Oleh: Seno Gumira Ajidarma
“Jadi apa yang akan kita lakukan kalau bertemu nanti?”
”Kita akan berciuman.”
“Berciuman?”
“Ya, habis mau apa lagi?”
“Bisa kan nggak usah pakai ciuman?”
”Ya bisa.”
“Tapi kenapa harus pakai ciuman?”
”Ya, nggak harus, tapi paki ciuman nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa?”
“Ya nggak apa-apa. Kenapa? Takut hamil?”
“Nggak.”
“Jadi kenapa?”
“Nggak apa-apa, seneng aja.”
”Nggak takut hamil?”
”Ciuman doank ya nggak pakai hamil-lah yaw!”
”Bisa aja kalau diterusin.”
“Ya nggak usah diterusin. Janjinya ciuman  doank.”
“Bisa aja keterusan.” 
“Ya nggak apa-apa. Emang kenapa kalau keterusan?”
”Kamu bisa hamil.”
“Emang kenapa kalau hamil? Sudah punya suami ini!”
***
Mereka  berciuman begitu rupa, lengket seperti ketan, tak peduli angin tak  peduli hujan tak peduli badai tak peduli air bah melanda setinggi pohon  kelapa. Ratusan ribu balatentara bergerak menyapu desa menyapu kota  menyapu negara banjir darah tak terkira mengalir naik turun bukit  mengempaskan dukalara kemana-mana. Banjir dari segala banjir  menghanyutkan sejuta rumah sejuta sapi sejuta gerobak dan berjuta-juta  pengungsi yang berteriak minta tolong dengan sia-sia tak bersuara ketika  mega-mega seperti menari-menari melihat orang-orang mengambang  menggapai-gapai sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia melambai-lambai  entah untuk apa diatas genting di atas gedung di puncak stupa di puncak  gunung air bah tetap melanda.
Mereka  masih terus menerus berciuman dengan asyik dengan getol dengan  kemesraan terhambur begitu cepat padat seperti kilat berkerjap  menggemparkan langit menggemparkan semesta sampai bintang-bintang  berjatuhan seperti hujan terhambur menggebu-gebu mendesing-desing  seperti roket o hujan meteor tercurah menyapu bumi melewati pasangan  berciuman yang tak perduli betapa langit berkedip-kedip seperti mata  maha raksasa yang mengerjap-ngerjap dahsyat menggila tiada berhahahihi  tak kusangka dia begitu tega menjadi lupa kepada cinta kepada siapa saja  yang berjanji di bawah pohon beringin sungsang agar tetap setia sampai  mapus tiada tara o ciuman yang dahsyat yang menggelegak berabad-abad  dengan bunyi kecipak seekor ikan bersayap yang begitu muncul dari dalam  air langsing terbang ke angkasa.
Ciuman  yang begitu dahsyat membuat langit merah terbakar dan dari segala sudut  patung yang berciuman itu tetap tampak seperti siluet bagaikan matahari  ikut berputar bersama mata yang memandangnya ke sribusatu sisi aduhai  bayangkanlah sepasang patung berciuman bergerak-gerak patung batu  bergerak-gerak bagaikan sepasang insan beneran berciuman dengan  bibir-bibir batu yang telah lengket berlumut menjamur jauh melebihi  ketan jauh melebihi ketan sungguh-sungguh lengket begitu lengket rekat  mereka tak lepas kebas seperti berabad-abad bibir bertemu bibir membatu  di tengah hujan meteor yang memusnahkan dinosaurus menghanguskan rimba  raya menyisakan pulau-pulau karang berbukit batu dengan fosil sepasang  manusia berciuman di dasar lautan pasir yang begitu gersang begitu  merangsang menghangatkan badan sehingga ciuman tiada pernah lepas  membatu tanpa lipstik di bibir-bibir yang semula terpisah separuh  semesta dan saling menabrak seperti halilintar membakar-bakar.
Manusia-manusia  purba dari segala penjuru berdatangan membawa pentung rotan pentung  kayu pentung batu dan saling meraba pipu meraba rambut meraba mata  meraba hidung meraba bibir meski jari tiada steril tak kenal bakteri tak  kenal kuman tak kenal bibit penyakit mekantar-kantar o tubruk-menubruk  cium-mencium gulat-menggulat bergeliat mengaum meraung harimau loreng  harimau kumbang grrrhhh saling mengancam demi ciuman sepanjang sejarah  tanpa catatan tanpa buku tanpa perpustakaan yang melarang pasangan  berciuman diantara rak-rak memanjang meski huruf-huruf mengosongkan  halaman berbaris keluar jalan mencari bukit batu di pulau karang asal  bisa berciuman di bawah langit senja yang merah membakar tanpa saksi  harapan mata yang saling memandang penuh cinta penuh harapan sebelum  akhirnya kelak kecewa dalam pengkhianatan aaarrggghhh!!!!
***
“Berapa lama kita kan berciuman?”
“Sampai kebas.”
“Apa itu kebas?”
“Sampai mati rasa.”
“Berapa lama kita akan berciuman sampai mati rasa?”
“Kenapa emang?”
“Jam berapa gitu aku mesti pulang?”
“Kenapa mesti pulang?”
“Yah,tahu sendirilah.”
“Nggak, aku nggak tahu.”
“Payah, kamu sendiri seorang istri,kan? Apa nggak  pernah pura-puranya mengharap suamimu pulang?"
“Pura-puranya sih selalu.”
“Hahahaha!”
“Hihihihihi!”
“Hehehehe!”
“Hohohoho!”

 
No comments:
Post a Comment