Wednesday, May 25, 2011

Jogja's Story: New Atmospher

Hari kedua adalah special request saya kepada Mbak Nova untuk mengunjungi Candi Borobudur. Rumah Suci jaraknya juga dekat sekali dengan candi, jadi saya sekalian menyambangi dusunnya. Saya sudah bangun jam setengah lima pagi dan jam setengah tujuh Suci sudah siap menjemput saya di penginapan untuk pergi ke Candi Borobudur. Saya kira awalnya perjalanan ke sana akan ditempuh menggunakan bus, tapi ternyata Suci mengajak temannya, Ema, untuk membawa motor. Jadi saya dan Mbak Nova dapat tumpangan gratis ke sana. Jam setengah tujuh kami berempat menuju Borobudur, tidak sampai satu jam kami sudah tiba. Jalanan di hari minggu pagi masih sepi dan segar sekali rasanya melihat sawah di kanan kiri jalan. Pemandangan langka bagi saya yang terbiasa melihat gedung-gedung tumbuh menjulang.

Sampai di Borobudur, kami mampir sebentar di Joglo - guest house dan travel milik bapaknya Suci, kami langsung menuju candi dengan jalan kaki. Kali ini saya dapat compliment lagi untuk masuk Candi Borobudur gratis. Bapaknya Suci, kata teman saya yang dulu mengenalkan saya dengan Suci, adalah Lurah Borobudur (tapi Suci gak mau ngaku, hehe...). Mau lurah atau bukan, yang penting saat masuk candi dengan Suci bisa gratisan itu yang paling penting, hahaha! Suci sempat menelpon "orang dalam" dan kemudian kami diizinkan masuk tidak perlu melewati pintu antrian seperti pengunjung lainnya.

Terakhir kali saya mengunjungi Candi Borobudur ketika ada study tour saat kenaikan kelas ke kelas 3 SMA. Means kurang lebih sekitar tujuh tahun lalu. Rasanya berbeda, lebih gersang kalau saya lihat. Sekarang untuk naik ke atas candi juga diwajibkan menggunakan kain yang harus dipakai seperti sarung atau diikatkan di pinggang. Setelah Merapi meletus akhir tahun 2010 lalu, dua tingkat paling atas masih belum bisa dinaiki oleh pengunjung. Batal deh rencana saya mau mencoba menyentuh tangan patung Budha yang berada di dalam stupa. Padahal kata Suci sebelumnya bagian atas candi sudah sempat dibuka untuk pengunjung, mungkin kali ini saya yang kurang beruntung. Dari atas candi terlihat jelas perbukitan Manoreh dan Hotel Amanjiwo yang keren banget itu.

Setelah mengunjungi Candi Borobudur, kami sempat makan siang masih di area candi, kebetulan penjualnya juga masih bersaudara dengan Suci (tapi kali ini gak dapat compliment lagi, hihihi...). Lepas makan siang kami kembali ke Joglo dan menuju Kloneng. Kloneng ini adalah nama sebuah rumah atau mungkin bisa juga dibilang studio atau rumah seni. Lokasinya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah tinggalnya Suci, dan naik motor dari Joglo hanya 5 menit. Pemilik Kloneng ini adalah Mas Yoyo, seorang pelukis. Ada beberapa orang lain yang juga tinggal di sana bersama dengan Mas Yoyo, ada Mba Aning, Yasmi, Andri, dan Mba Maya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersaudara kandung. Kalau saya boleh bilang mereka adalah para pelaku seni yang hidup bersama. Suci sudah sering cerita tentang mereka, namun baru kali ini saya bertemu muka. 

Mas Yoyo dan salah satu lukisannya


Mba Aning dan Andri sering melakukan performance art. Mba Aning juga melukis, membuat puisi, kata Suci dia juga bisa menari dan pintar nyinden. Andri juga bisa melukis, bermain alat musik dan jago memahat. Yasmi juga bisa melukis dan aktif dalam acara-acara pertunjukan seni budaya. Kemarin, hanya Mba Maya yang tidak saya jumpai di Kloneng karena katanya sedang pergi ke Semarang. Kloneng sering dikunjungi dan diinapi oleh turis asing. Kemarin saat datang ke sana, Mas Yoyo bercerita bahwa akan ada tamu dari Spanyol yang akan datang besok.

Masuk ke Kloneng rasanya seperti masuk ke dalam studio seni, padahal rumah ini seperti rumah tinggal biasa berbentuk joglo. Saat masuk ke ruang tamu seluruh dinding dipenuhi oleh lukisan. Ada juga rak yang berisi pahatan-pahatan kayu, karyanya Andri. Di dekat sekat yang menuju ke ruangan dalam ada patung-patung dan kanvas yang penuh lukisan dan cat-cat air. Saya pribadi tertarik sekali dengan tempat ini.

Kunjungan kemarin yang tak sampai dua jam, saya hanya sempat berbincang tak banyak dengan Mas Yoyo, tentang lukisannya, tentang Kloneng dan tentang mereka. Dengan Mba Aning saya sempat ngobrol lumayan, berdua di teras, membicarakan teater dan puisi. Waktu saya cerita juga suka menulis puisi, Mba Aning langsung meminta membaca puisi-puisi saya. Tau saja dia bahwa saya pasti menyimpan sebagian di dalam handphone. Jadi saat minta langsung tembak tepat sasaran, "boleh baca puisinya yang di handphone?" Kalau begini sudah gak bisa mengelak, padahal saya justru malu kalau terang-terangan ada orang yang minta lihat puisi yang saya buat.

Ajakan untuk menginap dan tinggal lebih lama di sana terpaksa ditolak, karena Mbak Nova sudah keliatan bosan dan besok siang sudah harus balik ke Jakarta. Mba Nova memang sepertinya tidak tertarik dengan hal begini selain dia mau datang cuma karena mau lihat lukisan. Mungkin juga merasa "aneh" melihat mereka terutama Mas Yoyo yang agak-agak nyentrik penampilannya. Saya sendiri gak heran melihat gaya begitu, gampangnya saya bilang "namanya juga seniman." Padahal ajakan dari Mas Yoyo dan Mba Aning untuk main ke sungai dan naik ke gunung jika bisa tinggal lebih lama di sana, seru sekali rasanya jika terwujud.

Mas Yoyo (berdiri, paling kanan), Yasmi (atas, sebelah Mas Yoyo), Mba Aning (tengah, duduk), Andri (Jongkok, paling kiri)

Suasana desa yang begitu tenang, masih rimbun pepohonan, dekat dengan suara ricik air sungai rasanya damai sekali. Kejenuhan saya terhadap Jakarta dan rutinitas kerja sehari-hari membuat saya senang luar biasa saat bisa berkunjung ke tempat seperti ini. Memberi suasana baru, rasanya bebas dan bernafas lega. Lingkungannya betul-betul desa yang asri, tenang dan bebas stress. Apalagi ngobrol dan bertemu dengan orang-orang di Kloneng yang bergelut aktif dengan dunia yang saya gemari -mereka pelaku seni dan saya penikmat seni- kok rasanya seperti di rumah sendiri.

Pulang dari Kloneng, saya, Suci dan Mba Nova menyempatkan mampir ke Candi Mendut dan Candi Pawon. Ema langsung pulang ke rumahnya di Muntilan selepas dari Kloneng. Jadi kami bertiga naik Delman pergi ke sana. Sehabis berkunjung ke dua candi tersebut kami balik langsung ke Terminal Borobudur dan naik bis ke Terminal Jombor dan dilanjutkan dengan Trans Jogja.

Tujuan (yang terpaksa dikunjungi) berikutnya adalah Ambarukmo Plaza (Amplaz). Jangan tanya kenapa saya mampir ke mall yang di Jakarta mungkin isinya lebih bagus, lebih besar dan lebih keren. Kalau bukan karena tas saya rusak, haram rasanya saya liburan ke luar kota lalu menyambangi mall yang sudah bosan saya lihat di Jakarta. Saya gak mau lama-lama membuang waktu di dalam mall, jadi setelah membeli sebuah tas selempang di Planet Surf dan sempat makan sebentar, langsung saja kami kabur dari sana. Keluar mall saya dan Mbak Nova sempat mampir tak sengaja di salah satu kedai penjual oleh-oleh. Lalu kami balik ke arah penginapan dengan Trans Jogja. Suci turun di tengah jalan dan berpisah dari kami karena ada urusan lain. Saya dan Mbak Nova berhenti di halte Trans Jogja di depan benteng Vredeburg dan jalan kaki mampir ke Mirota Batik sebentar.

Karena rasanya rambut sudah lengket, kulit panas, dan badan mau remuk, saya memutuskan naik becak dari Malioboro ke penginapan. Tarif becaknya cuma Rp 5000 tapi karena sempat nyasar abangnya ngotot minta ditambah dua ribu perak begitu sampai. Masuk kamar saya langsung mandi dan keramas. Selesai itu sukses counterpain  dibalurkan keseluruh punggung dan betis yang cenat cenut. Mantep banget rasanya! Tidur saya malam itu pulas betul.



The Untold Story:


- Seorang teman dekat mengirimi sms saat tahu saya sedang berada di Mirota. Ia bilang di bagian atas Mirota ada gazebo yang bisa didatangi pengunjung. Katanya seru minum bir dari atas sana sambil lihat pramusaji yang ganteng, haha!Yang senang minum bir dan mau lihat pemandangan malam kota Jogja mungkin boleh dicoba. Saya sendiri bahkan baru tahu kalau di atas Mirota Batik itu ada gazebonya.




Foto: dari Facebook-nya Mba Aning

No comments:

Post a Comment