Tuesday, April 26, 2011

Suara Angin

Sudah dua hari ia tidak menghubungiku. Mungkin sedang di luar kota. Ia begitu tertutup sehingga aku tidak pernah tau pasti apa yang sedang dilakukannya. Aku kembali merebahkan badan di kasur. Siang ini begitu terik. Tadinya aku berencana pergi ke toko buku, tapi udara di luar membuat niatku tak terlaksana. Aku pergi ke dapur untuk mengambil limun dingin dari kulkas. Lalu menyalakan komputer. Musik dari Richard Clayderman mengalun mengisi ruangan kosong di kamar ini. Aku teringat sebuah video clip-nya, sudah lama sekali rasanya, mungkin usiaku masih 11 tahun. Video itu menggambarkan Clayderman sedang bermain piano di bawah naungan pohon yang rimbun, di dekat sebuah kolam. Aku membayangkan video dan teringat ia.

Semalam aku sudah tidur saat ia mengirimkan pesan itu. Jadi aku baru membacanya saat terbangun subuh tadi.

"Rindu kamu, Ai."

***

Aku sedang sarapan sereal dan susu pisang pagi itu ketika dia tiba-tiba menelpon.

"Hallo."
"Hallo."
"Hallo?"
"Hallo."
"Hallo?"
"Hallo."
"Apa-apaan sih kamu?"
"Aku hanya ingin mengetes telingamu." Dia terkikik di seberang telepon itu.
"Ada apa?"
"Aku menginap di rumah seorang teman, di pinggiran kota. Urusanku belum selesai."
"Kapan urusanmu selesai kalau begitu?"
"Gak tahu."
"Hmm..."
"Anaknya sedang kugoda."
"Anak temanmu?"
"Iya."
"Bayi kan?"
"Hahaha."
"Apa rencanamu hari ini?"
"Belum tahu. Tidak perlu direncanakan, jalani saja."
"Hmm, begitu ya."
"Ya sudah. Aku meneleponmu hanya untuk memastikan kamu sudah bangun pagi ini, pemalas."
"Hei...."
"Aku hubungi lagi kamu nanti. Dah."
 
Dia memotong sebelum aku menyelesaikan kalimatku dan menutup teleponnya. Aku pergi ke kamar mandi untuk berendam setelah itu. Cuaca belakangan ini membuatku selalu malas kemana-mana, tetapi habis berendam aku memutuskan untuk ke Clay's. Di cafe itu aku meminum Margarita sebanyak mungkin sampai sore hari sambil membaca sebuah buku.


***

Dalam perjalanan pulang aku teringat suatu malam di sebuah musim panas yang menyenangkan. Dia memarkir mobilnya di tepi jembatan sebuah jalan layang. Saat itu sudah hampir pukul dua pagi. Di bawah jembatan itu mengalir sebuah sungai yang lebar. Di sebelahnya terbentang jalur kereta api listrik yang derunya selalu mengingatkanku pada masa lalu.

"Apa yang mau kita lakukan di sini?"
"Memandang bulan." Ia melipat tangannya diatas tepian jembatan itu lalu matanya menatap langit.
Aku juga melipat tanganku, menirunya. Lalu berdiri di sebelahnya sambil menatap langit. Malam itu purnama besar sekali. Bayang-bayang bulan bergoyang di permukaan sungai lebar itu.
"Kamu sering melakukan ini ya?"
"Tidak juga."
"Hei, tau tidak, memandang senja di jembatan ini selalu indah, lho. Aku sering melihatnya dari dalam bus. Selalu berpikir kapan aku bisa berhenti di jembatan ini untuk menikmatinya. Tapi malam ini yang kupandang bukan senja, melainkan lampu malam yang begitu besarnya. Tak kalah indah ternyata."
"Iya, memang indah." Ia berkata tanpa menolehkan wajahnya ke arahku.
"Jika memandang bulan siapa yang melintas dalam benakmu?"
"Entahlah."
"Kenapa sih kamu tidak bicara kalau belum ditanya?"
"Sudah kebiasaan mungkin." Kali ini dia menatapku.
"Menurutku itu kebiasaan yang buruk."
"Oh ya? Aku tidak tahu." Ia kemudian mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyalakannya.

Malam itu kami habiskan dengan makan pizza dan minum bergelas-gelas bir di sebuah kedai yang buka 24 jam, tidak jauh dari jembatan itu. Ia menghabiskan delapan batang rokok dalam waktu dua jam. Setelah itu aku hanya ingat dia mencium pipiku ketika mengantar pulang. 

***

Sejauh ini aku senang tinggal di kota ini meski sendiri. Kota kecil di dekat laut, sepi namun menyenangkan. Meski jika musim panas yang bisa kucium hanya bau asin air laut dan aspal terbakar saja. Jika kamu tinggal dekat dengan perkebunan buah, mungkin saat musim panen kamu bisa mencium wangi buah-buah yang ranum dan enak itu. Atau jika rumahmu dekat padang rumput saat musim panas kamu bisa bermain layang-layang dan memetik bunga-bunga rumput. Tapi musim panas di tepi pantai, bagiku hanya bisa berjemur saja. Sementara aku tidak terlalu suka menggelapkan kulitku. Memang bunyi ombak di malam hari bisa begitu indah dan menenangkan perasaan. Satu hal yang paling menjadi favoritku di musim panas adalah menulis di bawah payung besar di atas pasir-pasir pantai itu.

Di siang hari kadang aku membaca buku, pergi ke taman untuk duduk menulis puisi atau bertemu beberapa teman di sebuah cafe. Berbicara tentang masa saat kami di universitas dulu. Kamu tau, masa-masa itu selalu menyenangkan untuk diingat bagi orang yang menjadi dewasa dalam kesepian. Para orang tua dan banyak orang lainnya sering mengatakan ketika kamu lepas dari univeristas maka itulah dunia sesungguhnya yang perlu dihadapi. Karena perlahan semua orang akan menjauh. Lalu kamu hanya sendiri sesungguhnya. Dan maka pikirku, menjadi kanak dalam diri tak ubahnya seperti menyadari hadirnya sosok ibu setiap saat.

*** 

"Hallo."
"Hai."
"Sudah pulang?"
"Sudah."
"Sudah makan?"
"Belum."
"Kamu suka iga bakar?"
"Suka."
"Kalau begitu temui aku di sini dalam waktu satu jam. Aku tunggu!"
"Hei..."
"Aku tidak mau menunggu terlalu lama." Aku lalu menutup telepon.


Saat ia tiba aku baru saja selesai mengeluarkan kentang panggang dan brokoli dari dalam oven. Bau mentega yang terbakar di atas kentang yang merekah itu menyebar keseluruh ruangan dapur. Ia datang membawa sebotol anggur merah. Aku menyiapkan iga bakar dengan kentang dan brokoli itu di atas meja makan. Namun ia berkata, "Bolehkah kita makan sambil menonton TV saja?" Jadi aku menggeser sebuah meja kecil di depan sofa besar yang empuk dan meletakkan dua piring makan kami. di sana. Sementara itu ia menuangkan anggur merah ke dalam dua buah gelas. Kami menikmati makan malam sambil menonton Love In The Time of Cholera.


Aku bangun keesokan pagi dengan kegerahan di sekujur badan. Matahari sudah tinggi dan ia sudah tidak ada. Aku sendiri tidak ingat kapan ia pulang setelah makan malam kami yang hangat itu.

***

Sudah seminggu setelah malam itu aku tidak bertemu dengannya. Ia hanya beberapa kali mengirimkan pesan pendek di telepon setiap harinya namun selalu berhenti membalas setiap aku tanya ia ada dimana sekarang. "Aku akan menghubungimu setelah aku kembali," katanya. Jadi aku menghabiskan hari-hariku dengan pergi ke perpustakaan, membaca buku sampai sore, minum orange juice sambil memperhatikan orang bermain skateboard di taman kota, dan pergi ke pusat kebudayaan pada malam hari untuk melihat pertunjukan film gratis atau minum kopi sambil mendengarkan para pemuda bermain gitar dan latihan teater.

Aku merasa begitu sunyi belakangan ini. Segala hal yang aku lakukan seperti aku tidak pahami untuk apa. Meskipun pernah rasanya ada yang berbisik, suara angin yang berkata tak ada suatu yang sia-sia. Mungkin saat ini aku tidak memahaminya. Dan entah kapan pula aku mengerti. Tapi memang tak ada yang sia-sia.

***


Dua minggu kemudian dia kembali. Menelponku dan mengatakan ingin bertemu. Jadi siang itu sehabis selesai membaca novel yang sempat tertunda, aku menemuinya di sebuah coffee shop di tengah kota. Waktu aku keluar rumah cuaca masih begitu terik, tapi perlahan awan mendung ketika aku hampir tiba di sana. Ia sudah menunggu di dalam dengan segelas expresso. Aku menepuk bahunya dari belakang lantas duduk di hadapannya. Ia tersenyum. Senyum yang mengingatkanku pada sebuah senja di masa lalu.

Percakapan ringan terjadi antara kami dalam suasana yang dibasuh hujan deras siang itu. Menghabiskan makan siang kami lebih banyak dengan diam. Ia tidak bercerita banyak mengenai perjalanannya kemarin dan terkesan selalu menghindari pertanyaanku setiap aku ingin tahu sebetulnya apa yang ia lakukan dua minggu lalu. "Aku hanya sedang ada urusan sedikit diluar kota, agak memusingkan," katanya. Dengan seorang wanita, kataku dalam hati.
Kami pergi pantai setelah hujan reda hampir sore waktu itu. Berjalan dari coffee shop menuju pantai mungkin sekitar 30 menit. Ia berjalan dalam diam, tidak berbicara jika aku tidak bertanya, jika aku bercerita ia hanya tertawa atau tersenyum sambil sesekali melihat ke arah wajahku. Beberapa kali aku menangkap matanya sedang memandangku. Jika begitu ia segera memalingkan wajahnya dan menatap kebawah. Aku hanya tertawa. "Ai, kita berjalan begini dinikmati saja ya! Anggap seperti jalan-jalan saja. Maksudku ke pantai itu. Tidak perlu sampai di tujuan kan?!" katanya. Aku mengiyakan dan tersenyum kepadanya, meski tidak sepenuhnya memahami maksud perkataannya.

Kami berjalan di atas pasir yang basah oleh hujan tadi. Aku tidak suka pasir saat mereka basah, menempel di sela-sela jemarimu dan lengket. Rasanya tidak enak saat sesuatu yang kau tidak suka terus menempel dan mengikuti sepanjang langkah, kemana pun kau pergi. Aku duduk di tepian sebuah jembatan yang menjorok ke laut. Menggoyang-goyangkan kakiku ke air agar pasir-pasir itu pergi, namun bagaimana pun kerasnya aku mengibaskan kakiku, sebagian dari mereka tetap menempel tak mau lepas. Ia duduk di sebelahku.


"Kenapa kamu terus tertawa sepanjang perjalanan tadi? Mencurigakan."
"Apa yang mencurigakan?" tanyaku sambil tersenyum memandang wajahnya yang memerah.
"Kamu itu, membuatku curiga."
"Bukan apa-apa. Aku hanya merasa begitu bebas saja hari ini. Sudah lama sepertinya perasaan begini tidak pernah mampir lagi."
Ia terdiam, memadangi wajahku. Aku menghelakan napas yang panjang, memejamkan mata. Sesaat aku merasa lega namun kesepian itu merayap lagi.
"Tidak bisakah kita pulang?"
"Sekarang?"
Aku tidak menjawabnya. Aku masih ingin dia ada di sebelahku, duduk dan bercerita. Namun mendadak perasaan itu muncul lagi.
"Kamu akan pergi lagi kah?"
"Iya, sepertinya begitu."
"Aku pasti akan merasa kesepian jika tidak ada kamu." Aku memandang kilau laut yang dikecup senja. Kosong. Dan aku merasa kesedihan tumbuh dari bawah kakiku. "Aku takut," kataku kepadanya.
"Apa yang kau takutkan?"
"Segalanya."

Dengan jemarinya ia mengusap airmataku yang terasa dingin di sudut mata akibat hembusan angin sore itu. Mendekapku. Saat lengannya menyentuh bahuku, seketika aku merasakan kehangatan yang berbeda. Rasa nyaman yang sudah lama menghilang. Ia mendekapku dalam diam. Dan aku menangis. Senja sore itu rasanya hangat sekali dan begitu indah. 

***


Di suatu hari yang bermandikan mentari aku duduk di sebuah taman. Angin sepoi-sepoi dan rumpun bambu di dekat kolam itu bergemerisik. Aku mendengarkan suara angin. Aku tidak tahu apakah ini yang disebut bahagia, tapi perasaanku jauh lebih baik dari beberapa bulan lalu. Aku bisa bernapas dengan lega dan merasa begitu bebas. Dan dari semua itu, aku yakin bahwa segala tiada yang sia-sia, seperti halnya juga mencintai.

Pikiranku melayang pada kejadian di pantai sore itu. Ketika ia mendekapku dalam hangat yang sama seperti sore ini. Sudah hampir delapan bulan berlalu dan aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Ia pergi beberapa hari setelah sore yang kami habiskan bersama. Aku hanya menemukan sepucuk surat yang diselipkan dibawah pintu apartmentku.

"Ketika aku pergi, semua pun akan baik-baik saja dan apa yang terjadi pada hidupmu tiada yang 'kan sia-sia."

 

* Terinspirasi dari "Dengarlah Nyanyian Angin" by Murakami.












No comments:

Post a Comment