Thursday, June 16, 2011

Namanya Fitri

Malam itu di Taman Ismail Marzuki (TIM) saya hanya iseng datang tanpa tujuan pasti. Ada pameran foto Bung Karno di Galeri Cipta II memang. Pameran gratis yang ramai pengunjung, undangan dan wartawan sebab hari itu hari pembukaannya. Namun langkah saya bukan ke pameran itu. Saya menuju warung-warung tenda di sana. Berhenti dan duduk di sebuah tempat makan, lalu seorang anak perempuan datang, memaksa menawarkan semir sepatu. Saya sudah sering ke TIM dan pemandangan seperti itu sudah lumrah. Meskipun mereka tahu sepatu pengunjung yang datang tidak bisa disemir, tapi pasti tetap memaksa.

Saya datang dan makan dengan Gema. Anak perempuan itu menggelendot ke tepian meja dan hanya mengulang satu kalimat yang sama secara terus menerus. "Oom, semir sepatu, oom."  Meskipun sudah ditolak berkali-kali tetap saja dia bergeming di sana. Awalnya saya mengacuhkannya, sampai akhirnya kalimat sama yang dari tadi diulangnya berubah bunyi. 

"Beliin makan dong, Tante."

Saya menoleh kepadanya. Mendadak rasa iba itu muncul. Saya tanya mau makan apa. Nasi Goreng Ayam dan Es Jeruk yang dipilihnya. Lalu setelah memesan makanan untuk kami, dia duduk dan diam saja.

"Kamu ngapain di sini?"
"Main aja."
"Main kok tapi minta semir sepatu orang-orang. Kerja ya?"

Dia tersenyum tapi menundukkan wajahnya.

"Udah lama ya main di sini?"
"Iya."
"Setiap hari?"
"Iya."
"Emangnya gak sekolah?"
"Sekolahnya siang."
"Di mana?"
"Di Kenari."
"Kelas berapa?"
"Kelas 5."
"Rumah kamu di mana?"
"Di Kali Pasir."
"Diajakin siapa main ke sini?"
"Diajak temen."
"Ibu kamu di mana?"
"Di rumah."
"Gak diomelin main sampe malam gini?"

Dia lagi-lagi cuma tersenyum sambil menunduk.

"Ibu kamu kerjanya apa?"
"Tukang cuci."
"Bapak kamu kerja juga?"
"Iya."
"Kerja apa?"
"Cleaning service."
"Ooh... terus sekarang kamu di TIM sama siapa?"
"Sendiri aja."
"Punya adik ga?"
"Punya."
"Berapa?"
"Dua."
"Sekolah juga."
"Iya. Yang satu kelas tiga SD, tapi yang satu masih kecil banget."


Ketika makanan kami tiba, dia makan dalam diam. Saat Gema menggodanya dengan berkata makannya harus balap-balapan dengan saya, siapa yang belakangan habis maka dia yang harus bayar, dia lagi-lagi cuma tersenyum sambil menunduk. Lalu matanya melihat ke arah sesuatu di belakang kami. Ia tertawa. Saya menoleh. Seorang perempuan mengintip dari belakang sebuah mobil dan buru-buru menyembunyikan dirinya ketika saya menoleh ke arahnya. Dia menggendong bayi. Dan ada seorang bocah lelaki yang tetap berdiri di sana.


"Ibumu, ya?"
"Iya."
"Itu adik kamu?"
"Iya."
"Panggil aja ke sini."

Bocah laki-laki itu menghampiri kami sambil menggendong seorang bayi. Wajahnya meringis. Saya tidak dengar pasti apa yang dikatakannya kepada anak perempuan itu, terdengar hanya seperti gerutuan atau keluhan. Tangannya memegangi pipinya.

"Sakit gigi, ya?" tanya saya.
Ia mengangguk dan matanya berkaca-kaca.
"Mau minum obat gak?"
Bocah laki-laki itu menggeleng. Dari saku celananya ia mengeluarkan segumpal uang kertas dan recehan yang awut-awutan.

"Udah dapet duapuluh ribu. Pulang aja yuk." katanya kepada kakaknya itu.

Lalu anak perempuan itu berkata kepada saya, meminta makanannya dibungkus saja untuk dibawa pulang. Setelah penjual di sana selesai membungkus makanannya, ia lalu pamit pulang. Langkahnya gontai sambil menggendong bayi di tangannya dan seorang bocah laki-laki yang meringis mengikutinya dari belakang.


--------------------------

Ibunya juga ada di sana. Saya tidak mengerti kenapa dia bersembunyi ketika saya melihat ke arahnya. Malu mungkin. Ibu dan bapak anak itu bekerja. Tapi tetap mempekerjakan anak-anaknya pula sampai larut malam. 

Masih banyak hal-hal yang tidak saya mengerti tentang kehidupan, mengenai peran-peran yang dibagikan Tuhan, dan bagaimana semua pelakon itu berjalan dalam sebuah kisah. ...dalam peristiwa kecil sekalipun tidak ada yang terjadi karena kebetulan* Pertemuan saya malam itu dengan anak perempuan tersebut memberi satu hal lagi setidaknya, pemahaman saya mengenai arti hidup.



* Dari Kafka On The Shore


3 comments:

  1. kejadian kaya gitu sering banget saya liat. ntah harus sedih atau kesal dgn orangtuanya yg membiarkan anak2 mereka turun ke jalan..

    hiksss :(

    ReplyDelete
  2. iya ya.. kalau begini rasanya ibukota, ibu tiri, ibu kandung sama kejamnya.. :P

    ReplyDelete
  3. begitulah hidup mei, hidup itu keras.. *kaya apaan hayoo?*

    ReplyDelete