Sudah berapa lama ya rasanya saya tidak mampir ke mall di Jakarta? Setiap akhir pekan sekarang saya lebih sering menghabiskan waktu di rumah atau pergi ke tempat-tempat yang bukan mall judulnya. Terakhir kali saya ke mall rasanya tiga minggu atau sebulan yang lalu (itu pun setelah berbulan-bulan gak ke mall rasanya), ke Epicentrum Walk di kawasan Kuningan. Itu pun bukan datang dengan niat jalan-jalan. Saya hanya kopi darat dengan Mas Teddy dan istrinya. Jadi saya hanya datang dan duduk di sebuah restaurant sekitar dua jam lalu pulang. Mas Teddy itu translator yang sering bantu project di kantor saya. Setelah ketemuan ternyata saya baru tau kalau dia juga pernah nulis novel dan senang berkutat dengan buku-buku dan tulis-menulis. Sementara istrinya kerja di Trans TV sudah 10 tahun.
Jakarta makin hari makin sumpek dengan orang-orang yang sibuk cari hiburan ke mall. Setiap hari libur rasanya semua jalanan menuju mall-mall besar di Jakarta selalu macet dan dipenuhi mulai dari bocah-bocah yang gayanya ketuaan sampe nenek-nenek yang masih sibuk mengeksiskan dirinya. Saya jadi makin jenuh rasanya dengan Jakarta kalau setiap hari kerja jalanan macet orang ke kantor dan hari libur jalanan macet karena orang sibuk ke mall. Sekarang saya ke mall rasanya hanya untuk ke toko buku atau beli baju.
Untuk mengatasi kejenuhan rutinitas hari libur hanya dengan mall melulu, minggu lalu saya dan sejumlah teman-teman melakukan tur ke Museum Taman Prasasti di Tanah Abang. Ini sebetulnya bukan pertama kali kami melakukan aksi Weekend No Mall. Bulan lalu kami sudah mengunjungi daerah Kota Tua di Kota. Kali ini sebetulnya hanya melakukan aksi yang sempat tertunda waktu itu.
Peserta jalan-jalan kali ini bertambah lagi empat orang, yaitu Anggie, Erlin, Tia, dan Jajang. Sebetulnya ada lima, ditambah Mba Ai, temennya Jajang. Janji kumpul masih sama seperti bulan lalu, yaitu di depan Museum Nasional (Museum Gajah), Monas jam 10:30 pagi. Seperti bulan lalu juga, saya dan Shanti selalu datang di kloter pertama. Saya dan Shanti naik TransJakarta dari Pulo Mas. Untung busnya kosong, jadi kami dapat duduk. Turun di halte Monas kami langsung ketemu Jajang di sana. Karena yang lain belum datang saya dan Shanti memutuskan untuk sarapan dulu di depan Museum Gajah. Kebetulan ada tukang lontong sayur dan tahu gejrot. Maka duduklah kami di halte bus sambil sarapan pagi, hehehe!
Sarapan di halte bus |
Jam 11 akhirnya semua peserta jalan-jalan sudah kumpul semua. Perjalanan kami ke Museum Prasasti betul-betul dilakukan dengan jalan kaki. Jaraknya buat saya lumayan sih, tapi tidak terlalu jauh juga. Apalagi karena kami juga jalan ramai-ramai jadi gak kerasa pun sudah sampai.
Museum Taman Prasasti dikenal juga sebagai Kuburan Belanda. Mungkin kalau kalian tahu museum kebanyakan di isi sama patung, arca, atau peninggalan sejarah lainnya, museum ini justru hanya terdiri dari makam-makam dan batu-batu nisan. Sebagian besar mayat yang dikubur di museum ini sebetulnya sudah diambil kembali oleh pihak keluarga dan dibawa pulang ke Belanda. Namun, masih bisa kita temui beberapa makam orang-orang terkenal, seperti makam Soe Hok Gie dan istri dari Raffles.
Di makam Soe Hok Gie |
Tujuan kami seperti sebelumnya sebenarnya cuma foto-foto saja. Tapi walaupun cuma foto-foto kan gak ada salahnya, kegiatan kami pun itung-itung menyemarakan program cinta museum, haha! Selesai dari Museum Prasasti sekitar jam dua siang. Perut sudah keroncongan semuanya. Keluar dari museum kami rencananya mau naik taksi ke Sarinah, tapi butuh tiga taksi untung mengangkut kami semua. Sementara cuma ada satu taksi yang mangkal di depan museum, akhirnya kami jalan sampai ke ujung. Lalu tercetuslah ide untuk nyarter angkot yang ada di ujung jalan itu. Tapi karena supir angkotnya gak rela dibayar RP 20.000 untuk antar kami sampai Sarinah, ya sudah, kami para turis gembel ini memustuskan jalan kaki lagi sampai ke halte Busway di Monas.
Ternyata jalan pulang yang kami ambil tembus ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun perut sudah lapar tapi melihat bangunannya menggugah hati untuk foto-foto lagi. Dengan pede-nya semua bocah-bocah ini mejeng di depan tangga MK. Satpam penjaganya di bawah sudah melototin kami katanya gak boleh foto-foto di sana. Tapi aksi cuek tetap saja jalan. Adis cuma teriak dari jauh, "cuma foto, Pak, sebentar!" Pak satpam pun tak berdaya cuma tetap saja masih ngeliatin dari jauh. hehe!
Ternyata jalan pulang yang kami ambil tembus ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun perut sudah lapar tapi melihat bangunannya menggugah hati untuk foto-foto lagi. Dengan pede-nya semua bocah-bocah ini mejeng di depan tangga MK. Satpam penjaganya di bawah sudah melototin kami katanya gak boleh foto-foto di sana. Tapi aksi cuek tetap saja jalan. Adis cuma teriak dari jauh, "cuma foto, Pak, sebentar!" Pak satpam pun tak berdaya cuma tetap saja masih ngeliatin dari jauh. hehe!
foto hasil nekat di MK |
Sampai di Sarinah kami langsung menuju tempat makan. Perut yang sudah keroncongan dari tadi gak bisa ditahan-tahan lagi. Karena habis makan kami gak ada rencana mau kemana-kemana lagi, maka acara makan itu berlangsung dengan santai. Makannya sih kali ini biasa saja, tapi sesi curhat dan cerita-cerita habis makan itu yang seru sekali. Ketawa ngakak yang gak habis-habis ngomongin gebetan masa kuliah dulu dan menceritakan apa saja hal yang bisa ditertawakan.
Akhir pekan yang gak melulu ke mall ternyata rasanya jauh lebih fun dan seru. Selama ada teman-teman, semua hal bisa jadi cerita yang begitu menyenangkan. Mengutip puisi Rendra, "segalanya sangat berarti. meskipun tanpa makna."
Akhir pekan yang gak melulu ke mall ternyata rasanya jauh lebih fun dan seru. Selama ada teman-teman, semua hal bisa jadi cerita yang begitu menyenangkan. Mengutip puisi Rendra, "segalanya sangat berarti. meskipun tanpa makna."
No comments:
Post a Comment