Ayu Utami pada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya di Kompas, 3 Agustus, 2010 mengatakan bahwa ia tidak takut hidup sendiri. Tidak takut menjadi lajang, karena hidup melajang adalah sebuah pilihannya yang merupakan "keputusan politik." Ayu bukan seorang yang anti-pernikahan, sejauh pernikahan itu melindungi pihak yang lemah. Dikatakan, pihak yang lemah umumnya adalah perempuan. Dan kenyataannya, perkawinan sering kali justru menjadi lembaga yang menindas perempuan.
Ada stigma yang berkembang pada masyarakat kita. Stigma tentang perempuan yang tertekan karena tidak kunjung dapat suami. Stigma yang melecehkan mereka karena dianggap tidak laku, cerewet, judes, dan sebagainya. Karena stigma-stigma itu yang membuat perempuan jadi takut jika tidak menikah. Karena ketakutan itu yang membuat mereka rela menikah dengan laki-laki yang mereka tahu tidak akan membuat dirinya bahagia.
Maka seperti Ayu Utami pula saya ingin melawan stigma. Saya tidak ingin terkungkung di dalam stigma hanya agar dianggap normal. Memaksakan status "nikah" agar dianggap menjadi perempuan yang menjalankan praktek adat dalam masyarakat.
Pernikahan adalah sebuah praktek kebudayaan. Dimana dikatakan bahwa menjadi tugas manusia lah untuk berkembang biak demi melestarikan kelangsungan hidup generasinya. Maka dalam pernikahan pula seharusnya dilandasi cinta dan kepercayaan. Harus tetap ada ruang bagi individu yang menjalin pernikahan itu. Bagi saya pribadi, yang terpenting ialah bukan hanya sekadar memperoleh kebebasan pribadi tetapi lebih jauh lagi menumbuhkan kesadaran akan kesetaraan hubungan suami-istri dan kedirian sebagai manusia. Perempuan yang menikah harusnya bisa merasa nyaman dengan pasangannya. Bukan berarti harus bermimpi menjadi Cinderella yang hidup bahagia selama-lamanya. Tapi menikah adalah sebuah hubungan yang mengikat dua pihak. Dimana di dalamnya harus tetap ada ruang privasi dan menghormati satu sama lain. Pernikahan seharusnya bukan menjadi penjara bagi wanita.
Hidup di dalam sebuah dunia yang menjunjung tinggi patriarki, mewajibkan anggapan bahwa laki-laki mempunyai peranan lebih besar daripada perempuan, baik di dalam masyarakat atau pun di dalam sebuah rumah tangga, dan lebih sering memberikan pandangan bahwa seorang wanita dalam sebuah perkawinan hanyalah diposisikan sebagai nomor dua. Yang harusnya menuruti kata suami, menjadi pelayan yang mengatur rumah tangga, dan hanya mengurus hal-hal "kecil". Sementara suami lah yang mempunyai peranan besar, karena laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah, pemimpin rumah tangga, dan mengurus hal-hal "besar." Diskriminasi terhadap perempuan ini jelas-jelas pun dipaparkan pasal 31 ayat 3 dalam UU Perkawinan secara eksplisit yang mengatur posisi suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
Dilihat dari aspek biologis, psikologis, dan metodologis perempuan yang selalu merupakan subordinat laki-laki. Ditambah adanya budaya Jawa yang menjadikan perempuan sebagai kanca wingking bagi laki-laki dengan tugas macak (dandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan). Seolah-olah perempuan adalah seseorang yang harus memenuhi, memelihara, dan menyelesaikan urusan rumah tangga. Stereotipe perempuan yang digambarkan sebagai mahluk lemah, mahluk nomor dua, mahluk penurut, mahluk yang harus dilindungi, sudah berabad-abad melekat dalam pemikiran kebanyakan orang, menjadikan itu sebagai sebuah doktrin budaya.
Menghapus stigma dan stereotipe semacam itu bukanlah PR yang mudah diselesaikan. Perempuan yang berani melawan stigma pun lebih sering dianggap sebagai perempuan pemberontak, perempuan yang tak nurut adat, perempuan pembangkang. Pandangan seperti itu yang akhirnya menjebloskan kembali perempuan ke lubang yang sama. Yang pada akhirnya memilih untuk mengalah lagi kepada pandangan masyarakat yang mayoritas.
Saya pribadi ingin mengatakan, pandangan dan stigma terhadap perempuan seperti di atas sepertinya sudah tidak cocok diberlakukan dalam masa modern kini yang menuntut kesetaraan gender. Maka, pada tulisan ini saya ingin mendukung pernyataan Ayu Utami; seharusnya perempuan tidak perlu takut terhadap stigma. Perempuan sendiri lah yang seharusnya yang berusaha membuktikan dan menghapus stereotipe yang sudah melekat terhadapnya, dengan menunjukan bahwa perempuan juga BISA!
No comments:
Post a Comment