Friday, April 1, 2011

Cinta Bisu


          Jam di samping tempat tidur Niki menunjukkan pukul tujuh pagi. Ini hari Sabtu. Terlalu pagi biasanya untuk Niki bangun sepagi ini di akhir pekan. Tapi hari ini berbeda. Bahkan boleh dibilang sejak semalam ia tidak bisa tidur nyenyak.
            Sejak semalam pikirannya terpaku pada satu hal. Hari ini. Pernikahan Lisa akan berlangsung siang ini. Niki bahkan belum yakin apakah ia akan datang ke acara pernikahan itu atau tidak  pakaiannya sudah siap dan rapi tergantung di depan pintu lemarinya. Tapi masalahnya adalah apakah hatinya sudah betul-betul siap untuk menghadapi peristiwa siang ini.

            Lisa, sahabatnya sejak di SMP dulu. Semua kawan mereka dulu selalu bilang bahwa Niki dan Lisa adalah soulmate. Sepertinya tidak mungkin terpisah. Mereka sudah limabelas tahun bersahabat. Niki dari dulu selalu setia mendampingi Lisa. Kemanapun mereka selalu bersama. Saat SMA dan kuliah pun mereka menuntut ilmu di tempat yang sama. Tidak bisa dibilang sengaja, mungkin hanya kebetulan.
            Niki tak pernah mengeluh setiap Lisa datang kepadanya untuk bercerita tentang apa pun. Tentang pria-pria yang disukainya, atau hal lainnya. Walaupun sesungguhnya Niki paling tidak suka jika Lisa bercerita tentang semua pria-pria itu. Tapi bagaimana pun Niki selalu menjadi pendengar yang baik. Terkadang memberi nasihat layaknya seorang ibu kepada anaknya atau terkadang hanya diam membisu hanya mendengarkan.
            Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan. Begitu juga Niki. Limabelas tahun cukup bagi Niki untuk mengenal Lisa luar dalam. Tapi mungkin tidak bagi Lisa. Lisa tidak pernah benar-benar mengenal Niki. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang Niki rasakan terhadapnya. Jika sayang Lisa kepada  Niki sebesar rasa sayang seorang sahabat sejati, maka berbeda bagi Niki. Cinta Niki kepada Lisa tidak seperti cinta kebanyakan. Cinta Niki untuk Lisa berbeda. Cinta yang tidak akan pernah ia ungkap. Cinta bisu.
            Hubungan Niki dengan Lisa sudah akrab sejak mereka kelas satu SMP. Mereka teman sebangku. Setiap istirahat mereka selalu pergi ke kantin bersama. Sebenarnya kemana pun mereka juga selalu bersama-sama. Begitu dekatnya mereka sampai-sampai kawan-kawan mereka sering meledeknya. “Kalian berdua itu sudah seperti orang pacaran saja. Kalau berduaan terus bagaimana bisa dapat pacar?” Mereka tidak pernah serius menanggapinya. Paling-paling hanya tertawa saja. Tapi siapa yang pernah tahu bahwa Niki dan Lisa tertawa untuk alasan yang berbeda.
            Saat SMA mereka tidak lagi sekelas. Tapi di saat istirahat dan pulang sekolah mereka tetap bersama-sama. Niki selalu menunggu Lisa pulang sekolah terlebih dahulu. Kalau sopir Lisa belum datang menjemput, Niki tidak pernah mau pulang duluan. Terkadang Lisa mengantar Niki sampai ke rumahnya. Walaupun sebenarnya arah rumah mereka berlawanan.
            Lisa sempat beberapa kali punya pacar di SMA. Niki tidak. Lisa tidak pernah menanyakan mengapa Niki tidak mau cari pacar. Atau mengapa Niki selalu menolak cinta setiap orang yang menyatakan cinta kepadanya. Bagi Niki ia hanya menunggu Lisa. Walau Niki tahu bahwa hal itu mustahil untuk mereka. Cinta Niki tetap terjaga dalam bisu.
Niki tidak pernah benar-benar suka dengan dengan pacar-pacar Lisa. Tentu saja ia tidak pernah mengatakannya. Bagi Niki pacar-pacar Lisa hanya mengurangi waktu mereka berdua. Walaupun sebenarnya mereka masih tetap bersama-sama. Mereka masih sering pergi ke mall hanya sekadar makan atau nonton film. Niki juga dengan rela hati menemani Lisa berbelanja. Lisa tahu Niki paling tidak suka diajak berbelanja tapi ia selalu minta ditemani Niki. Dan Niki tidak pernah menolaknya. Dibandingkan dengan pacar-pacarnya, Niki setidaknya memberikan masukan yang lebih baik tentang fashion. Pacar-pacar Lisa tidak ada yang pernah merasa cemburu.

            Saat kuliah mereka masuk di universitas yang sama. Satu fakultas dan satu jurusan pula. Niki tinggal di kosan saat kuliah dulu, sementara Lisa tetap pulang pergi diantar sopir. Terkadang jika memang ada kegiatan di kampus hingga malam, Niki memperbolehkan Lisa menginap di kamarnya. Walau sebenarnya ibu pemilik kos melarang membawa teman bermalam, tapi selalu ada cara untuk Lisa agar dapat tidur di kamar Niki. Sengaja pulang terlalu malam agar tidak ketahuan ibu kos --walaupun terpaksa harus memanjat pagar lewat bak sampah di samping tembok—atau sengaja bangun pagi-pagi sekali agar saat pulang sang ibu kos belum bangun.

            Masuk tahun ketiga mereka berkuliah, Lisa harus pindah ke Singapura. Ayahnya dipindahtugaskan di sana.

“Saya tidak tahu berapa lama, Nik. Mungkin hanya setahun atau mungkin lebih.”
Niki terdiam sesaat. “Apa kita akan terus bersahabat? Jika kamu tidak di sini lagi terus bagaimana dengan saya? Saya pasti akan sangat kesepian.”
“Kamu pikir memangnya tidak ada teknologi zaman sekarang ini? Kita kan masih chatting, sms-an, atau saling telepon. Saya tidak mungkin melupakan kamu, Nik.”

            Di hari keberangkatan Lisa, Niki mengantar sampai ke bandara. Niki tidak ragu-ragu menangis dan memeluk Lisa seerat mungkin. Ia tahu bahwa ia takkan sering bertemu Lisa lagi. Jadi mungkin ini kesempatannya.

“Kamu harus janji untuk terus menghubungi saya, ya!”
“Pasti. Kamu juga, ya!”
“Saya akan terus ada di sini, Lis. Jika libur pulanglah ke sini! Kamu bisa tinggal di rumah saya nanti jika kamu pulang.”
“Saya tahu, Nik. Terima kasih. Tapi tidak mungkin kan jika setiap saya pulang, saya tinggal terus bersama kamu. Bisa-bisa ibumu marah nanti.”
Niki dan Lisa tertawa. Sekali lagi karena alasan yang berbeda.

            Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa akhirnya jarak akan membentangkan segalanya. Yang dekat menjadi jauh. Yang kuat menjadi rapuh. Yang rindu menjadi jenuh. Tapi bagi Niki yang bertahan tetaplah bertahan. Cintanya untuk Lisa.
            Di saat-saat Lisa tidak ada lagi, terkadang Niki menjadi terlalu rapuh untuk bertahan. Saat ia diwisuda Lisa tidak dapat datang. Mimpi awalnya untuk diwisuda bersama dengan Lisa pupus sudah. Ada satu hampa yang terasa karena Lisa tidak ada.

Sudah lima tahun…
            Lisa tinggal selama dua tahun di Singapura. Tahun berikutnya ia pindah ke Malaysia. Tiga tahun pertama Lisa masih sering pulang balik ke Indonesia saat ia libur. Juga masih sering telepon atau kirim email atau sms. Tapi kemudian tidak lagi. Sekarang ia bekerja di salah satu perusahaan di sana. “Sudah terlalu sibuk barangkali,” pikir Niki.

            Setahun yang lalu Lisa kembali ke Indonesia. Bersama ibu dan kedua adiknya. Ayahnya meninggal setahun yang lalu, karena seranggan jantung. Sebab itu ia kembali pulang ke tanah air. Ia berhenti dari pekerjaannya di sana. Dan sekarang sekembalinya ia ke tanah air, ia bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.
            Tidak ada yang menandingi gembiranya Niki saat Lisa mengabarinya bahwa ia akan kembali. Niki menjemput Lisa dan keluarganya di bandara. Mereka sekarang tinggal di apatemen. Rumahnya yang dulu sudah dijual saat mereka pindah ke Singapura.

            Tidak bisa dibohongi, waktu yang lama dan jarak yang jauh turut merenggangkan persahabatan mereka. Hidup mereka sekarang bukan lagi hidup remaja yang hanya senang-senang berbagi cerita. Senyum pun sekarang terlalu pribadi rasanya untuk dibagi. Niki dan Lisa hanya berusaha tetap menjaga limabelas tahun persahabatan mereka. Sekarang tetap ada ruang hampa di antara mereka berdua.
            Itu belum seberapa merentangkan persahabatan mereka. Belum, sampai lima bulan yang lalu. Hari itu Lisa datang ke rumah Niki.

“Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada kamu, Nik. Kabar gembira,” kata Lisa sambil tersenyum. “Sejak saya pulang ke sini saya belum sempat ceritakan hal ini kepada kamu. Maaf, bukannya tidak mau tapi waktunya yang tidak ada. Saya akan menikah, Nik. Lima bulan lagi.”
“Apa? Kamu pasti bercanda, kan? Memangnya kamu punya pacar? Setahu saya kamu sudah lama tidak punya pacar.”
“Ya, saya tahu. Mungkin ini kabar yang terlalu mendadak bagi kamu, tapi sebenarnya saya sudah punya pacar sejak dua tahun yang lalu. Saya kenal dia di Malaysia. Dia juga orang Indonesia yang bekerja disana. Romy namanya.”
“Oh, jadi begitu ya? Selamat kalau begitu. Saya juga turut bahagia mendengarnya. Kamu harus segera mengenalkan pacarmu itu kepada saya.”
“Nanti pasti saya akan kenalkan kamu dengan dia. Secepatnya. Kamu kawan terbaik saya, Nik. Kamu tahu? Kamu orang yang pertama saya beritahu tentang hal ini. Kamu harus datang ke pernikahan kami nanti.”

            Sejak kedatangan Lisa hari itu, hanya enam kali Niki bertemu dengan Lisa lagi. Yang pertama seminggu kemudian, saat Lisa datang bersama Romy. Yang terakhir kali tiga minggu yang lalu saat Lisa datang mengantarkan undangan pernikahannya. Niki sengaja menghindari Lisa. Baginya hal itu mungkin lebih baik untuk menghilangakn sakit hati.
            Lima tahun yang lalu saat Lisa meninggalkannya, Niki masih yakin dapat bertahan. Walaupun hanya dalam bisu. Tapi lima bulan terakhir ini membuat Niki merasa begitu jauh dan tidak mampu bertahan. Merasa begitu jauh dari harap dan penantiannya. Dari Lisa dan juga persahabatannya.
           
            Hari ini sudah tiba. Niki masih belum tahu apakah ia akan datang ke pernikahan itu atau tidak. Dua hari yang lalu Lisa sempat meneleponnya untuk memastikan bahwa Niki akan datang ke pernikahannya. Saat itu Niki tidak menjawab pasti. Tidak juga pasti sampai saat ini. Apakah ia akan mampu bertahan melihat bahwa kawan kecilnya dan juga yang dicintainya selama ini akan menikah? Niki bahkan tidak tahu jawabannya.

            Sekarang sudah pukul setengah sepuluh pagi. Niki masih saja melamun. Tidak bersiap-siap. Tidak juga lagi ingin terlelap.
            “Mbak Nikita… ada telepon dari Mbak Lisa.” Suara Inah, pembantunya membuyarkannya. Inah lalu masuk ke kamar.
            “Mbak, teleponnya mau diterima atau ndak?” Inah bertanya. “Mbak? Mbak Nikita sakit, ya? Kok melamun begitu? Ini teleponnya mau diterima atau ndak?” Sekali lagi Inah bertanya.
            “Biar saya terima di kamar saja,” ujar Niki.
            “Nik, kamu datang, kan?” Terdengar suara Lisa di seberang sana.
            “Ya, saya baru saja mau siap-siap sekarang. Kamu seharusnya tidak perlu menelepon. Hari ini kamu akan menikah, mana mungkin saya tidak datang. Sudahlah, saya mau siap-siap dulu, bisa-bisa terlambat datang.”
            “Oke, saya tunggu kamu, Nik!”
            Niki menutup teleponnya. Kemudian ia beranjak dari kasur ke arah kamar mandi. Tangan kanannya mengambil handuk dan tangan kirinya mengibaskan tangis. 


  • Ditulis untuk mata kuliah Penulisan Populer, 2006.

No comments:

Post a Comment