ketika awan mendung, aku akan berlari keluar, bertelanjang kaki dan menari bersama rinai hujan. Dalam basah akan kutemukan inspirasi, maka pada kata-kata ini kukristalkan dingin kisahnya
Sunday, May 16, 2010
Desember Abadi dan Hujan Gerimis
Duka... Akankah sirna? Membias airmata, menjadikannya sehangat mentari di bulan-bulan terdahulu.
Rasa itu akan nyata, selamanya. Dalam-dalam.
Tangis itu tidak akan kering. Laksana gerimis di Sahara.
Juli itu..
Maya adalah kita. Bercinta hanya pada mata kata-kata.
Terombang-ambing rasa yang dipisah lautan.
Kata-kata yang menjadikan kita di surga kosong.
Surga yang tanpa bidadari-bidadari.
Hari-hari yang penuh hujan gerimis.
Pada mendung dan awan-awan gelap aku mengenangmu.
Lalu ia -bukan engkau Elang- di bulan Oktober.
Yang entah siapa. Bukan pangeran dalam dongeng-dongeng masa lalu, namun menjadikannya hangat sementara. Di penghujung, akhir bulan.
Yang aku menyebutnya "nice treat or great trick?!"
Bahagianya terbatas pada malu-malu dan kecanggungan karena hari-hari bersama dulu.
Yang berbagi tanpa mengasihi.
Lalu diakhiri dengan diam dan senyuman.
Desember... Itu abadi.
Duka-nya, pedih-nya, luka-nya, selamanya!
Akhir bahagia yang mengawal duka.
Hujan-hujan gerimis yang turun setiap harinya, hanya itu.
Rasa sepi, sepi, dan sepi. Hanya itu...
Ia datang, Elang...
Yang entah bagaimana dalam jalan dan takdir Tuhan tiba-tiba muncul.
Yang aku tak tahu harus menyebutnya hangat mentari atau jarum gerimis?
Walau dingin dan tajam, entah mengapa aku selalu menyukai hujan gerimis.
Dirimu menyebutnya danau.
Yang dalamnya ingin aku selami. Tak akan takut hangat Mentari-nya tenggelam ditelan dinginnya banyu.
Bersamanya, kami berdusta, berdosa, bercinta.
Rahasia-rahasia kami hanya akan disembunyikan alam.
Engkau, yang hadir, bukan Juli, Oktober, atau Desember.
Bukan di bulan-bulan penuh hujan gerimis.
Entah kapan pun akan selalu menemani.
Dengan segala kisah dan kata-kata.
Teman maya berbagi cerita.
"Teman jauh namun dekat di batin."
Tapi itu, Desember...
Akan tinggal selamanya, sejati.
Sampai tanah memanggilku kembali.
Dengan hari-hari penuh jarum gerimis, hujan abadi, awan gelap dan bau tanah basah.
Di mana tidak akan ada lagi istana.
Tempat rindu pulang bersarang.
Desember itu abadi..
Dengan hujan gerimis.
Dalam takdir Tuhan, aku menangis.
Jakarta
24.1o.2oo9
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wahhhhh.... bagus-bagus yaaaa..!! ^^b
ReplyDeleteterima kasih lala. ^_^
ReplyDeleteHello Mentari i'm Desember Abadi :)
ReplyDelete