Wednesday, March 9, 2011

Bahagia Untuk Kamu

Friendship marks a life even more deeply than love. ...friendship is never anything but sharing.

-Elie Wiesel -

--------------------------


Dia pernah meminta saya menjadi pacarnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu kami tidak bertemu langsung. Ucapan itu keluar saat saya dan dia sedang chatting, seperti biasa yang kami lakukan. Saya masih ingat sekali sore itu. Saya duduk di warnet berbicara dengan dia melalui layar komputer. Hanya kata-kata, tanpa tatap muka tanpa suara. Lalu dia begitu saja meminta saya menjadi pacarnya. Dan saya menangis.


Saya rasa itu salah satu hal bodoh yang pernah saya perbuat. Menangis di warnet saat seseorang meminta saya menjadi pacarnya. Saya tidak marah, tidak juga senang, saya sedikit kesal sebetulnya. Saya merasa dipermainkan saat itu. Saya hanya merasa takut dan merasa tidak mungkin. Hubungan kami memang dekat. Hampir setiap hari kami mengobrol, kadang berbicara di telepon. Tapi jarak yang jauh membuat hubungan dekat itu menjadi tidak mungkin bagi saya.

Ia lelaki biasa yang datang dengan cara tidak biasa di dalam hidup saya. Saya mengenalnya di pertengahan tahun 2006. Secara tidak sadar perlahan dia membantu saya melupakan rasa sakit akibat ditinggalkan seseorang. Percakapan-percakapan kami terjadi makin sering setiap harinya, menjadikan kami dekat satu sama lain. Hanya jarak yang rasanya tidak pernah akur dengan kami.

Saat saya mengenalnya dia sudah memiliki pacar yang sudah tujuh tahun lebih dipacarinya saat itu. Dengan entah bagaimana tetap saya jatuh cinta dengannya. Meski kemudian saya mengenal juga pacarnya dan perempuan itu sempat membenci saya diam-diam karena mengetahui kedekatan kami. Lalu beberapa tahun setelah itu akhirnya mereka putus saat memasuki usia sembilan tahun hubungan percintaannya. Rencana pernikahan sudah di dalam angan sebetulnya. 

Dia meminta saya menjadi kekasihnya kira-kira setengah tahun setelah putus dengan perempuan itu. Itulah kenapa saya merasa kesal sebetulnya. Saya tahu dia masih terus saja memikirkannya. Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka, saya lantas tidak percaya jika hanya dengan waktu kurang dari enam bulan dia bisa berniat mencari pacar lagi. Dan meminta saya. Kami sama-sama mengerti ketertarikan yang timbul di antara jarak yang membentang dihadapan kami. Sama-sama menyadari ketidakmungkinan kebersamaan itu. Kenapa dia nekat meminta saya kalau begitu?

Sore itu saya mengungkapkan betapa saya juga menyukainya, mengharapkannya, tapi saya tidak mau bertindak bodoh dengan nekat mengiyakan permintaannya sementara saya tahu betul jarak ini tidak akan terasa baik-baik saja untuknya kedepan. Dia tetap bersikeras. Menyatakan keseriusannya kepada saya. Lalu kemudian dia menjadi jengkel dan menyelesaikan pembicaraan kami saat itu.

Saya pulang, menangis dan berfikir. Menyesal juga. Sehingga malam itu akhirnya saya memutuskan mengiriminya sebuah e-mail. Saya katakan bahwa saya mau. Mau mencoba menjalaninya bersama dia, mau mencoba segala ketidakmungkinan itu. Saya hanya berharap besok pagi saya menemukan e-mail balasan darinya. Besok, lusa, besok lusa saya menunggu dan tidak ada balasan yang masuk. Saya merasa bodoh. Malu sekaligus. "Kenapa saya mengirim e-mail itu?" pikir saya terus-menerus.

Saya tidak mau meneleponnya atau mengiriminya sms. Hari kelima setelah malam itu dia baru terlihat online lagi. Tapi tidak ada sapaan, tidak ada balasan apa-apa. Meski saya juga online saya tidak mau memulai percakapan. Lalu tepat seminggu berlalu. Sore itu. Dia menyapa saya di tempat biasa kami chatting. Lalu memulai percakapan itu.

"Meida, saya minta maaf karena tidak membalas e-mail kamu dan membiarkan kamu menunggu begitu lama. But I know I am wrong. Saya kira memang sebaiknya kita berkawan saja. Maaf karena saya sudah menyakiti kamu seperti ini, tapi saya harap kamu mengerti. We're still best friends forever."


Setelah sore itu, hampir dua bulan rasanya saya tidak pernah berkomunikasi dengan dia.


--------------------------

Sembilan bulan yang lalu kurang lebih saya bercakap panjang dengannya lagi setelah banyak waktu diantara kami menghilang. Malam itu, seperti empat tahun yang lalu saat Piala Dunia tak habis-habisnya menjadi topik pembicaraan kami, saya mengingat sms-sms yang dikirimkan tengah malam, membicarakan sepak bola tak kunjung usai hingga pagi datang. Malam ini bukan hanya karena bola tapi juga cerita hidupnya dan saya.

Setelah melupakan sakit hati itu saya dan dia tetap berkomunikasi dengan baik, tetap berbagi cerita, tetap bercanda ria, tetap akrab. Namun memang kesibukan yang kemudian datang dan waktu yang tidak lagi seperti dulu rasanya terkadang merenggangkan kami berdua. Percakapan semakin jarang. Namun setiap perbincangan terjadi rasa persahabatan di antara kami masih terasa lekat.

"Meida, saya ada rencana untuk menikah tahun depan."

"Really? When? You know what? So do I."

"Oh, really? Great! So, we will getting married in the same year."

"Yup! So, when?"

"Hmm, awal tahun. Dekat Chinese New Year. Maybe on February. And how about you?"

"I have planning to get married maybe before Ramadhan next year. But actually i wanna do it when my birthday, hehehe! Just my dream."

"That's good, Meida. I am just happy now. Just can't believe it we are talking about marriage tonight. I will be a husband and you will be a nice wife. Sounds great, right?!"

"Yup! I am happy too."

"You know something? The greatest thing is after four years we're still best friends in these 'condition'."

"Hahaha! Yes, correct."

"Meida, mungkin kita tak punya banyak waktu lagi seperti dulu untuk saling bertukar cerita. But you still count on me to sharing everything."

"I know. Thank you to say that."


--------------------------------


Kemarin malam...


"Hye Meida, I want to tell you. I invite you to my wedding. But I know you won't come, right? Hehe!"

"Hi, yes, you know I can not come but I am really happy for you. I am really surprised actually when this morning you told me that you will married this week. I thought it will be next month, that is why I send you a message last night."

"How about you?"

"Don't ask! I was broke up two weeks ago."

"What??? How come? Why don't you tell me about this?"

"I can not tell everyone very soon about this. But I made this decision, I know the risk, I know what I want. And everything is gonna be okay. I am just fine now. ...."

...

"Meida, I respect your decision. I just hope all the best for your future. I am happy if you are happy. You can tell me if you need someone to share."



Percakapan kami semalam singkat namun lebih dari sekadar itu. Dia tahu apa alasan-alasan saya putus dengan kekasih saya. Dan dia tidak menyalahkan apa-apa, tidak memberikan masukan apa-apa, dia sedikit bertanya dan banyak mendengarkan saja.


--------------------------------


Ada suatu masa dimana saya pernah meleburkan semua foto-fotonya dan semua hasil cetakan pembicaraan saya dengannya. Saya pernah menjadi begitu gila dan bodoh karenanya. Memandangi foto-fotonya dan menangis sendiri karena begitu rindu. Sering kali saya mencetak semua hasil pembicaraan kami untuk dibaca kembali dikala rindu datang menderas. Ada masa dimana saya sesekali membenci dia, menjauh darinya dan hubungan kami merenggang. Ada masa dimana jarak dan waktu betul-betul menjadi musuh bagi persahabatan kami, sehingga tak ada lagi masa untuk saling bertukar cerita. Tapi seperti yang dulu dia selalu ucapkan sebagai kata penutup di setiap akhir pembicaraan kami, we're best friends forever.

Kami mungkin bukan lagi remaja yang senang tertawa membicarakan apa saja. Membodoh-bodohi diri dan mengahayal-hayal tentang hidup kami berdua. Kami mungkin kehilangan banyak cerita, kehilangan banyak petang yang sering kami lewatkan bersama dulu dalam suatu jarak yang membentang. Tapi di balik semua kehilangan itu, ia masih menjadi salah satu kawan terbaik yang saya miliki begitu juga mungkin saya baginya. 

Sabtu besok dia akan menikah. Saya tidak akan bisa datang ke pernikahan itu. Tapi saya sungguh berbahagia dia menemukan tambatan hatinya. Perempuan yang juga mencintainya. Berbahagia karena dia akan menikah.

Bahagiaku untukmu, Imran dan Haida.


 

No comments:

Post a Comment