Thursday, June 30, 2011

Terlambat

Kenapa datang
Ketika ikat sudah menjadi hambat

Rasaku tak bisa terus menunggu
Untuk dijadikan tawanan

Sementara kau bersemayam saja
Antara dua ingin yang dilema

Ketika aku bukan pilihan
Sibukku membunuhmu
Dan mencari teman berduka



Bekasi, 29 Juni, 2011


picture from here

Tuesday, June 28, 2011

Untuk Yang Bertanya

Kerap kali setelah saya memposting tulisan dalam blog ini, ada yang bertanya, ada yang menerka; lo kenapa? ada cerita baru apa lagi? itu tulisan untuk siapa? atau tentang siapa lagi tuh? Pertanyaan-pertanyaan kiriman yang ingin tahu apa yang terjadi dengan saya. Hei, teman-teman, saya cuma mau bilang lho, apa yang tertulis di dalam blog ini memang kebanyakan cerita-cerita yang memeristiwa terhadap saya, tapi tidak juga melulu betul-betul kisah saya pribadi.

Alasan utama saya membuat label pada tulisan-tulisan di dalam blog ini adalah untuk mengklasifikasikan cerita-cerita yang saya tulis. Membedakannya sesuai dengan isi ceritanya. Lalu kalian mau bilang, lha itu nama labelnya bikin ga ngerti maksudnya apa? Saya akan jawab, "emang iya, sengaja!" Hehehe... Saya kan senangnya main rahasia-rahasiaan.

Begini saja deh ya, saya kasih bocoran sedikit. Kalau kalian mau tau yang mana kisah yang betul-betul terjadi dengan saya lihat saja label Kisah Ujung Pelangi dan Rinai Pribadi. Yang membedakan cerita-cerita pada label itu hanya cara penulisannya. Kalau dalam Kisah Ujung Pelangi saya menulis dengan gaya yang simple dan apa adanya, menggunakan bahasa sehari-hari yang tidak melulu ditulis secara formal. Sementara dalam Rinai Pribadi saya menulis dengan gaya yang puitis, tesirat maksudnya kebanyakan, tapi cerita berlabel itu betul-betul terjadi terhadap diri saya sendiri. Ceritanya tidak ditambah-tambahi supaya terdengar seru, tidak dibelok-belokkan supaya gak ketahuan sepenuhnya oleh pembaca, pokoknya cerita jujur sejujur-jujurnya.

Nah, bagaimana dengan cerita dalam label yang lain??? Itu tetap rahasia saya. Banyak cerita yang terjadi dengan saya, tapi lebih sering saya modifikasi dengan imajinasi dan khayalan yang seringnya datang mendadak saat saya menuliskannya. Bisa juga cerita tersebut milik teman-teman saya, tapi saya menceritakannya di sini, seolah sayalah si "Aku."


Untuk Puisi, jelas kalian temukan dalam Puisi Hujan. Tapi namanya juga puisi, maka saya bebaskan kalian untuk berinterpretasi terhadapnya.

Sekian jawaban dan bocoran saya untuk yang senang tanya-tanya. :D



Wanita Dalam Topeng

wanita-wanita bermuka manis
merangkai cerita dalam tawa semanis gula
pelukis bahagia membuat iri tiap mata

wanita-wanita calon bidadari surga
rupanya, katanya
peracik kebahagiaan sempurna
mengatas nama keluarga 

wanita-wanita pendosa
pengikut rasa tanpa logika
ular berbisa, lidah bercabang dua

wanita-wanita bertopeng
wanita-wanita bermuka dua
neraka
menujulah!


Jakarta, 28 Juni, 2011


picture from here

Halimun

Merinai gerimis di sembab pagi. Jatuh di kelopak matamu. Bulir menari di pipimu. Mengapa airmata rasanya dingin kali ini? Dan halimun yang pekat abu-abu mengantar asa yang putus akan datangnya cahaya.

Retak berderak hatimu dalam tanya yang tak habis-habisnya. Pintu mana lagi yang ia kunci? Merabalah kau dalam remang matanya.

Apa yang kau temukan di luar jendela hanya kabut yang makin gelap dan menyamarkan jalan. Tak ada kunci.

Di hatimu berdenting-denting sepi.



Jakarta, 28 Juni, 2011
06.15


Friday, June 24, 2011

A Letter To God

Oleh: Gregorio Lopes Y Fuentes*


Satu‑satunya rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.

Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawa­si langit ke arah timur laut.

“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat air, Bu.”

Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab:

“Ya, insya Allah.”

Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah, sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:

“Sini makan dulu!”

Saat mereka sedang makan, seperti yang telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dili­hat sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.

Pria itu pergi ke luar untuk melihat pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:

“Yang jatuh dari langit itu bukan tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar sepuluh centavo dan yang kecil‑kecil lima ….”

Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.

“Sekarang benar‑benar semakin buruk!” seru pria itu, geli­sah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”

Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya dan berkata kepada anak‑anaknya:

“Wabah belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….”

Malam itu penuh kesedihan.

“Semua kerja kita sia‑sia!”

“Tak ada seorangpun yang dapat menolong kita!”

“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpen­cil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti keru­gian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!”

“Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….”

Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.

Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos.

Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan.

“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….”

Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasuk­kannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan pera­saan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.

Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:

“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti keper­cayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat dengan Tuhan!”

Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang te­mannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.

Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.

Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Semen­tara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.

Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menya­lahi apa yang diminta Lencho!

Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempel­kannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya.

Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:

“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”

picture from here

.* Penulis Mexico

Harimau-harimau Mimpi

Oleh: Jorge Luis Borges*


Pada masa kanak-kanak aku adalah seorang pemuja berat harimau – bukan jaguar, “harimau” bertotol-totol yang mendiami pulau-pulau mengapung dengan enceng gondok sepanjang Parana dan keliaran Amazon yang membelit, tetapi harimau sebenarnya, turunan Asia yang berloreng-loreng, yang hanya dapat dihadapi oleh para tentara, dari sebuah benteng di atas gajah. Aku dapat berdiri berjam-jam di ujung, di depan sebuah kurungan kebun binatang; aku dapat memeringkatkan ensiklopedi yang tebal dan buku-buku sejarah alam dengan kemegahan harimau-harimaunya (aku masih ingat gambar-gambar itu, aku yang tidak dapat mengingat tanpa kesalahan pada sebaris alis wanita atau senyuman. Masa kanak-kanakku berkembang, harimau-harimau dan hasratku pada mereka memudar, tetapi harimau-harimau itu masih ada dalam mimpi-mimpiku. Dalam laut bawah tanah atau dalam kekacauan, harimau-harimau itu tetap bertahan. Ketika aku tidur aku diseret ke satu mimpi lainnya, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa harimau itu hanya sebuah mimpi. Pada saat yang bersamaan, aku sering berpikir. Ini adalah sebuah mimpi, sebuah pengalihan murni dari keinginan dan karena aku mempunyai kekuatan yang tak terbatas, aku akan mengeluarkan seekor harimau.


Oh, ketidakmampuan! Mimpi-mimpiku tidak pernah tampak melahirkan mahluk yang sangat aku harapkan harimau tak menampak, selain harimau yang mengering dan tampak lemah, atau tak mempunyai kemurnian tingkah laku atau dengan bentuk dan ukuran yang dapat diterima, atau harimau itu, secara bersamaan berkelebat sebentar saja, atau tampak lebih mirip seekor anjing atau burung, dibandingkan seekor harimau.

picture from here


*Penulis Argentina, dianggap salah satu tokoh sastra terbesar abad 20. Cerita di atas diambil dari kumpulan cerpennya "The Aleph."

Bersama Menjaga

Ingin kukatakan padamu, kekasih, berjalan sajalah! Jangan ragukan dan jangan takutkan, sebab percaya telah kubekalkan dalam kisah-kisah kita menuju cahaya.  Padamu, bukankah telah kerap kuucapkan sebuah keinginan untuk selalu bersama. 

Berpisah untuk kembali satu pada akhir yang bahagia, katamu. Masih saja tak kumengerti yang melintas dibenakmu itu. Sementara di suatu pagi, di awal cerita bukankah telah kau kumandangkan bunyi, merupa permintaan, “bantulah aku menjaga cinta kita.”

Jadi hendak apalagi yang kita minta, duhai, kekasih? Genggamlah erat dan percaya. Bersama-sama kan kita jaga.



Jakarta, 23 Juni, 2011

picture from here

Wednesday, June 22, 2011

Cintaku

: Gema


Seperti ombak bergulung-gulung
Tak habis-habis menyapa
Pantaimu



Jakarta, 22 Juni, 2011


Sepotong Tubuh

Oleh: Oka Rusmini


PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang panjang. Aroma bunga cempaka berhamburan, berlompatan dan turun dari keping rambutnya yang mulai rapuh.

"Aku ingin menari. Bisakah? Adakah tempat untukku menari? Aku masih memiliki tubuh. Setiap lekuknya kupersembahkan untuk Tuhan!" 

Dia menyanyikan kidung yang indah. Begini bunyinya. Alahu kumarem maremkan santonyakaremDuremkem sermemiymbcde seremkybbbbBeremkem senem geremdem bademrem. Entah apa artinya, tetapi orang-orang kampung senang mendengar suaranya yang indah. Dialah satu-satunya perawan suci di kampung itu, tempat para perempuan mengadukan nasib mereka. 

"Kau jelmaan dewi, tolong aku, lelakiku tak habis-habisnya mencangkuli tubuhku. Lihat!" 

Perempuan dua puluh tahun itu membuka kebayanya, puting susunya hampir lepas. Lehernya yang jenjang penuh gigitan. Punggungnya yang kurus dipenuhi tulang-tulang yang menonjol, penuh keratan. Kau bisa menyaksikan sapu lidi, potongan kayu, juga ada runcing pisau, dan paku. 

"Lelakiku berniat memakan tubuhku, tolong aku!" Perempuan itu bersimpuh, mencium lantai tempat perempuan setengah baya itu duduk. 

"Aku ingin menari? Kau ingin melihatnya?"

"Aku tidak ingin melihat pementasan tari. Katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku sudah tidak tahan. Lelaki itu terus memahat tubuhku. Aku bukan kayu, dan tidak ingin jadi patung hidup!"

"Pernahkah kau telanjang?""Apa maksudmu?""Aku bertanya padamu! Pernahkah kau telanjang?!"

"Pertanyaan apa itu!"

"Aku hanya ingin jawabanmu. Kalau kau minta tolong padaku, kau juga harus jujur menjawab pertanyaan yang kuajukan padamu. Hanya perempuan tolol yang tidak mengerti bahasa!"

"Aku sedang susah. Aku perlu bantuanmu. Aku capek mendengar pidato! Orang-orang di luar sudah sering meracau. Apa kau juga ingin belajar pidato? Di jalan-jalan kutemukan mulut-mulut terbuka. Ratusan suara muncul, tak mengubah apa pun. Tolong, jangan beri aku kotbah!"

"Aku tidak sedang berkotbah. Aku hanya ingin telanjang."

"Untuk apa?"

"Untuk menutup mulut para lelaki yang membuatku muak. Kau pikir aku tidak sumpek! Radio isinya kotbah, televisi juga. Hotel-hotel dipenuhi orang-orang yang membuka mulut mereka lebar-lebar. Kau pernah melihat para manusia itu memiliki mulut yang lebih besar dari tubuh mereka, bahkan kulihat mulutnya memakan kepala." 

"Hyang Jagat! Sungguhkah itu?!" 

"Iya. Aku melihat orang-orang di jalan berhimpitan, karena jalan raya sudah dipenuhi oleh tumpukan kertas seminar, huruf-huruf yang berlarian di trotoar. Aku sesak nafas!"

"Hyang jagat!"

"Makanya aku ingin telanjang, mungkin aku bisa membersihkan bumiku ini dari tumpukan suara-suara itu, aku akan menelannya."

"Dengan telanjang?"

"Iya. Kau mau ikut?"

"Aku seorang istri, aku akan berdosa bila mempertontonkan tubuhku di jalan! Apa kata Tuhan?"

"Tuhan tak pernah bersuara."

"Aku takut dosa."

"Pernahkah kau telanjang?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Aku ingin jawaban, pernahkah kau telanjang di depan orang lain?"

"Ya!"

"Kau senang melakukannya?"

"Rasanya tidak."

"Untuk siapa?"

"Lelakiku."

"Lelaki yang memahat tubuhmu ini?"

"Ya."

"Maukah kau telanjang untuk orang lain?"

"Lelakiku akan membawakan parang, lalu menebas kepalaku. Aku akan mati, jangan suruh aku melakukan itu. Di tubuhku, ada potongan daging yang baru tumbuh, usianya baru dua bulan."

"Kau harus ajak daging hidupmu itu telanjang."

"Tetapi dia masih potongan daging!"

"Itu yang bagus!"

"Besok, ketika matahari terbenam kau boleh datang padaku. Kau bisa lihat tubuhku. Kau mau?"

"Melihat tubuhmu?"

"Ya. Aku ingin menari telanjang."

"Apa menariknya tubuhmu?"

"Kau ingin menyaksikan tubuhku menelan sampah huruf-huruf yang ditebar orang-orang di luar itu kan?"

"Kau akan telanjang? Bukankah kau perawan suci tempat para perempuan mengadukan nasibnya?"

"Aku juga memiliki keinginan. Kau perempuan tolol! Apakah tubuhmu hanya untuk lelakimu? Tidakkah kau ingin bersedekah pada kosmis dan membiarkan kosmis juga menyaksikan aroma tubuhmu?"

"Kupikir kau mulai gila!" 

Perempuan muda itu menggigil. Telanjang di trotoar? Sambil menari? Bukankah itu ide gila!Hyang Jagat! Apakah perempuan di negeri yang penuh carut marut ini juga mulai gila! Perempuan itu berjalan ke luar. Benar saja, setiap dia berpapasan dengan mahluk, sepertinya dia benar-benar kaget. Mereka tidak memiliki telinga. Wajah mereka datar, mata mereka kosong. Tanpa malu-malu mereka telanjang, melepaskan seluruh serat yang menempel di tubuh mereka. Perempuan muda itu mencium bau bunga cempaka.Hyang Jagat! Tiba-tiba aja dia merasa ada yang mau melepaskan pakaiannya secara paksa, dia berteriak! Dan terus berlari!


picture from here

Perawan setengah baya itu mengusap rambut panjangnya. Membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Dia memejamkan mata sambil menghirup kuncup bunga mawar yang mulai merekah persis di depan jendela. Harum bunga itu begitu menggairahkannya. Dia merasa tubuhnya mulai berair. Helai-helai rambutnya mengusap seluruh bagian tubuhnya. Perempuan itu memejamkan mata.

"Apakah aku akan hamil?"

"Kau mau?"

"Ya, aku ingin hamil. Merasakan sebuah cairan bisa memecahkan dagingku. Apakah ada cairan yang begitu hebat! Konon tubuhku juga berasal dari cairan itu? Tetapi Karna tidak memerlukan cairan untuk lahir. Bisakah aku melahirkan anak tanpa memecahkan tubuhku, seperti Kunti melahirkan Karna?"

"Kau bukan Kunti!"

"Kami memiliki kesamaan!"

"Apa?!"

"Kami sama-sama perempuan!"

Suasana hening. Perempuan itu memejamkan matanya, lalu mengusap tubuhnya dengan udara pagi yang memiliki beratus-ratus tangan. Perempuan itu menggeliat, begitu banyak tangan mengusap tubuhnya. Dia merasakan kehangatan yang dalam, dia merasa dicintai dan dikasihi. Tiba-tiba saja dia ingat pada ibu! 

"Ibu, kaukah itu?"

"Kenapa, kau takut?"

"Tanganmukah?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Untuk apa? Kau suka sentuhanku?"

"Aku merindukan kau!"

"Jangan cengeng!"

"Tidak bolehkah perempuan menangis?"

"Tidak! Aku juga tidak suka mendengar suaramu yang merengek seperti itu. Tolol!"

"Di depanmu tidak bolehkah aku menangis?"

"Tidak!"

"Tetapi aku ingin menangis!"

"Aku akan pergi! Aku tak pernah mengajari kau kecengengan!"

Perempuan itu terdiam. Ya, ibu memang tidak pernah menangis, dia pernah menyaksikan aji membawa perempuan muda, memasukkan ke rumah dan memeliharanya tiga hari. Ibu tidak pernah menangis, beratus-ratus perempuan muda selalu datang dan pergi, memandang ibu dengan penuh ejekan. Ibu tetap tanpa ekspresi, sibuk majejahitan, atau mempersiapkan rangkaian sesaji untuk merajan. Kerja ibu hanya berkutat dengan benda-benda itu. Kadang terpikir oleh perempuan itu, apakah ibu memiliki kekasih para leluhur? Apakah ibu bercinta dengan mereka? Ibu tidak pernah menunjukkan kelaparannya sebagai istri? Sorot mata ibu tetap ingin.

"Ibu, pernahkah ibu memiliki keinginan?"

"Tentu."

"Apa?"

"Aku ingin kau tidak cengeng. Hanya perempuan tolol yang selalu mengeluh dengan hidup. Hidup itu harus diajak bertarung. Kau harus mampu bersabung dengannya. Kalau kau menang, itulah nikmatnya menjadi perempuan!"

"Apa artinya itu?"

"Cari sendiri, kelak hidup sendiri yang akan menuntunmu!"

Ibu tidak pernah berkata lembut. Suaranya tegas, bahkan cenderung kasar, padahal dia seorang rabi, istri terhormat. Tetapi ibu memang tidak begitu peduli dengan simbol-simbol kehormatan itu. Bagi ibu, bagaimana dia bisa tetap hidup dan mendidik anak-anaknya! Mungkinkah ibu memiliki kekasih para dewa? Dewa siapa yang mau menjadi kekasih ibu? Habis, ibu tidak pernah berhenti ke merajan. Jangan-jangan ibu bercinta di balik tembok pelinggih, atau di atas bunga kamboja, atau di bawah guguran bunga-bunga itu?

"Aku ingin telanjang!" 

Perempuan itu berteriak. Mengurai rambutnya, memandikan tubuhnya dengan kembang. Lalu di bukanya jendela lebar-lebar, dia meloncat, menari, dan berjalan di trotoar, sambil memunguti tumpukan huruf-huruf memasukkannya ke mulut. Semakin terik matahari semakin banyak perempuan mengikuti dirinya, mereka telanjang! Menelan huruf-huruf. Hyang Jagat, mereka hamil! Apa mereka akan melahirkan Kurawa? 



Denpasar, Juli 2002 


picture from here


Dalam Hening

dalam hening di ruang sempit itu
katakata menjelma kebisuan
pada kita.  tatap menjadi
ciumcium yang menggairahkan
sementara saksi hanyalah temboktembok batu
dan derit miris jendelajendela berangin
sampai kita lelap di kasur,  menyerap
dingin lantai yang merayap semalaman.
ah, kita betapa…
kehilangan katakata


Jakarta, 22 Juni, 2011



Tuesday, June 21, 2011

Ada Kalanya Kau Harus Berhenti

terkadang senja yang tenggelam tak bisa kau rengkuh lagi indahnya. ia telah mengantarkan malam kepadamu. dan mau tak mau kau harus hadapi gelap. malam tak selalu berbintang, kadang menjadi begitu dingin. namun jika tak pernah kau temui, tak kan pernah kau tahu bagaimana kuatnya ternyata kau menghadapinya.

kau bisa (mungkin) menikmati senja di esok-esok hari, di suatu sore lagi, duduk di depan rumahmu, atau mengunjungi jembatan untuk menatapnya, tapi jingga yang datang tidak akan pernah sama.

ada kalanya kau harus berhenti menatap senja dan menagih hangatnya. sebab ada masanya suatu sore begitu muram untukmu. ketika senja tak ingin lagi menyapa dan petangmu ialah hanya awan mendung yang abu-abu dengan gerimis yang tak henti-henti merupa tangismu.

hadapilah malammu. senja tak selalu menjelma hangat yang sama --seperti yang kau mau--.



Jakarta, 21 Juni, 2011


picture from here

Monday, June 20, 2011

Aku Percaya Saja

mungkin denganmu tidak selalu menyenangkan. mungkin jalanan kita terjal, meski sekarang yang kerap kita kunjungi ialah taman-taman bunga. bekalku padamu, hanya percaya, sayang. sebab dengan percaya membuat bahagia. dan sebab aku bukan filsuf yang selalu memulai dari tidak percaya, karena mereka mencari kebenaran bukan kebahagiaan.  

tapi tau kah, kau, sayang? rasanya akan lebih menyenangkan jika bahagia datang bersamaan dengan kebenaran, kejujuran serta, sepertinya.

padamu, kukatakan, "kuberikan seluruh percayaku." agar kau ingat selalu untuk tak mengecewakanku. meski pernah juga kau katakan, "aku menyimpan banyak lubang, hati-hatilah saat berjalan."

perjalanan ini kusertai doa-doa, aku percaya saja, nanti membawa kita ke sebuah tujuan yang menyenangkan.

semoga.



Jakarta, 20 Juni, 2011


pic from here

Di Pantaiku

tak perlu kau mengerti tiap butir pasir di pantaiku
atau coba membaca debur ombak yang mengirimmu

di sana
rebah saja, bersarang
kupeluk kau selamanya



Jakarta, 20 Juni, 2011


picture from here

Hujan Masih Belum Berhenti

baru saja menjelma bunga tunastunas yang kutanam
tapi kau kirimkan hujan tak karuan
akan seperti apa lagi rupa kecewa
kelopak kembang luluh lantak lantas
di taman hati
padahal telah kutitipkan sebagai bekal
dalam perjalanan kita
percaya luar biasa
serta doadoa

hujan masih belum berhenti ternyata
mungkin besok



Jakarta, 20 Juni, 2011


Here Comes Your Man

Outside there's a box car waiting
Outside the family stew
Outside the fire breathing
Outside we wait 'til face turns blue

I know the nervous walking
I know the dirty beard hang
Out by the box car waiting
Take me away to nowhere plains
There is a wait so long
You'll never wait so long....

Here comes your man
Here comes your man
Here comes your man
Here comes your man

Big shake on the box car moving
Big shake to the land that's falling down
is a wind makes a palm stop blowing
a big, big stone fall and break my crown
There is a wait so long
You'll never wait so long....


Hey, here's your man
Here comes your man
Here comes your man 
Here he comes
Here comes your man
Here comes your man



picture from here

this song remind me of you...

Friday, June 17, 2011

Padamu

sayangku padamu seperti kupu-kupu
metamorfosa indah

mengepak tak henti
menabur warna sayap-sayapnya


Jakarta, 17 Juni, 2011

picture from here

Thursday, June 16, 2011

Namanya Fitri

Malam itu di Taman Ismail Marzuki (TIM) saya hanya iseng datang tanpa tujuan pasti. Ada pameran foto Bung Karno di Galeri Cipta II memang. Pameran gratis yang ramai pengunjung, undangan dan wartawan sebab hari itu hari pembukaannya. Namun langkah saya bukan ke pameran itu. Saya menuju warung-warung tenda di sana. Berhenti dan duduk di sebuah tempat makan, lalu seorang anak perempuan datang, memaksa menawarkan semir sepatu. Saya sudah sering ke TIM dan pemandangan seperti itu sudah lumrah. Meskipun mereka tahu sepatu pengunjung yang datang tidak bisa disemir, tapi pasti tetap memaksa.

Saya datang dan makan dengan Gema. Anak perempuan itu menggelendot ke tepian meja dan hanya mengulang satu kalimat yang sama secara terus menerus. "Oom, semir sepatu, oom."  Meskipun sudah ditolak berkali-kali tetap saja dia bergeming di sana. Awalnya saya mengacuhkannya, sampai akhirnya kalimat sama yang dari tadi diulangnya berubah bunyi. 

"Beliin makan dong, Tante."

Saya menoleh kepadanya. Mendadak rasa iba itu muncul. Saya tanya mau makan apa. Nasi Goreng Ayam dan Es Jeruk yang dipilihnya. Lalu setelah memesan makanan untuk kami, dia duduk dan diam saja.

"Kamu ngapain di sini?"
"Main aja."
"Main kok tapi minta semir sepatu orang-orang. Kerja ya?"

Dia tersenyum tapi menundukkan wajahnya.

"Udah lama ya main di sini?"
"Iya."
"Setiap hari?"
"Iya."
"Emangnya gak sekolah?"
"Sekolahnya siang."
"Di mana?"
"Di Kenari."
"Kelas berapa?"
"Kelas 5."
"Rumah kamu di mana?"
"Di Kali Pasir."
"Diajakin siapa main ke sini?"
"Diajak temen."
"Ibu kamu di mana?"
"Di rumah."
"Gak diomelin main sampe malam gini?"

Dia lagi-lagi cuma tersenyum sambil menunduk.

"Ibu kamu kerjanya apa?"
"Tukang cuci."
"Bapak kamu kerja juga?"
"Iya."
"Kerja apa?"
"Cleaning service."
"Ooh... terus sekarang kamu di TIM sama siapa?"
"Sendiri aja."
"Punya adik ga?"
"Punya."
"Berapa?"
"Dua."
"Sekolah juga."
"Iya. Yang satu kelas tiga SD, tapi yang satu masih kecil banget."


Ketika makanan kami tiba, dia makan dalam diam. Saat Gema menggodanya dengan berkata makannya harus balap-balapan dengan saya, siapa yang belakangan habis maka dia yang harus bayar, dia lagi-lagi cuma tersenyum sambil menunduk. Lalu matanya melihat ke arah sesuatu di belakang kami. Ia tertawa. Saya menoleh. Seorang perempuan mengintip dari belakang sebuah mobil dan buru-buru menyembunyikan dirinya ketika saya menoleh ke arahnya. Dia menggendong bayi. Dan ada seorang bocah lelaki yang tetap berdiri di sana.


"Ibumu, ya?"
"Iya."
"Itu adik kamu?"
"Iya."
"Panggil aja ke sini."

Bocah laki-laki itu menghampiri kami sambil menggendong seorang bayi. Wajahnya meringis. Saya tidak dengar pasti apa yang dikatakannya kepada anak perempuan itu, terdengar hanya seperti gerutuan atau keluhan. Tangannya memegangi pipinya.

"Sakit gigi, ya?" tanya saya.
Ia mengangguk dan matanya berkaca-kaca.
"Mau minum obat gak?"
Bocah laki-laki itu menggeleng. Dari saku celananya ia mengeluarkan segumpal uang kertas dan recehan yang awut-awutan.

"Udah dapet duapuluh ribu. Pulang aja yuk." katanya kepada kakaknya itu.

Lalu anak perempuan itu berkata kepada saya, meminta makanannya dibungkus saja untuk dibawa pulang. Setelah penjual di sana selesai membungkus makanannya, ia lalu pamit pulang. Langkahnya gontai sambil menggendong bayi di tangannya dan seorang bocah laki-laki yang meringis mengikutinya dari belakang.


--------------------------

Ibunya juga ada di sana. Saya tidak mengerti kenapa dia bersembunyi ketika saya melihat ke arahnya. Malu mungkin. Ibu dan bapak anak itu bekerja. Tapi tetap mempekerjakan anak-anaknya pula sampai larut malam. 

Masih banyak hal-hal yang tidak saya mengerti tentang kehidupan, mengenai peran-peran yang dibagikan Tuhan, dan bagaimana semua pelakon itu berjalan dalam sebuah kisah. ...dalam peristiwa kecil sekalipun tidak ada yang terjadi karena kebetulan* Pertemuan saya malam itu dengan anak perempuan tersebut memberi satu hal lagi setidaknya, pemahaman saya mengenai arti hidup.



* Dari Kafka On The Shore


Wednesday, June 15, 2011

Sepi Mencekam

kesepian kemudian merambat
menjadi sulur pada tembok tembok dalam ruang sempit itu
kesedihan yang dalam
sepanjang jalan-jalan yang ruwet bising
mendadak tidak normal rasanya
pikiranmu membelah
bahagia dikirimkan di satu sisi
sementara sengsara menggigit perlahan
menggerogoti pelan-pelan

jiwa-jiwa yang kosong
letih dan ingin mati
memejam mata yang tak habis-habis
tidur dalam hitam
hembus napas-napas lelah
sepi bisa begitu mencekam ternyata



Jakarta, 15 Juni, 2011


Tanpa Diundang

Kutulis ini untuk seseorang. Yang kepadanya ingin kutitipkan masa depan. Seseorang yang datang tiba-tiba tanpa diundang.*


Lelaki yang mengirimkan senyuman setiap hari, di sela-sela pagi, di antara detik yang gulir, atau ketika senja yang jingga menyambut malam. Lelaki yang datang sebagai kiriman Tuhan, sebagai hadiah. Sosok yang hadir tanpa pernah kubaca isyaratnya. Tiba-tiba saja ia di sini, padaku menjelma. Tak sekedar hinggap tapi membuat sarang.

Dengannya segala mendadak penuh tawa. Langit berhias pelangi dan setiap hari menjadi musim semi. Padanya kuletakkan lagi segala percaya. Menumbuhkan tunas-tunas baru yang pernah beku dan membiarkannya menjulang, merimbun helai-helai penuh cinta. 

Lelaki yang membaca puisi di dini malam perjalanan kami, di dalam dekapan, di antara angin dingin yang menghembus. Dan kata-katanya menjelma selimut, menghangatkan. Laki-laki yang menyebutku perempuan bermata kaca dan selalu meminta cerita.

Laki-laki yang mengatakan tetap sayang meski aku izin untuk bertingkah menyebalkan seharian.

Dan tidak akan kulupakan sebuah malam. Di atas gedung itu, ketika Jakarta dipandang dalam gelap yang berkilauan. Ketika suka diucapkan hanya sebagai pernyataan. Sorot matanya. Lalu, senyumnya. Dan malam dihabiskan pada ramainya sebuah taman kota.

Tak pernah kubaca isyarat. Tanpa diundang. Tiba-tiba saja kau menjelma padaku.


I love you like never before....



* Dari The One-nya Mba Enno

Go!

Go
at least once a year
to a place you have
never been before



Menjelma Surga

kutumbuhkan lagi tunas-tunas percayaku
kutitipkan padamu
di helai-helai rambutmu
bahumu yang hangat senja
dan dadamu yang gelora
juga mata yang mengolam
jemari yang tak kunjung padam
menggenggam
jagalah
agar senantiasa ia kembang
rimbun berbunga
dekapmu menjadi pupuk
menjelma
surga-surga


Jakarta, 15 Juni, 2011


pic from here

Hey, I'm Fine!

Well, hear, everyone... Let's make it clear!

Berita itu sampai pada saya Senin malam lalu. Mba Nova, mantan supervisor saya di tempat kerja lama yang memberitahukannya lewat Blackberry Messanger (Bbm).


"Mei, Mas Hanis udah nikah."
"Oh, baguslah. Gak gangguin hidup gw lagi dong, hehe!"
"Dia baru cerita tadi ke gw. Sama si Acha itu."
"Iya lah, mau sama siapa lagi emangnya?! Gw kira baru pacaran aja sih, soalnya lagi seneng pamer foto berdua di Bbm-nya. Ya udah, Mbak, bagus deh. Biar tenang hidupnya."
"Lo gpp kan, Mei?"

Pertanyaan semacam itu juga yang ditanyakan sejumlah teman yang iseng-iseng saya kabari tentang cerita itu. "Lo gapapa, kan?" Memangnya saya ini harus kenapa? Oke, begini... Dia mantan pacar yang baru tiga bulan lalu putus dengan saya. Saya yang memutuskan hubungan kami setelah dua tahun. Lalu sekarang setiap orang menanyakan apakah saya baik-baik saja? Apakah saya tidak sedih? Nelangsa? Merana?

Ada dua orang teman yang dekat sekali yang menanyakan hal ini kepada saya. Pertanyaan tentang perasaan-perasaan itu. Saya jadi tertawa. Duh, kalian! Kalian itu kan korban-korban yang menjadi tempat saya bercerita setiap waktu, tapi sekarang malah menanyakan hal itu? Memangnya gak kenal saya ya?! Apa saya ini terlihat seperti orang sedih karena ditinggal kawin? Yang memutuskan hubungan kemarin itu pun saya dan (seharusnya sih) kalian tahu persis bagaimana perasaan saya. Hey, I'm fine! So, stop asking me about those feeling!

Ini ungkapan jujur dari hati saya. Saya tidak sedih, tidak kecewa, kaget sedikit memang. Bukan kaget karena dia menikah sebenarnya, tapi lebih karena waktunya, kok cepat sekali. Saya tahu dia orang yang akan berusaha keras mencapai target yang dia mau. Keinginannya memang menikah sebelum bulan puasa tahun ini. Kalau saya hubungkan dengan cerita yang saya tahu memang rasanya wajar. Dia harus pindah ke Bali untuk pekerjaan barunya, wajar saja dia ngebut pengen nikah sama perempuan Jogja ini, supaya bisa langsung diboyong ke sana. Toh kemarin pun hanya ijab kabul dan resepsinya menyusul setelah Lebaran nanti.

Soal jodoh saya sangat percaya dengan ungkapan "jodoh ditangan Tuhan" atau pun "tak kan lari jodoh dikejar." Berapa lama kalian menjalin hubungan dengan seseorang, berapa jauh rencana kalian, kalau memang bukan jodohnya saya percaya pasti ada saja cara Tuhan untuk menjauhkannya, begitu pula sebaliknya. Jadi, teman-temanku, jangan kirim bbm pada saya lagi hanya untuk bertanya apakah saya sedih atau tidak. Buat apa pula saya sedih, saya juga sudah punya pacar baru. :D





PS: Adis, don't you remember about the Bbm that I sent to you in the morning when I just want to say "I am so happy now"?



Tuesday, June 14, 2011

Tanpa Alasan

kadang
aku ingin membencimu
tanpa alasan

penjara kata-kata
dan aku tak tahu
hendak bagaimana


Jakarta, 14 Juni, 2011


pic from here

With You

Like in a dream
It's kind of weird
But everything can be happen

Having great time
Walking down the street
In a journey
We are together
Hand in hand
Be free, be crazy
Speak up our mind
Scream to the air, jump to the sea
Laugh to the world
There's no end

As the night went on,
And I'm melting down
You're like summer breeze

With you, I don't even know how to be alone
I'm just amazingly happy

That's all.


12 Juni, 2011

Milkshake

daydream delusion
limousine eyelash
oh baby with your pretty face
drop a tear in wineglass
look at those big eyes
see what it means to me
sweetcakes and milkshakes

i'm delusion angel
i'm fantasy parade

i want you to know what i think
don't want you to guess anymore
you have no idea where i came from
you have no idea where we're going

lodged in life, like branches in the river
flowing downstream caught in the current

i carry you, you carry me
that's how it could be

don't you know me
don't you know me by now.. 



*A poetry from Before Sunrise


Monday, June 13, 2011

We Met

Setelah perkenalan pertama kami, saya sudah beberapa kali bertemu dengan Mbak Novi. Akhir pekan lalu saya kembali janjian bertemu dengannya setelah sempat batal ketemu karena Tante Dosen ini tepar karena sakit, hehe... Rencana awalnya kami hanya akan bertemu berdua, tapi kemudian rencana berubah, Mbak Ayu juga akan ikutan dalam pertemuan kami kemarin.

Saya mengenal Mbak Ayu sejak beberapa bulan lalu, tapi tidak pernah bertatap muka langsung. Pembicaraan kami selama ini hanya berlangsung via Facebook. Mbak Novi dan Mbak Ayu saya kenal secara tidak langsung melalui dosen saya, Asep Sambodja (Alm.). Mbak Novi adalah teman sekelas Pak Asep waktu S2 di FIB UI dan sekarang menjadi dosen di IAIN, Ciputat. Mbak Ayu adalah teman  seangkatan Pak Asep saat kuliah dulu di FIB UI, pernah menjadi dosen di jurusan Sastra Indonesia FIB UI selama delapan tahun dan sekarang mengajar di Universitas Udayana, Bali dan sedang menyelesaikan studi S3 nya di UI. Mbak Ayu juga seorang penyair, buku kumpulan puisinya tidak lama lagi akan terbit, kabarnya.

Perkenalan kami justru terjadi setelah Pak Asep tiada. Saya kadang selalu merasa dipertemukan dengan orang-orang tertentu dengan cara yang ajaib. Saya anggap ini adalah cara Tuhan. Dengan mereka berdua inilah saya terus mengingat sosok almarhum dengan cara-cara yang menyenangkan.


"korban-korban" Asep Sambodja. Ki: Mbak Ayu, Ka: Mba Novi


Forgiven Not Forgotten

Pagi ini saya menemukan komentar terbaru pada tulisan saya yang berjudul "Maling". Jujur saya agak kaget karena ternyata yang memberi komentar ternyata si Halimah, perempuan Sukabumi yang menjiplak tulisan saya dalam blognya. Beberapa hari lalu setelah menemukan dua orang yang mencuri tulisan saya dan mengaku-akui sebagai miliknya, saya memang merasa kesal sekali. Saya sampai menulis beberapa tulisan hanya mengenai maling-maling tersebut. Lalu teringat komentarnya Mbak Ayu di Facebook saya mengenai tulisannya Mba Novi kepada saya tentang maling-maling itu, katanya menulis di internet atau di blog memang rawan sekali untuk dicuri, itu sebuah resiko yang wajar. Jadi saya berusaha untuk tidak emosi lagi kalau mengingat kejadian itu. Saya pikir ya sudahlah. Emosi saya sudah dikeluarkan melalui tulisan-tulisan di dalam blog ini.

Tadi subuh seorang teman saya, Iboy, menuliskan sesuatu di Facebook. Luapan kekesalannya juga setelah baru semalam membaca blog saya, katanya. Tapi saya sudah biasa-biasa saja menanggapinya, memang sudah resiko. Tapi pagi ini kok saya rasanya jadi kesal lagi ya, setelah membaca komentarnya si Halimah ini. Mungkin kurang lebih rasanya sama seperti  Mbak Gita, si maling yang ditegur malah kesal balik dan ngomel balik kepada kami yang menjadi korban pencuriannya. Lha, saya kok jadi bingung ya?! Yang maling siapa sih sebenarnya?!

Halimah menulis : maaf mentari, saya kira kata2 u terlalu berlebihan. saya minta maaf karena mang itu salah saya,blog itu hanya blog percobaan hingga saya juga baru ngecek lagi hari ini, waktu itu saya masih beljr2 ngeblog, jdi blum tahu bgaimana ngelink, bagaimana etika di dunia maya,bgaimana menghargai pemikirn org,lgian deskripsi itu sudah diganti. jadi maaf sekali lagi 

dan disusul komentar berikutnya: oya maaf bisa di hapus postingan ni nya?saya kan dh menghapus blog saya itu. 

Well, hear...  Halimah, saya sudah memaafkan kamu. Setidaknya kamu menanggapi komentar yang saya kirimkan di blog kamu dan meminta maaf kepada saya. Tapi begini ya, saya tidak akan menghapus tulisan apa pun di dalam blog saya ini. Sudah banyak yang membaca tulisan saya dan seperti selalu saya bilang kepada siapa pun, blog ini blog saya, jadi suka-suka saya mau menulis apa. Selama saya tidak menjiplak mentah-mentah tulisan orang lain, tidak ada yang berhak mengatur saya untuk menghapus tulisan-tulisan saya sendiri. Seperti juga yang telah saya tulis pada komentar balasan saya untuk kamu, kalau kamu merasa sudah menghapus tulisan saya di blog kamu, memang seharusnya begitu kan? Karena tulisan itu memang bukan milik kamu. Tapi apa yang tertulis di sini adalah milik saya sendiri, jadi tidak perlu saya mematuhi perintah kamu.

Menghapus tulisan saya tentang kamu itu artinya bisa saja meminta saya melupakan hal tersebut. Atau berusaha agar orang-orang lain yang telah membaca tulisan tersebut melupakannya. Menghapus tulisan artinya melupakan jejaknya. Tulisan saya di sini untuk pelajaran, bukan hanya bagi kamu, tapi juga untuk para penjiplak lain di luar sana. Atau setidaknya orang-orang yang membaca tulisan saya akan tahu harus bagaimana beretika di dunia maya. Lucu sebetulnya bagi saya di saat kamu meminta maaf tetapi tetap saja disertai oleh penyangkalan dan alasan-alasan yang agak konyol kedengarannya. Seperti kamu bilang blog itu hanya blog percobaan, lalu apa karena masih percobaan lantas sah-sah saja "mencoba-coba" untuk jadi plagiator?! Belajar menulis bagi saya adalah sebuah proses. Bagaimana bisa menulis yang baik kalau awal pembelajaranmu saja sudah diawali dengan mencontek? Dengan cara yang salah? Belajarlah menulis dengan ide dan pemikiran kamu sendiri, tapi berkreasilah dengan inspirasi dari mana pun. Saya rasa itu cara yang paling baik untuk menghasilkan tulisan yang bercirikan kamu sendiri. 

Saya memaafkan tindakanmu dan menerima maafmu, tapi bukan berarti saya melupakan begitu saja. Permintaan maaf bukan berarti saya lantas akan mentolerir kelakuan-kelakuan semacam ini lagi. Mengutip tulisan Mbak Enno, saya hanya sedang memperjuangkan karya saya untuk dihargai dan dihormati sebagai milik pribadi saya sendiri. Terima kasih.


Friday, June 10, 2011

Seperti Angin

dan kamu tiba-tiba saja menjelma angin sore, menyapa daun-daun tua yang kesepian, menguning dan hampir gugur di pucuk dahan itu. helai-helai daun yang hampir kehilangan percaya, tak berdaya.

seperti juga angin, kau mengantarkan sejuk, hingga aku senang berdansa dalam bola matamu yang serupa kolam. tak habis-habis menggenang, bayangku padamu.

Pic from here

Thursday, June 9, 2011

Someone Noticed (at least)

Masih tentang maling-maling yang mencuri tulisan saya. Pagi ini saya membuka lagi blog si Fallon itu, lelaki dari Bandung yang meng-copas begitu banyak tulisan saya dalam blognya dan diaku-aku sebagai miliknya. Saya temukan sebuah komentar dari seseorang yang bernama Seperti Angin, tertulis:


"saya pernah melihat tulisan di atas di perempuanbulanmei.blogspot.com.. Puisi ini tentang penulisnya yang perempuan, kembar, dan mereka lahir di bulan mei?

Apa Anda juga kembar dan lahir di bulan Mei?
beberapa tulisan anda juga mirip sekali dengan tulisan2 dari perempuanbulanmei.blogspot.com...."


Saya sendiri tidak mengira ada juga orang yang ngeh bahwa tulisan-tulisan itu bukan milik si Fallon. Mungkin si Seperti Angin itu pernah mengunjungi blog saya juga, jadi dia sadar tulisan di blog si maling itu mirip sekali dengan tulisan saya. Well, thank you, Seperti Angin, walaupun interpretasinya terhadap tulisan saya yang berjudul "Dua Perempuan Hujan" berbeda jauh (saya memang perempuan, kembar, dan lahir di bulan Mei, tapi perempuan hujan yang satunya lagi yang saya maksud bukan kembaran saya, hehehe), setidaknya kamu telah berkomentar terhadap tulisan itu. Dengan banyaknya komentar yang dikirim dalam blognya, mungkin dia akan sadar atau memberi tanggapan setidaknya terhadap apa yang telah dilakukannya. 



Wednesday, June 8, 2011

Beware! Thief is Everywhere

Sintiiiiinggg.....!!!! Saya mendadak emosi jiwa. Siang ini saya masih iseng-iseng mencari-cari pencuri yang bergelut di dunia maya (blog), setelah menemukan seorang pencuri tulisan saya kemarin sore. Tadi pagi saya beberapa kali meng-copas sajak milik saya di mesin pencari Google, tapi tidak keluar entri-entri "aneh." Lalu siang ini tiba-tiba saya terpikir untuk meng-copas salah satu puisi saya di mesin pencari Google, dan taraaaa......

Pencuri ternyata ada dimana-mana. Saya, yang tadi pagi sudah cerita lewat BBM ke teman saya, Adis, tentang pencuri tulisan itu. Siang ini saya jadi mencurahkan amukkan saya ke dia lagi. Dia ikutan kasih komentar untuk tulisan-tulisan saya yang di-copas oleh orang tersebut. Sayangnya komentar yang dikirim harus dapat approval dulu tampaknya dari pemilik blog, jadi saya rasa kemungkinan besar dia akan menghapus komentar Adis.


Okee, begini awalnya.... Saya iseng mengkopi puisi saya yang berjudul "Di Kotamu Semoga Kau Ingat Aku," tidak perlu sampai membuka halaman kedua dari hasil pencarian mesin Google, sudah muncul sebuah entri yang bukan milik saya lagi. Alamatnya: http://fallonakbar.blogspot.com. Ini sih betul-betul bikin saya emosi ke ubun-ubun. Gila nih orang! Begitu saya lihat tampilan blognya, banyak banget tulisan saya yang di-copas di sana, kemudian dengan pede-nya ditulis By: Fallon. Helloooo.... Maling kok percaya diri banget ya?!

Ini tampilan profile pemilik blognya, lihat deh foto perempuan di jendela yang persis sama dengan gambar di blog saya

banyak sekali judul tulisan saya yang di-copas olehnya


Nama Facebook pemilik blog ini adalah Fallon Chozza Angga. Tampilan foto di dalam blognya --bagian my profile-- bahkan persis sama dengan gambar yang saya pakai pada blog saya, padahal maling yang satu ini berjenis kelamin laki-laki, kok pasang foto perempuan. Memang, dia menuliskan dalam salah satu gadget blognya yang diberi nama "inspirasiku," seperti ini :

ketika awan mendung, aku akan berlari keluar, bertelanjang kaki dan menari bersama rinai hujan. Dalam basah akan kutemukan inspirasi, maka pada kata-kata ini kukristalkan dingin kisahnya.
-perempuan hujan, kau inspirasiku-


Duh, mas, om, dik atau siapa lah situ pokoknya meskipun kamu menulis "perempuan hujan, kau inspirasiku," saya kok tetap gak senang ya kalau katanya saya sebagai inspirasi kamu tetapi begitu banyak tulisan-tulisan saya yang kamu klaim sebagai milikmu. Setiap tulisan yang kamu curi lalu kamu tuliskan "By Fallon," itu artinya kamu mengakui tulisan orang lain sebagai milikmu. Kalau memang terinspirasi buat saya tidak sama artinya dengan menjiplak mati-matian tulisan orang lain. Tulisan saya yang menginspirasi kamu harusnya bisa melahirkan tulisan lain, yang berciri kamu sendiri. 

Bukan hanya itu, beberapa label pun kamu tulis persis seperti milik saya, ada 'Genangan Mimpi' dan 'Rinai Hujan' yang pada milik saya bernama 'Rina Pribadi'. Tulisan-tulisan yang ada pada label tersebut semuanya milik saya, bahkan ada beberapa tulisan yang diubah judulnya. Keterlaluan!!! Label-label yang saya buat untuk blog saya semuanya memiliki arti dan alasannya masing-masing. Setiap tulisan bagi saya memiliki klasifikasinya sendiri-sendiri, sebab itu saya membuatkan label untuk setiap tulisan yang saya buat .Tapi kamu membuat label dengan nama yang sama dan hampir serupa, berisi tulisan-tulisan saya, tanpa mungkin mengerti arti dari tulisan itu sama sekali.



Pada profilenya tertulis begini, "ingin menjadi seorang penulis walaupun itu hanya sebuah khayalan."Saya rasa lebih baik memang kamu ngayal aja deh jadi penulis, dari pada jadi pencuri. Hidup gak jadi penulis juga gak dosa kok, gak memalukan, daripada sudah gak bisa jadi penulis malah jadi pencuri. Buat saya malu lahir batin.

Saya memberi komentar pada sebuah tulisannya. Eh, tulisan saya maksudnya, yang cuma kebetulan dikopi gitu deh. Saya tuliskan: bagus-bagus ya tulisannya, mirip sekali dengan punya saya. hmm, saya kira berkarya dengan kemampuan ide sendiri akan lebih baik dibandingkan cuma mencuri milik orang lain. semoga tetap kamu tetap berkarya tanpa hasil curian.

Blog yang satu ini masih update sekali jika dibandingkan dengan si maling yang kemarin sore saya temukan. Si maling dari Sukabumi itu blognya sudah lama tidak aktif, last posting-nya tertanggal 23 September 2010, namun yang satu ini last posting-nya tertanggal 1 Juni 2011. Saya harap dia membaca komentar yang saya kirimkan di blognya, biar dia sadar. Tulisan-tulisan terbaru milik saya bahkan sudah ada di dalam blognya pula. Bastard!





contoh-contoh tulisan saya yang dicuri