Tuesday, February 22, 2011

Escape

Rencananya terdengar menggairahkan. Ayo, segera laksanakan! Saya harus bersiap mengucapkan selamat tinggal dengan kota yang bikin stres setiap saat, dengan orang-orang yang pasti  saya cintai, tapi ketika pulang adalah sebuah keharusan, maka hati yang harus didengarkan.

"Mbak, kos sama aku aja ya!"
"Ngapain kamu ikut ngekos sama aku?"
"Mau kabur dari bapakku. Hehe..."
"Yuuuuk...!"

Percakapan saya dengan Wulan, sebut saja begitu namanya, betul-betul membuat hati dan pikiran jadi ingin segera melaksanakan niatan itu. Saya harus kabur segera dari segala kejenuhan ini. Dengan semua tali yang mengikat kaki selama ini. Saya butuh ruang untuk bernafas. Dan jelas, Jakarta bukan tempatnya.

Ada sebuah desa di suatu kota yang ternama, tapi ini desa. Ada candi, ada bukit, ada rumah seni, ada orang-orang baru -orang-orang yang sudah saya ketahui dari Wulan-, ada suasana baru. Saya harus segera berhenti kerja. Lalu melakukan pelarian ini untuk satu sampai dua bulan, atau lebih, entah sampai kapan.

"Jangan kebanyakan berfikir! Kamu terlalu banyak pertimbangan. Banyak hal dalam hidup yang tidak pernah pasti, jadi tidak perlu ditimbang terlalu lama. Lakukan saja. Ikuti kata hati!"
"Sempruuul, enak aja kamu ngomong!"
"Otak kananmu perlu sering-sering dilatih tuh!"
"Pusing ah!"
"Bawa saja baju, laptop, buku dan duit. Terus kabur! Tuh si Wulan sudah mau nemenin kan? Apa sih yang ditakutin? Takut mulu aah..."
 "Kabur pun perlu direncanakan. Kalau gak, bisa gak hidup aku nanti."
"Aku hidup-hidup aja."
"Orang gila."

Sebut saja namanya Aji. Orang yang saya kenal entah darimana. Orang yang tidak pernah saya habis pikir bagaimana dia bisa hidup dengan caranya itu. Gak memikirkan masa depan, kalau kata Wulan. Saya dan Wulan pernah semalaman ngomongin Aji. Cara hidupnya, pemikirannya, cara pandang dalam hidupnya diluar normal bagi kami. Tapi kata Aji, orang-orang seperti saya dan Wulan, yang kebanyakan menggunakan otak kiri, perlu sekali-sekali merasa hidup "bebas" seperti dia.

Wulan dan Aji, dua orang ini datang dalam hari-hari saya belakangan ini, seperti malaikat yang membawa pesan. Datang tanpa pertanda apa pun, tanpa ketukan di pintu. Mereka hadir dan pesan-pesan itu saya terima dengan berbagai cara. Ini cara Tuhan, bagi saya. Mereka bisa membuat saya ngakak guling-gulingan. Menghadirkan cerita baru. Membuat saya merenung panjang. 

Nanti, beberapa bulan lagi. Saya tidak akan ada di sini. Tapi di sana dengan mereka. Di sebuah desa. Dengan candi, dengan bukit, bermain di rumah seni itu, dengan para penyair, penulis dan pelukis. Di sana, dengan kebahagiaan baru. Segeraaa!



Jakarta, 22 Februari 2011

gambar dari sini


* Meida lagi ngayal-ngayal di kantor karena kurang kerjaan. :D

1 comment: