Thursday, February 9, 2012

Ancaman

Hari ini aku sudah berniat menyambangi rumah wanita itu. Sudah hampir dua bulan aku diam saja melihat kelakuannya. Kali ini tidak bisa dibiarkan lagi. Aku tahu siang-siang begini dia pasti sudah di rumah. PNS macam begitu sudah pasti ada di rumah dan ungkang-ungkang kaki meski langit masih terang benderang.

Kugedor pintu rumahnya dengan keras ketika tiba. Melihatku berdiri di sana sudah pasti ia kaget dan tidak mengira, namun kuakui ia pintar menyembunyikannya. Nada suaranya tetap tenang ketika mempersilahkan aku masuk. Kupandangi tubuh wanita itu dari atas sampai ke bawah. Ruang tamunya penuh dengan foto-foto yang tertawa bahagia, piano, gitar dan lukisan.


"Masuk dan duduklah."

"Tak perlu bermanis-manis denganku." Aku berdiri mengelilingi ruangan itu.

"Lalu mau apa kau datang kemari?"

"Memperingatkanmu!"

"Aku tidak mau ribut dan tidak perlu seperti ini seharusnya."
 
"Aku sudah diam dan hanya memperhatikan kelakuanmu selama ini. Kau kira aku perempuan tolol yang akan terus-terusan diam saja? Jangan ganggu dia lagi!"

"Aku sudah mundur jauh sebelum kau meminta. Tidak ada apa-apa lagi dengan dia."

"Penipu! Kau pikir aku tidak tahu kau masih meraung mengiba-iba agar ia mau kembali padamu. Menghubunginya diam-diam, meneleponnya. Mengucap rindu, memintanya kembali. Dasar tak tahu malu!"

"Aku memang masih menghubunginya, tapi tidak sesering dulu. Dua kali seminggu pun belum tentu."

"Dua kali seminggu atau setahun sekali pun, selama kau masih menghubunginya, aku akan tetap merasa terganggu. Jauhi dia!"

"Aku sudah melakukannya. Kuakui memang berat melepaskan dia. Sulit sekali dan aku hampir gila. But everything takes time. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, termasuk dengan kamu. Meskipun pasti sulit bagimu untuk bersahabat denganku."

Aku berbalik memandangnya.

"Hahaha, tidak perlu berpura-pura baik. Kau kira aku kemari untuk mencari persahabatan denganmu? Dengar! Menjauh lah dari hidup kami. Jangan kau kira aku sudi berteman dengan perempuan yang pernah tidur dengan tunanganku. Urus saja keluargamu, suamimu yang katanya tidak perhatian itu dan anak-anakmu."

Wajahnya memucat seperti mayat. Mulutnya sudah setengah terbuka, hendak melontarkan pembelaan, tapi aku mencengkram rahangnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatap langsung ke matanya.

"Anggap ini sebagai ancaman! Aku menemukan dan menyimpan foto setengah telanjangmu bersama dia. Kalau kau masih banyak tingkah, jangan kira aku akan ragu menyebarkannya ke anak-anakmu dan mengirimkannya kepada suamimu. Biar, rusaklah semua sekalian. Lelakiku, kukira ia adalah bajingan yang ingin tobat, tapi kau... pelacur yang tidak pernah puas mencari nikmat."


Tangis bayi terdengar dari dalam kamar. Aku melepas cengkramanku, lalu berjalan keluar. Ia membetulkan letak kerudungnya, memandang punggungku yang berlalu. Kemudian berlari ke kamar.

please claim the pic, I'm forget the link.


You can live your life as a bitch who covered with wings and halo. But I am a woman who choose noise when silence is not looks like gold anymore.




No comments:

Post a Comment