"Aku tidak permah memintanya, Tuhan."
"Tapi kau tidak pernah juga bilang tidak mau."
"Bukankah sudah cukup?"
"Memang. Tapi aku ingin memberi lagi."
"Rasanya aku tidak siap."
"Masih ada waktu bersiap sembilan bulan ke depan."
***
Malam itu aku tidur lelap sekali. Begitu merasa damai, sambil mengusap-usap perutku. Ada yang tumbuh di dalamnya. Sesosok janin dititipkan lagi kepadaku. Akan genap empat jumlahnya, nanti. Anakku.
***
"Halo!"
"Hei."
"Say, kita bisa ketemu siang ini."
"Bukannya kamu kerja?"
"Ada yang perlu kukatakan padamu."
"Mendesak?"
"Kabar bahagia."
"Lalu, nanti pekerjaanmu?"
"PNS, gampang kan, say."
***
Siang itu aku menyambangi kosannya. Dia sudah menunggu. Wangi sampo dan asap rokok tercium jelas, ketika aku memeluknya.
"Jadi, kabar bahagia apa?"
"Aku tidak pernah suka kondom. Kamu tahu, kan? Kukira asik juga, kita tidak perlu berurusan dengan benda itu, setidaknya untuk sembilan bulan ke depan."
Dia diam. Matanya berkedip sekali. Dengan jelas aku bisa lihat ada kekagetan yang tersirat di wajahnya. Lalu mengucapkan selamat.
"Tidak mau menciumku?"
Sekilas. Dia mengecupku di pipi.
"Suamimu sudah tau?"
"Belum."
"Umh, anaknya, kan?"
"Hahaha...."
No comments:
Post a Comment