di musim penghujan ini mei, randu hutan pun memekarkan kapasnya, dengan wangi yang kurasakan pernah kucium di kulit bahumu. kamu ingat, mengapa aku memanggilmu mei?
karena kita bertemu di bulan mei, di kala mentari masih malu melihat bahu kita yang telanjang. lalu kita tahu, mei itu jadi penghabisan kita bertemu.
lalu kau menghilang, seperti senja. dan di bulan mei tahun berikutnya, kau datang lagi. dengan bau yang sama.
''mei itu abadi bagi kita,'' katamu, di sela guncangan tubuhmu.
tapi, apakah yang abadi, mei? cuma bulan, cuma jumpa, cuma ingin. bukan milik.
ya, engkau milik yang lain. bukan aku. kau milik dia yang menguasai januari sampai desembermu, tanpa mei. karena di mei, kau ''milikku''.
''tidakkah engkau dapat puas hanya dengan begitu?" pintamu.
puas mei? bagaimana aku bisa puas dengan sebelas bulan yang kubayangkan seperti jarum menyusup di kulitku. kau tanpa kabar, tanpa alamat. padahal, setiap saat, dapat kucium tubuhmu, dengan bau yang membuatku cemburu. kepalaku mei, tak pernah alpa mengiangkan namamu. imajinasiku selalu kembara antara berharap bertemu dan ingin sudah. aku terpenjara dalam rasa yang ambigu, merindu tapi takut jumpa.
di kamarku mei, kamu tahu, tak ada kalender dengan 12 bulan itu. hanya ada satu bulan, bulan kamu. karena telah lama kukhayalkan, jika setiap bulan adalah mei, tentu kita tak haus begini. tapi, di luar kamar, tetap saja bulan berputar tak seperti mauku. kau hanya hadir di pagi mei, mengetuk kamarku, dan melesat seperti mentari yang acap mencium bahu telanjangku, seperti di gigir pantai awal kita bertemu.
''telah kurangkum setahun ini di dalam diriku, ambillah...'' bisikmu.
mei, engkau hanya kumiliki dalam malam. separo impian, selebihnya igauan.
No comments:
Post a Comment