan. Lalu menahan-nahan rindu yang harus disembunyikan. Aku benci melalui malam untuk menanti siang dan berjumpa ia lagi. Mengulang kepedihan yang selalu nyeri. Aku benci untuk menanti bersama lagi. Menanti untuk kembali mendapat kesempatan sembunyi-sembunyi. Sembunyi-sembunyi bertatapan, bersentuhan, berpelukan, berciuman, bercinta dengan segenap rindu, segenap perasaan.*

Aku ingin bersama dia selamanya. Memeluk kebahagian yang selama ini tak pernah kurasa. Tak pernah? Benarkah, tak pernah? Atau sebetulnya memudar. Hmm, aku tak tahu. Aku tak mau peduli. Yang aku tahu aku mau bersama dia. Menggenggam tangannya, bersandar di dadanya, menghirup aroma keringatnya sehabis kami bercinta.

Aku benci ketika harus pulang. Kembali jadi penipu. Kembali dalam ikatan di bawah buku nikah. Aku muak kembali ke atas ranjang, dimana nafsu tak lagi memuncak meski melihat tubuhnya yang telanjang. Kembali berpura-pura bahagia di depan keluarga, di depan mertua mertua dan sanak saudara. Kalau bukan karena ada anak-anak, mungkin aku sudah kabur dari rumah. Menuntut cerai. Menjadi bebas. Dan berhenti menjadi penipu. Lalu lari dalam pelukan laki-laki itu.

Tapi malam itu sungguh aku tak ingin pulang. Malam menjadi begitu panjang dan sunyi. Sepertinya pagi tak ingin kunjung datang. Aku kalut dalam bimbang dan amarah, setelah pertemuan kami malam itu yang masih saja sembunyi-sembunyi setelah beberapa bulan lalu ia pindah ke ibukota.


Kasih, aku ingin kau pulang. Dan semoga semua akan menjadi baik-baik saja. Sebab setelah malam ini aku tak akan datang lagi. Maafkan aku, tapi setelah berulang kali kita meyakini perpisahan akan terjadi, inilah saatnya yang tepat. Meski aku tahu kau selalu meminta waktu agar bisa melupakanku pelan-pelan. Tapi bukankah itu makin menyakitkanmu? Jadi inilah keputusanku. Pulanglah! Sebab seperti pernah kukatakan kepadamu, aku tidak bisa meneruskan hubungan kita, jika aku menikah nanti. Dan aku akan menikahinya beberapa bulan lagi.


Pada akhirnya cinta dan kebodohan hanya berjarak tipis di saat kau buta dan terlena dalam mabuk asmara. Malam itu aku masih tidak ingin pulang. Langit penuh bintang, tapi kesunyian dan kepedihan terus merambat dalam hatiku.


Inspired by Three More Days - Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek



Thursday, February 9, 2012

Klise

Seharusnya dia berterima kasih padaku. Kalau bukan aku yang memaki-makinya dulu, mengusirnya agar pergi jauh-jauh, menendangnya hingga terjengkang berlumur airmata, mungkin sekarang ia masih hidup menjadi pembohong, penipu, pengkhianat.

Setelah ditendang seperti binatang, ternyata toh ia bangkit juga. Tidak gila, apalagi sampai mati. Malah sekarang ia berkoar tentang ketegarannya. Menyadari betapa bodoh dirinya yang dulu merasa seperti perempuan paling menderita di dunia sebab ditinggalkan. Merasa kebahagiaan hidupnya direnggut. Tapi kemudian sadar bahwa (mungkin) masih banyak orang yang mencintainya, tanpa embel-embel kekasih atau pecinta. 

Merasa setelah ditinggalkan dengan kepiluan yang mendalam, kemudian ternyata menumbuhkan energi yang akhirnya menggali kemampuannya. Tidak kalut lagi dengan resah rindu. Tidak cemas. Tidak lagi berairmata.


Klise. Perempuan yang terbuang, selalu begitu, bukan?!




Ancaman

Hari ini aku sudah berniat menyambangi rumah wanita itu. Sudah hampir dua bulan aku diam saja melihat kelakuannya. Kali ini tidak bisa dibiarkan lagi. Aku tahu siang-siang begini dia pasti sudah di rumah. PNS macam begitu sudah pasti ada di rumah dan ungkang-ungkang kaki meski langit masih terang benderang.

Kugedor pintu rumahnya dengan keras ketika tiba. Melihatku berdiri di sana sudah pasti ia kaget dan tidak mengira, namun kuakui ia pintar menyembunyikannya. Nada suaranya tetap tenang ketika mempersilahkan aku masuk. Kupandangi tubuh wanita itu dari atas sampai ke bawah. Ruang tamunya penuh dengan foto-foto yang tertawa bahagia, piano, gitar dan lukisan.


"Masuk dan duduklah."

"Tak perlu bermanis-manis denganku." Aku berdiri mengelilingi ruangan itu.

"Lalu mau apa kau datang kemari?"

"Memperingatkanmu!"

"Aku tidak mau ribut dan tidak perlu seperti ini seharusnya."
 
"Aku sudah diam dan hanya memperhatikan kelakuanmu selama ini. Kau kira aku perempuan tolol yang akan terus-terusan diam saja? Jangan ganggu dia lagi!"

"Aku sudah mundur jauh sebelum kau meminta. Tidak ada apa-apa lagi dengan dia."

"Penipu! Kau pikir aku tidak tahu kau masih meraung mengiba-iba agar ia mau kembali padamu. Menghubunginya diam-diam, meneleponnya. Mengucap rindu, memintanya kembali. Dasar tak tahu malu!"

"Aku memang masih menghubunginya, tapi tidak sesering dulu. Dua kali seminggu pun belum tentu."

"Dua kali seminggu atau setahun sekali pun, selama kau masih menghubunginya, aku akan tetap merasa terganggu. Jauhi dia!"

"Aku sudah melakukannya. Kuakui memang berat melepaskan dia. Sulit sekali dan aku hampir gila. But everything takes time. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, termasuk dengan kamu. Meskipun pasti sulit bagimu untuk bersahabat denganku."

Aku berbalik memandangnya.

"Hahaha, tidak perlu berpura-pura baik. Kau kira aku kemari untuk mencari persahabatan denganmu? Dengar! Menjauh lah dari hidup kami. Jangan kau kira aku sudi berteman dengan perempuan yang pernah tidur dengan tunanganku. Urus saja keluargamu, suamimu yang katanya tidak perhatian itu dan anak-anakmu."

Wajahnya memucat seperti mayat. Mulutnya sudah setengah terbuka, hendak melontarkan pembelaan, tapi aku mencengkram rahangnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatap langsung ke matanya.

"Anggap ini sebagai ancaman! Aku menemukan dan menyimpan foto setengah telanjangmu bersama dia. Kalau kau masih banyak tingkah, jangan kira aku akan ragu menyebarkannya ke anak-anakmu dan mengirimkannya kepada suamimu. Biar, rusaklah semua sekalian. Lelakiku, kukira ia adalah bajingan yang ingin tobat, tapi kau... pelacur yang tidak pernah puas mencari nikmat."


Tangis bayi terdengar dari dalam kamar. Aku melepas cengkramanku, lalu berjalan keluar. Ia membetulkan letak kerudungnya, memandang punggungku yang berlalu. Kemudian berlari ke kamar.

please claim the pic, I'm forget the link.


You can live your life as a bitch who covered with wings and halo. But I am a woman who choose noise when silence is not looks like gold anymore.




Wednesday, February 8, 2012

Launched

Teman-teman, online shopping-ku sudah diluncurkan lho di awal bulan February ini. Namanya RUMAH MENTARI. 

RUMAH MENTARI menjual barang-barang second --pakaian wanita, tas dan asesoris-- dengan kondisi yang masih sangat bagus dan bersih. Harganya? Dijamin murah meriah. Semua barang merupakan barang import.

Silahkan follow twitternya di @rumahmentari dan add Facebooknya di rumahmentari_online@yahoo.com ya untuk lebih jelasnya.



Tuesday, February 7, 2012

Kehilangan

ingatan-ingatan datang tentang puisi-puisi yang hilang
tentang hujan dan payung daun pisang,
dan jalanan berlubang

kukira sebab aku telah kehilangan perjalanan pagi
yang panjang
dan kepedihan telah dikuburkan
desember lampau

dan, juga tubuhku adalah kata-kata penuh jelaga
yang mesti kau khatamkan
terlebih dahulu


Jakarta, 7 February 2012

pic from here

Friday, February 3, 2012

Bersama Gerimis

"Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis 
dan tak ada orang bertanya kenapa."
(Pada Suatu Pagi Hari - Sapardi Djoko Damono)



Aku di sini. Dengan gerimis yang mengkristal semalaman bersama angin. Kenapa segalanya menjadi rumit ketika menyangkut tentangmu. Detik jam berjalan lambat, seiring kepedihan yang mengendap. Aku cuma ingin berdua malam ini. Menyambut bunyi lonceng angin besok pagi pukul tujuh bersamamu. Namun, kamu kerap abai dengan protes-protes kecilku. Tergelak dan berlalu.

Dari balik jendela hujan tumpah di atas aspal malam ini. Mengikis perih yang merebak di udara. Aku ingin berlari saja. Merengkuh dalam basah yang penuh rindu. Menari menangis, bertopeng dalam hujan.


Jakarta, 3 Februari 2012


pic from here

Wednesday, February 1, 2012

I Wanna Grow Old With You

pic from here

I wanna grow old with you
I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you
I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you
Sharing in everything you do
I wanna grow old with you