Tuesday, May 17, 2016

Review Film AADC 2: Meski Kecewa Tetap Kupuja

Ini memang semua salah Rangga. Gara-gara kamu, Rangga, saya dua kali nonton AADC 2 (kalau bukan karena muka ganteng kamu, saya ogah deh nonton dua kali). Pertama kali saya sudah kuat-kuatkan hati melangkahkan kaki ke bioskop, saya khawatir baper menghadapi kamu. Tapi apa ternyata? Kamu bikin kecewa! 14 tahun pergi ke New York, pulang-pulang kok jadi tukang gombal. 

Untungnya saya nonton AADC 2 serombongan bareng temen kuliah, yang beberapa di antaranya sudah mewanti-wanti untuk jangan terlalu berekspektasi tinggi. Keluar dari bioskop, meski saya kecewa tapi seengaknya saya masih bisa ketawa ngomongin kamu bareng teman-teman.

Beberapa hari setelah nonton AADC 2 saya kemudian nonton AADC pertama, dimana kamu masih jutek banget dan jarang senyum. Sedikit bicara, tapi sekalinya bersuara bikin saya terpesona. Kamu di New York kenapa sih, Rangga? Pulang-pulang kok malah lebih sering cengengesan. Untung kamu masih ganteng (jadi saya tetap suka).



Kamu tau Rangga? Hampir semua media yang saya baca menghujat kamu, AADC 2 dan seisinya. Mulai dari Alya yang gak ada, soundtrack yang kurang nyantol di telinga, sampai produk sponsor yang banyak banget disempilin ke dalam film. Tapi fokus utama saya adalah omongan tentang perubahan karakter kamu. Rangga yang cool dan jutek mendadak banyak omong dan jadi tukang gombal, usia sudah kepala tiga malah ngajak tunangan orang muterin Jogja semaleman dan bikin baper. Saya pribadi paling kecewa dengan ending film kamu yang lebih mirip FTV murahan yang ada di televisi lokal. Bayangin aja, suasana sudah dibangun sedemikian rupa menuju klimaks; kamu datang nemuin Cinta di galerinya minta kesempatan kedua, karena "ditolak" lalu kamu pergi, si Trian papasan sama kamu lantas mempertanyakan semua ke Cinta, dan Cinta memilih meninggalkan Trian dan mengejar kamu ke bandara sambil ngebut di jalan raya (diiringi lagu Ratusan Purnama, soundtrack yang buat saya kurang mantep rasanya), tapi apa? Cinta malah slebor dan nyaris kecelakaan, backsound lagu mendadak berhenti dan..., krik... krik...!

Hancur sudah!

Suasana tegang yang telah dibangun lantas dihancurkan begitu saja cuma gara-gara si Cinta yang nyetirnya slebor. Oh... My... God! Cinta, cinta... apa kamu kurang minum Aqua, sampai gak fokus begitu? Apa perlu Milly lagi yang nyetirin kamu ke bandara ngejar Rangga? Inget, dia lagi hamil, Ciiin...!

Saya kira film AADC 2 ini akan berakhir lagi di bandara. Entah seperti apa; mungkin Cinta mengejar-ngejar kamu lagi sambil meneriakan namamu dan kamu ga jadi berangkat, atau ya terserahlah bagaimana, tapi harapan saya kurang lebih seperti itu.

Buat saya bandara itu tempat sakral bagi AADC. Bagaimana enggak, adegan Cinta ngejar-ngejar kamu di bandara sambil berharap kamu ga pergi, lalu kalian ciuman di sana, saya kira itu jadi kesan yang special bagi banyak pecinta AADC. Coba ingat-ingat lagi, teaser AADC 2 di Line juga ber-setting di bandara, iklan Aqua khusus untuk film ini juga menampilkan adegan di bandara, bahkan puisi Aan Mansyur, Batas,  juga menyebut-nyebut bandara.

Mungkin memang jadi akan mudah ditebak ending-nya jika Cinta tidak nyaris kecelakaan dan  berhasil nyusul kamu ke bandara. Tapi saya kira jika adegan di bandara tetap dimunculkan itu akan jadi sebuah dejavu yang menyenangkan, yang membawa penonton pada kenangan kisah cinta masa SMA kalian dulu.

Aah, tapi ya sudahlah... 

Kenyataannya harus berlalu lagi satu purnama sampai Cinta akhirnya menyusul kamu ke New York, nongol-nongol langsung cemburu cuma karena ngeliat pujaan hatinya dipeluk perempuan lain, dan kalian jadi kejar-kejaran di Central Park kayak ABG kemarin sore. Kamu liat muka malu-malunya Cinta? Wajah yang sudah kepalang ngambek tapi berubah jadi mesem-mesem saat kamu bilang bahwa perempuan yang memeluk kamu tadi itu cuma karyawan kamu yang kegirangan karena gajinya habis dinaikkan. Duh, ciiiin...! Dan ya, seperti yang saya kira sudah diduga dan ditunggu-tunggu para penonton, kalian kembali berciuman. Maka, sang Pangeran dan Putri akhirnya hidup bahagia selama-lamanya. The end (baca: STANDART!)

Tapi begini, Rangga. Kemudian suami saya meminta saya menemani dia nonton AADC 2 karena dia juga penasaran sama kisah kalian berdua. Alhasil, dua kali saya nontonin kamu. Mungkin karena saya sudah lebih legowo, saya jadi lebih menikmati dan mampu memperhatikan hal-hal lain yang luput karena euforia yang menggebu saat nonton pertama kali. Setelah itu kebetulan sekali malamnya saya menemukan sebuah artikel yang ditulis sahabat saya, dan ini merupakan satu-satunya artikel yang saya temukan yang dengan positif menuliskan tentang film kalian.

Meski saya tidak setuju dengan ke-lebay-annya yang bilang bahwa AADC 2 dan Riri Riza pantas dapat Citra, tapi saya setuju berlipat-lipat kali dengan pendapatnya soal primming yang berhasil dibangun sang sutradara. Dikatakan bahwa bahwa primming media memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial. Perilaku yang dicontoh dari perilaku yang diperlihatkan melalui media seperti film. Hal ini tentu saja dimaksudkan kepada persoalan Riri Riza yang berhasil mengemas sastra, seni rupa dan pertunjukan di dalam film AADC 2 ini dengan baik. Harapannya tentu saja para penonton bisa lebih tertarik untuk  mencintai seni dan sastra seperti yang tunjukan oleh karakter Cinta dan Rangga di dalam film.

Dan salah satu hal itu sudah terbukti dari laris manisnya buku puisi Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini, yang diburu para penggemar AADC 2. Baru kali ini saya melihat dan mendengar bahwa buku puisi langsung sold out di banyak tempat bahkan sulit dicari hanya dalam waktu beberapa hari setelah dirilis (pada tanggal yang bersamaan dengan film AADC 2). Aan Mansyur dalam akun instagramnya bahkan mengatakan mendapat sekitar 20.000 pesan masuk di WA, Line dan BBM-nya dan mengaku keteteran melayani pembeli bukunya.

Jika AADC 2 banyak dihujat oleh penggemar yang kecewa dengan banyak hal, saya pribadi setelah dua kali menonton rasanya akan lebih bertepuk tangan karena film ini setidaknya berhasil membuat banyak orang mau membaca dan membeli buku puisi.

AADC 2, meski (awalnya) kecewa namun tetap kupuja.


Jakarta, 17 Mei 2016