Aku berharap suamiku seorang bajingan. Seorang keparat yang kelakuannya brengsek. Seorang suami yang jarang pulang karena senang tidur dengan perempuan lain diluar. Sehingga aku tidak perlu merasa bersalah ketika aku juga berlaku bejat. Bertingkah seperti pelacur. Atau karena aku juga tak ingin pulang.
Tapi suamiku cuma lelaki biasa. Lelaki standar. Lelaki kantoran yang pagi-pagi berangkat kerja, lalu malam hari pulang ke rumah. Lelaki yang cuma setor uang tiap bulan, lalu gak mau pusing bagaimana mengurus anak-anak, yang penting semua beres. Lelaki yang sampai rumah maunya tinggal makan dan tidur. Kalau bukan aku yang menyodor-nyodorkan bayi kami untuk digendong, bisa kuhitung dengan jari berapa kali suamiku punya inisiatif sendiri untuk menghampiri dan mengajak main anak-anak dan bayinya.
Aku mengurus anak-anak. Aku mengantar mereka ke sekolah. Aku membantu mereka mengerjakan PR. Aku mengajari mereka menyanyi dan mengaji. Aku mengajari mereka bermain musik. Aku mengajarkan mereka bagaimana caranya menjadi orang baik. Agar besar nanti mereka tidak menjadi bajingan atau pelacur.
Aku mengurus anak-anak. Aku mengantar mereka ke sekolah. Aku membantu mereka mengerjakan PR. Aku mengajari mereka menyanyi dan mengaji. Aku mengajari mereka bermain musik. Aku mengajarkan mereka bagaimana caranya menjadi orang baik. Agar besar nanti mereka tidak menjadi bajingan atau pelacur.
Kalau bukan karena anak-anakku, aku kerap kali tak ingin pulang ke rumah. Aku ingin tetap berada di pelukan laki-laki itu. Laki-laki yang selalu memberiku rasa nyaman. Laki-laki yang mendengarkan lagu-laguku, yang membaca puisi-puisiku, yang menawarkan madu di tiap hariku. Laki-laki yang mau dengan diam duduk di sampingku sambil menikmati bunyi hujan yang turun.
Namun setiap kali aku tak ingin pulang aku juga takut. Takut anak-anakku mencari ibunya. Takut suamiku meneleponku berkali-kali, dan menyanyakan aku ada dimana. Aku takut dianggap tak bertanggung jawab. Aku takut dicap jahat. Aku memang pecundang. Aku tak ingin melepaskan rasa nyaman. Aku tak berani mengakui kebenaran. Aku tak ingin kehilangan rasa aman. Aku tak mau dianggap perempuan tak tahu malu.
Aku benci setiap kali harus pulang. Aku benci menghadapi perpisahan. Lalu menahan-nahan rindu yang harus disembunyikan. Aku benci melalui malam untuk menanti siang dan berjumpa ia lagi. Mengulang kepedihan yang selalu nyeri. Aku benci untuk menanti bersama lagi. Menanti untuk kembali mendapat kesempatan sembunyi-sembunyi. Sembunyi-sembunyi bertatapan, bersentuhan, berpelukan, berciuman, bercinta dengan segenap rindu, segenap perasaan.*
Aku ingin bersama dia selamanya. Memeluk kebahagian yang selama ini tak pernah kurasa. Tak pernah? Benarkah, tak pernah? Atau sebetulnya memudar. Hmm, aku tak tahu. Aku tak mau peduli. Yang aku tahu aku mau bersama dia. Menggenggam tangannya, bersandar di dadanya, menghirup aroma keringatnya sehabis kami bercinta.
Aku benci ketika harus pulang. Kembali jadi penipu. Kembali dalam ikatan di bawah buku nikah. Aku muak kembali ke atas ranjang, dimana nafsu tak lagi memuncak meski melihat tubuhnya yang telanjang. Kembali berpura-pura bahagia di depan keluarga, di depan mertua mertua dan sanak saudara. Kalau bukan karena ada anak-anak, mungkin aku sudah kabur dari rumah. Menuntut cerai. Menjadi bebas. Dan berhenti menjadi penipu. Lalu lari dalam pelukan laki-laki itu.
Tapi malam itu sungguh aku tak ingin pulang. Malam menjadi begitu panjang dan sunyi. Sepertinya pagi tak ingin kunjung datang. Aku kalut dalam bimbang dan amarah, setelah pertemuan kami malam itu yang masih saja sembunyi-sembunyi setelah beberapa bulan lalu ia pindah ke ibukota.
Kasih, aku ingin kau pulang. Dan semoga semua akan menjadi baik-baik saja. Sebab setelah malam ini aku tak akan datang lagi. Maafkan aku, tapi setelah berulang kali kita meyakini perpisahan akan terjadi, inilah saatnya yang tepat. Meski aku tahu kau selalu meminta waktu agar bisa melupakanku pelan-pelan. Tapi bukankah itu makin menyakitkanmu? Jadi inilah keputusanku. Pulanglah! Sebab seperti pernah kukatakan kepadamu, aku tidak bisa meneruskan hubungan kita, jika aku menikah nanti. Dan aku akan menikahinya beberapa bulan lagi.
Pada akhirnya cinta dan kebodohan hanya berjarak tipis di saat kau buta dan terlena dalam mabuk asmara. Malam itu aku masih tidak ingin pulang. Langit penuh bintang, tapi kesunyian dan kepedihan terus merambat dalam hatiku.
Inspired by Three More Days - Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek
No comments:
Post a Comment