Sunday, May 16, 2010

Purnama Lima dan Kejora


Kata-kata itu sudah lama beku, rasanya tanggannya sudah kaku. Tak ada lagi goresan tinta yang ia tuang pada lembar kertas putih, yang selalu ia sebut harta karunnya. Tanpa disadari ia lupa akan duka deritanya, lupa airmata. Bahagia kah sekarang ia? Di bawah kungkung patriarki. Kemana feminisme yang ia dulu janji akan junjung sampai mati?

Sampai ternampak olehnya purnama lima dan kejora, yang ingatkan dirinya kembali pada luka. Pagi itu... Bukan, bukan pagi. Masih terlalu subuh menyebutnya pagi. Dalam perjalanannya bersama angin dingin, purnama dan kejora selalu ikuti lajunya. Terkadang menghilang dibalik atap-atap rumah tetangga.

Ia lupa. Hanya lupa. Pada bulir-bulir airmata, pada sakitnya luka, pada getar sebab duka. Sementara mungkin purnama itu selalu terang di atas atap rumahnya. Setiap malam... Walaupun bukan lima dan dengan atau tanpa kejora.



Jakarta, o6.o8.2oo9

No comments:

Post a Comment