Kemarin merupakan hari terakhir saya kerja di Kempinski. Rasanya sedih tapi juga lega. Sulit bagaimana dijelasinnya. Berat rasanya saat harus berpamitan dengan kawan-kawan terbaik saya di sana. Saat pamit yang paling sulit rasanya saat melihat beberapa dari mereka berkaca-kaca. Saya gak boleh nangis!!!
Dari awal hari kemarin saya sudah brtekad pokoknya gak boleh nangis saat pamitan sama teman-teman nanti. Jadi, saya berusaha terlihat biasa-biasa saja. Sampe mas adit dan mba Nova nanyain kok saya kayanya gembira-gembira saja di hari terakhir kerja. Mereka ga tau rasanya sudah seember saya tahan air mata saya dari tadi.
Air mata yang seharian ini saya tahan akhirnya tumpah juga saat pamitan sama Mba Nova di lokr, dia Supervisor saya. Dari mba Nova saya banyak belajar selama satu tahun setengah bekerja di Kempinski. Mba Nova sampai-sampai mengantarkan saya ke loker, menunggu saya ganti baju, sampai selesai packing sisa barang-barang saya di loker. Akhirnya saat pamit dngan dia, air mata kami sudah terlalu berat rasanya buat ditahan lagi. Mba Nova peluk saya sambil mengucapkan beberapa kalimat yang bikin mata saya kaya kali ciliwung saat musim hujan-Banjir!
Bekerja di Kempinski merupakan pengalaman saya bekerja pertama kali. Semua pahit manis kenangan di sini gak mungkin akan saya lupakan.
Terima kasih dan maaf untuk semua teman-teman yang tidak sempat saya jumpai kemarin.
Gonna miss u all!
ketika awan mendung, aku akan berlari keluar, bertelanjang kaki dan menari bersama rinai hujan. Dalam basah akan kutemukan inspirasi, maka pada kata-kata ini kukristalkan dingin kisahnya
Monday, May 31, 2010
Sunday, May 23, 2010
Rak Buku Baru
Bersalah rasanya. Entah sudah berapa lama tak ada satu buku pun yang pernah saya baca lagi kira-kira enam bulan belakangan ini. Kesal sendiri rasanya membayangkan ini, betul, benar-benar kesal! Aktivitas kerja sehari-hari sepertinya yang bikin otak ini gak mampu untuk melahap ratusan kata-kata lagi. Setiap libur yang kepikiran cuma istirahat dan tidur. Alasan gak mutu! Memang. Sebab itu saya sedih dan merasa bersalah. Semoga Tuhan mengampuni saya. :P
Melihat buku-buku yang dibeli ditumpuk begitu saja sampai menggunung di atas meja di dalam kamar, semuanya berdebu, sebagian bahkan masih ada di dalam kantung plastiknya seperti waktu baru dibawa pulang dari toko buku, masih lengkap dengan label harga dan berjejer begitu saja di bawah meja dekat tumpukan kardus-kardus sepatu; BELUM DIBACA SAMA SEKALI.!
***
Saya dan saudara kembar saya, Ena, senang membaca sejak kami kecil sekali rasanya. Mama selalu bilang, dulu waktu usia empat tahun kami sudah bisa lancar membaca tanpa dieja. Kami berdua gak pernah sekolah TK, umur lima tahun udah kelas 1 SD, tes masuknya disuruh baca koran Pos Kota sama kepala sekolahnya, saya masih ingat sekali, karena lancar gak pake ngeja akhirnya kami diterima walaupun umur masih belum cukup katanya. *bangga :D*
Waktu masih kecil dulu, saya masih ingat kami punya rak buku yang penuh sama buku cerita anak-anak yang tipis-tipis, karya-karyanya Hans Christian Andersen, Brothers Grimm, dll. Sampe sekarang walaupun udah sebesar begini kesukaan kami sama dongeng anak-anak gak pernah hilang. Ena, bahkan menulis skripsi nya dulu dengan mengambil tema dari dongeng anak, walaupun yang dibahas mengenai gender. Buku-buku tipis itu dilimpahkan sama sepupu waktu kami SMP, itu disuruh papa, padahal kalau saya pribadi gak pernah rela ngasihnya.
Tau kenapa? Itu buku paling cuma bertahan dua minggu untuk gak dicoret-coretin pensil, akhirnya jadi kertas pembungkus daun-daunan kalau tuh bocah-bocah lagi main masak-masakan. Murka sekali saya rasanya!!! Untung saudara, kalau gak sudah saya jambak-jambak rambutnya karena berani-beraninya merobek-robek harta karun saya yang terpaksa dihibahkan. Bayangin, itu buku kami berdua koleksi berdasakan nomor serinya, berusaha dilengkapi pelan-pelan setiap kami ke toko buku, lebih dari lima tahun buku itu ga pernah ada yang robek, kelipet, atau lecek sekali pun, dan bisa-bisanya cuma jadi sampah dan sekarang jejaknya entah dimana.
Teman-teman waktu di SD dulu juga suka main kerumah untuk pinjem buku, dan kami biasanya langsung cerewet bilang gak boleh lebih dari sehari, gak boleh dilipet, gak boleh rusak, gak boleh basah, gak boleh hilang dan gak boleh-gak boleh yang lainnya. Papa soalnya selalu ngajarin kalau punya buku harus dirawat baik-baik. Jadi buat saya dan Ena, kami punya slogan buat teman-teman kami yang mau pinjam buku;
"LEBIH BAIK PERSAHABATAN YANG RUSAK DARIPADA BUKU GW YANG RUSAK!" Hahahahahhhahaha....
***
Ena, terutama, selalu kalap kalau liat toko buku dengan banner atau spanduk bertuliskan DISKON, Semua buku pengen diborong, terus biasanya kalau udah sampai rumah dengan tentengan-tentengan plastik berisi buku yang biasanya lebih dari tiga setiap beli, saya cuma bisa bilang: "Na, mau ditaro dimana lagi?"
Soalnya rak buku di dalam kamar terlalu kecil dan udah penuh, jadi semua buku-buku baru belum punya tempat yang pantas, belum sempat disampulin plastik juga. Sudah terlalu sering saya dan Ena memikirkan dan berkhayal-khayal punya rak buku yang besar, satu dinding penuh kaya di kamarnya Cia, tapi kamar kami berdua tidak cukup luas.
Kurang lebih seminggu yang lalu, Papa bilang mau bikinin rak buku yang besar untuk di kamar kami berdua, mau gak mau kursi yang ada di kamar harus di keluarin, tapi gak masalah, yang penting punya rak buku baru yang besar. Kemarin pagi-pagi sekali Papa pergi ke toko kayu, begitu sampai dirumah gak lama dibelakangnya ada mobil box yang anter beberapa buah papan. Papa mau bikin sendiri rak bukunya, bukan beli, biar pas ukurannya dengan ruang yang ada di kamar. Eh, jangan salah. Papa saya orangnya kreatif, apa-apa gak selalu harus beli, dia bisa bikin sendiri, Papa kan terampil. Sebelumnya dia sudah uji coba dulu dengan bikin rak buat tempat koleksi DVD-nya di kamar, hasilnya nilai 95 dari saya.
Jadi kemarin dirumah seharian papa sibuk sama papan, gergaji dan paku-paku. Saya sudah gak sabar pengen cepat lihat rak buku yang baru jadi. Minggu depan kan saya menghabiskan cuti selama seminggu, jadi saya sudah punya rencana untuk menyusun buku-buku yang tertumpuk di meja dan masih tergeletak di dalam plastik di lantai.
Saya juga harus berjanji bahwa setelah rak buku barunya jadi nanti, semua buku-buku yang belum dibaca harus diselesaikan sampai tuntas. Jadi buku nya bukan sekadar jadi pajangan saja.
Lagian sudah cukup lama saya gak mengarang-ngarang cerita, gak ketemu inspirasi yang biasa saya temui saat atau setelah saya membaca buku. Saat saya membaca buku, saya sering terlarut sendiri dengan cerita dan latarnya, dan biasanya gak mau berhenti sebelum halaman terakhir dibaca. Setelah itu asik menghayal-hayal cerita sendiri deh.
Jadi, saya harus baca buku lagi. Supaya otak saya bekerja, supaya imajinasi saya lancar berputar, dan inspirasi datang lagi.
Melihat buku-buku yang dibeli ditumpuk begitu saja sampai menggunung di atas meja di dalam kamar, semuanya berdebu, sebagian bahkan masih ada di dalam kantung plastiknya seperti waktu baru dibawa pulang dari toko buku, masih lengkap dengan label harga dan berjejer begitu saja di bawah meja dekat tumpukan kardus-kardus sepatu; BELUM DIBACA SAMA SEKALI.!
***
Saya dan saudara kembar saya, Ena, senang membaca sejak kami kecil sekali rasanya. Mama selalu bilang, dulu waktu usia empat tahun kami sudah bisa lancar membaca tanpa dieja. Kami berdua gak pernah sekolah TK, umur lima tahun udah kelas 1 SD, tes masuknya disuruh baca koran Pos Kota sama kepala sekolahnya, saya masih ingat sekali, karena lancar gak pake ngeja akhirnya kami diterima walaupun umur masih belum cukup katanya. *bangga :D*
Waktu masih kecil dulu, saya masih ingat kami punya rak buku yang penuh sama buku cerita anak-anak yang tipis-tipis, karya-karyanya Hans Christian Andersen, Brothers Grimm, dll. Sampe sekarang walaupun udah sebesar begini kesukaan kami sama dongeng anak-anak gak pernah hilang. Ena, bahkan menulis skripsi nya dulu dengan mengambil tema dari dongeng anak, walaupun yang dibahas mengenai gender. Buku-buku tipis itu dilimpahkan sama sepupu waktu kami SMP, itu disuruh papa, padahal kalau saya pribadi gak pernah rela ngasihnya.
Tau kenapa? Itu buku paling cuma bertahan dua minggu untuk gak dicoret-coretin pensil, akhirnya jadi kertas pembungkus daun-daunan kalau tuh bocah-bocah lagi main masak-masakan. Murka sekali saya rasanya!!! Untung saudara, kalau gak sudah saya jambak-jambak rambutnya karena berani-beraninya merobek-robek harta karun saya yang terpaksa dihibahkan. Bayangin, itu buku kami berdua koleksi berdasakan nomor serinya, berusaha dilengkapi pelan-pelan setiap kami ke toko buku, lebih dari lima tahun buku itu ga pernah ada yang robek, kelipet, atau lecek sekali pun, dan bisa-bisanya cuma jadi sampah dan sekarang jejaknya entah dimana.
Teman-teman waktu di SD dulu juga suka main kerumah untuk pinjem buku, dan kami biasanya langsung cerewet bilang gak boleh lebih dari sehari, gak boleh dilipet, gak boleh rusak, gak boleh basah, gak boleh hilang dan gak boleh-gak boleh yang lainnya. Papa soalnya selalu ngajarin kalau punya buku harus dirawat baik-baik. Jadi buat saya dan Ena, kami punya slogan buat teman-teman kami yang mau pinjam buku;
"LEBIH BAIK PERSAHABATAN YANG RUSAK DARIPADA BUKU GW YANG RUSAK!" Hahahahahhhahaha....
***
Ena, terutama, selalu kalap kalau liat toko buku dengan banner atau spanduk bertuliskan DISKON, Semua buku pengen diborong, terus biasanya kalau udah sampai rumah dengan tentengan-tentengan plastik berisi buku yang biasanya lebih dari tiga setiap beli, saya cuma bisa bilang: "Na, mau ditaro dimana lagi?"
Soalnya rak buku di dalam kamar terlalu kecil dan udah penuh, jadi semua buku-buku baru belum punya tempat yang pantas, belum sempat disampulin plastik juga. Sudah terlalu sering saya dan Ena memikirkan dan berkhayal-khayal punya rak buku yang besar, satu dinding penuh kaya di kamarnya Cia, tapi kamar kami berdua tidak cukup luas.
Kurang lebih seminggu yang lalu, Papa bilang mau bikinin rak buku yang besar untuk di kamar kami berdua, mau gak mau kursi yang ada di kamar harus di keluarin, tapi gak masalah, yang penting punya rak buku baru yang besar. Kemarin pagi-pagi sekali Papa pergi ke toko kayu, begitu sampai dirumah gak lama dibelakangnya ada mobil box yang anter beberapa buah papan. Papa mau bikin sendiri rak bukunya, bukan beli, biar pas ukurannya dengan ruang yang ada di kamar. Eh, jangan salah. Papa saya orangnya kreatif, apa-apa gak selalu harus beli, dia bisa bikin sendiri, Papa kan terampil. Sebelumnya dia sudah uji coba dulu dengan bikin rak buat tempat koleksi DVD-nya di kamar, hasilnya nilai 95 dari saya.
Jadi kemarin dirumah seharian papa sibuk sama papan, gergaji dan paku-paku. Saya sudah gak sabar pengen cepat lihat rak buku yang baru jadi. Minggu depan kan saya menghabiskan cuti selama seminggu, jadi saya sudah punya rencana untuk menyusun buku-buku yang tertumpuk di meja dan masih tergeletak di dalam plastik di lantai.
Saya juga harus berjanji bahwa setelah rak buku barunya jadi nanti, semua buku-buku yang belum dibaca harus diselesaikan sampai tuntas. Jadi buku nya bukan sekadar jadi pajangan saja.
Lagian sudah cukup lama saya gak mengarang-ngarang cerita, gak ketemu inspirasi yang biasa saya temui saat atau setelah saya membaca buku. Saat saya membaca buku, saya sering terlarut sendiri dengan cerita dan latarnya, dan biasanya gak mau berhenti sebelum halaman terakhir dibaca. Setelah itu asik menghayal-hayal cerita sendiri deh.
Jadi, saya harus baca buku lagi. Supaya otak saya bekerja, supaya imajinasi saya lancar berputar, dan inspirasi datang lagi.
Friday, May 21, 2010
Hye! Kau Yang Berdusta, Lelaki...
Elang, aku tidak bahagia!
Kenapa rasa ini mendadak muncul, sejak semalam mataku hampir-hampir tidak terpejam.
Saat terlelap sebentar pun yang aku mimpikan ular.
Aku tidak mengerti, lang.
Lalu tiba-tiba aku terbangun.
02:17
Tidak biasa-biasanya kala aku tahu bahwa aku harus kerja esok pagi-pagi dan di pukul begini mata ini terbuka.
Dan kau tahu?
Ada pesan di telepon genggamku.
Satu pesan yang mengatakan ibu seorang teman dipanggil tanah kembali.
Ada satu lagi.
Satu pesan lagi.
Lelaki itu, lang.
Lelaki yang sering aku ceritakan padamu, dulu dan sekarang.
Pesannya mengatakan ia sayang padaku.
Setelah pesan itu kubaca, sampai pagi ini aku tidak bisa tidur lagi.
Mungkinkah ini petunjuk Tuhan?
Mendadak dada ini sesak.
Merasa ditipu - dibohongi.
Semua yang aku curigai sejak dulu, terasa begitu kentara dustanya.
Begitu terang petunjuknya, sampai-sampai aku begitu yakin dengan rasaku ini.
Ia, lang...
Lelaki yang mengirimkan pesan sayang itu.
Sejak awal membohongiku.
Ceritanya, tentang perempuan itu.
Masa-masa nya dulu, keluarga dan terserah apa lagi.
Ada rasa yang tak bisa aku terima.
Ia memupuk cnta dengan dusta.
Aku ingin marah! Ingin berteriak "AKU TIDAK BAHAGIA!"
Bukan ini yang aku ingini.
Sudah setahun lebih berlalu, bahagia itu tidak pernah sungguh-sungguh tiba nya padaku.
Apa yang salah?
Aku meratapi sekarang bahwa aku sendiri.
Aku iri dengan Anda.
Semalam aku begitu sulit tidur, tidak mau mata terpejam walau dipaksa-paksa, sehabis membaca catatannya.
Perenungan hidupnya di usia yang setengah abad.
Anda punya semua, katanya, keluarga yang sempurna, persahabatan yang sehat, mimpi dan cita-citanya.
Lalu semalam juga aku ingin merenung.
Aku bertanya sendiri "Apa yang aku punya?"
Atau rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijua, saja.
Yang aku punya, keluarga kah?
Ya, keluarga yang hampir-hampir gagu berkomunikasi, yang tak ada lagi bahagia di dalamnya.
Penghianatan, dusta dan pedih.
Yang perlahan-lahan retaknya gugur satu-satu.
Persahabatan?
Mana teman-temanku sekarang?
Mereka pergi. Aku yang meninggalkan atau ditinggalkan.
Tak ada lagi cerita-cerita atau kebersamaan masa lalu yang aku rasa sekarang.
Mimpi dan cita?
Sulit rasanya digapai, lang.
Sulit sekali mewujudnya.
Lelaki itu juga menghalangi.
Dengan kata-kata saja ia cemburu.
Tak akan ia biarkan aku mengebas sayap sendiri, jika ia tak diajak serta.
Subuh ini, ketika aku berangkat bersama dingin angin sisa basah hujan semalam, aku hanya ingin bercerita.
Tapi tak tahu pada siapa.
Engkau, elang.
Tidak boleh lagi kutemui pada malam-malam kita, bukan?
Malam-malam kita telah berakhir dua hari lalu, kau pun harusnya tahu.
Tapi kita tidak saling berpamitan.
Memang masih ada sisa tiga hari, tapi aku masih tak tau apakah boleh aku menjumpai malam.
Malam kita.
Elang, kau tahu kan.
Sejak dari dua hari yang lalu aku menanti hujan.
Tapi seperti pesan yang kau baca, kemarau saja yang ada.
Lalu lang, kemarin sore hujan!
Hujan, lang, hujan...
Cantik sekali sore kemarin itu.
Awalnya kukira hanya akan mendung saja, aku bahkan sudah bertanya sendiri, jika mendung saja lalu bagaimana kita berjumpa.
Tapi kemarin sore itu hujan.
Tidak deras tapi cukup basah untuk mandi hujan dan cukup keras untuk mendengar senandung rintiknya.
Pohon mangga di halaman tetangga sudah tentu kutahu pasti basah.
Lalu aku membuka pintu biar bisa menjumpai yang sudah kutunggu-tunggu.
Aku pandang langit yang gelap.
Rinai hujan yang mengucur dari ujung genteng, pohon mangga itu lagi, jalan aspal yang basah.
Aku ingin keluar, ingin berlari rasanya.
Biar basah.
Tapi kau tahu, baru saja aku menghayal-hayali itu, suara lelaki itu terdengar dari dalam.
"Kamu ngapain sih diluar? Hujan hujan begini kok diluar. Mau mandi hujan? Aneh!"
Aku kecewa tapi tersenyum pura-pura.
Aku bilang "iya!"
Lelaki itu: "Lha aku panasin air untuk mandi biar hangat, kok malah mau mandi hujan."
Aku diam saja, lalu berdiri di depan pintu.
Memandangi hujan dengan keterbatasan.
"Maaf ya, Hujan, perjumpaan kita begini saja jadinya."
Lelaki itu tidak tahu aku, lang.
Aku yang sampai mati mencintai hujan dan puisi.
Dari dusta yang ia ciptakan, aku berkawan sejati dengan duka.
Hanya hujan yang mampu samarkan pedihku.
Hanya dengan basahnya aku sembunyikan tangisku.
Lalu lelaki itu melarangku menjumpai hujan.
"Hye, Lelaki, dusta dan duka ini kau kan yang cipta!"
Nanti...
Ada masa nya aku akan bertanya tentang semua dusta-dusta yang kau cipta.
Aku percaya akan rasaku sendiri.
Dan aku punya cukup bukti.
Jadi, saat kau kutanya nanti jangan mengelak lagi.
Jangan menumpuk kebohongan untuk menutupi dusta lain lagi.
Walau sakit mesti, aku hanya ingin kau mengakui dan maaf terucap.
Maka kala itu aku akan memaafkan dan kisah kita bisa dijalin lagi.
Tapi kalau kau menipu, lagi!
Jangan harap aku mau kawin denganmu.
Ini memang ancaman!
Tuesday, May 18, 2010
Malam Kita
Jangan meresapi kesedihanku lagi.
Kita masih akan bertemu, berbicara, tentang perasaan kita. Begitu kan katamu?
Malam-malam seperti ini pasti nanti akan kurindukan setelah aku meninggalkan danau ini.
Walau pun kau bilang kau tidak pernah pergi.
Malam-malam sepi dimana kita berbicara tentang apa saja.
Kau yang selalu menemaniku melewati detik-detik waktu hingga hari hampir berganti usia.
Malam kita tinggal delapan hari lagi. Atau mungkin kurang dari itu.
Jangan memikirkan bagaimana nanti kita berpamitan untuk kehilangan yang panjang.
Aku juga tidak tahu.
Yang pasti saat malam-malam seperti ini kita jumpai lagi, akan banyak cerita dan rasa yang harus disampaikan.
Aku akan merindukanmu, malam-malam kita dan cerita-cerita.
Untuk sekadar kata perpisahan, aku hanya ingin bilang "Terima kasih karena selalu menemani, jaga diri baik-baik ya, teman maya. Sampai nanti kita jumpa lagi di lain cerita."
Sunday, May 16, 2010
Mendung Pagi Hari
Jika yang kau lihat pagi itu mendung
Lalu, kau kejar malam, namun tak berbintang
Kemana perginya sang rembulan
Maka…
Ciumi saja wangi rumput dan tanah basah
Nikmati sapaan salju gerimis
Nanti kau lalu tersenyum
Karena mentari malu-malu bersembunyi
Aku yang menatap flamboyan
Dari dalam buram kaca
Ingin menari dalam hujan badai
Pada mendung pagi ini
Agar mimpi semalam lekas pergi
Maka…
Saat itu mentari akan berseri
Mahluk Itu Bernama Sepi
Aku bertanya pada bintang
“Apa itu sepi?”
Bintang menjawab: “Tunggu lah malam pekat, saat kau lihat aku menghilang.”
Aku bertanya pada malam
“Apa itu sepi?”
Malam menjawab: “Tunggu lah pagi hari, saat kau jumpai kabut memudar.”
Aku bertanya pada kabut
“Apa itu sepi?”
Kabut menjawab: “Tunggu lah mentari terbit, saat kau lihat rona merahnya di Timur.”
Aku bertanya pada mentari
“Apa itu sepi?”
Mentari menjawab: “Saat Mentari sendiri, itu lah sepi.”
Bidadari Terbunuh Patriarki
tersebutkah mereka yang bernama Lelaki
yang hidup bangga di atas harga diri
yang merasa mampu terbang paling tinggi
yang penuh kuasa atas segala
yang merasa suci dari dosa
lalu aku ini siapa?
Bidadari...
yang mengebas sayap paling lebar
yang terbang paling bebas
yang bersinar paling terang
yang ingin menang atas segala peluang
yang menari paling indah di surga-surga dunia
sayap-sayapnya telah patah
sinarnya redup tenggelam
nafasnya seuntai benang di penghujung jarum tajam
kini lemah tak mampu mengebas
letih tak mampu berlari
hari ini dia telah mati...
relakan saja, semua demi cinta
jika malam ini masih sempat ia bermimpi...
"Berikan saja belati, biar aku bunuh diri!"
Purnama Lima dan Kejora
Kata-kata itu sudah lama beku, rasanya tanggannya sudah kaku. Tak ada lagi goresan tinta yang ia tuang pada lembar kertas putih, yang selalu ia sebut harta karunnya. Tanpa disadari ia lupa akan duka deritanya, lupa airmata. Bahagia kah sekarang ia? Di bawah kungkung patriarki. Kemana feminisme yang ia dulu janji akan junjung sampai mati?
Sampai ternampak olehnya purnama lima dan kejora, yang ingatkan dirinya kembali pada luka. Pagi itu... Bukan, bukan pagi. Masih terlalu subuh menyebutnya pagi. Dalam perjalanannya bersama angin dingin, purnama dan kejora selalu ikuti lajunya. Terkadang menghilang dibalik atap-atap rumah tetangga.
Ia lupa. Hanya lupa. Pada bulir-bulir airmata, pada sakitnya luka, pada getar sebab duka. Sementara mungkin purnama itu selalu terang di atas atap rumahnya. Setiap malam... Walaupun bukan lima dan dengan atau tanpa kejora.
Jakarta, o6.o8.2oo9
Desember Abadi dan Hujan Gerimis
Duka... Akankah sirna? Membias airmata, menjadikannya sehangat mentari di bulan-bulan terdahulu.
Rasa itu akan nyata, selamanya. Dalam-dalam.
Tangis itu tidak akan kering. Laksana gerimis di Sahara.
Juli itu..
Maya adalah kita. Bercinta hanya pada mata kata-kata.
Terombang-ambing rasa yang dipisah lautan.
Kata-kata yang menjadikan kita di surga kosong.
Surga yang tanpa bidadari-bidadari.
Hari-hari yang penuh hujan gerimis.
Pada mendung dan awan-awan gelap aku mengenangmu.
Lalu ia -bukan engkau Elang- di bulan Oktober.
Yang entah siapa. Bukan pangeran dalam dongeng-dongeng masa lalu, namun menjadikannya hangat sementara. Di penghujung, akhir bulan.
Yang aku menyebutnya "nice treat or great trick?!"
Bahagianya terbatas pada malu-malu dan kecanggungan karena hari-hari bersama dulu.
Yang berbagi tanpa mengasihi.
Lalu diakhiri dengan diam dan senyuman.
Desember... Itu abadi.
Duka-nya, pedih-nya, luka-nya, selamanya!
Akhir bahagia yang mengawal duka.
Hujan-hujan gerimis yang turun setiap harinya, hanya itu.
Rasa sepi, sepi, dan sepi. Hanya itu...
Ia datang, Elang...
Yang entah bagaimana dalam jalan dan takdir Tuhan tiba-tiba muncul.
Yang aku tak tahu harus menyebutnya hangat mentari atau jarum gerimis?
Walau dingin dan tajam, entah mengapa aku selalu menyukai hujan gerimis.
Dirimu menyebutnya danau.
Yang dalamnya ingin aku selami. Tak akan takut hangat Mentari-nya tenggelam ditelan dinginnya banyu.
Bersamanya, kami berdusta, berdosa, bercinta.
Rahasia-rahasia kami hanya akan disembunyikan alam.
Engkau, yang hadir, bukan Juli, Oktober, atau Desember.
Bukan di bulan-bulan penuh hujan gerimis.
Entah kapan pun akan selalu menemani.
Dengan segala kisah dan kata-kata.
Teman maya berbagi cerita.
"Teman jauh namun dekat di batin."
Tapi itu, Desember...
Akan tinggal selamanya, sejati.
Sampai tanah memanggilku kembali.
Dengan hari-hari penuh jarum gerimis, hujan abadi, awan gelap dan bau tanah basah.
Di mana tidak akan ada lagi istana.
Tempat rindu pulang bersarang.
Desember itu abadi..
Dengan hujan gerimis.
Dalam takdir Tuhan, aku menangis.
Jakarta
24.1o.2oo9
Diam
Diamlah!
aku benci airmata, benci menangis malam-malam.
terngiang sampai alam mimpi, gemetar hingga dalam hati.
kata-kata kami menjelma batu.
kaku, pilu, beku.
bahkan diam pun tak menjadikannya isyarat.
Kau benar, Ia. kata-kata memang jembatan tapi tak mengantar ke tujuan.
mulut kami gagu. mendadak bisu.
inikah dosa?
sebab kami berhenti berkata-kata.
lalu kita bertengkar pada kata-kata yang diam.
berkelahi, menyalahi, saling mengutuki.
Letih tubuh ini bersandar pada kasur yang tiap-tiap malam mengantar aku pada mimpi-mimpi dulu,
kisahmu, dan membawa tangisku.
Aku begitu lelah.
tak ada lagi nyanyian-nyanyian yang kusenandungkan kala gerimis datang.
yang dalam gemuruh petir aku mengenang segala kisah.
tentang aku, dirimu, ia dan ia yang lainnya.
tak ada lagi aku bermanja-manja pada sastra.
mengukir-ukir kenangan dan menjadikannya abadi dalam kisah-kisah sedih.
aku menangis sepuas-puasnya, buakn karena hidup ini indah.
sebab aku adalah derita dan engkau adalah cerita.
cerita yang mengantar tidurku pada tangis dan dosa.
mengapa kau mendadak jengkel sendiri malam ini?
sebab dosa mungkin gagal terencana?
dosa kita.
yang perlahan mengirimku pada kesepian.
dan kesepian itu kini menjelma istana.
istana yang bukan menjadi surga buat kita.
Yakin kah aku padamu?
Oct.25.2oo9
aku benci airmata, benci menangis malam-malam.
terngiang sampai alam mimpi, gemetar hingga dalam hati.
kata-kata kami menjelma batu.
kaku, pilu, beku.
bahkan diam pun tak menjadikannya isyarat.
Kau benar, Ia. kata-kata memang jembatan tapi tak mengantar ke tujuan.
mulut kami gagu. mendadak bisu.
inikah dosa?
sebab kami berhenti berkata-kata.
lalu kita bertengkar pada kata-kata yang diam.
berkelahi, menyalahi, saling mengutuki.
Letih tubuh ini bersandar pada kasur yang tiap-tiap malam mengantar aku pada mimpi-mimpi dulu,
kisahmu, dan membawa tangisku.
Aku begitu lelah.
tak ada lagi nyanyian-nyanyian yang kusenandungkan kala gerimis datang.
yang dalam gemuruh petir aku mengenang segala kisah.
tentang aku, dirimu, ia dan ia yang lainnya.
tak ada lagi aku bermanja-manja pada sastra.
mengukir-ukir kenangan dan menjadikannya abadi dalam kisah-kisah sedih.
aku menangis sepuas-puasnya, buakn karena hidup ini indah.
sebab aku adalah derita dan engkau adalah cerita.
cerita yang mengantar tidurku pada tangis dan dosa.
mengapa kau mendadak jengkel sendiri malam ini?
sebab dosa mungkin gagal terencana?
dosa kita.
yang perlahan mengirimku pada kesepian.
dan kesepian itu kini menjelma istana.
istana yang bukan menjadi surga buat kita.
Yakin kah aku padamu?
Oct.25.2oo9
Nestapa
Maka aku ingin mencarimu
pada pagi yang membangunkan merpati
lalu, bau tanah yang basah oleh hujan semalam
wangi rumput itu, aku rindu
dengarkan raungan gema gua
maka ia akan menyampaikan pesanku padamu
dan kupu-kupu yang terbang ke kaki pelangi
bukan mencari warna yang luntur tersiram gerimis
jika surut air laut semalam
menyapu pasir, kemudian meninggalkan buih
aku ingin menangis
nyanyian hutan itu
lalu senja di barat
rasa sakit itu ingin aku buang
saat guntur menyambar
biar saja
menghilang
Doa Malam
hujan pun sempatkan diri untuk menyapa dalam dingin gerimisnya
ia tau aku cinta
senandung lagu guntur dan petir bersahut berirama
mereka tau aku rasa
rinai hujan akan menemani hingga terbit embun pagi
meski daun-daun gugur pada kemaraunya
meski awan mendung pada cakrawala
debar, aku bersyukur...
dalam diriku
-masih- mengalir telaga darah
-masih- ada nyawa dititipkan pada jiwa penuh dosa
-masih- disisihkan tawa dalam duka
dalam gelap dan kedip-kedip bulu mata
aku berdoa...
karena tangis dan airmata
sebab tawa dan canda
pada siang dan malam
atas jiwa dan raga
demi semua cinta dan rasa
terima kasih TUHAN untuk segala...
06 May 2009
Senja Padam Tepi Jurang
bertanyalah ia adakah akan bahagia
yang ditunggunya di danau itu, kering sudah
kilaunya padam, tenggelam pada dinginnya banyu
kemana kau, Elang?
aku Bidadari tak takut terbang tinggi
tak takut sayap sayap patah
tak ngeri luka hati
sinarku sudah di batas sepi
padam saat senja di tepi jurang
sudi kah ia terjun mati
adakah surga pada dasar lembahnya
tak bertepi
sinarnya akan perlahan pudar
terbelenggu patriarki
jika ia benci, hanya ada resiko mati
laksana rama-rama terbang tanpa warna
ibarat terbit mentari pada awan mendung
tak ada indah surga dunia
aku akan rela...
tetap di sini
hiraukan petuahmu, wahai Elang
lupakan Bunda berkata-kata
jika di akhir hanya ada sesal dan air mata
aku rela...
biarkan danau itu beriak lagi
walaupun pijar mentari gelap tenggelam
saat senja padam di tepi jurang
26 April 2009
yang ditunggunya di danau itu, kering sudah
kilaunya padam, tenggelam pada dinginnya banyu
kemana kau, Elang?
aku Bidadari tak takut terbang tinggi
tak takut sayap sayap patah
tak ngeri luka hati
sinarku sudah di batas sepi
padam saat senja di tepi jurang
sudi kah ia terjun mati
adakah surga pada dasar lembahnya
tak bertepi
sinarnya akan perlahan pudar
terbelenggu patriarki
jika ia benci, hanya ada resiko mati
laksana rama-rama terbang tanpa warna
ibarat terbit mentari pada awan mendung
tak ada indah surga dunia
aku akan rela...
tetap di sini
hiraukan petuahmu, wahai Elang
lupakan Bunda berkata-kata
jika di akhir hanya ada sesal dan air mata
aku rela...
biarkan danau itu beriak lagi
walaupun pijar mentari gelap tenggelam
saat senja padam di tepi jurang
26 April 2009
Percakapan Kemarin Senja
Elang - adakah yang dapat membaca muram hujan?
Mentari:
Adakah yg dapat membaca muram hujan?
Hanya kesepian hati yang akan mengerti.
Sebab awan pun mendung dan pelangi tak mungkin mengerti. Sementara hujan muram, mentari tak menemani..
Elang:
tidakkah hujan menabur diri karena mentari (meida) lama bersembunyi?
Mentari:
Mentari lama bersembunyi sebab rindu hujan datang lagi.. Jadi, ia biarkan hujan menabur diri. Tunjukan pesona dalam jarum gerimis nya. Karena Kemarau pun telah lama pergi.
Elang:
telah lama kutahu, mentari telah temukan danau yang ingin ia panaskan sejak dulu. danau yang mampu menariknya dari masa lalu. masihkah dia bermuara di danau itu?
Mentari:
Mentari sendiri masih ragu, akankah danau yang ia temukan akan ia selami sedalam yang kata Elang, mampu menariknya dari masa lalu. Rasa takutnya jauh lebih besar dari yakinnya. Mungkin sebab itu mentari lama bersembunyi. Tapi walaupun tak sehangat sinarnya kala pagi, mentari masih ingin duduk di tepi danau yg bermuara di Kempinski.. Menemukan kenyamanan dan terus bertanya sendiri: 'seberapa dalam akan kuselami?'
Elang:
kalau engkau mentari --kenapa menyelami-- bukankah menghangati? melihat adakah ia surut dan kering, ataukah kian berkilau karena dibuang dari dingin?
jika mentari menyelamkan diri, tidakkah dia berlari dari khittahnya? tidakkah dia takut, dalam perselaman itu, biasnya pudar dilahap sang banyu?
Mentari:
Lalu kemana mentari harus mencari? Kehangatan yang ia yakin mampu menariknya dari masa lalu tanpa harus takut sinarnya pudar.
Tidakkah Elang tau, bahwa mentari jauh lebih ingin sendiri. Menanti hujan yang turun di depan jendela. Tanpa takut apa pun. Tak peduli raungan guntur, tak peduli awan mendung. Karena, hanya hujan yang sama muram dengan sepi dan takut nya.. Mungkin, hanya mentari yg mampu membaca muram hujan.
Elang:
jika kau ingin sendiri, maka hanya dari kejauhan sini, aku berani menemani. sampai nanti, kau temukan danau yang kau impikan itu, yang tak membuatmu takut pada masa lalu.
karena percayalah, lari dari ketakutan tak akan pernah dapat engkau lakukan....
"hadapi saja," kata iwan fals
08 Maret 2009
Pelangi Setelah Hujan reda
Jika gerimis perlahan turun
mengetuk bumi, dengan suara alunan
yang berulang. di jendela rumahmu
jangan kau tutup pintu
lalu bersedih, sayang…
mentari bukan berarti tak kembali
sejenak awan mendung
hanya ingin menyapamu
lalu yang kau fikir; itu luka
bersabarlah
ketika kau buka jendela
kau nampak nanti
pelangi setelah hujan reda
Usai Sebelum Abadi
di sana kau yang bercinta
kemudian perlahan buta
yang terbang pada di sayap rama-rama
dan semua warna yang kau anggap surga dunia
menjelma neraka
lalu, kau bertanya
ini dosa siapa
ia yang mendadak hilang
terbius lupa arti setia
ingatlah
iblis juga yang memisahkan
Adam dan Hawa
aku tahu kau ingin menangis
berjalan sendiri pada lorong itu
pada suatu pagi hari
dalam rintik rintik hujan gerimis
dan tak ingin ada orang bertanya kenapa
air mata itu memuai dalam udara
menjelma debu menyesakkan dada
kau belum mati di sana
jika tahu arti cinta yang sebenarnya
laksana terbangnya burung
hanya bisa dijelaskandengan bahasa batu
yang tak berkosa kata
lebih luas dari fajar
lebih dalam dari langit
lebih pasti dari makna
dan sepenuhnya abadi
tanpa diucapkan sama sekal*
dan yang usai sebelum abadi
pasti sangat dirindukan
namun biarkan
kenangan yang akan mengukir
mengabadikan waktu
meski semu
akan terlalu banyak kata
jika harus terucap
lalu nanti menjadi dosa
karena menangis
kehilangan setia
mengadu pada kata-kata
yang kau tahu hampa
lalu nanti kau sadari
sengit matahari
bukan yang menerbitkan debu kemarau
walau terik sampai ke bulu bulu mata
ia yang ciptakan bayangan
dari ufuk hingga petang
untuk menemanimu
aku yang di sini
sendiri
memejam mata
lalu berdoa
semoga yang diharap abadi
menjelma reality
amin.
* Pusi SDD
kemudian perlahan buta
yang terbang pada di sayap rama-rama
dan semua warna yang kau anggap surga dunia
menjelma neraka
lalu, kau bertanya
ini dosa siapa
ia yang mendadak hilang
terbius lupa arti setia
ingatlah
iblis juga yang memisahkan
Adam dan Hawa
aku tahu kau ingin menangis
berjalan sendiri pada lorong itu
pada suatu pagi hari
dalam rintik rintik hujan gerimis
dan tak ingin ada orang bertanya kenapa
air mata itu memuai dalam udara
menjelma debu menyesakkan dada
kau belum mati di sana
jika tahu arti cinta yang sebenarnya
laksana terbangnya burung
hanya bisa dijelaskandengan bahasa batu
yang tak berkosa kata
lebih luas dari fajar
lebih dalam dari langit
lebih pasti dari makna
dan sepenuhnya abadi
tanpa diucapkan sama sekal*
dan yang usai sebelum abadi
pasti sangat dirindukan
namun biarkan
kenangan yang akan mengukir
mengabadikan waktu
meski semu
akan terlalu banyak kata
jika harus terucap
lalu nanti menjadi dosa
karena menangis
kehilangan setia
mengadu pada kata-kata
yang kau tahu hampa
lalu nanti kau sadari
sengit matahari
bukan yang menerbitkan debu kemarau
walau terik sampai ke bulu bulu mata
ia yang ciptakan bayangan
dari ufuk hingga petang
untuk menemanimu
aku yang di sini
sendiri
memejam mata
lalu berdoa
semoga yang diharap abadi
menjelma reality
amin.
* Pusi SDD
Untuk Lelakiku II
Berhentilah iri!
Berhenti cemburu.
Ini karena percakapan tadi pagi.
Engkau bertanya mengapa tak kebagian kata-kata?
Tidak kah aku sadari, ceritaku sebelumnya, ratusan kata-kata itu, semua tertuju untukmu.
Itu bukan hanya kisahku, tapi juga kisahmu, ceritamu, tentang mu.
Menulis itu sebab mengingat dirimu.
Berhentilah iri!
Berhenti merengek.
Jangan seperti kanak-kanak yang tak kebagian permen,
lalu merajuk.
Berhenti bertingkah seperti bocah!
Bertanya-tanya mengapa tak kebagian komentar,
hanya sebab kau sudah menyukai.
Kau sendiri gagu berkata-kata, bukan?
Harus ku komentari apa pada kata-katamu yang kosong?
Masih kurang kah puluhan dan ratusan kata sebelumnya?
Kurang apa lagi?
Tak mengomentari bukan berarti tak menghargai, tak mencintai,
tak menyukai, tak berterima kasih.
Ini untukmu, bukan, lelakiku?
Jadi, berhenti lah iri.
Jangan membodoh-bodohi diri.
Jakarta,
28.1o.2oo9
Untuk Lelakiku
Pagi ini aku bangun dengan airmata lagi. Seperti seringnya begitu.
Namun kali ini sungguh-sungguh mengalir, sungguh-sungguh aku menangis.
Merasakan hangat bulirnya meresap ke dadaku.
Demi mu, demi ku, demi kita...
Aku inginnya mengajarimu (seperti yang Ia beritahukan kepadaku).
Memberi tahu yang mana hak dan kewajiban.
Bernegosiasi antara yang boleh dan yang tidak.
Bukan untuk menguasaimu.
Tapi ini demi masa depan.
Ia menyebutnya 'perjuangan kebahagiaanku' (dan -mu juga).
Dan bukan jawaban "Terserah" yang seperti biasa kuterima dari murid nakal dan keras kepala.
Demi kita, aku mohon berikan percaya.
Jangan melarangku!
Boleh kau menasehati (aku pun tak kan rugi).
Kau lihat sendiri, aku masih di sini.
Untukmu, untukku, untuk kita.
Bertahan walau sering-sering kita berkelahi, memaki, dan mengutuki.
Andaikan engkau Elang...
Yang dengan kerelaan mampu pergi tanpa sakit hati.
Mampu pergi dari hasrat memiliki.
Tapi hasrat mencintai?
Ia bilang itu di luar kendali.
Andaikan engkau Elang...
Yang rela diduakan hanya karena alasan amat sangat mencintai wanitanya.
Untuk Lelakiku, maaf...
Tapi kau harus rela diduakan.
Kali ini, esok, nanti, selama masa-masa kita masih bersama.
Aku mencintai kata-kata.
Amat sangat.
Seperti Ia mencintai wanitanya dulu.
Tak kan ku berhenti mengukir kenangan dalam goresan-goresan tintanya.
Tak kan ku berhenti mencari dalam-dalam rasanya.
Bercinta dan mencarinya kapan pun aku mau, untuk mengabadikan kisahku.
Bermanja-manja dalam maknanya.
Dan, jangan melarang!
Percuma!
Apa yang hilang dari hati jika masih tetap dikenang? Tak akan hilang meski dipaksa dibuang.
Jangan melarangku, berkomentar pada guru-guru yang mengajariku dan menginspirasiku pada sastra dan kata.
Pada suatu hari
Kelak jika aku mengandung nanti.
Aku sungguh-sungguh berharap akan mengidam sastra,
bukannya rujak mangga.
Untuk lelakiku...
Maka saat itu kau harus rela direpotkan, untuk mencarikan diriku makna kata-kata yang rasanya campuran asam manis suka dan duka.
Terserah bagaimana kadar pedasnya.
Mampukah kau temukan itu?
Ini demi bakal anakmu!
Demi mu aku sudah sering berdusta, bukan?
Rela ku kau miliki.
Masih adakah hasratmu, lelaki, memiliki wanita jika andainya mereka tak ber-payudara dan tak ber-vagina?
Rela kah kau bilang cinta?
*
Untuk anak-anakku kelak...
Tak perlu takut ibu tak menyusui kalian.
Namun andaikan susu bisa sama sejuknya dengan Hujan Bulan Juni,
aku yakin kalian tak kan menangis kehausan.
Karena hujan bagiku abadi.
Gerimisnya setia membasahi.
Andaikan saja cukup menyuapi kalian dengan sastra,
sampai kalian kenyang maknanya.
Tak kan kalian kelaparan.
Karena bagiku kata-kata kawan sejati,
kekasihku selamanya.
Tak kan ibu me-nina bobo-kan kalian dengan senandung biasa yang jutaan ibu nyanyikan.
Tak kan ibu menakut-nakuti kalian dengan gigitan nyamuk hanya sebab kalian tidak bobo.
Tak kan ibu relakan nyamuk-nyamuk menggigiti kulit mulus anak-anakku,
menikmati manis anyir darah kalian.
Kan kusenandungkan kalian lagu-lagu Dua Ibu.
Untuk anakku, gadis kecil ku, tidurlah...
Ibu bernyanyi:
Ada gadis kecil
diseberangkan gerimis
ditangan kanannya
bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang
ada pohon
dan seekor burung
Jika kaki-kaki kecil kalian sudah berani berlari
tak kan ibu halangi kalian bermain hujan.
Menari dalam rintik-rintik gerimisnya,
berlari-lari pada genangannya.
Biar kalian pahami dingin.
Rasakan ia sejati mengalir pada nadi dan darh tubuhmu.
*
Untuk lelakiku...
Ingat pesan ayahku.
Perlakukan aku sebagai perempuan yang engkau cintai dan bagian dari hidupmu.
Bukan sekadar wanita pendamping lelaki.
Aku sudah banyak berdosa.
Durhaka.
Pada ayah ibuku.
Yang percayanya aku khianati.
Tidak wajar kah jika aku takut berbohong lagi?
Dari hari ke hari, memupuk dosa.
Terkadang kuanggap lucu saat kau justru berkata "tak perlu tak enak hati."
Untuk lelakiku...
Ingat dalam-dalam pesan ayahku!
Perlakukan aku sebagai perempuan,
bukan sekadar wanita pendamping lelaki.
"Saya mendoakan kalian."
Jakarta,
27.10.2009
Selamat Malam, Solo
Senja tenggelam dan hujan yang menyambut kita.
Hujan...
Selalu turut serta menemaniku, seperti biasanya.
Pulangku ke kotamu.
Tak seperti beberapa bulan lau, ketika kita masih sembunyi.
Iringan lagu Jogjakarta - KLA project yang menyambut kita.
Walau pun tiba kini kita bukan di Jogjakarta, namun masih seperti dulu.
Lampu - lampu jalan masih terang menemani langkah kita pulang.
Ini kah nanti yang akan ku sebut rumah?
Wangi sawah dan rimbun pepohonan.
Bukan macet - macet mobil yang ramai dengan klakson dan knalpot kotornya,
Jakarta...
Malam itu...
Perjalanan kita.
Senyum ramah Bengawan Solo
Engkau rindu rumah, bukan?
Perjalanan singkat kita.
Kau dan aku. Doakan cinta kita.
Seperti mereka - mereka yang turut mendoakan.
Abadikan di sini.
Wangi pagi itu, udara bersih, anak - anak sekolah dengan sepeda kumbangnya,
rumah makan lesehan pinggir jalan,
bunga flamboyan dan pohon - pohon mangga di tepi jalan kampung.
Di sini ada ketenangan. Namun aku pun rindu pulang kembali.
Rindu ibuku. Dan ada rasa cemburu yang kurasa,
saat ibu tiba-tiba menanyakan kabarku dalam kepergian yang baru sehari.
Di sini, langkahku tinggal setapak menuju Elang.
Di sini, jiwaku merasa satu dengan kota lahir sang "Kakek Romantis"
Di sini rasaku tenang ada Ibu dan cintamu.
Malam ini
Saat kita tiba, ingin selamanya begini.
Seperti lagu yang mengiring kita menuju rumah,
"dan di dunia ini aku tak mau sendiri..."
Selamat malam, Solo
Aku akan kembali, nanti...
06 November 2009
Dulu, Sebelum Mengenalmu
Dulu, aku senang menyendiri di rumah.
Duduk di depan laptop, menulis puisi.
Tak ada bunyi radio atau televisi.
Dan aku tahu diluar awan mendung dan hujan turun agak deras.
Senandung jarum-jarum gerimis saja yang menemani sendiriku.
Sambil berkhayal, bermimpi-mimpi, bermain-main dengan inspirasi, dengan kata-kata yang dulu sering kujumpai. Tepatnya, datang sendiri bersamaan dengan sepiku dan hujan yang gerimis.
Setelah berhenti, biasanya aku senang berdiri di depan pintu. Melihat daun-daun pohon mangga di halaman tetangga basah dan mencium bau tanah.
Mengingat dia atau dia dia yang lainya.
Itu saja, aku bahagia.
Itu saja. Dulu, sebelum mengenalmu.
Lilin yang Tidak Pernah Ditiup
Kurang lebih dua minggu yang lalu, tepatnya awal bulan ini, 1 Mei 2010, mungkin menjadi hari ulang tahun yang paling tidak membahagiakan buat saya. Hari itu ketika bangun tidur, rasa yang muncul tidak seperti rasa yang biasanya muncul di hari ulang tahun saya di tahun-tahun sebelumnya. Pagi itu, kesedihan dan kesuraman sudah terasa, walaupun matahari pagi itu begitu cerah. Saya pikir, ini seharusnya jadi hari yang bahagia.
Di pagi saat saya membuka mata, saya tahu bahwa hari ini akan berbeda. Semua anggota keluarga hari itu ada dan berkumpul dirumah, bahkan pacar saya yang baru semalam mengantar saya pulang kerja ke rumah jam setengah satu pagi, jam 8 pagi ini sudah muncul lagi di depan pagar. Ada kue ulang tahun yang ia bawa lengkap dengan lilinnya. Saya tahu itu pesanan Mama, tapi ia yang mengambilkan pagi ini. Tapi bukan itu. Jika pagi itu saya membuka mata dan menyadari bahwa usia saya berkurang setahun lagi, saya masih bisa bersyukur kepada Tuhan, tapi ada kesedihan juga muncul beserta rasa syukur itu.
Adik kembar saya sakit hari itu. Sebetulnya ia sudah rasa sakit dari dua hari kemarinnya. Ia bilang pinggang bawahnya terasa pegal dan perut kirinya nyeri sekali. Teman di kantornya yang kebetulan juga seorang dokter bilang, kemungkina adik saya terkena infeksi ginjal. Kemarin sebetulnya ia sudah pergi ke rumah sakit dengan orang tua saya, dokter menyarankan untuk segera di USG hari itu juga untuk melihat penyakitnya lebih jauh, namun karena waktu tunggu yang cukup lama, dia sudah terlanjur tidak kuat menahan rasa sakit itu, mau pingsan katanya. Jadi, saat itu terpaksa pulang lagi ke rumah dan memutuskan bahwa keesokan harinya baru akan kembali untuk melakukan USG.
Keesokan harinya? Itu berarti kan tepat di hari ulang tahun kami. Ya! Di hari itu, ketika saya bangun pagi dan membuka mata, saya tahu hari ini pasti akan berbeda. Pagi itu ketika saya turun dari tempat tidur, yang saya dengar adalah rintihannya, ia menahan sakitnya. Saya masih ingat raut wajahnya saat itu, walaupun dengan mata yang masih terpejam, saya tahu ia tidak tidur nyenyak semalam.
Pagi itu, saat semua anggota keluarga sudah mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya, adik kembar saya bahkan belum bangun dari tempat tidurnya. Matahari sudah hampir tinggi, tapi ia masih tergeletak di atas tempat tidur dan sesekali merintih kesakitan. Kado untuknya yang diberikan pacar saya bahkan belum sempat diliat, saya langsung letakkan saja diatas meja di kamar kami.
Rencananya, seperti hari-hari ulang tahun kami terdahulu, biasanya akan ada acara tiup lilin, karena kue pun sudah dibeli. Walaupun tidak pernah diiringi dengan nyanyian, tapi begitu saja saya bahagia. Tapi pagi ini, ritual itu hilang. Hari ulang tahun kami tahun ini diisi dengan berada di Rumah Sakit seharian penuh. Semua orang ikut mengantar adik kembar saya ke Rumah Sakit, kecuali papa.
Terlalu sulit bagi saya menceritakan apa saja yang saya lakukan di Rumah Sakit seharian itu, yang pasti selama di sana perasaan sedih dan takut selalu muncul di pikiran saya. Mungkin kalian tidak percaya, saya pun tidak pernah mengerti kenapa, tapi setiap ada anggota keluarga yang sakit dan sampai harus dibawa ke rumah sakit (mungkin karena keluarga kami tidak pernah ada yang mengalami sakit parah sehingga harus sampai dirawat di Rumah Sakit, kalau ada yang sampai dibawa ke Rumah Sakit pasti itu penyakit parah), rasa semacam ini selalu muncul dan kemudian menjadi nyata. Ketakutan-ketakutan itu.
Saya merasa seperti memiliki insting untuk mengetahui lebih jauh apa yang kiranya akan terjadi, menebak-nebak apa penyakitnya. Rasa seperti ini sudah lama sekali tidak pernah saya rasa sejak 5 tahun lalu. Ketika itu saya bisa menduga dari hanya melihat hasil USG nya, bahwa nenek saya terkena kanker di pankreasnya. Sekadar informasi, saya bukan dokter atau anak IPA dulunya di masa sekolah, yang mengerti kurang lebih tentang hal-hal seperti itu. Rasa itu muncul lagi kini saat di Rumah Sakit, sore itu.
Saya menunggu sampai hasil USG-nya keluar, hari itu sudah hampir maghrib. Seharusnya, malam ini kami berencana makan diluar untuk merayakan ulang tahun kami. Tapi, saya bahkan sudah hampir-hampir tidak memikirkannya lagi hari itu. Ketika suster keluar dari ruangan dan memberikan sebuah map berisi gambar hasil USG dan selembar kertas berisi keterangan tentang gambar tersebut, saya langsung membacanya sampai titik terakhir. Begitu banyak istilah kedokteran yang tertulis di dalam kertas itu dan saya yakin tentu tidak mengerti, tapi satu hal yang saya yakin saat itu, bahwa ketakutan saya tadi pasti menjadi nyata.
Saya membaca ulang kertas itu sampai hampir empat kali, dan kemudian membuka internet dari handphone, dan mulai mencari arti istilah-istilah kedokteran yang saya tidak mengerti dari mesin pencari Google untuk meyakinkan lagi perasaan saya. Setelah cukup puas, saya hanya berdiam dan tidak mau memulai pembicaraan apa-apa. Saya melihat mama sempat berdiskusi dengan suster di depan lab tempat pengambilan darah tadi. Dari raut mukanya saya tahu, dia pun merasa tidak baik.
Di perjalanan pulang, di mobil, tiba-tiba adik kembar saya menangis. Saya takut. Takut ia tahu atau menyadari akan sakit yang di deritanya. Saya lihat mama coba untuk menenangkan dia, tapi dia terus menangis sambil berkata bahwa ia kesal karena papa tidak ada, tidak ikut menemaninya ke Rumah Sakit. Saya tahu pasti papa kemana saat itu, saya hanya sms papa dan minta ia POKOKNYA harus segera datang ke Pizza Hut di kawasan Ujung Menteng, karena kami akan segera kesana. Sehabis saya letakkan handphone kembali ke dalam tas, saya pun tak kuasa menahan tangis.
Saya tahu ini teguran Tuhan. Saya mendadak merasa begitu berdosa. Selama ini Tuhan masih begitu baik kepada saya dan orang-orang yang saya sayangi, walau pun sering-sering saya terlalu sombong dan lupa untuk bersujud menyebut namanya. Mendadak saya menyadari bahwa inilah kuasa Tuhan yang sebenarnya. Di hari ulang tahun kami, semua orang ada, mama, papa, dan adik-adik saya, juga pacar saya. Di hari ulang tahun, kami masih bisa berkumpul. Di hari ulang tahun kami, walaupun papa datang telat, tapi kami masih bisa makan malam bersama walaupun bukan di tempat yang direncanakan sebelumnya. Di hari ulang tahun kami, masih ada kue ulang tahun dan lilin yang dibeli, walaupun sampai hari ini lilin ke 23 itu tidak pernah ditiup.
Di pagi saat saya membuka mata, saya tahu bahwa hari ini akan berbeda. Semua anggota keluarga hari itu ada dan berkumpul dirumah, bahkan pacar saya yang baru semalam mengantar saya pulang kerja ke rumah jam setengah satu pagi, jam 8 pagi ini sudah muncul lagi di depan pagar. Ada kue ulang tahun yang ia bawa lengkap dengan lilinnya. Saya tahu itu pesanan Mama, tapi ia yang mengambilkan pagi ini. Tapi bukan itu. Jika pagi itu saya membuka mata dan menyadari bahwa usia saya berkurang setahun lagi, saya masih bisa bersyukur kepada Tuhan, tapi ada kesedihan juga muncul beserta rasa syukur itu.
Adik kembar saya sakit hari itu. Sebetulnya ia sudah rasa sakit dari dua hari kemarinnya. Ia bilang pinggang bawahnya terasa pegal dan perut kirinya nyeri sekali. Teman di kantornya yang kebetulan juga seorang dokter bilang, kemungkina adik saya terkena infeksi ginjal. Kemarin sebetulnya ia sudah pergi ke rumah sakit dengan orang tua saya, dokter menyarankan untuk segera di USG hari itu juga untuk melihat penyakitnya lebih jauh, namun karena waktu tunggu yang cukup lama, dia sudah terlanjur tidak kuat menahan rasa sakit itu, mau pingsan katanya. Jadi, saat itu terpaksa pulang lagi ke rumah dan memutuskan bahwa keesokan harinya baru akan kembali untuk melakukan USG.
Keesokan harinya? Itu berarti kan tepat di hari ulang tahun kami. Ya! Di hari itu, ketika saya bangun pagi dan membuka mata, saya tahu hari ini pasti akan berbeda. Pagi itu ketika saya turun dari tempat tidur, yang saya dengar adalah rintihannya, ia menahan sakitnya. Saya masih ingat raut wajahnya saat itu, walaupun dengan mata yang masih terpejam, saya tahu ia tidak tidur nyenyak semalam.
Pagi itu, saat semua anggota keluarga sudah mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya, adik kembar saya bahkan belum bangun dari tempat tidurnya. Matahari sudah hampir tinggi, tapi ia masih tergeletak di atas tempat tidur dan sesekali merintih kesakitan. Kado untuknya yang diberikan pacar saya bahkan belum sempat diliat, saya langsung letakkan saja diatas meja di kamar kami.
Rencananya, seperti hari-hari ulang tahun kami terdahulu, biasanya akan ada acara tiup lilin, karena kue pun sudah dibeli. Walaupun tidak pernah diiringi dengan nyanyian, tapi begitu saja saya bahagia. Tapi pagi ini, ritual itu hilang. Hari ulang tahun kami tahun ini diisi dengan berada di Rumah Sakit seharian penuh. Semua orang ikut mengantar adik kembar saya ke Rumah Sakit, kecuali papa.
Terlalu sulit bagi saya menceritakan apa saja yang saya lakukan di Rumah Sakit seharian itu, yang pasti selama di sana perasaan sedih dan takut selalu muncul di pikiran saya. Mungkin kalian tidak percaya, saya pun tidak pernah mengerti kenapa, tapi setiap ada anggota keluarga yang sakit dan sampai harus dibawa ke rumah sakit (mungkin karena keluarga kami tidak pernah ada yang mengalami sakit parah sehingga harus sampai dirawat di Rumah Sakit, kalau ada yang sampai dibawa ke Rumah Sakit pasti itu penyakit parah), rasa semacam ini selalu muncul dan kemudian menjadi nyata. Ketakutan-ketakutan itu.
Saya merasa seperti memiliki insting untuk mengetahui lebih jauh apa yang kiranya akan terjadi, menebak-nebak apa penyakitnya. Rasa seperti ini sudah lama sekali tidak pernah saya rasa sejak 5 tahun lalu. Ketika itu saya bisa menduga dari hanya melihat hasil USG nya, bahwa nenek saya terkena kanker di pankreasnya. Sekadar informasi, saya bukan dokter atau anak IPA dulunya di masa sekolah, yang mengerti kurang lebih tentang hal-hal seperti itu. Rasa itu muncul lagi kini saat di Rumah Sakit, sore itu.
Saya menunggu sampai hasil USG-nya keluar, hari itu sudah hampir maghrib. Seharusnya, malam ini kami berencana makan diluar untuk merayakan ulang tahun kami. Tapi, saya bahkan sudah hampir-hampir tidak memikirkannya lagi hari itu. Ketika suster keluar dari ruangan dan memberikan sebuah map berisi gambar hasil USG dan selembar kertas berisi keterangan tentang gambar tersebut, saya langsung membacanya sampai titik terakhir. Begitu banyak istilah kedokteran yang tertulis di dalam kertas itu dan saya yakin tentu tidak mengerti, tapi satu hal yang saya yakin saat itu, bahwa ketakutan saya tadi pasti menjadi nyata.
Saya membaca ulang kertas itu sampai hampir empat kali, dan kemudian membuka internet dari handphone, dan mulai mencari arti istilah-istilah kedokteran yang saya tidak mengerti dari mesin pencari Google untuk meyakinkan lagi perasaan saya. Setelah cukup puas, saya hanya berdiam dan tidak mau memulai pembicaraan apa-apa. Saya melihat mama sempat berdiskusi dengan suster di depan lab tempat pengambilan darah tadi. Dari raut mukanya saya tahu, dia pun merasa tidak baik.
Di perjalanan pulang, di mobil, tiba-tiba adik kembar saya menangis. Saya takut. Takut ia tahu atau menyadari akan sakit yang di deritanya. Saya lihat mama coba untuk menenangkan dia, tapi dia terus menangis sambil berkata bahwa ia kesal karena papa tidak ada, tidak ikut menemaninya ke Rumah Sakit. Saya tahu pasti papa kemana saat itu, saya hanya sms papa dan minta ia POKOKNYA harus segera datang ke Pizza Hut di kawasan Ujung Menteng, karena kami akan segera kesana. Sehabis saya letakkan handphone kembali ke dalam tas, saya pun tak kuasa menahan tangis.
Saya tahu ini teguran Tuhan. Saya mendadak merasa begitu berdosa. Selama ini Tuhan masih begitu baik kepada saya dan orang-orang yang saya sayangi, walau pun sering-sering saya terlalu sombong dan lupa untuk bersujud menyebut namanya. Mendadak saya menyadari bahwa inilah kuasa Tuhan yang sebenarnya. Di hari ulang tahun kami, semua orang ada, mama, papa, dan adik-adik saya, juga pacar saya. Di hari ulang tahun, kami masih bisa berkumpul. Di hari ulang tahun kami, walaupun papa datang telat, tapi kami masih bisa makan malam bersama walaupun bukan di tempat yang direncanakan sebelumnya. Di hari ulang tahun kami, masih ada kue ulang tahun dan lilin yang dibeli, walaupun sampai hari ini lilin ke 23 itu tidak pernah ditiup.
***
PS: Saya tidak akan menceritakan selengkapnya bagaimana sampai akhirnya dokter mengatakan kepada orang tua saya tentang penyakit adik saya, dan bahwa memang ketakutan saya itu terbukti. Berita yang tadinya kami sembunyikan dari adik kembar saya pun telah ia ketahui dan saya tahu dengan besar hati ia bersedia di Operasi.
Tuhan pun masih mendengar doa saya dan mengabulkannya. Di hari saya mengetahui penyakit adik kembar saya, saya meminta tolong kepada Tuhan untuk hilangkan dulu sakitnya sementara sampai tanggal 12 Mei 2010 tiba. Adik kembar saya sudah sejak dua bulan lalu merencanakan liburan dengan teman-temannya. Ini bukan liburan biasa, setidaknya buat dia, saya tahu itu. Tanggal 12 Mei itu ia akan ke luar negeri dengan uang tabungannya sendiri, saya tahu itu mimpinya. Saya tau bagaimana excited-nya dia membicarakan hal ini dan berharap ini jadi kenyataan. Sempat terucap dari mulut adik kembar saya, mengatakan bahwa ia ikhlas tidak jadi pergi jika memang sakitnya tidak mengizinkan. Mungkin ia ikhlas, tapi saya tidak, tidak ikhlas melihatnya kecewa. Jadi, hari itu dan hari-hari seterusnya saya berbicara kepada Tuhan, mengatakan bahwa mungkin saya egois tapi saya sungguh-sungguh memohon tolong kabulkan dulu mimpinya, biarkan dulu ia rasa bahagia.
Akhirnya, tanggal 5 Mei 2010 lalu dia sudah bisa kembali bekerja dan sakit itu sudah tidak dirasa. Form cutinya pun sudah disetujui atasannya. Tanggal 12 Mei lalu akhirnya ia berangkat juga menjelajah Asia dengan 10 orang temannya, dua diantaranya adalah dokter, jadi saya sedikit lega. Malam ini dia akan sampai lagi di rumah.
Saya hanya berharap sekarang, jika ia nanti memutuskan tanggal operasinya, Tuhan masih mau membantunya, menyelamatkan dia, dan menyehatkannya kembali. Tidak ada alasan sekarang untuk tidak bersyukur kepada Tuhan, bahwa dalam kondisi terburuk sekalipun Tuhan masih tunjukan kuasanya.
Saya mengingat lirik lagu ini ketika subuh itu;
Allah Engkau Dekat Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau
Biarkan Hamba Mu Menangis
Karna Kemurahan Mu
Karna Kasih Sayang Mu
Hanya Bila Diri Mu
Ingin Nyatakan Cinta
Pada Jiwa Jiwa Yang Rela
Dia Kekasih Mu
Kau Yang Selalu Terjaga
Yang Memberi Segala
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nur Qolbi
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nur Qolbi
Di Setiap Nafas Di Segala Waktu
Semua Bersujud Memuji Memuja Asthma Mu
Kau Yang Selalu Terjaga
Yang Memberi Segala
Setiap Makhluk Bergantung Padamu
dan Bersujud Semesta Untuk Mu
Setiap Wajah Mendamba Cinta-Mu Cahaya-Mu
Tuhan pun masih mendengar doa saya dan mengabulkannya. Di hari saya mengetahui penyakit adik kembar saya, saya meminta tolong kepada Tuhan untuk hilangkan dulu sakitnya sementara sampai tanggal 12 Mei 2010 tiba. Adik kembar saya sudah sejak dua bulan lalu merencanakan liburan dengan teman-temannya. Ini bukan liburan biasa, setidaknya buat dia, saya tahu itu. Tanggal 12 Mei itu ia akan ke luar negeri dengan uang tabungannya sendiri, saya tahu itu mimpinya. Saya tau bagaimana excited-nya dia membicarakan hal ini dan berharap ini jadi kenyataan. Sempat terucap dari mulut adik kembar saya, mengatakan bahwa ia ikhlas tidak jadi pergi jika memang sakitnya tidak mengizinkan. Mungkin ia ikhlas, tapi saya tidak, tidak ikhlas melihatnya kecewa. Jadi, hari itu dan hari-hari seterusnya saya berbicara kepada Tuhan, mengatakan bahwa mungkin saya egois tapi saya sungguh-sungguh memohon tolong kabulkan dulu mimpinya, biarkan dulu ia rasa bahagia.
Akhirnya, tanggal 5 Mei 2010 lalu dia sudah bisa kembali bekerja dan sakit itu sudah tidak dirasa. Form cutinya pun sudah disetujui atasannya. Tanggal 12 Mei lalu akhirnya ia berangkat juga menjelajah Asia dengan 10 orang temannya, dua diantaranya adalah dokter, jadi saya sedikit lega. Malam ini dia akan sampai lagi di rumah.
Saya hanya berharap sekarang, jika ia nanti memutuskan tanggal operasinya, Tuhan masih mau membantunya, menyelamatkan dia, dan menyehatkannya kembali. Tidak ada alasan sekarang untuk tidak bersyukur kepada Tuhan, bahwa dalam kondisi terburuk sekalipun Tuhan masih tunjukan kuasanya.
Saya mengingat lirik lagu ini ketika subuh itu;
Allah Engkau Dekat Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau
Biarkan Hamba Mu Menangis
Karna Kemurahan Mu
Karna Kasih Sayang Mu
Hanya Bila Diri Mu
Ingin Nyatakan Cinta
Pada Jiwa Jiwa Yang Rela
Dia Kekasih Mu
Kau Yang Selalu Terjaga
Yang Memberi Segala
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nur Qolbi
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nur Qolbi
Di Setiap Nafas Di Segala Waktu
Semua Bersujud Memuji Memuja Asthma Mu
Kau Yang Selalu Terjaga
Yang Memberi Segala
Setiap Makhluk Bergantung Padamu
dan Bersujud Semesta Untuk Mu
Setiap Wajah Mendamba Cinta-Mu Cahaya-Mu
Selepas Percakapan Kita Kemarin Malam
Percakapan kita semalam kenapa masih meninggalkan jejak sesak pagi ini
Rasa kecewa itu mendadak saja merayapi dadaku, saat kau bercerita, Ia
Entah kenapa, aku tidak tahu
Sikapmu...
Bisa-bisanya seperti itu
Kepada perempuan itu, yang memanggilmu "ayah"
Sekarang bagaimana? Jika "anakmu" itu yang sudah dimiliki lelaki, tapi butuh dirimu juga yang katanya "ayahnya"
Hye "ayah!"
"Anakmu" tidak bahagia dengan laki-laki itu
Dia hanya butuh "ayah" bahkan dia tidak butuh "Ibu", kan?
Lalu kenapa sekarang kau bilang takut menjumpainya, "anakmu" sendiri bukan?
Kenapa dulu kau biarkan ia memelukmu
Mencari nyaman dalam belaianmu
Kemudian tahun-tahun berlalu
Tanpa kau sadari ia pupuk nyaman itu
Sekarang saat ia berlari memelukmu dan berteriak memanggilmu "Ayah," kau justru rasa resah, gelagapan, kau bilang itu kan,
Sebab kau sudah tahu wangi dan rasa perempuan
Dan sekarang sudah ada "Ibu"
Karena itu kan pelukan ayah-anak tak bisa semesra masa-masa terdahulu
"Anakmu" teluka kan
Bersama lelakinya, ia cakap tidak bahagia
Mana "ayah" nya yang dulu
Ia mencarimu, kenapa baru kau ucap takut sekarang
Kau, sedari dulu membiarkan ia menjaga rasanya kepadamu
Dalam pelukanmu, nyaman yang ia rasa saat lenganmu merengkuhnya
Mungkin kau tidak tahu, mungkin kau tidak kira
Kau kira perempuan tidak mungkin menjaga rasa begitu lama
Kenapa baru kali ini aku merasa kau begitu bodoh, Ia
Yang aku kira selama ini kau begitu mengerti rasa wanita
Malam itu, selepas pembicaraan kita
Kecewa mendadak merayap ke dalam dadaku
Kenapa, Ia?
Wednesday, May 12, 2010
Surat Resign
AKHIRNYA...!!!
Itu mungkin satu-satunya kata yang bisa saya ucapkan setelah tepatnya kemarin sore saya menyerahkan surat resign pertama saya kepada manager tempat saya bekerja sekarang. Ini pertama kali saya menyerahkan surat resign kepada atasan di tempat kerja, karena memang ini baru pertama kalinya saya bekerja sejak satu setengah tahun yang lalu.
Hotel Indonesia Kempinski Jakarta. Ya, di tempat inilah saya pertama kali bekerja, kurang lebih tiga bulan setelah hari wisuda saya. Di tempat ini pertama kali saya tau bagaimana rasanya dunia kerja, tau suka duka nya orang bekerja, dapat gaji pertama. Dari yang buta sama sekali mengenai dunia perhotelan, sampai sekarang yang sudah jauh jauh lebih paham tentangnya.
Sebetulnya berat meninggalkan tempat ini. Akhir bulan ini akan menjadi hari terakhir saya bekerja. Seperti teman-teman yang lain yang ada di sini, kami begitu sering sekali mengeluh tentang manajemen, tentang gaji, tentang occupancy hotel yg begini-begini saja, pokoknya banyak hal. Saya suka hotel ini, -maaf- bukan manajemennya. Mungkin yang masih bisa membuat saya bertahan cukup lama di sini karena teman-teman yang begitu bersahabat dan lingkungan kerja di team Front Office yang kekeluargaan, itu saja.
Hari Jumat lalu, saya diterima di sebuah perusahaan marketing di daerah Rasuna Said, Kuningan. Tempat ini yang akan menjadi kantor baru saya bulan Juni nanti. Saya pun sebetulnya tidak mengira bahwa akan diterima. Sore itu, setelah interview selesai saya langsung turun ke bawah dan langsung ingin pulang ke rumah. Karena kebetulan itu hari Jumat dan sekitar jam 6 sore pula, saya sudah bisa membayangkan gimana macetnya keadaan jalan Ibu kota tercinta ini. Namun baru saja saya melangkahkan kaki ke trotoar, tiba-tiba Handphone saya berdering. Nama yang muncul di sana adalah nama perusahaan tempat saya interview tadi. Suara di seberang telepon itu meminta saya untuk naik kembali ke atas. Saya langsung putar arah masuk lagi ke dalam gedung itu, yang ada di pikiran saya mungkin ada sesuatu yang tertinggal atau apa lah. Begitu sampai lagi di atas, saya dipersilahkan masuk kembali ke dalam ruangan Manager nya dan langsung saja ia berkata: "Okay, i accept you as my employee." Saya cuma bisa berdiri dan bilang: "Oh.. okay." Jujur, saya ga mengira sama sekali, karena sebelum saya turun tadi mereka bilang baru akan mengabari hari Senin ini.
Saya sekarang cuma bisa bersyukur banget untuk hal ini.
Saya kemudian terus pulang. Sepanjang perjalanan yang hanya saya fikirkan adalah bagaimana caranya saya bilang ke Supervisor dan Manager saya kalau saya akan resign. Saya terus memikirkan hal itu sampai saya tiba dirumah. Dan surat resign... Ya, surat resign itu. Bagaimana buatnya ya? Ini baru pertama kali mau resign, saya ga pernah bikin surat resign sebelumnya. Akhirnya, saya sms pacar minta dikirimin contoh surat resign ke alamat email saya. Sempet juga browsing di internet untuk cari contoh seperti apa surat resign itu.
Dan kemarin...
Surat resign itu saya print di kantor (dasar karyawan ga modal, udah mau resign nge-print nya di kantor pula, cari yang gratisan..hehehe) dan langsung saya buat juga form cuti. Dengan perasaan deh-degan, akhirnya siang itu saya bicara sama Supervisor saya. Sudah mengira sebelumnya, kata yang keluar dari mulutnya adalah "Kok lo tega banget siy ninggalin gw?" Dengan ribuan kata-kata yang sok bijaksana saya menjelaskan bla bla bla nya kenapa saya memutuskan untuk keluar akhirnya dari tempat ini. Sore hari nya saya menghadap Sang Manager, sudah bisa mengira juga akan seperti apa reaksinya. Walaupun deg-degan setengah mati tapi saya terus berjalan menuju kantornya. Dan...
"Bu wid, aku mohon maaf banget sebelumnya, tapi aku minta waktu untuk ketemu sore ini untuk kasih ini." (sambil menyodorkan surat resign itu ke atas mejanya).
Dia cuma bilang, "NO WAY!" (Abis itu baru dicecer dengan beribu-ribu pertanyaan kenapa).
Setengah jam saya ada di dalam ruangannya, sekali lagi dengan bla bla bla nya saya menjelaskan kenapa akhirnya harus memutuskan resign dari tempat ini. Rasa lega dan juga sedih menghampiri saya bagitu saja saat saya keluar dari ruangannya dan kembali ke hotel.
Hmmmm... rasa lega yang mayoritas lebih saya rasa. Akhirnya, surat resign saya yang pertama diserahkan juga. Sekarang tinggal menghitung hari saja saya berada di hotel ini untuk menghabiskan hari-hari terakhir kerja.
Saya sekarang cuma berharap supaya tempat baru saya bekerja nanti bisa jauh lebih baik. Membawa dan sekaligus memberikan saya pengalaman-pengalaman yang berarti untuk masa depan yang lebih baik.
Itu mungkin satu-satunya kata yang bisa saya ucapkan setelah tepatnya kemarin sore saya menyerahkan surat resign pertama saya kepada manager tempat saya bekerja sekarang. Ini pertama kali saya menyerahkan surat resign kepada atasan di tempat kerja, karena memang ini baru pertama kalinya saya bekerja sejak satu setengah tahun yang lalu.
Hotel Indonesia Kempinski Jakarta. Ya, di tempat inilah saya pertama kali bekerja, kurang lebih tiga bulan setelah hari wisuda saya. Di tempat ini pertama kali saya tau bagaimana rasanya dunia kerja, tau suka duka nya orang bekerja, dapat gaji pertama. Dari yang buta sama sekali mengenai dunia perhotelan, sampai sekarang yang sudah jauh jauh lebih paham tentangnya.
Sebetulnya berat meninggalkan tempat ini. Akhir bulan ini akan menjadi hari terakhir saya bekerja. Seperti teman-teman yang lain yang ada di sini, kami begitu sering sekali mengeluh tentang manajemen, tentang gaji, tentang occupancy hotel yg begini-begini saja, pokoknya banyak hal. Saya suka hotel ini, -maaf- bukan manajemennya. Mungkin yang masih bisa membuat saya bertahan cukup lama di sini karena teman-teman yang begitu bersahabat dan lingkungan kerja di team Front Office yang kekeluargaan, itu saja.
Hari Jumat lalu, saya diterima di sebuah perusahaan marketing di daerah Rasuna Said, Kuningan. Tempat ini yang akan menjadi kantor baru saya bulan Juni nanti. Saya pun sebetulnya tidak mengira bahwa akan diterima. Sore itu, setelah interview selesai saya langsung turun ke bawah dan langsung ingin pulang ke rumah. Karena kebetulan itu hari Jumat dan sekitar jam 6 sore pula, saya sudah bisa membayangkan gimana macetnya keadaan jalan Ibu kota tercinta ini. Namun baru saja saya melangkahkan kaki ke trotoar, tiba-tiba Handphone saya berdering. Nama yang muncul di sana adalah nama perusahaan tempat saya interview tadi. Suara di seberang telepon itu meminta saya untuk naik kembali ke atas. Saya langsung putar arah masuk lagi ke dalam gedung itu, yang ada di pikiran saya mungkin ada sesuatu yang tertinggal atau apa lah. Begitu sampai lagi di atas, saya dipersilahkan masuk kembali ke dalam ruangan Manager nya dan langsung saja ia berkata: "Okay, i accept you as my employee." Saya cuma bisa berdiri dan bilang: "Oh.. okay." Jujur, saya ga mengira sama sekali, karena sebelum saya turun tadi mereka bilang baru akan mengabari hari Senin ini.
Saya sekarang cuma bisa bersyukur banget untuk hal ini.
Saya kemudian terus pulang. Sepanjang perjalanan yang hanya saya fikirkan adalah bagaimana caranya saya bilang ke Supervisor dan Manager saya kalau saya akan resign. Saya terus memikirkan hal itu sampai saya tiba dirumah. Dan surat resign... Ya, surat resign itu. Bagaimana buatnya ya? Ini baru pertama kali mau resign, saya ga pernah bikin surat resign sebelumnya. Akhirnya, saya sms pacar minta dikirimin contoh surat resign ke alamat email saya. Sempet juga browsing di internet untuk cari contoh seperti apa surat resign itu.
Dan kemarin...
Surat resign itu saya print di kantor (dasar karyawan ga modal, udah mau resign nge-print nya di kantor pula, cari yang gratisan..hehehe) dan langsung saya buat juga form cuti. Dengan perasaan deh-degan, akhirnya siang itu saya bicara sama Supervisor saya. Sudah mengira sebelumnya, kata yang keluar dari mulutnya adalah "Kok lo tega banget siy ninggalin gw?" Dengan ribuan kata-kata yang sok bijaksana saya menjelaskan bla bla bla nya kenapa saya memutuskan untuk keluar akhirnya dari tempat ini. Sore hari nya saya menghadap Sang Manager, sudah bisa mengira juga akan seperti apa reaksinya. Walaupun deg-degan setengah mati tapi saya terus berjalan menuju kantornya. Dan...
"Bu wid, aku mohon maaf banget sebelumnya, tapi aku minta waktu untuk ketemu sore ini untuk kasih ini." (sambil menyodorkan surat resign itu ke atas mejanya).
Dia cuma bilang, "NO WAY!" (Abis itu baru dicecer dengan beribu-ribu pertanyaan kenapa).
Setengah jam saya ada di dalam ruangannya, sekali lagi dengan bla bla bla nya saya menjelaskan kenapa akhirnya harus memutuskan resign dari tempat ini. Rasa lega dan juga sedih menghampiri saya bagitu saja saat saya keluar dari ruangannya dan kembali ke hotel.
Hmmmm... rasa lega yang mayoritas lebih saya rasa. Akhirnya, surat resign saya yang pertama diserahkan juga. Sekarang tinggal menghitung hari saja saya berada di hotel ini untuk menghabiskan hari-hari terakhir kerja.
Saya sekarang cuma berharap supaya tempat baru saya bekerja nanti bisa jauh lebih baik. Membawa dan sekaligus memberikan saya pengalaman-pengalaman yang berarti untuk masa depan yang lebih baik.
Tuesday, May 11, 2010
Tulisan Jujur Anda
Saya pernah katakan di tulisan terdahulu, saya tidak ingin menjadikan blog milik saya seperti diary yang penuh diisi oleh curhatan pribadi atau cuma cerita kegiatan sehari-hari. Tapi ada satu alasan kenapa akhirnya di blog ini saya membuka sebuah label tersendiri yang khusus menceritakan tentang kisah saya, dengan berusaha menulis sejujur-jujurnya, bukan dengan makna-makna tersurat, seperti puisi-puisi yang sebelumnya.
Ada satu blog milik teman waktu kuliah dulu di UI, namanya Anda. Dulu sekali sebenarnya saya pernah beberapa kali membaca tulisan-tulisan di blog nya, sudah suka, tapi kalau boleh dibilang kurang meresapi. Terakhir kali ini, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk membangkitkan kembali blog lama yang sudah mati suri ini, Blog Anda lah penyebabnya.
Kalau memang sedang tidak ada kegiatan di kantor biasanya saya suka membaca tulisan-tulisan di blog seseorang. Malam itu, kebetulan saya in charge evening shift di kantor, jadi sekitar pukul 9 malam biasanya sudah sepi. Nah, di saat itulah biasanya saya mulai buka-buka internet untuk baca-baca blog teman-teman. Blog Anda kebetulan saja saya baca malam itu, dan entah karena apa begitu mendadak rasanya saya jatuh cinta dengan blog ini. Tulisan-tulisan Anda di blognya buat saya ditulis dengan begitu jujur, tidak takut ia curahkan semua perasaaannya, kisahnya, duka dan suka, bahkan obsesi-obsesi terdalamnya. Pokoknya saya SUKA!
Saya mengenal Anda kurang lebih 6 tahun yang lalu saat di bangku kuliah. Satu hal yang sampai saat ini masih selalu saya ingat tentang dia adalah dulu saat masih semester satu di kampus, dia pernah bilang dengan begitu ngototnya pokoknya mau ngomong terus pake bahasa Belanda walaupun bukan lagi di kelas. Kami emang mahasiswa jurusan sastra Belanda, tapi dulu saya pikir juga ga segitunya kali. Bahasa Belanda tiap hari di kelas buat saya udah cukup, hehehe...
Sekarang kalau harus menengok cerita ke belakang, ya itu lah Anda. Sekarang juga masih heboh ngomong Belanda walau pun udah ga kuliah lagi, ga peduli grammar salah apa ga pokoknya hajaaar ajaa. Obsesi anak satu ini untuk ke Belanda dan menjejakkan kakinya di benua Eropa itu juga masih ga ada matinya.
Saya ga tau persis nya Anda punya berapa blog, tapi blognya yang satu ini bener-bener terasa Anda banget. Membaca blog nya buat saya sama saja kaya mendengarkan dia bercerita. Emosi dari kata-katanya, walaupun sederhana, tapi berasa.
Nah, dari situ lah saya sempet bilang ke Anda kalau saya takut ga bisa nulis lagi, tepatnya ga bisa nulis dengan jujur seperti yang dia lakuin di blog nya. Sebenarnya, hampir semua puisi-puisi yang saya tulis pada blog saya merupakan kisah saya sendiri, kebanyakan, walaupun ga sedikit juga puisi-puisi yang memang ngarang, maksudnya ditulis bukan karena pengalaman tentang diri sendiri. Kenapa puisi, mungkin itu pertanyaannya? Dengan puisi, bagi saya, saya boleh menuliskan curahan hati dengan kata-kata kiasan yang bisa membuat bias, jadi orang yang membaca pun tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi sebenarnya. Dengan puisi saya menyembunyikan rasa yang sebenarnya. Karena apa? TAKUT jawabannya!
Saya selalu takut untuk menulis jujur. Takut ga bagus, takut ga enak dibaca, takut orang yang baca ga suka, pokoknya kebanyakan takutnya. Takut dikasihani saat mereka tau cerita-cerita yang sebenarnya, takut dikira "Drama Queen", takut lah judulnya.
Tapi saat saya membaca blog Anda berkali-kali, keinginan saya untuk menuliskan cerita-cerita dengan begitu jujur semakin besar rasanya. Saat itu lah saya putuskan bahwa pada blog ini saya akan mencoba menulis dengan jujur seperti Anda. Jika kalian membaca, saya relakan kalian menilai apa adanya. Suka atau tidak suka itu kan tergantung selera, tidak bisa dipaksa.
Namun yang paling penting, puisi atau pun tulisan jujur, saya tidak boleh berhenti menulis. Ini jiwa dan nyawa saya.
Monday, May 10, 2010
Satu
Tuhan, berikan lah cahaya terang pada akhir jalan ini.
semoga langkah kami yang mengarah ke sana ringan dan damai.
langkah aku dan dia.
Tuhan, berikan lah pelangi pada langit-langit gelap.
setelah hujan deras yang menimpa.
membasahi aku dan dia.
Tuhan, nanti di akhir kisah, mungkin, akan ditemui persimpangan.
setelah kami lewati jalan, meski berliku-liku.
Kumohon, sampaikan lah kami di satu tujuan yang sama.
Thursday, May 6, 2010
Kadang
Kadang, aku masih merindui percakapan-percakapan kita dulu. Kau dan aku. Saat Juli itu masih kuntum. Kita yang selalu menyapa-nyapa dalam tiap masa. Masih kah kau ingat hari-hari itu dulu? Saat itu kemarau. Sakit hatiku masih samar-samar terasa, perlahan gugur, seperti daun-daun rontok di halaman rumah yang kita suka.
Saat itu kita belum apa-apa. Tapi selalu ada nyaman setiap pada percakapan kita di hari-hari menjelang petang. Kau kan tahu, kala itu, mungkin masih banyak tugas yang harus kuselesaikan, masih ada tenaga yang harus disimpan untuk esok pagi, ketika subuh belum membuka mata. Dan kau... seperti biasa ku tanya "sedang apa?"
Percakapan kita tidak selalu panjang lebar, namun memang aku sering menghabiskan waktu berjam-jam, menungguimu, kapan menyapa. Ada kalanya kita bercerita, ini dan itu, engkau dan aku, tanpa ada arah pasti, senang saja kita berdua mengkhayal-hayali kisah yang kita karang sendiri.
Ini sudah hampir 4 tahun sejak Juli itu. Sudah banyak yang berubah tentu antara kau dan aku. Aku mengingat percakapan kita terakhir di telepon itu, beberapa bulan lalu. Sudah cukup lama juga memang, tapi mimpi kita masih sama. Cerita khayalan kita pun begitu, tak ada yang berubah. Suara dan tawa mu masih sama seperti 4 tahun lalu, ketika petama kali kita saling mendengar nada dari seberang lautan.
Kini, hari-hari kita berbeda. Aku dengannya dan kau pun dengannya. Hmmpphh... Perempuan itu. Ia yang bersama mu sekarang berbeda. Bukan wanita yang dulu selalu kucemburui, yang membuat mataku nanar pertama kali melihat kau dengannya. Sekarang aku pun sudah beberapa kali berganti dengan dia dia yang lainnya. Sudah berbeda.
Kita sekarang punya cerita masing-masing yang sudah hampir tak pernah dibagi. Baru saja aku memikirkan mu yang dulu, kau malah sapa aku di tempat maya kita biasa bertemu. Tapi hanya sedikit kata, kau kemudian menghilang. Kita sudah hampir-hampir kehabisan waktu untuk saling bercerita, bukan?
Kadang-kadang saja aku memikirkan mu. Dulu kau pernah bilang, untuk menghilangkan resahku. Kau bilang jika mungkin suatu hari nanti kita sudah hampir-hampir tak pernah bertegur sapa lagi, tak lagi berbagi kata-kata, bukan berarti kau melupakan aku. Walau kata-kata itu tak nampak lagi, tapi jauh dalam pikiranmu, aku selalu ada. Kita sahabat sejati, bukan, katamu?!
Pada masa ini...
Kadang-kadang saja aku memikirkan mu.
Untuk Anniversary-mu
Kita.
Aku, kau dan dia
Ketika pagi hari itu akan tiba kelopak mawar pasti terbuka lalu berbinar.
Kau disambut nyanyian pagi.
Jangan tanya kenapa perempuan senang menangis
Aku menunggu sampai debu kemarau di bulu mata melayang pada angin musim gugur
Lalu air mata tiba dan akan mengurai
Jenuh cemburu
Kau dan dia mengambil gelas, bersulang demi nama cinta
Bahagia dan tak sadari di luar hujan mendera
Dari balik buram kaca yang membiaskan air mata menjadi pelangi
Kuucapkan: "Selamat Berbahagia."
Untuk *****
seandainya aku mampu membencimu
agar tak sakit lagi hati ini
seandainya aku mampu lupakan semua rasa
agar aku tak menangis lagi
aku ingin membencimu atau membunuhmu
supaya dendam hati ini terbalas
tapi mampukah ku menyakitimu
salahkah jika rasa ini ada
salahkah aku dengan segala anganku
tak bisakah kau mengerti
sedikit saja tentang apa yang kurasa
pahamilah sejenak rasaku
tak sadarkah kau telah menyakitiku
setiap malam menangisimu merinduimu
sebab aku ragu mencari dan memanggil
namamu bahkan dalam mimpiku
terlalu sering aku diabaikan
merasa sendiri, tanpa siapa-siapa tak dicintai
haruskah kuseberangi lautan
menemuimu dan berlutut memohon cintamu
mengertilah, sedikit saja!
aku mencintaimu…
lalu menderita sebab kita tak boleh menjadi satu
hampir seribu malam aku simpan sendiri rasa ini
biar menjadi rahasia
tak peduli walau hati ini menangis
sebab kau tak tau akan rasaku
hanya agar aku tak berhenti bermimpi
memilikimu dan karena aku terlalu takut
akan kenyataan kau tak mencintaiku
lalu kau ubah semua
mempermainkan rasaku
dan membuat derita semakin menjadi akan cinta ini
buat apa kau ucap cinta yang pura-pura
mencoba meyakinkanku bahwa ini nyata
lalu seminggu berlalu
dan kau jilat ludah sendiri
terkadang aku tak mengerti
apa alasan dan fikirmu lakukan semua ini
akan hanya jadi sia-sia antara kita
terkadang aku tak ingin bertahan
ingin kau pergi
tapi tau kah
bahwa ku tak mampu
sebab ku terlalu mencintaimu
Cerita Aku dan Ia
Kita sering bercerita kan? Aku tepatnya yang sering meminta-minta di dengarkan. Ceritaku, kisahku, dan tentang yang lain-lainnya.
Kita berbagi rasa kan? Rasaku lebih seringnya. Rasa kepada dia, dan dia dia yang lainnya.
Malam-malam terakhir ini terasa begitu berbeda. Kosong dan hampa. Aku begitu sepi lagi, seperti malam-malam terdahulu, saat dia, lelaki yang di seberang lautan itu masih kucinta.
Kali ini aku dilema. Antara hidup dan juga cinta. Aku butuh dirimu, yang biasa jadi tempat berbagi cerita. Walau pun kita tak berjumpa, tak benar-benar menatap mata, tapi pada percakapan-percakapan kita di dunia maya seperti purba dulu, akau sangat yakin engkau mampu tenangkan hatiku.
Ia, yang kini kucinta perlahan pergi. Aku akan sendiri lagi. Tak akan ada yang siap sedia memberikan pundak untuk bersandar, tak akan ada lagi tangan yang menggenggam kala nanti aku resah. Dulu janji nya tak kan ia tinggalkan ku sendiri. Tapi demi masa depan, katanya, ia tak peduli rasaku lagi.
Aku harus bagaimana? Harus kah aku ikut mengejarnya? Lalu, jika nanti kami memang tak dapat bersama, aku tidak ingin menyesali jejak-jejak yang kutinggali.
Ini harusnya jadi cerita yang panjang. Aku dan dia. Kenapa aku jadi sering-sering merasa tak yakin belakangan ini.
Salah kah cerita ini, mungkin?!
Wednesday, May 5, 2010
Dua Dunia
kau yang berada pada pasir putih itu
kau yang tersibak buih lautan
kau yang mencium asin laut malam ini
kau yang terhempas angin malam
dalam sepoi-sepoi nyiur tepi pantai
jadi, kau yang bermimpi malam ini
aku terjebak dalam rasa
malu menangis pada kecewa
jangan bawa aku dalam angan-angan itu
aku hanya ingin hujan gerimis
dan awan kelabu
lalu gugur daun di depan halaman
yang hijau mimpinya melayang jatuh
layu…
aku ingin menangis ditemani gerimis
biar rintihku ditulikan guntur malam
jadi, kau yang di sana, yang terbaring pada pasir pantai Langkawi
jangan buatkan aku menangis
karena malam ini bintang yang menemani
dan, aku tak ingin air mata terpancar sinarnya
maka…
kita yang terpisah
ombak lautan dua negara
malam ini berada dalam dua dunia
fantasy dan reality
Ibu
pada surga di kakinya, kau tertuju bersujud
menangis mengadu karena dosa,
yang pada ragamu mengalir telaga darah
karena cinta kasihnya.
lalu kini yang atas surga dunia
kau durhaka
lupa akan tiap tetes peluhnya di atas luka,
yang pasti perih,
namun kebas demi cinta.
adalah ibu laksana hawa
pemberi cinta pada jiwa yang dahaga
Rumah Putih
di Rumah Putih itu
kutemukan bahwa aku ternyata tak sendiri
tau bahwa ada inspirasi
tentang kau dan aku
lalu tentang Ia dan kekasihnya
yang bernasib sama dengan kita.
di Rumah Putih itu
pada ‘Rahim Kemarau’nya
aku tahu bahwa tawa mampu terbit
dari fajar air mata.
kau dan aku
yang berpisah sebelum berjumpa
seandainya kau tahu
sepeninggal dirimu
aku tersiksa
menangisimu setiap malam
hanya karena rindu
di Rumah Putih itu
akhirnya aku sadari
aku harus merelakan kau pergi
tanpa sedih, tanpa sesal
di Rumah Putih-nya
Ia dengan rela dan syukur
lalu dengan lega hati
membiarkan yang dicintai pergi
bersama kemarau
dan Ia yakin
kemarau akan selalu melahirkan hujan
yang akan menghapus jejak
saat kekasihnya pergi.
“Hujan pasti datang kembali, Meida. Meski itu bukan dia.”
Menanti Hujan
seandainya saja hujan yang selalu datang
akan menghapus kan kemarau saat kau pergi.
akan kutunggu tiap tetesnya jatuh
menghapuskan luka.
kau akan pergi entah kini atau nanti.
lalu hujan akan turun kembali.
aku tidak di sana, kasih
kau pun tak berada di sini.
maka kita tak boleh menjadi satu.
seandainya kau berfikir sama
cinta selalu memiliki hasrat untuk memiliki
tanpa terkait ikatan yang pasti.
aku sudah berhenti menangis
hanya menunggu hujan datang kembali
mengingatkanku pada kemarau
ketika kau pergi.
dimana kah cinta ini, kasih?
kita berpisah sebelum berjumpa.
pergilah…
tak apa.
aku di sini hanya menanti hujan datang kembali.
Kamu, Laksana Semua yang Tak Tertakdir Untukku
Hidup ini indah katanya
Tapi mengapa airmataku tak pernah berhenti mengalir
Nafas ini lega katanya
Tapi mengapa hatiku selalu sesak setiap menghembus
Cinta ini bahagia katanya
Tapi mengapa kau tak tercipta untukku
Fikiran ini bebas katanya
Tapi mengapa otakku hanya tertuju padamu
Hati ini ikhlas katanya
Tapi kenapa selalu pedih setiap mengenangmu
Jika indah mengapa ku menangis
Jika lega mengapa kurasa sesak
Jika bahagia mengapa ku bersedih
Jika bebas mengapa ku tak lepas
Jika ikhlas mengapa ku tak rela
Sebab mungkin…
Kamu ialah laksana semua yang indah, semua yang lega, semua yang bahagia, semua yang bebas, semua yang ikhlas.
Yang tak tertakdir untukku…
Duka Doa
Aku harus mencari malam dan sepi agar mampu menulis puisi. Namun di hari yang masih cerah, walaupun mentari terbenam sebentar lagi, kau masih berikan hangat yang nyata.
Tuhan, berikan senyum itu lagi di wajahnya. Yang kini melemah, berpeluh keringat tak berdaya. Dengar, ia sebut namamu dalam rintihan sakitnya. Hangtakan lagi hari-hari nya bersama mentari-mentari di pagi hari dan ketika hari petang.
Biarkan citanya tergapai dahulu. Ia masih ingin menari, masih ingin bernyanyi, agar dunia tahu ia ada.
Tuhan, dari relung-relung hatiku yang kosong, aku sungguh memohon. Kau yang senantiasa terjaga, yang mendengar segala doa. Bangkitkan lagi sang merpati. Biarkan kebas sayapnya melebar, kejar cahaya.
Tuhan, mungkin aku tidak pantas meminta. Di masa-masa aku lupa, tak pernah rindu namamu, maafkan lah. Dari segala yang paling suci aku mengingatmu.
Tuhan, kata-kata ini tidak seindah puisi yang kuukir di sini, namun jauh lebih sungguh-sungguh aku menginginkannya. Memohon dan meminta kepadamu.
Aku menunggu mukzizat itu. Aku tahu bahkan keajaiban pun butuh waktu. Tapi, kabulkan lah
Subscribe to:
Posts (Atom)