Friday, April 30, 2010

Bangkit Kembali

Sudah lama sekali rasanya saya ga pernah tulis cerita lagi atau aktif bikin puisi-puisi, kaya masih jaman kuliah dulu. Kadang, kalau kebetulan inspirasi lewat, biasanya buru-buru saya catat pada "notes" di handphone saya, takut kata-kata keburu pergi. Nanti kalau memang benar-benar ada waktu baru biasanya saya publish di Facebook. Sejak kerja hampir satu setengah tahun yang lalu, tepatnya setelah lulus kuliah rasanya aktifitas kerjaan bikin ga bisa ngapa-ngapain, jangankan mau mikirin inspirasi apa yang mau dicari buat bikin cerita atau puisi, masih bisa napas tiap hari aja udah bersyukur banget.

Baru beberapa minggu terakhir ini saya coba mengaktifkan blog ini lagi. Sebenernya blog ini udah dibuat dari tahun 2009 sembilan, cuma seinget saya baru dua kali posting trus tiba-tiba mati suri. Awal minggu lalu saya sempetin buka blog beberapa teman, karena liat teman-teman yang masih bisa update blognya walaupun udah sibuk kerja juga dan entah kenapa biasanya setiap abis baca blog seseorang, keinginan saya untuk menulis begitu kuat datang lagi, jadi mulai lah saya mengaktifkan lagi blog ini.

Beberapa tulisan di blog ini sebenarnya puisi-puisi lama yang sebagian saya copy-paste dari blog yang lama. Dulu saya punya blog yang aktif saya tulisi puisi hampir setiap hari, cuma sekarang sudah ga pernah lagi menulis di sana. Yah, sebenernya dulu itu nulisnya di salah satu situs jejaring sosial yang sekarang udah kurang nge-trend lagi (alias Friendster).

Dulu, saya punya beberapa blog sebenernya cuma tidak semuanya aktif. Dari kesemua nya itu saya kebanyakan menulisinya dengan puisi-puisi saja. Saya tidak mau menjadikan blog sebagai diary pribadi yang isinya cuma curhatan hati atau cerita kegiatan sehari-hari. Lagipula, saya takut sekali untuk "menulis jujur," maksud saya saya tidak mau karena dari blog ini semua orang terus bisa tau rahasia-rahasia saya. NO WAY!

Tapi, di bagian kali ini. di blog lama yang mencoba bangkit kembali, saya berusaha untuk menulis curahan hati dengan sejujur mungkin untuk diungkapkan. Bukan berarti sebagai diary setiap hari juga, tapi kalau memang ada kejadian yang terjadi di hidup saya, dan saya anggap masih boleh lah orang lain pun tau, saya akan coba ceritakan di bagian ini.

Kenapa dan siapa yang membuat saya merasa ingin menulis kisah pribadi seperti ini saya akan ceritakan pada kisah berikutnya.

Wednesday, April 28, 2010

Kidung Pencari Tuhan


Hidupku ialah lilin kecil
Yang menunggu api padam sampai sumbu menghitam
Jiwa ini kosong
Mengambang mencari keyakinan
Rindu memanggil nama Tuhan
Hatiku gubuk hampa
Lembab berjamur menunggu robohnya saja
Sepi dalam sendiri
Sendiri yang menyiksamu
Kegelapan dalam keramaian
Aku sampan menuju hilir kematian
Sepi tak berteman gelombang

KepadaMu menuju aku: penguasa bumi, surga dan kubur.

Sia - sia


bahagia akan datangkah pada malaikat yang tak bersayap

pada setiap tarikan nafas

pada pengorbanan atas semua rasa

dan airmata

lelah pada rasa yang sama yang berulang atas nama cinta

menanti

berkorban

bersabar hati

pada hal yang belum tentu sejati

mengapa cinta tak pernah dipihaknya

yang selalu setia

berbagi rasa

bersabar sampai habis daya

airmata bahkan tak bisa mengalir

mata bahkan sudah bosan terpejam

sebab hadir bayangmu selalu

fikiran sudah jemu

dan kata-kata pun gagu

nyatakah hadirmu?

tuluskah rasamu?

jika aku saja selalu berkorban rasa

lalu dimana kau buktikan cinta

pada apa?

bagaimana?

cinta pada rasa memiliki semata

ku duga

akhirnya, kita hanya sia-sia

Lelaki


ada apa dengan lelaki?

iblis kah mereka?

yang mampu menjebak hawa dalam dosa

lalu mereka tertawa bahagia



terkutuklah kalian para kaum adam

aku wanita menyumpahi

atas nama sakit hati dan rasa kecewa

serta berbagai ribu luka



ada apa dengan lelaki

yang hanya ingin bebas dan lepas

yang selalu senang lari dari masalah

kalian yang para pendosa



terkutuklah engkau

wahai para lelaki yang kucinta

biar derita menyelubungimu

tak terhapus dosa

hingga kau menuju neraka!

Saat Kau Pergi


rasanya seperti mimpi

saat kau katakan ingin pergi

bukan esok atau lusa, tapi hari ini

aku bahkan belum sempat menyadari

sekarang kau sudah tak lagi di sini

lalu bagaimana dengan esok?

ketika mentari terbit kembali

kau tak lagi di sisi

kawanku pergi…

tak lagi menemani

siapa yang akan mendengar kisahku nanti

ketika kau tak lagi sejati

hari ini ia pergi

aku tak tahu apa ini sekadar mimpi atau reality

bila kau kan kembali?

lain rasanya malam ini

aku bahkan bertanya-tanya dimana kau kini

tak adanya jawaban malam ini

bukan seperti biasanya

bukan karena kau malas berkata-kata

tapi sebab kau tiada

ketiadaaan yang berbeda

jauh sekali terasa, entah dimana

Afrika?

yang nyata kini tidak lagi terbentang lautan beda negara, bukan?

kita terpisah benua, berjarak samudera

lalu, patutkah aku menangis malam ini

yang fana dan hampa tanpamu

pada tangan yang tak pernah berjabat

mata yang tak pernah saling menatap

wajah yang bahkan tak bersua

lalu, mengapa aku kehilangan?

Kau, Kini dan Nanti


Entah di mana ujung jalan ini berakhir

Kau bagai bintang panggung, di mana semua sorot lampu dan mata tertuju padamu.

Namun, mengapa rasa sepi itu lebih kuat menyerang

Mendatangkan takut hingga kau demam akan masa depan

Akan seperti apa 10 tahun mendatang?

Akankah kau masih berdiri di sini

Memandang angkasa yang sama

Yang ada di sini sekarang hanya sepi dan rasa takut.

Pada jalan yang kau tapaki

Akankah membawa dari pada mimpi

Pada apa yang kau damba dan yang diharapi

Sia-sia kah setiap peluh pada tenaga di mana kau terus berjalan untuk berjuang

Setiap tetes air mata pada luka dan sakit hati

Membawa kah mereka

Pada dirimu yang bukan apa-apa

Pada apa yang kau ingini

Sekarang yang tanpa kekasih

Ramai teman pada kehampaan

Cinta yang maya

Lalu di mana kah tangan yag mampu menggapai cita

Pada suatu hari di mana kau merasa kalah pada kecewa dan putus asa

Di mana kau cari harapan

Mengais-ngais pada jejak yang kau tinggal di belakang

Berharap kau dapatkan hidupmu yang sempurna di masa lalu

Yang mana tawa itu sekarang telah hilang

Senyum itu sudah mengering pudar

Kau sendiri Tanpa teman, tanpa kasih, tanpa keluarga, tanpa harapan

Takdir itu tanpa sadar telah kau lukis sendiri perlahan-lahan

Sekarang sepatutnya kau bersyukur atas karunia-Nya

Disaat kau nanti sendiri

Hanya Ia yang ada.

Kala Sepi


Andainya kumampu mengerti kecewa, memahami sakit hati, lalu memaklumi semua rasa. Takkan tiap-tiap malam ku menangis. Kala sepi menjadi setia padaku, kau pudar, kasihku. Merindumu dalam diam yang tak berkata, mengenangmu dalam sakit hati yang selalu tiba-tiba hadirnya. Hati yang tiba-tiba sesak oleh semua rasa itu; rindu, kecewa, luka, terabaikan, dilupakan, dipermainkan.



Malam itu, al…

Tidakkah kau ingat pesan yang kau kirim padaku. Dimana kau kata ingin membagi segala dan membuatku tersenyum. Sadarkah kau aku hanya selalu menangis di sini. Bahkan saat kau ada yang dalam bayang-bayang fana pun, aku menangis terkadang tanpa tau sebab mengapa. Sebab mungkin kau tak nyata. Sebab mungkin sesungguhnya sepi itu tetap ada, atau mungkin sebab rasa yang kau cipta.



Kau kira kita bisa senang dan bahagia hanya dalam kata-kata yang senantiasa menghubungkan kita. Tapi aku ingin nyata, al… Itu mungkin sebab aku menangis di kala kau ada namun sepi tetap terasa.



Maafkan aku bila tak memahami. Maafkan aku hanya ingin menang sendiri. Tapi aku berharap padamu, al… Harap yang ku tahu sia-sia. Karma kah ini? Ia berkata padaku, bahwa sebagai perawan, aku selalu punya dosa. Ia bilang: “Salahmu adalah membuatku selalu ingin menyapamu. Mungkin itu salah yang tidak kamu sadari. Membuat lelaki berharap.”



Salahku kah? Bukan kah itu juga salahmu? Membuatku selalu ingin menyapamu dan berharap padamu. Kenapa perempuan yang harus tanggung derita? Kau di sana, al… Berharap wanita itu kembali padamu dengan rasa yang sama seperti dulu, ya kan?! Tapi kau sendiri ragu. Dalam rasa cinta yang masih teramat besar untuknya, namun kau juga kecewa didua. Ya kan, al? Kau kira aku tak tau apa-apa? Aku tau lebih dari yang kau fikir. Kau tak pernah terbuka tentang ini. Dan kau kira aku perempuan bodoh yang mau diam saja dalam rasa yang ingin tahu segala tentang kau dan dia.



Di kala wanita itu tak di sisi, di hari kau ucap inginkah ku jadi milikmu, ketika aku ragu luar biasa sebab takut segala, lalu kurelakan semua rasa dan berharap yang terjadi, terjadi lah… Lalu kau hempas aku dalam kecewa dan luka. Mengatakan kita tak bisa bersama. Kau ucap segala alasan agar inginmu itu terasa nyata.

Siapa yang gila kini, al? Aku yang terlalu bodoh. Kau bahkan tak ucap sayang atau cinta. Berdasar apa kau ingin aku jadi milikmu? Rasa tiba-tiba yang kau kata tak mampu kau jelaskan. Kau bahkan tak mampu beri alasan mengapa berbuat itu dan kemudian menolakkan sendiri.



Subuh ini, kala sepi setia merasuki tubuhku, aku merindumu. Hangat airmata yang tau pedihnya hatiku menantimu. Pada kecewa dan sia-sia aku mencintaimu.



Al, akankah kau cari aku kala sepi menghampirimu?



Aku di sini, al…

Setia menantimu seperti sepi setia untukku.

Mengapa Aku Ingin Menangis Saat Ia Sudah Bebas


sedari dulu yang aku tunggu adalah “kebebasannya.” sampai aku ingin ia sendiri. lalu, biar nanti aku saja yang menemaninya. biar aku dan dia saja di dunia ini. aku tahu ia tak ingin “bebas” dari jeratnya. aku tahu ia setia, meski terkadang tetap menggoda.

awalnya, aku begitu sakit hati. tak rela ia pergi. namun perlahan-lahan aku mencoba untuk mengerti, kenapa jika memang cinta tak cobe mengikhlaskan ia. biar saja ia mencari jalannya sendiri, bahagianya sendiri. sakit itu tetap ada di sini, namun perlahan-lahan aku mencoba belajar menerima kenyataan ia tak mungkin termiliki.

2 tahun belajar mencintainya sekaligus mengikhlaskannya. yang tak bisa dijauhi bahwa rindu pasti akan lahir dan air mata setia mengalir. lalu, sampai hari itu tiba…

ia katakan bahwa ia “bebas” tapi sesungguhnya ia tak ingin lepas. lalu, bukankah seharusnya aku bahagia. tapi mengapa lalu aku ingin menangis saat ia sudah “bebas”? karena jawabnya ia tak rela “terlepas”

Sun & Rain falling in love

Dan, ia selalu bilang…

Pelangi, yang muncul setelah Hujan reda, tak kan ada jika Mentari tak berperan serta membantu Hujan membuatnya.

Maka wajarlah jika Mentari begitu mencintai Hujan.

Yang setiap rintik gerimisnya buatkan sinarnya teduh.

Lalu, bukankah juga sebaliknya.

Ketika Hujan mencintai mentari.

Ketika ia duka dalam mendung.

Lalu menangis pada gerimis.

Maka, Mentari bantu ciptakan Pelangi.

Mentari cintai hujan.

Karena ia yang paling mengerti dukanya.

Sedihnya ditemani mendung dan tangisnya disamarkan gerimis.

Di luar ia memang bersinar.

Tapi, siapa yang tahu lukanya.

Hanya Hujan yang paling setia.

Maka, saat Mentari dan Hujan jatuh cinta

Lihatlah…

Ada Pelangi di langit sana

Padamu Hujan


yang membawaku pada sunyi

kukira itu bisu awalnya

namun aku tahu itu nyanyian rindu

pada teduh rintik-rintik gerimis

basah daun dan harum tanah

yang membuatku tenang dalam mimpi

saat itu aku tahu awan bernyanyi

yang aku benci karena petir menyambar

lalu geram raungan guntur

saat kulihat kilat, kau tahu

mereka hanya ingin tunjukan pesona

lalu…

pada sendumu aku rindu

pada basahmu aku ingin terbaring

pada lagumu aku ingin terlelap

pada sepimu aku tenang

padamu Hujan, aku cinta!

Mengapa Aku


Mengapa rumput ingin tetap hijau, meski terik mentari panas membakar.

Mengapa bunga ingin tetap mekar, meski udara membuatnya layu.

Mengapa bulan ingin tetap bersinar, meski bintang tak menemani.

Mengapa pohon ingin tetap berkembang, meski angin gugurkan daunnya.

Mengapa aku ingin tetap di sini, meski ia perlahan pergi.

Perempuan Hujan Jatuh Cinta


Perempuan hujan sudah rindu dengan bau tanah basah. Ia rindu awan-awan mendung menemaninya menangis, menyamarkan airmatanya. Ia ingin menari-nari saat awan mulai menangis, meriangkan hatinya di dalam derasnya hujan. Membiarkan tubuhnya basah, merasakan arus-arus dingin di sekujur tubuhnya, ia rela hujan merasukinya. Perlahan ia ingin melupakan dan membuang jauh masalahnya. Ia ingin jatuh cinta hanya kepada hujan.

***



“Di sana hujan kah? Di sini jangankan hujan, Mas, gerimis saja malas mampir.”



“Iya. Hujan deras sekali.”



“Aku sudah kangen sama hujan, Mas. Tapi rasanya hujan masih lama datang. Mendung saja gak ada.”



“Panggil saja, pasti hujan datang. Lahirkan hujan dalam dirimu.



“Bagaimana caranya melahirkan hujan dari dalam diriku?”



“Ambil hujan di luar, rasakan airnya, rasakan basahnya, nikmati gigil dinginnya dan ikutkan arus rasa yang menjalari dirimu. Jadikanlah engkau kebasahan itu.”



“???…. Aku ga ngerti, Mas!”



“Pernah baca kumpulan cerpen ‘Hujan Menulis Ayam,’ Sutardji Calzoem Bahri?”



“Belum. Kenapa?”



“Nanti ada waktunya kamu akan mengerti.”



***



Perempuan itu bimbang. Ragu akan rasanya. Ia sadar, perlahan ia jatuh cinta kepada lelaki itu. Namun ia tak ingin lelaki itu terluka nantinya, sebab ia tahu bahwa tak mampu ia mencintai sepenuh hati. Ia tak kuasa menghalang. Ia ingin jatuh cinta kepadanya. Membalas rasanya. Berada dalam pelukan hangatnya dan mengatakan bahwa ia juga cinta.



Lelaki itu mencintainya. Ia tahu itu. Apa pun keadaannya, lelaki itu selalu ada untuknya. Membagi rasanya. Menemaninya. Mencintainya. Sementara Perempuan hujan itu masih ragu akan rasa dan bimbang akan rindu yang tak menentu. Jika lelaki itu sehari saja tak ada, ia risau, lalu rindu.



Ia sadar tak boleh membiarkan dirinya jatuh dalam rasa cinta kepada lelaki itu. Sebab nanti rasanya hanya akan buatkan luka dan derita bagi yang ia cinta. Sebab itu ia menahan rasa. Walaupun sesungguhnya ingin pula ia mencinta. Egoiskah ia?



Perempuan hujan itu selalu ingin lelaki itu memberi perhatian padanya, layaknya seorang kekasih. Malam ini ia bertengkar karena merasa diabaikan. Segala bujuk rayu akhirnya tercurah dari bibir lelaki itu, tapi rasa merajuknya lebih kuat dari segala bujuk rayu lelaki manapun. Ia tetap bergeming. Terus-terusan marah. Sampai lelaki itu muak jadinya. Lalu mengutukinya sebagai perempuan egois.



***

“Terus Mas belum mau pulang? Hari ini kan hari Jumat, biasanya orang-orang ingin pulang cepat. Lha kok ini malah betah di kantor.”



“Aku sebenarnya sudah mau pulang, tapi hujan deras sekali. Pandanganku tidak terlalu bagus kalau hujan deras. Aku ini minus 6,5 lho. Lagian aku bukan betah di kantor, tapi betah sama kamu, hehehe…”



“Halaaah… Bisa aja alasannya.”



“Bener kok, aku betah ngobrol sama kamu. Kadang kesepian membuat orang mampu dan ingin mengenal orang lain lebih dekat lagi.”



“Mas, aku boleh tanya pendapat?”



“Tentu saja.”



“Jika ada seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan. Kemudian dengan segala alasan perempuan itu selalu menolaknya. Sesungguhnya ia juga cinta. Namun ia sadar tak boleh membiarkan dirinya jatuh cinta kepada lelaki itu, karena nantinya hanya akan melukainya. Karena perempuan itu sadar ia tak mampu mencintai sepenuh hati. Jadi terus berusaha untuk tidak jatuh cinta. Walaupun sesungguhnya perasaan itu tidak bisa dihalang. Yang perempuan tidak mau kehilangan perhatian lelaki itu, tetapi tidak bisa menerima lelaki itu juga, tidak bisa membalas rasanya. Pertanyaannya… Egoiskah perempuan itu?”



“Tidak.”



“Kenapa tidak?”



“Kalau egois, dia akan ikuti perasaannya, meski akibatnya lelaki itu akan terluka. Kalau egois, dia akan turutkan cintanya, meski tak bisa memberi sepenuh hati.”



“Tapi kan perempuan itu tidak mengizinkan lelaki itu mencintai dia. Tapi ia tetap ingin perahtian itu ada. Sementara si lelaki selalu dengan setia membaginya. Apa tidak egois namanya?”



“Kalau dia masih takut lelaki itu terluka, dia tidak egois. Tapi kalau aku jadi lelaki itu, aku akan tetap berusaha mendapatkan cintanya, meskipun tahu akan terus dilukai, disakiti, diberdarahi, dikhianati, dicueki, diapain pun. Karena mencintai adalah memberi, bukan mendapatkan.”



“….”



“Non cantik, besok kita sambung lagi ya? Supir kantor sudah ngantuk, kasihan menunggku. Terima kasih ya telah menemani malam ini. Thanks bgt, sepi dan hujan, kau wakafkan waktumu untuk jadi temanku. Aku pamit dulu. Bye…”



“Oke, sama-sama, Mas.Aku juga terima kasih.”



***



Perempuan hujan itu menangis malam ini, tapi hujan juga tak datang menemani. Ia marah pada segalanya. Ia marah pada hujan, sebab tak kunjung juga datang saat ia ingin tangisnya disamarkan rintiknya. Ia marah pada Tuhan, sebab berikan segala rasa yang tak bahagia. Cinta tak pernah indah untuknya. Selalu saja derita dan sengsara. Perempuan itu hanya ingin mencinta atau dicinta. Tapi saat ia mencinta yang ada hanya cinta tak berbalas, sementara kala ia dicinta ia yang tak mampu membalas.



Ia sesungguhnya mencintai, Al. Ia hanya tak ingin Al terluka nantinya sebab rasanya yang mungkin masih ragu-ragu. Mereka terlalu jauh terbentang jarak, itu salah satu alasan Perempuan hujan itu menahan rasa.



“Al, tau kah kenapa aku tak bisa mencintaimu lebih dari sekadar kawan?”



“Tak tahu.”



“Sebab aku tak ingin menyakitimu nantinya. Taukah kamu bedanya mencintai dan dicintai?

Yang mencintai selalu ingin membagi, rela terluka, rela sengsara demi yang dicinta. Sementara yang dicinta tak ingin yang mencinta sengsara, terluka, dan menderita.”



“Kamu ingin mencintai saya kah? Saya kah yang dicintai?”



“Ketika tadi kamu mengatakan bahwa aku begitu egois, aku sadar. Selama ini aku memang selalu begitukan kepadamu?”



“You want me to say things honestly?”



“Apa?”



“Kamu selalu ingin saya memperlakukan kamu seperti layaknya kekasih saya, ingin saya selalu ada setiap kamu ingin, tapi jika saya yang ingin kamu ada untuk saya, kamu tak boleh buat seperti itu. Lain hal jika kita ini memang betul-betul sebuah pasangan. Saya mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab dan peduli kepada kamu.”



“Ya. Semua yang kamu bilang memang benar. Aku tidak tahu kenapa begitu, Al.”



“Itu lah, kamu tidak pernah menyatakan apa-apa kepada saya.”



“Because I can’t! You know, I can’t love you because I don’t want to hurt you.”



“ Because we’re far away?”



“Yeah, that’s one of my reasons. Too much reason for me, Al. We are too far.”



“We can take it slowly”



“No, I can’t! I just can’t…”



***



… 4 bulan kemudian …



Perempuan hujan itu jatuh cinta lagi. Kepada lelaki yang selama ini hanya menemaninya kala mereka sama-sama merasa sepi. Lelaki yang ia tahu juga mencintai hujan, tanpa tau pasti apa alasannya. Lelaki yang pernah mengajarinya bagaimana melahirkan hujan dari dalam dirinya. “Lelaki Hujan” - itu sebutan untuknya.



Sudah 4 bulan terakhir ini perempuan hujan selalu berusaha melupakan Al, yang dicintanya. Ia hanya berbagi kisahnya kepada “lelaki hujan.” Ia merinduinya dalam bayang-bayang. Ia ingin menari bersamanya ketika hujan turun nanti. Perempuan hujan dan Lelaki Hujan berdansa mesra dalam nyanyian guntur dan senandung awan mendung. Namun hujan tak kunjung datang. Sampai kapan ia menunggunya? Sementara rindunya akan basah dan wangi tanah sudah tak tahu malu lagi datang setiap hari. Apakah hujan sudah tak setia lagi untuknya? Bila ia menangis lagi siapa yang akan menemani?



Perempuan hujan itu menyimpan rasa takut, takut untuk mencintai si Lelaki Hujan. Sebab ia tahu cinta tak pernah bersahabat baik dengannya. Akankah ia kehilangan lagi segala nanti?



“Seandainya aku masih lajang, aku pasti datang saat hujan tak hadir untukmu. Memberi sejuk yang sama nyamannya ketika gerimis menyapu wajahmu. Memberikan gigil yang sama dinginnya ketika hujan membasahimu. Menyamarkan tangismu dalam pelukanku. Tapi aku tak bisa meninggalkan wanita ini.”



“Tapi, Mas… Aku mencintaimu. Tidakkah kau juga ingin datang? Hujan sudah lama tak setia padaku lagi, apa kau juga hendak pergi?”



“Percayalah, aku akan selalu disini. Walaupun aku tak di sisimu. Dengarlah, Non, engkau Mentari, walaupun hujan tak menemani tapi kan awan berseri. Seharusnya kau bersenang hati. Tapi, wanita ini, sungguh, aku tak mampu meninggalkannya.”



“Kenapa, Mas? Apa karena saat ia menangis hanya kamu yang mampu menyamarkan airmatanya? Apakah rintihannya lebih merdu dari gerimis. Apakah berada di sisinya lebih teduh dari langit mendung? Aku tak mengerti, Mas! Kamu tahu aku mencintaimu, Lelaki Hujan-ku. Kamu membiarkan aku jatuh cinta kepadamu seperti aku cinta kepada hujan. Tapi sekarang kau biarkan aku sendiri dengan rasa ini.”



***



Perempuan hujan hanya ingin jatuh cinta kepada hujan saja. Hanya pada awan mendung dan rintik gerimis. Ia tak ingin lagi Al atau pun Lelaki Hujan-nya. Ia yakin hujan sebentar lagi datang, kembali menyapanya, dan menemaninya menari dalam deras rintik-rintiknya. Ia tak peduli pada sakitnya, ia tak hirau lagi pada tangisnya sebab hujan samarkan airmatanya. Ia relakan hujan merasukinya. Merasakan mereka satu, menari, dalam iringan nyanyian guruh menyambar.



Ia rasakan perlahan rintik-rintik gerimis membasahi kepalanya, terus mengalir membasahi tubuhnya. Petir menyeru kepadanya, memberitahukan hujan siap datang menyapa. Perempuan hujan itu berlari keluar. Ia sungguh-sungguh dimabuk cinta, pada kekasihnya yang sudah lama tak kunjung datang. Di luar rumahnya ia tengadah, awan mendung telah kembali. Atap gentingnya perlahan merintik. Lalu wangi tanah basah itu menyeruak timbul menguasainya, wangi rumput dan harum angin itu. Perempuan hujan terus menari, menangis tak berhenti. Ia luahkan semua rindunya. Ia selalu percaya pada kekasihnya, meski nanti ia pergi lagi dan hanya meninggalkan kemarau. Tapi ia akan selalu kembali. Laksana rahim kemarau yang senantiasa melahirkan hujan.



Perempuan hujan itu tau, ia takkan pernah sendiri…

Hujan Tengah Malam


dalam kebingunganku di tengah malam

tiba-tiba gerimis datang menari-nari

ah, kasihku telah tiba

hujan!

dalam gigil senandung angin malam

ntah apa yang ada dalam benakku sekarang

kasihku, datang malam ini

tiba-tiba, tanpa kabar awan menyeru terdahulu

begitu tiba-tiba juga kah cintanya padaku?

lelaki itu…

yang membangunkan tidurku juga malam ini

tanpa mampu kusadari apa yang sesungguhnya terjadi

dalam persahabatan ia jatuh cinta

wahai hujan,kasihku…

lalu dalam apa aku mencintaimu

apakah kau datang malam ini tuk temani gelisahku

sebab aku tak menangis, dan tak ada airmata

yang perlu kau samarkan dalam rintikmu seperti biasa

aku hanya bimbang dalam rasa yang entah apa

kau hanya mampir sebentar, bukan?

begitu juga kah rasanya?

awan mendung laksana rasaku

awan gelisah,awan hujan

bergelung tak menentu

beriak tak berarah

apa yang sebenarnya terjadi?

aku dan dia

lalu hujan malam ini…

Peka

saat cinta itu tiba-tiba datangnya
aku bahkan tak berani untuk bahagia.
takut terluka
malu kecewa
ngeri trauma
sampai aku relakan rasa hati
hanya sekadar cari-cari peruntungan
mungkinkah ku mampu hapuskan luka dan sepi
lalu kini dengan hadirmu
aku bahkan ragu mengerti arti bahagia
persahabatan yang menjelma cinta pada kita
apa arti semua?
jika tiap-tiap malam aku hanya luka memikirkanmu
sampai aku lelah menangis
antara bimbangnya rindu dan kecewa
kata sayang itu tak pernah ada
pegangan tangan itu tak pernah terasa
jangankan aku berharap pada pelukan mesra
laksana mimpi terbang yang sia-sia nyatanya
lalu, pada apa kita berjalan
perjanjian untuk setia
kebersamaan semata
keseriusan berdasar usia
semua tak nyata, tak terasa
pada dupuluhsatu hari yang tetap hampa
yang kesepian itu tak terganti pada kebersamaan kita
rasa sndiri yang lama tak terbalas adanya kau padaku
lalu sampai dimana kau dan aku menapaki
awal yang terasa terjal
adakah nanti kita menyesal
jika tiap-tiap malam airmataku masih menemani rindunya sepi sendiri
dan aku tak bisa bernafas
dan tak berhenti berfikir hanya sebab dirimu
dimana bahagianya kita bersama
pada ragu-ragukah kau jalani ini
pada sesal hatikah kau bagi rasa
pada keterpaksaan bersamakah kau pura-pura cinta
jelaskan padaku apa arti semua
jika menatapmu saja ku tak bisa
berbagi rasa dengan kata-kata pun tak ada
lalu mengapa kita bercinta
bukan romantisme kebersamaan yang diharap
tapi perhatian
karena janji kita atas kebersamaan itu
yang sekarang menuntut rasamu
agar peka

Hidup Antara yang Fana dan Abadi


“Waktu itu fana, kata kalender. …Tetapi jam berpendapat lain. waktu itu abadi katanya.”



Itulah sepenggal percakapan antara Kalender dan Jam mengenai waktu di dalam cerita “Kalender dan Jam” yang terdapat dalam buku kumpulan cerita Pengarang Telah Mati karya Sapardi Djoko Damono.

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. sebagian besar orang mungkin lebih mengenal Sapardi sebagai seorang penyair puisi dibandingkan dengan penulis cerita. Sapardi mulai menulis puisi sejak ia duduk di kelas 2 SMA. Sajak pertamanya dimuat pertama kali di tabloid Pos Minggu Semarang pada tahun 1957. Ia melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Ia sudah begitu banyak menghasilkan puisi. Karya-karyanya sangat terkenal di dunia kesusastraan Indonesia. Duka-mu Abadi, Mata Pisau & Akuarium, Perahu Kertas, Sihir Hujan, dan Hujan Bulan Juni merupakan beberapa buku kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan.

Beberapa puisi Sapardi juga pernah dimusikalisasikan sejak tahun 1990. Hujan Bulan Juni (1990), Hujan Dalam Komposisi (1996), Gadis Kecil (2005), dan Becoming Dew (2007) adalah sajak-sajak Sapardi yang dinyanyikan dan dimuat dalam cd dan kaset.

Sajak-sajaknya tidak saja dikenal di Indonesia tetapi juga di luar negeri seperti, Malaysia. Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Jepang, Belanda, Cina, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Beberapa karyanya juga pernah diterbitkan di Malaysia dan Jepang.

Karya-karya Sapardi telah banyak mendapat penghargaan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Antara lain: Anugerah Puisi Putera dari Malaysia 1983, SEA Write di Bangkok, Thailand 1986, Hadiah Dewan Sastra Kesenian Jakarta 1984, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1990.

Kini ia masih mengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.



Belakangan ini ia juga menulis cerpen. Pengarang Telah Mati (2001) dan Membunuh Orang Gila (2003) adalah buku kumpulan cerpennya. Dalam buku kumpulan Pengarang Telah Mati terdapat 28 cerita pendek. Salah satunya adalah “Kalender dan Jam”. Dari awal cerita ini tokoh Jam dan Kalender hanya memperdebatkan masalah waktu; apakah fana atau abadi.

Melalui cerita ini kita bisa melihat bahwa kehidupan ini tidaklah lepas dri waktu. Kehidupan yang berputar pun, tanpa kita sadari, sesungguhnya telah melewati waktu. Setiap orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda tentang waktu itu sendiri. Entah apakah waktu itu sesungguhnya fana atau abadi, setiap orang dan segala yang hidup di dunia ini, yang melewati kehidupan ini pastinya juga berada di dalam waktu.



Cerita yang ditulis oleh Sapardi sesungguhnya menarik. Penggunaan kata-kata yang dpilih dan gaya bahasa yang digunakan begitu mempesona. Hal ini membuat cerita-ceritanya terkadang terasa seperti puisi, ketika menulis sebuah cerita maka akhirnya terasa seperti sebuah puisi juga.

Jika melihat cerita “Kalender dan Jam” yang membicarakan tentang waktu ini, mungkin kita dapat membandingkan dengan puisi Sapardi yang berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”.



“Yang fana adalah waktu, kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

‘Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?’

tanyamu. Kita abadi.”



Dalam puisi ini pun, yang dibicarakan juga mengenai waktu. Tapia pa masalahnya jika waktu itu fana atau abadi? Bukankah kita akan tetap melewatinya di dalam kehidupan?

Seperti ketika Jam dan Kalender mempermasalahkan pula tentang proses mekarnya bunga wijaya kusuma dalam cerita ini. Kalender mengatakan bahwa itu adalah upacara kematian, tapi kata Jam itu adalah proses kelahiran, sementara lelaki di dalam cerita itu mengatakan bahwa itu adalah kesabaran, keindahan, dan permainan. Itulah hidup bukan? Ada kelahiran dan kematian tapi juga sekaligus permainan. Persepsi setiap orang tentunya boleh berbeda tentang kehidupan.

Sebuah paradoks yang bisa kita lihat dari cerita ini adalah masalah permainan waktu, yang disimbolkan dengan bunga wijaya kusuma. Kita melihat adanya perbedaan persepsi antara Kalender dan Jam tentang proses mekarnya bunga tersebut.

Jika melihat dari sudut pandang Kalender (dalam cerita ini tokoh Kalender digambarkan sebagai kalender sobek), ia mengatakan bahwa itu adalah proses kematian. Melihat kebiasaan pada umumnya, biasanya orang mengganti atau menyobek kalender di pagi hari. Melalui hal ini kita bisa melihat Kalender merasa bahwa pagi hari adalah waktu dimana hari kemarin telah berakhir (melambangkan kematian). Bunga wijaya kusuma pun akan layu di pagi hari.

Sementara melihat dari sudut pandang Jam, yang mengatakan bahwa proses mekarnya bunga wijaya kusuma merupakan proses kelahiran,mugkin juga benar. Jam selalu berputar. Bagi Jam, awal hari yang baru adalah saat tengah malam (pukul 00.01, dimana bunga wijaya kusuma pun mekar di tengah malam). Karena itu Jam mengatakan bahwa itu adalah proses kelahiran (dimana sesuatu baru saja dimulai).



Terkadang maksud dari cerita-cerita Sapardi memang sulit untuk dimengerti. Namun Sapardi tetap saja mampu membuat para pembacanya merasa tertarik untuk membaca cerita-ceritanya. Sapardi sungguh cerdik memang. Ia mampu menggambarkan benda-benda mati seperti kalender, jam, kaset, minyak tawon, cd, dll, menjadi begitu hidup sebagai tokoh di dalam ceritanya.

Dalam cerita ini kita bisa melihat bagaimana Sapardi menggambarkan benda mati seperti jam dan kalender yang justru “dihidupkan”. Tokoh Jam dan Kalender diperlihatkan begitu aktif. Sebagai benda mati mereka justru memperdebatkan masalah waktu. Tapi sebaliknya, tokoh lelaki di dalam cerita ini, yang merupakan mahluk hidup, justru “dimatikan”.

Tokoh lelaki digambarkan begitu pasif di dalam cerita ini. Sebagai mahluk hidup yang menjalani waktu ia “dipasifkan” di antara perdebatan Jam dan Kalender tentang waktu. Kita bisa melihat bahwa tidak ada dialog sama sekali untuk tokoh lelaki pada cerita “Kalender dan Jam” ini.

Kebanyakan tokoh di dalam buku Pengarang Telah Mati ini pun tidak menggunakan manusia sebagai tokoh utamanya. Sapardi menggunakan daun, bulan, bis kota, gerimis, dll, sebagai tokohnya. Hal ini mungkin tidak biasa di dalam sebuah cerpen. Tapi, toh, Sapardi tetap menganggap ini sebagai sebuah cerita bukannya puisi. “Niat saya memang menulis puisi tetapi cerita. Jadi saya anggap yang saya tulis itu cerita.” katanya di dalam kata pengantar buku ini.

Mungkin bagi para pembaca yang awam akan dunia puisi pasti akan terasa sedikit “aneh” saat membaca cerita-cerita Sapardi di dalam buku Pengarang Telah Mati. Seperti cerita “Kalender dan Jam” yang hanya meributkan tentang waktu, atau dalam cerita “Daun” yang hanya sibuk membahas tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab bahwa daun berwarna hijau. Cerita-cerita semacam ini tentunya sedikit berbeda dengan cerita-cerita kebanyakan. Tapi tentunya Sapardi memiliki maksud tersendiri di dalam cerita-ceritanya ini.

Dalam menulis puisinya pun, Sapardi sering kali menggunakan objek-objek alam, yang isinya tak jauh dari alam, kehidupan, manusia, Tuhan, dan cinta. Hal ini juga lah yang begitu terasa di dalam cerita-ceritanya.

“Prosa yang puitis, puisi yang prosais” (pernah dikatakan oleh seorang penulis artikel di Kompas untuk karya-karya Sapardi) mungkin memang gambaran yang sangat tepat bagi karya-karya Sapardi. Di dalam puisi-puisinya terkadang para pembaca seolah seperti membaca sebuah cerita, begitu pula sebaliknya, ketika membaca ceritanya terasa seperti membaca sebuah puisi (begitu singkat dan kata-kata yang begitu puitis).



Pengarang Telah Mati mungkin memang merupakan judul yang sangat tepat untuk buku kumpulan cerpen ini. Cerita-cerita Sapardi yang begitu puitis terkadang membuat para pembacanya memiliki persepsi yang berbeda-beda akan makna dan isi dari cerita tersebut. Itulah maksudnya “pengarang telah mati”. Sapardi di sini sebagai penulis membiarkan pembacanya memiliki persepsi masing-masing atas karyanya itu, dan pengarang dalam hal ini, memang telah mati, tidak ada hubungannya lagi dengan segala persepsi pembacanya itu.



Pada akhirnya pun usaha Sapardi untuk membuat cerita patut dihargai. Bagaimana pun karya-karyanya, entah puisi maupun cerita, tetap mampu diminati oleh pembacanya.

Perempuan Hujan


perempuan hujan sudah rindu bau tanah basah

rindu wangi rumput dan harum wangi angin pagi

kapan hujan datang lagi?

jangankan petir menari-nari

mendung saja ragu menghampiri

awan sedang bahagia kah?

sebab mentari terik berseri

perempuan hujan rindu pelangi

rindu suasana saat-saat mendung datang dan gerimis menyapa

perempuan hujan itu sudah mulai menangis lagi

ia rindu awan menemani