Monday, May 9, 2011

Sofina

Dia akan mengusapi rambut saya saat rebah dipangkuannya, menyenandungkan lagu-lagu melayu yang saya tak pernah tau judulnya apa, sampai saya lelap. Jika ditengah malam saya tidak bisa tidur karena banyak nyamuk, dia akan bangun, mengambil lotion anti nyamuk dan membalurkannya ke seluruh kaki dan tangan saya. Dia juga yang pada pagi buta paling cerewet membangunkan saya untuk shalat subuh.

Ada kalanya beberapa minggu sekali saya, Non, dan dia pergi ke pasar Mayestik pagi-pagi buta, selepas subuh, belanja banyak bahan untuk masakan. Biasanya saat dirumah akan diselenggarakan pengajian atau sedang banyak orang yang kumpul. Biasanya kami pulang naik bajaj, dempet-dempetan bertiga dengan kantong-kantong plastik penuh sayuran, ikan, dan bahan makanan lainnya.

Saya ingat tugas pasti saya darinya setiap lebaran. Habis subuh dia dan Non pasti sudah sibuk mengisi ketupat untuk dimasak. Menjelang pagi dia akan meminta saya memarut pepaya muda yang sudah direbus untuk sayur ketupatnya. Iya, bertahun berturut-turut tugas saya selalu memarut pepaya muda sehari sebelum lebaran. Di belakang rumahnya ada tersisa sedikit tanah yang suka ditanami apotik hidup dan bunga-bunga olehnya. Di situlah dia akan minta anak laki-laki dan suami dari pembantunya di rumah untuk memasang terpal ala kadarnya. Nanti dia minta 'Ndet untuk cari kayu bakar. Dia merajang air hingga mendidih dalam sebuah kaleng besar untuk memasak ketupat. Menjelang senja ketupat kami matang, ia akan membiarkan O'om, pembantu yang bekerja sejak lama dirumahnya untuk memasak ketupat keluarganya ditempat yang sama.

Semua tetangga dilingkungan itu memanggilnya Ibu. (Dulu saat Ayah masih ada para tetangga juga memanggilnya Ayah saja). Sebagian keluarga memanggilnya "Dis". Ia selalu genit di depan cermin, mencocokan topi-topi atau kerudung untuk mengaji dengan baju muslimnya agar berwarna serasi. Tetap ingin kelihatan paling modis diantara ibu-ibu pengajian lainnya. Ia pembuat Pindang Patin dengan Tempoyak yang paling nikmat di seluruh dunia, yang pernah saya kenal.


Hampir enam tahun lalu, penyakit itu menggerogotinya. Saya pernah terpaksa mencekoki cairan kental berwarna hijau yang keluar dari dalam perutnya dan ditampung dalam kantong sebesar botol infus untuk diminum kembali olehnya. Kala itu ia sakit dan hanya itu satu-satunya cara untuk bertahan atas penyakitnya. Setiap pagi saya dibantu Non dan Mba War, baby sitter anaknya Non untuk meminumkan cairan itu ke mulutnya. Rasanya saya tak pernah mengalami hari-hari paling buruk selain masa itu. Setiap pagi saya harus menyiapkan selang sebesar kelingking sepanjang setengah meter dan suntikan besar untuk memasukan cairan itu. Selang itu harus dimasukan sampai melewati kerongkongannya, dan menuangkan cairan menjijikan itu. Tangan saya selalu gemetar dan berlinangan airmata saat melakukannya. Rasanya seperti menyiksa hidup-hidup orang yang saya sayangi. Tapi hanya itu yang harus dilakukan setiap pagi. Hanya itu. Tak lama setelah cairan itu masuk, saya harus bersiap diri merasa lega sekaligus sesak tak tertahan melihatnya muntah-muntah dan kesakitan.

Masa-masa itu adalah saat terberat. Ketika setiap malam saya harus bangun dan melihatnya sekarat, 20 kali ia muntah-muntah dalam sehari sehingga dibawah tempat tidur kami sudah tersedia baskom untuk menampung muntahannya. Ia akan muntah-muntah sekaligus sesak napas dan menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi perutnya. Pernah saya sampai berada di posisi yang tidak tahu harus berbuat apa lagi, sehingga saya hanya bisa meringkuk sambil menangis sesenggukan di pojok tempat tidur sementara Non dan pembantu-pembantu di rumah membantunya meredakan sakit.

Dua tahun lalu saya mengunjungi makamnya sendirian. Saya ingat ketika itu hari Rabu dan siang itu terik sekali. Saya datang dan duduk di depan makamnya, diam saja tapi tidak berhenti menangis selama kurang lebih dua jam. Tukang sapu makam dan penjual buah lontar yang ada di dekat situ memandang saya aneh, saya masih ingat tatapan mereka. Saya berada kedua kalinya dalam masa-masa paling berat dalam hidup saya waktu itu dan tidak tahu harus mencari siapa untuk mengadu. Jadi saya mengunjungi makamnya, berbicara dalam hati dengannya.

Sejak dia pergi saya hanya pernah dua kali kembali ke rumah itu. Tepat seminggu setelah hari pemakamannya dan satu hari lagi entah kapan, yang pasti rumah itu sudah berubah. Setelah itu saya tak pernah lagi kembali ke sana. Saya hanya mengambil sweater rajutan dari benang putih yang dia pakai hampir setiap hari ketika sakit dan sebuah pigura, fotonya bersama Ayah. Foto terakhir sebelum Ayah pergi. Itu saja yang saya ambil pada hari saya meninggalkan rumah itu, jika pun dianggap saya meminta warisan.


Kemarin ada yang meminta saya pulang ke rumah itu. Katanya sekadar main dan singgah saja pun tak apa. Saya hanya tersenyum. Terkadang memang keinginan saya untuk sekadar mampir ke sana muncul, tapi bukan keinginan yang kuat. Saya bahkan rasanya hampir tidak pernah melewati daerah di sekitar situ lagi untuk waktu yang cukup lama. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya.

Saya pasti akan datang ke sana lagi, nanti. Masih entah kapan.



No comments:

Post a Comment