Friday, January 11, 2019

Berkaca Dari Perjalanan


Apa yang paling mengesankan dari setiap perjalanan? Banyak tentunya. Apalagi kalau kamu berkunjung ke negara lain yang lebih maju daripada negara tempat kamu tinggal. Banyak hal yang bikin kagum, banyak hal yang bikin takjub.

Dari perjalanan ke London, Melbourne, dan Sydney, banyak hal yang bikin saya merasa malu jadi orang Indonesia karena ngerasa, duh, ini negara ketinggalan banget deh. Kapan majunya? Kaya saat passport gak bisa di-scan di bandara Sydney, berdiri stuck hampir 20 menit di line imigrasi, diliatin orang-orang cuma gara-gara kertas passport yang udah tahun 2018 masih aja harus di-input manual karena gak bisa kebaca di mesin scanner. Tapi gak sedikit pula alasan yang membuat saya bersyukur jadi orang Indonesia. Saat menggigil kedinginan di London, rasanya udah mau mati, saya kangen banget ada di Jakarta yang mataharinya tiap hari muncul. Untuk makanan Indonesia yang enak-enak dan murah meriah, sementara makanan di sana udah hambar, mahal pula. Ya begitulah hubungan sama negeri sendiri, benci, benci, benci, tapi rindu.

Dari perjalanan di tiga kota besar ini yang membuat saya paling terkesan adalah soal sistem transportasinya yang canggih, serba teratur, bersih, dan tepat waktu. Selain itu apalagi? Banyak! Udaranya yang bersih, minim polusi, trotoar lebar untuk pejalan kaki yang gak perlu rebutan sama motor atau tukang jualan, banyak taman kota yang luas, museum yang bagus-bagus, infrastruktur yang baik, gak ada macet, gak ada motor yang seliweran sembarangan dengan klakson yang berisik. Yang paling utama soal kesadaran masyarakatnya yang tinggi untuk tertib dan disiplin.

Salah satu taman kota di Melbourne yang luas, bersih, gak ada pedangang kaki lima 😛


Menjadi negara maju itu bukan sekedar menyediakan fasilitas canggih luar biasa dan yang paling terdepan. Bukan cuma soal pemerintahan yang baik dan gak korup. Menjadi negara maju juga perlu mentalitas kuat serta kesadaran tinggi dari masyarakatnya untuk mau tertib, disiplin, mandiri. Sebaik apa pun pemerintahan, sehebat apa pun fasilitas yang diberikan, semua akan sia-sia kalau masyarakat yang hidup di dalamnya minim kepedulian dan kesadaran untuk menjaganya bersama-sama.

Tapi perjalanan ke luar negeri, mengunjungi negara-negara yang lebih maju juga tak sepatutnya dijadikan ajang sibuk mencaci-maki negeri sendiri hanya karena terpukau atas kehebatan negara lain. Karena kadang kita hanya terlalu sibuk menertawakan kekurangan tanpa tahu bagaimana menjadikannya lebih baik. Sibuk mengkritisi tapi tak mengambil peran nyata dalam memperbaikinya.

Perjalanan kerap kali membuat saya berkaca diri, apa yang perlu saya lakukan setidaknya yang dapat dimulai dari diri sendiri. Hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk menjadikan tempat kita tinggal terasa lebih baik. Sederhananya saja, gak buang sampah sembarangan, tertib antri, gak merusak fasilitas umum, dll.

Perjalanan itu selayaknya memang membuka mata dan pikiran kita untuk lebih luas lagi memandang dan mampu berpikir lebih bijaksana.


Oxford Street, London, trotoar luas hanya untuk para pejalan kaki. 😊





Thursday, January 3, 2019

Cerita Dari Para Homeless

London, September 2017

Sore itu saya baru saja keluar dari stasiun Tottenham Court Road, hendak balik ke hotel kami di Dean Street. Di tengah keramaian orang di sekitar Oxford Street seorang perempuan paruh baya, berkerudung hitam, dari wajahnya saya tebak sepertinya dari Timur Tengah, menghampiri saya. "Assalamualaikum, Sister... Can you buy me a food, please?", katanya. Saya menggeleng dan berkata, "No, sorry." sambil terus berjalan. Tidak sampai semenit saya jalan rasa bersalah menghinggapi diri. Saya ingat saat itu saya bilang ke Ena, "Yaaah, itu ibu-ibu tadi padahal cuma minta dibeliin makanan." Rasa bersalah itu tak kunjung hilang hingga saya tiba di hotel.

Malamnya Ena nonton Harry Potter and the Cursed Child, saya karena gak kedapetan tiket jadi kelilingan sendiri di Oxford Street, kemudian malah berakhir dengan belanja di Primark. Keluar dari Primark saya masih celingukan di sekitar Oxford Street karena mikir mungkin ibu-ibu tadi masih ada di sekitar sini. Tapi gak ketemu lagi. Semalaman itu gak tau kenapa saya ingat ibu-ibu itu terus.

Sampai di Jakarta cerita tadi saya kisahkan ke suami. Dia suruh saya sedekah di Jakarta aja sebagai pengganti rasa bersalah tadi. Jadi waktu itu saya niatkan masak sendiri, bikin nasi kotakan untuk dibagiin ke pengemis di sekitar wilayah dekat rumah. Apa rasa bersalahnya hilang? Ternyata tetap enggak. Bayangan atas kesombongan saya saat di London itu masih terus ada.



Cerita tadi memang kesannya biasa saja. Menolak memberikan uang ke pengemis kan di Jakarta juga sering, tapi entah kenapa peristiwa di London itu begitu membekas. Saya seperti ditampar entah oleh apa. Wajah ibu itu, apa yang ia ucapkan, lalu bagaimana cara saya menolaknya, semua detailnya masih jelas sekali saya ingat. Seperti ada hantu yang terus gentayangan di dalam pikiran dan membisikan betapa sombongnya diri ini.

Bagaimana tidak sombong, Allah kasih saya rejeki yang berlimpah sekali di tahun 2017 itu. Keinginan saya yang sudah bertahun-tahun untuk menginjakkan kaki di London dikabulkan, Visa UK yang sudah sempat ditolak ternyata diberikan kemudahan lagi untuk mendapatkannya. Tapi ketika ada orang lain minta sedikit saja rejeki dari saya, mudah banget saya tolak mentah-mentah.

Sudah setahun lewat sejak perjalanan di London saat itu, tapi peristiwa tersebut masih lekat dalam ingatan.

No one has ever become poor by giving

Sydney, Desember 2018

Sore itu juga sama. Saya dalam perjalanan balik menuju hotel. Sydney hujan badai, angin kencang sekali, sampai payung saya berubah jadi mangkok berkali-kali. Jarak dari stasiun King Cross menuju hotel tempat saya tinggal berjarak kurang lebih 1 km, dan saya harus jalan kaki ke sana. Jalanan gak ramai, semua orang berjalan cepat-cepat menghindari hujan angin yang kencang. Dari kejauhan saya lihat seorang perempuan duduk di depan toko. Mendekap dirinya, kehujanan, tanpa payung, bahkan tanpa mengenakan jaket. Seketika saya bertanya sendiri dalam hati, "itu pengemis bukan sih?" karena pakaiannya bersih dan cukup bagus, dan tak ada barang-barang di sekitarnya seperti kebanyakan pengemis lain yang saya temui di jalanan. Namun saat itu juga bayangan perempuan pengemis di London tahun lalu tiba-tiba muncul lagi di kepala saya. Saya yang juga kebasahan saat itu cuma mikir satu hal, jangan sampai kejadian seperti di London terjadi lagi.

Ketika jarak semakin dekat, perempuan ini sudah menatap ke arah saya. "Give me just ten cents, please!" katanya.

Alhamdulillah, penyesalan yang sama tidak lagi hinggap hingga saya menulis cerita ini.

Melbourne, The Most Liveable City in the World.

Apa yang mau saya sampaikan sebetulnya dari cerita ini adalah kita manusia kerap merasa ketakutan kekurangan rejeki, hingga mau berbagi pun rasanya berat sekali. Padahal rejeki sudah dijamin oleh Allah. Kenapa begitu sombong saat memiliki sesuatu? Padahal apa sih yang kita punya sebetulnya?

Kisah dalam perjalanan saya di atas tadi betul-betul menjadi ingatan yang lekat sekaligus pelajaran yang membuat saya belajar untuk terus bersyukur atas apa yang saya punya, sedikit apa pun itu dan kesadaran untuk selalu mau berbagi rejeki dengan orang lain.

Ada dua hadist yang sampai sekarang akan selalu saya ingat. Dikatakan... "Bersedekahlah, supaya engkau diselamatkan dari api neraka, walaupun hanya dengan sebutir kurma." Dan, "tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan kecuali ia bertambah, bertambah, bertambah."

Kadang kita memang perlu melihat ke bawah untuk terus bisa merasa bersyukur. 

Banyak cerita dari London dan Australia yang belum saya sempat tuliskan di sini, sebagiannya mungkin bahkan saya sudah lupa. Tapi cerita ini adalah kisah pertama dari dua perjalanan saya terakhir yang ingin saya bagikan di sini, sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, semoga juga bagi orang lain yang membacanya.

Berbuat baiklah. Niscaya kebaikan itu akan berbalik kepada kita.


PS: Ini sedikit kesan saya melihat para homeless di London, Melbourne dan Sydney. Meskipun  di negara maju, jumlah homeless di sana ternyata juga lumayan banyak. Tapi satu hal yang bikin saya kagum, banyak banget homeless yang saya temui selama diperjalanan, meski tidur di jalanan, meski ga punya rumah, mereka tetap baca buku. Buku dan anjing, dua hal itu yang  banyak saya lihat tetap mereka punyai meski berada di jalanan.


Jakarta, 3 Januari 2019
"Selamat Tahun Baru"