Tuesday, March 29, 2011

Ada Racun Dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik Ismail

oleh Martin Aleida



“HU AR Rini Endo. Saya baca di Internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Semboja, tapi judul berikutnya yg lebih penting “ttg pengarang2 Lekra.” Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas (Taufiq Ismail).”



Pesan beracun, yang menghambur sejak Jumat dinihari, 25 Maret 2011, itu tidak hanya diterima oleh HU (Husseyn Umar), Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, AR (Ajip Rosidi), Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, serta Rini dan Endo masing-masing sebagai staf PDS HB Jassin. Racun itu menyebar cepat, sangat cepat, dan banyak. Wallahu alam, saya tak tahu berapa orang lagi yang menerima pesan itu. Saya kira, pastilah banyak! Karena, menjelang tengah malam pada hari Jumat, saya masih menerima SMS serupa yang diteruskan oleh Titiek, putri Pramoedya Ananta Toer. Kegemparan tidak hanya sampai di situ. Bagai serangan selepas Subuh, pukul 05.45, pagar rumah saya bergetar. “Pak Ajip…” bisik istri saya begitu membalik setelah mengintai siapa gerangan yang bertamu sepagi itu.  

Pagi itu pertemuan saya dengan Ajip dengan cepat mencapai puncak yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Juga tidak oleh tokek yang sudah kehabisan mangsa. Ajip meminta saya untuk membatalkan diskusi mejabudaya, yang dituduh Taufiq Ismail sebagai diskusi mengenai pengarang Lekra. Dia meminta perhatian khusus dari saya, karena PDS sedang menghadapi masa konsolidasi setelah Gubernur Fauzi Bowo berjanji akan menambah dana untuk kelangsungan hidup pusat dokumentasi sastra itu. Untung masih pagi, saya bisa mengendalikan diri menghadapi orang yang datang membawa kekuasaan dengan pongahnya. Yang mendesak saya untuk membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan teman-teman. Saya hela nafas, dalam. Ucap saya: “Diskusi itu diselenggarakan oleh kelompok diskusi mejabudaya yang sudah berdiri sejak delapan tahun lalu. Diskusi akan membahas kumpulan tulisan Asep Sambodja dalam buku yang baru diterbitkan Ultimus, judulnya ‘Asep Sambodja Menulis,’  sekaligus peringatan 100 hari meninggalnya penulis. Itu diskusi buku. Bukan diskusi Lekra. Kami juga mengirimkan undangan lewat SMS kepada Taufiq. Dia boleh datang untuk ikut membicarakan buku itu.”

Penjelasan saya itu dengan keras dibanting oleh Ajip dengan hardikan: “Saya sudah baca buku itu! Tak perlu penjelasan! Pokoknya harus dibatalkan! Pilihannya cuma dua, kalian membatalkan diri sendiri atau dibatalkan oleh Taufiq Ismail. Taufiq akan datang membawa pasukan!” Begitu meluapnya emosinya di pagi yang memang tidak sejuk itu, sehingga Ajip lupa mengatakan bahwa buku Asep itu dia terima dari saya dua hari yang lalu. Kutatap matanya beberapa detik, jangka watu yang cukup memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengatakan sesuatu kepada dirinya sendiri yang beresonansi untuk menenangkan hati orang yang sedang dibakar amarah, apalagi amarah yang membabibuta. 

Hati saya sesungguhnya sudah terketuk ketika Ajip mengatakan dalam suasana mengkonsolidasi diri, PDS memerlukan ketenangan, mencari kesempatan untuk merenung. Tetapi, ketika dia mengamangkan palu godam berapi yang diterimanya dari Taufiq Ismail bahwa mejabudayaharus bubar dengan acara Asep Sambodjanya, darah saya mendidih. Saya tarik nafas dalam-dalam. “mejabudaya itu bukan saya punya, dia tidak punya hirarki, tak ada ketua, tak ada sekretaris, dia bergerak karena ada yang menginginkan kemajuan, kebetulan saya yang  aktif. Nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman pesan Bung Ajp ini. Keputusan ada pada mereka.” Penulis besar dari Tatar Sunda itu, yang cerita-cerita pendeknya sudah saya nikmati ketika saya baru duduk di SMP, tiba-tiba menyodorkan pantatnya ke depan, menenangkan hatinya dengan mereguk secangkir teh yang sejak dari tadi mengamati dirinya. Ajip bangkit, mengucapkan terima kasih, melafalkan salam. Kuikuti dia melewati serambi. Kubukakan pintu pagarku, dan dia pergi menyeret langkah kakinya yang kelihatan seberat pohon kelapa.

Begitulah. Saya segera mengontak teman-teman mejabudaya, memberi tahu merekatentang Taufiq Ismail yang akan membawa laskar Munafiqin untuk membubarkan diskusi menghormati Asep Sambodja. Beberapa pegiat dan pemikir budaya juga saya kabarkan mengenai ancaman pembubaran diskusi buku itu. Membubarkan diri atau dibubarkan pasukan Taufiq Ismail. Tidak mengejutkan saya, ketika teman-teman mengatakan, “Biarkan dia yang membubarkan supaya publik tahu siapa yang biadab!”

Sebelum diskusi dimulai, secara kronologis saya ceritakan kepada sekitar 50 peserta diskusi tentang apa yang sedang terjadi. Diskusi yang diawali dengan pengantar yang dibawakan Okky Tirto, penyair-pemikir muda, dan penyair Sutikno W.S., mendapat tanggapan hangat dari hadirin. Adi Wicaksono, dan diperkuat oleh penulis-pemusik Vukar, mengatakan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Asep Sambodja selayaknya diteruskan dan diperdalam oleh para peneliti sesudahnya, untuk melengkapi sejarah secara lebih luas, terutama sejarah kesusastraan Indonesia.

Diskusi berlangsung hangat walau pikiran sebagian teman terpecah. Mata, sebentar-sebentar melirik ke pintu masuk, siap untuk menghadapi gempuran kaum Munafiqin. Tegang juga rasanya dengan kuda-kuda yang terus terpacak seperti senapan yang terus terkokang, sementara musuh tak kelihatan batang hidungnya.  Sebelum azan Magrib diskusi ditutup. Kuda-kuda mengurai ketegangannya. Taufiq Ismail yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, aaaah… Ternyata cuma gertak sambal (ijo). Kasihan Ajip Rosidi yang meneruskannya sampai repot-repot melangkahi bendul rumah saya.

Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga Taufiq menyebutkan saya “pewaris ideologi ular berbisa”? Sekitar dua tahun lalu saya undang dia lewat SMS untuk menghadiri peluncuran kumpulan cerita pendek saya, “Mati Baik-Baik, Kawan,” dan dia datang, mengkritik salah satu cerita yang dia anggap lemah, serta bertukar pandangan dengan Agung Ayu yang menjadi pembicara utama dalam acara yang berlangsung di PDS HB Jassin itu. (Peluncuran buku itu tak ada hubungannya denganmejabudaya.)

Saya masih ingat, ketika untuk pertama kali saya berkenalan dengan dia, semasa saya bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO, mungkin hanya sekedar basa-basi, Taufiq memuji salah satu cerita pendek saya yang dimuat Horison akhir 1960-an. Dia kelihatannya berubah setelah saya dua kali tampil bersama dia sebagai pembicara di dua seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia tentang sastra dan G30S, di mana saya secara tedeng aling-aling mengkritik sikapnya yang menutup mata terhadap ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia tak berdosa yang jadi korban setelah bencana politik itu. Dia berbicara dengan catatan yang dibuat begitu akurat, tentang Komunis yang mebantai di mana-mana, tapi tidak sudi menyebutkan bahwa mereka yang dituduh Komunis dan simpatisannya yang justru di pelupuk matanya sendiri, dia anggap sebagai TIDAK ADA! BUKAN MANUSIA! Juga sikap saya yang antagonis dengan pendiriannya berhadap-hadapan dengan Lekra dan gerakan kebudayaan pertengahan 1960-an dalam apa yang dinamakan rekonsiliasi Lekra-Manifes Kebudayaan yang berlangsung di Teater Utan Kayu beberapa waktu yang lalu.

“… Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas.” Itu mungkin selarik dari puisi mutakhir Taufiq Ismail. Namun, kalau tidak dibaca dengan sebuah konstruksi sastrawi, maka kata-kata dalam pesan singkatnya itu tak-bisa-tidak dia bersifat perintah terhadap pimpinan dan staf PDS HB Jassin. Barangkali, kata-kata eks Lekra yang berhasil “buang air besar” di PDS, maksudnya adalah diskusi senirupa yang diselenggarakan oleh Bumi Tarung Fans Club yang berlangsung di PDS, 12 Maret 2011, yang coba digagalkan oleh Taufiq dengan membujuk Ajip sang budayawan, dan mengintimidasi Rini, staf pusat dokumentasi yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki itu.

Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa “memberaki” siswa-siswa sekolah menengah atas melalui program sastrawan bicara siswa bertanya, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. “Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya Anda suarakan,” begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis. Hikhikhik…[Dendang lagu Melayu menerabas dari rumah sebelah, meninabobo, katanya, ‘Buyung, anakku seorang, sudahi banjir air matamu di sini saja… langit tak bakal runtuh.’] Saya tidak melihat titik air matanya dengan mata kepala saya sendiri. Tapi, itulah kata-kata imajiner yang saya pungut beterbangan di jalan-jalan, juga di langit.

Untuk dia selalu saya doakan, kalau program itu bisa berkibar lagi. Siapa tahu, suatu ketika setelah pasukan sekutu berhasil menekuk Libya, Ford Foundation berkenan mengucurkan bantuan untuk program yang berguna untuk siswa-siswa sekolah menengah atas itu. Cuma harus diingat selama ini program itu samasekali bertolak-belakang dengan pedagogi pendidikan, karena sastrawan yang disertakan hanyalah teman-teman sendiri. Sudah saatnya melepaskan diri dari kungkungan tempurung kepala dewek.

Saya ingin bertanya dari dokumentasi yang disimpan siapa ada catatan yang menyebutkan bahwa HB Jassin kehilangan nafkah gara-gara Lekra. Sejak kapan HB Jassin bekerja di bawah “pemerintahan” Lekra, sehingga kesalahannya harus diganjar pemecatan. Catatan dari mana yang mengatakan Lekra membawahi Lembaga Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di mana HB Jassin bekerja? Kawan, sekalipun sebuah khayalan, logika hendaknya terpateri kuat-kuat di sana.

“Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini?” gugat Taufiq Ismail. Saya ingin bertanya, sejak kapan Taufiq Ismail diberikan Pak Jassin kuasa penuh untuk menafsirkan perasaannya? Saya tidak dekat, dan berusaha tidak duduk persis di depan meja kerjanya, sejauh itu berkenaan dengan karya sastra. Saya, sebagai watawan majalah TEMPO, pernah dua kali mewawancarai HB Jassin awal 1970-an, ketika kritikus ternama ini dalam proses menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sebagai basa-basi, sebelum memulai wawancara, saya katakan bahwa tiga cerita pendek saya dimuat Horison, yang dia pimpin. Dia tidak bertanya tentang latar belakang saya. Dia cuma senyum. Hamsad Rangkuti, yang bekerja di Horison di bawah pimpinan HB Jassin, mengenal saya, sebagai orang sekampung di Tanjung Balai-Kisaran. Saya tak tahu, dan tak perlu bertanya ke pada Hamsad, apakah dia pernah menceritakan latar-belakang saya kepada Pak Jassin. Sama seperti saya, Hamsad percaya bahwa cerita pendek hidup dengan membawa kodratnya sendiri, dengan keyakinan bahwa setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata.

PDS HB Jassin dalam sorotan. Saya yang sejak pensiun sering mangkal di situ, menulis hampir seluruh cerita yang perah saya terbitkan, termasuk satu novel. Endo Senggono, sebagai staf PDS, telah membuka ruang baca seluas 300 m2 sebesar-besarnya sebagai rumah para sastrawan dan pekerja seni di berbagai bidang: senirupa, film, musik, teater yang masih muda-muda untuk mangkal di situ, di luar jam kerja. Endo kelihatannya sadar sejarah, bahwa para seniman memerlukan tempat mampir, sebagaimana para seniman tahun 1950-an menemukan rumah di Pasar Senen. Dewan Kesenian Jakarta, dengan ruang tamu, dan sekat-sekat enam komite kesenian terlalu elit buat disinggahi.
Endo telah menjadikan PDS sebagai “pusat budaya,” rumah bagi anak-anak muda yang berbakat tetapi masih terlantar. Hati saya terenyuh ketika Ajip Rosidi mengatakan dia akan berupaya memutasikan Endo ke Dinas Kebudayaan dengan jalan membujuk sang kepala dinas. Karena Endo dianggap sesat. “Saya tak tahu apa motif Endo untuk memberikan kebebasan bagi semua orang untuk memanfaatkan PDS,” katanya.

Sepuluh tahun lalu Ajip menunjuk Endo untuk menggantikan Oyon Sofyan sebagai kepala pelaksana PDS, karena Oyon dianggap membangkang, menolak kebijakan Yayasan, karena menurut Oyon, Yayasan datang belakangan sesudah lahirnya pusat dokumentasi HB Jassin. Dalam kiprahnya selama sepuluh tahun, Endo tidak bebas dari kesalahan. Dan mustahil. Mungkin sebuah sistem disiplin sebuah kantor sudah terluka karena pintu yang sudah dia buka dengan hati yang jujur. Manusia terlihat kocar-kacir di situ. Namun, dia sudah membangun sebuah rumah buat mereka yang ingin berkembang. Membuka jalan. Membebaskan diri dari keterlantaran. Kita akan menulis dan melantunkan sebuah ode jika Endo, yang hanya bisa melangkah dengan bantuan ketiak penyangganya, dijatuhkan sampai terjerembab. ***

Thursday, March 24, 2011

Rasa Begini

ingatan akanmu datang dalam suatu senja yang sembab air mata. kenapa rasa itu selalu begini rasanya. ada yang perlahan -entah apa- menjauh tanpa permisi. dan aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa karena tak pernah ada semacam perjanjian, ucapan, atau apalah kau sebutnya, yang membuat aku mungkin bisa mengamuk kepadamu. lalu merasa sah saja amarah datang sebab rasa abai yang terus engkau kirimkan.

duhai, gerangan apa yang hinggap dalam hati. jika kita kadang-kadang atau seringnya seperti tak mengerti arti gelisah atau mungkin juga pura-pura tak peduli, tak ingin malu hati sebab rasa yang selalu muncul begini.

Peta

di depan kita ialah jalanan berliku dan hutan kabut yang lirih
namun kita berpegangan tangan,
tak ragu akan sesat. Peta kita satu bernama cinta

Tuhan Kita

Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Baik
mempersatukan kita dalam segala perbedaan
atas nama cinta

Kebahagiaan

mengapa tak berhenti kita mencari kebahagiaan di luar sana?
jika pun engkau di pegunungan maha tinggi
dan aku di lautan maha luas
telah tercipta kebahagiaan dalam hati kita berdua
yang dipertemukan Tuhan, sang Maha Kuasa

Senja Kita

engkaulah malam
dan akulah terang
maka Tuhan ciptakan senja sebagai perantara,
untuk mempertemukan kita diantaranya, meyakinkan,
bahwa cinta bagi kita tetap di atas sana

Tuesday, March 22, 2011

Weekend No Mall

Sudah berapa lama ya rasanya saya tidak mampir ke mall di Jakarta? Setiap akhir pekan sekarang saya lebih sering menghabiskan waktu di rumah atau pergi ke tempat-tempat yang bukan mall judulnya. Terakhir kali saya ke mall rasanya tiga minggu atau sebulan yang lalu (itu pun setelah berbulan-bulan gak ke mall rasanya), ke Epicentrum Walk di kawasan Kuningan. Itu pun bukan datang dengan niat jalan-jalan. Saya hanya kopi darat dengan Mas Teddy dan istrinya. Jadi saya hanya datang dan duduk di sebuah restaurant sekitar dua jam lalu pulang. Mas Teddy itu translator yang sering bantu project di kantor saya. Setelah ketemuan ternyata saya baru tau kalau dia juga pernah nulis novel dan senang berkutat dengan buku-buku dan tulis-menulis. Sementara istrinya kerja di Trans TV sudah 10 tahun.

Jakarta makin hari makin sumpek dengan orang-orang yang sibuk cari hiburan ke mall. Setiap hari libur rasanya semua jalanan menuju mall-mall besar di Jakarta selalu macet dan dipenuhi mulai dari bocah-bocah  yang gayanya ketuaan sampe nenek-nenek yang masih sibuk mengeksiskan dirinya. Saya jadi makin jenuh rasanya  dengan Jakarta kalau setiap hari kerja jalanan macet orang ke kantor dan hari libur jalanan macet karena orang sibuk ke mall. Sekarang saya ke mall rasanya hanya untuk ke toko buku atau beli baju.

Untuk mengatasi kejenuhan rutinitas hari libur hanya dengan mall melulu, minggu lalu saya dan sejumlah teman-teman melakukan tur ke Museum Taman Prasasti di Tanah Abang. Ini sebetulnya bukan pertama kali kami melakukan aksi Weekend No Mall. Bulan lalu kami sudah mengunjungi daerah Kota Tua di Kota. Kali ini sebetulnya hanya melakukan aksi yang sempat tertunda waktu itu.

Peserta jalan-jalan kali ini bertambah lagi empat orang, yaitu Anggie, Erlin, Tia, dan Jajang. Sebetulnya ada lima, ditambah Mba Ai, temennya Jajang. Janji kumpul masih sama seperti bulan lalu, yaitu di depan Museum Nasional (Museum Gajah), Monas jam 10:30 pagi. Seperti bulan lalu juga, saya dan Shanti selalu datang di kloter pertama. Saya dan Shanti naik TransJakarta dari Pulo Mas. Untung busnya kosong, jadi kami dapat duduk. Turun di halte Monas kami langsung ketemu Jajang di sana. Karena yang lain belum datang saya dan Shanti memutuskan untuk sarapan dulu di depan Museum Gajah. Kebetulan ada tukang lontong sayur dan tahu gejrot. Maka duduklah kami di halte bus sambil sarapan pagi, hehehe!

Sarapan di halte bus

Jam 11 akhirnya semua peserta jalan-jalan sudah kumpul semua. Perjalanan kami ke Museum Prasasti betul-betul dilakukan dengan jalan kaki. Jaraknya buat saya lumayan sih, tapi tidak terlalu jauh juga. Apalagi karena kami juga jalan ramai-ramai jadi gak kerasa pun sudah sampai.

Museum Taman Prasasti dikenal juga sebagai Kuburan Belanda. Mungkin kalau kalian tahu museum kebanyakan di isi sama patung, arca, atau peninggalan sejarah lainnya, museum ini justru hanya terdiri dari makam-makam dan batu-batu nisan. Sebagian besar mayat yang dikubur di museum ini sebetulnya sudah diambil kembali oleh pihak keluarga dan dibawa pulang ke Belanda. Namun, masih bisa kita temui beberapa makam orang-orang terkenal, seperti makam Soe Hok Gie dan istri dari Raffles.

Di makam Soe Hok Gie

Tujuan kami seperti sebelumnya sebenarnya cuma foto-foto saja. Tapi walaupun cuma foto-foto kan gak ada salahnya, kegiatan kami pun itung-itung menyemarakan program cinta museum, haha! Selesai dari Museum Prasasti sekitar jam dua siang. Perut sudah keroncongan semuanya. Keluar dari museum kami rencananya mau naik taksi ke Sarinah, tapi butuh tiga taksi untung mengangkut kami semua. Sementara cuma ada satu taksi yang mangkal di depan museum, akhirnya kami jalan sampai ke ujung. Lalu tercetuslah ide untuk nyarter angkot yang ada di ujung jalan itu. Tapi karena supir angkotnya gak rela dibayar RP 20.000 untuk antar kami sampai Sarinah, ya sudah, kami para turis gembel ini memustuskan jalan kaki lagi sampai ke halte Busway di Monas.

Ternyata jalan pulang yang kami ambil tembus ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun perut sudah lapar tapi melihat bangunannya menggugah hati untuk foto-foto lagi. Dengan pede-nya semua bocah-bocah ini mejeng di depan tangga MK. Satpam penjaganya di bawah sudah melototin kami katanya gak boleh foto-foto di sana. Tapi aksi cuek tetap saja jalan. Adis cuma teriak dari jauh, "cuma foto, Pak, sebentar!" Pak satpam pun tak berdaya cuma tetap saja masih ngeliatin dari jauh. hehe!

foto hasil nekat di MK


Sampai di Sarinah kami langsung menuju tempat makan. Perut yang sudah keroncongan dari tadi gak bisa ditahan-tahan lagi. Karena habis makan kami gak ada rencana mau kemana-kemana lagi, maka acara makan itu berlangsung dengan santai. Makannya sih kali ini biasa saja, tapi sesi curhat dan cerita-cerita habis makan itu yang seru sekali. Ketawa ngakak yang gak habis-habis ngomongin gebetan masa kuliah dulu dan  menceritakan apa saja hal yang bisa ditertawakan.

Akhir pekan yang gak melulu ke mall ternyata rasanya jauh lebih fun dan seru. Selama ada teman-teman, semua hal bisa jadi cerita yang begitu menyenangkan. Mengutip puisi Rendra, "segalanya sangat berarti. meskipun tanpa makna."


Jakarta, 22 Maret 2011

Museum Taman Prasasti





Monday, March 21, 2011

Koran Opini

KORANOPINI.COM di bawah bendera Democracy and Conflict Governance Institute (DCGI) mengundang para kolega/ilmuwan/sastrawan/esais dan teman-teman untuk menuliskan gagasan-gagasan keilmuan dari berbagai disiplin, cerita populer dan karya sastra (cerpen atau puisi).

Kirim naskah anda ke koranopini@gmail.com

Suatu Siang Di Sarinah

sabtu siang yang ramai dalam acara makan siang setelah perjalanan dari museum di Tanah Abang. riuhnya denting sendok garpu di meja kita, perut yang keroncongan dan bising kata-kata.

kaki kita sudah lelah berjalan sepanjang Monas-Tanah Abang. setiap kita punya cerita yang boleh apa saja. kita menceritakan kenangan lalu terbahak. selalu ada yang lucu dari masa lalu. mungkin kebodohan yang kita tertawakan sekarang. tawa yang tak habis-habis meski piring dan gelas sudah dikosongkan.

ah, mungkinkah kami ini kanak-kanak yang abadi?
segalanya sangat berarti. meskipun tanpa makna.*


Bekasi, 20 Maret 2011

*Puisi Rendra "Jalan Ungaran 8, Yogya."

Yang Bahagia Ya Di Sana, Kang...

Kang...

ada mereka berkumpul untukmu,
merangkum segenap cinta dan rasa
dalam bunyi yassin yang mengumandang
aku di kamar ini sendiri, berdoa

dalam lantunan segala pinta yang bernyanyi
merdu, suara-suara mereka
malam ini, kami sampaikan cinta

yang bahagia ya di sana, Kang....


Bekasi, 18 Maret 2011

Ayo, Selamatkan PDS HB. Jassin!

AYO BERGERAK BERSAMA SELAMATKAN PDS HB. JASSIN dalam PENGGALANGAN DANA (DONASI) #KoinSastra

Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, yang didirikan pada 1979, kini terancam ditutup. Hal ini disebabkan terancamnya PDS tak bisa beroperasi lagi menyusul keluarnya Surat Keputusan Gubernur DKI yang memotong anggaran PDS sehingga menjadi Rp50 juta.

Sebelum keluarnya SK Gubernur DKI tersebut, pada tahun-tahun sebelumnya, PDS HB Jassin sempat memperoleh Rp 500 juta tiap tahun. Kemudian, dana itu terpotong menjadi Rp 300 juta. Tahun lalu, pengelola gudangnya ilmu para seniman, sastrawan, dan peneliti dalam dan luar negeri ini sudah ngos-ngosan menerima dana yang disunat menjadi Rp 164 juta. Dan, kini PDS tak bisa berkutik sama sekali...anggaran PDS dipotong menjadi Rp 50 juta.

SK (Surat Keputusan) Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo menyatakan jelas-jelas bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun. Dengan anggaran sekecil itu jelas sekali tak akan mencukupi untuk membayar pegawai dan perawatan secara memadai.

Sejak Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin mengumpulkan semua dokumentasi sastra secara teliti pada 1932, sampai saat ini terdapat sekitar 18.000-an buku fiksi, 12.000-an buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, 517 makalah, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, juga 740 foto pengarang. Data ini masih berubah dari hari ke hari dan semakin besar jumlah jenis koleksinya.

Kelengkapan koleksi sastra langka yang dimiliki PDS HB. Jassin bahkan dianggap setara dengan kelengkapan perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Untuk menyelamatkan PDS HB. Jassin sejumlah pecinta sastra membangun sebuah gerakan moral untuk membantu meringankan beban pengelola menjaga semua koleksi berharga tersebut. Gerakan ini bernama #KoinSastra.

Sangat diharapkan bantuan kawan-kawan pecinta sastra dan pecinta literasi untuk bisa membantu. Besar atau kecil bantuan donasi kawan-kawan sangatlah penting untuk menjaga kelangsungan PDS HB. Jassin.

Keterangan lebih lanjut untuk membentuk kantong donasi #KoinSastra dapat menghubungi Tim Pengagasa Gerakan, saudara Khrisna Pabichara di nomor [0813.9895.8598] atau langsung ke rekening a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.

AYO, SELAMATKAN PDS HB. JASSIN.
SELAMATKAN LITERASI BERHARGA MILIK INDONESIA

Sunday, March 20, 2011

Selamat Ulang Tahun SDD

Bapak, selamat ulang tahun. Doa ini doa biasa. Hanya meminta agar engkau sehat selalu dan mampu untuk terus berkarya. 71 tahun bukan usia muda lagi, ya?! Tahun lalu aku membacakan puisi Pak Asep dalam perayaan ulang tahunmu. Tahun ini tak ada puisi, tak ada Pak Asep, tak ada perayaan, dan aku tak di depanmu lagi untuk membaca puisi sebagai hadiah ulang tahun. Tapi doa akan selalu ada, dilantunkan untukmu.

Selamat ulang tahun, Kakek Romantis.


Koin Sastra Untuk PDS HB Jassin

Saya dengar berita ini pertama kali kemarin pagi melalui Twitter Pak Nanang Suryadi. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin terancam ditutup karena kekurangan dana. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan. Dana setiap tahun dari pemerintah selalu dikurangi, katanya. Saya sendiri terakhir kali mengunjungi HB Jassin bulan Desember tahun lalu. Kondisi di sana memang sangat memprihatinkan.

PDS HB Jassin dikenal sebagai tempat penyimpanan berbagai arsip, dokumen, dan naskah sastra terlengkap yang ada. Bahkan surat-surat sampai tulisan-tulisan tangan dari beberapa penyair kenamaan pun di simpan di sana, Chairil Anwar salah satunya.

Atas keprihatinan terhadap kejadian ini, kemarin tanggal 19 Maret sejumlah sastrawan dan rekan-rekan peduli sastra berkumpul di sana untuk menggalang dana dan melakukan aksi solidaritas Koin Sastra. Bagi kalian yang peduli dengan keberlangsungan PDS HB Jassin, mari kita ikut berpartisipasi dalam aksi ini.

Mari datang ke Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, besok Senin, 21 Maret 2011 untuk menggalang dana tersebut. Masih belum terlambat! Mari tunjukan kita peduli terhadap kelestarian Sastra Indonesia.

Friday, March 18, 2011

Sudah 100 Hari

Kenangan masih saja tinggal, membayang seperti senja yang selalu mampir sebelum mengucapkan selamat malam. Menyampaikan salam seolah berkata, "hei, besok kita masih bertemu lagi."

Namun diantara perjalanan setelahnya, dalam derai hujan atau angin yang gelisah atau juga tawa-tawa yang berkejaran dalam rumpun bunga, kadang ada yang memudar.

Kita sering saja kehilangan banyak cerita bahkan ketika hari belum genap. Terlupa. Tergesa. Seperti deru laju kereta yang kau dengar dalam rel, membawa bunyi perjalanan panjang, yang kadang tak mampu kau tebak, adakah ia semakin dekat atau menjauh, tiba-tiba saja kau sudah lupa, ia pernah melintas meski hanya pada bayangmu.

Tapi engkaulah engkau, yang tersayang. Ada ruang dalam hati kami, yang begitu sesak dengan doa dan cinta, untukmu di sana. Yang selalu ada. Meski sudah 100 hari terlewati.





*Memperingati 100 hari kepergian Asep Sambodja.



Jakarta, 18 Maret 2011

Thursday, March 17, 2011

Kamu Melulu

Kamu, seperti pagi yang datang melulu. Terbit Bagiku.
Kamu. Kamu. Kamu. Sepanjang hariku

Di Pelupukmu

Kalau selamat pagiku selalu datang dari kamu. Apa artinya aku orang pertama di pelupukmu ketika membuka mata?

Menjelma Danau

Menjelma danau yang menahan semua rasa tak kuasa.
Biar lega. Mengalirlah....

Tuesday, March 15, 2011

In Bed With Ayu Utami

Oleh : Saut Situmorang


Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ?(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”!

Kesepuluh hal di atas merupakan (+1) “sikap politik seks”, “ideologi tempat tidur” yang mesti dipahami oleh setiap laki-laki yang ingin mengajak Ayu Utami tidur, walau cuma sekedar sebuah one-night-stand doang. Tapi tentu saja ada detil-detil lain yang juga mesti diperhitungkan oleh setiap laki-laki pemuja Si Parasit Lajang penulis novel sensasional Saman ini. Bukankah, kata orang, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya tidak meninggalkan kesan yang cukup menawan untuk dikenang? Cuma separuh ilusi, sesuatu yang cepat retak dan gagal menjadi abadi, menjadi fantasi. Easy-come-easy-go-ism.


Tubuh yang indah adalah sebuah foreplay yang mesti ada dalam ars sexu?lis à la Ayu Utami. Jangan nyatakan birahimu dengan sekuntum mawar merah, itu mah udah kuno hah! Say it with your body, your hard and beautiful body! Ingat kan pepatah itu: Good man is hard to find, but hard man is good to find! Sebagai laki-laki Dunia Ketiga, kau tentu suka nonton film action Hollywood atau mini-series di televisi, bukan? Nah, tipe laki-laki bertubuh ideal Utamian itu adalah si jago karate asal Belgia Jean-Claude van Damme (terutama waktu dia masih memakai gaya rambut cepak Magelangan itu) atau si dewa laut David “Baywatch” Haseldoff. Sexual politics posmo, atau post-Kate Millett feminism, telah mengharuskan laki-laki untuk juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan perempuan. Militer dan olahragawan adalah sexual symbols abad 21 ini, bagi Sang Ayu. Kekuasaan para senator-orator Athena sudah berlalu, sekarang adalah zaman para gladiator Sparta. Untuk produk lokal, mungkin semacam blasteran antara Taufik Hidayat dan… Wiranto! Jangan lagi jadi anggota Taman Bacaan dan tenggelam dalam komik (yang underground sekalipun), apalagi Kho Ping Hoo. Mulailah ikut aerobics atau Tae-Bo. Karena good man is hard to find, but hard man is (van damme) good to find!


Dulu perempuan adalah korban pasif dari ideologi wham bam, thanks mam perkawinan patriarki, tapi sekarang politik kesetaraan jender telah menciptakan para Parasit Lajang yang tahu dan memburu apa-apa yang mereka mau, khususnya soal anatomi tubuh. Revolusi selera ini juga bisa dilihat pada para selebriti pornografi terutama para artis film XXX, para bintang laki-laki BF, para superstar para Ayu Utami dunia.
Hal lain yang mesti diingat setiap laki-laki pemuja Parasit Lajang kontemporer adalah – nikmatilah seks! The pleasure of sex, kalau mau kebarthes-barthesian. Lakukanlah seks demi kenikmatan seks itu sendiri, sex for sex’s sake, bukan demi yang lain, apalagi demi mendapatkan keturunan. Kalau kau mampu nge-seks minimum 25 menit, dengan basa-basi awal tak lebih dari cuma 5 menit, maka kau sudah sangat dekat dengan fantasi Samanismemu! Kau sudah lulus ujian Kamasutra Jahudi yang berat itu! Kau sudah mengerti Sigmund Freudmu! Eureka!!!



Pernah nonton Sex and Zen, film alegori Buddhis yang berdasarkan novel paling lama yang pernah dicekal dalam sejarah peradaban manusia itu, yaitu sejak zaman Dinasti Ming Cina? Minimalisme koan Zen yang khas budaya samurai, dalam film tersebut, telah dikembalikan ke selera baroque fiksi wuxia daratan Tionggoan. Alegori menggantikan haiku, kungfu ketimbang kendo. Verbalisme ketimbang kematangan konsep. Feminisme radikal posmo yang dipretensikan oleh judul buku Si Parasit Lajang ternyata cuma mengingatkan saya pada slapstick pseudo-cersil Sex and Zen – yang dalam film tersebut dengan apik dibawakan oleh aktor eksil orang awak dari Petisah, Medan sono, Lo Lieh-locianpwe – tapi minus imajinasi film dimaksud.


Sangat sulit membayangkan betapa seorang novelis kontemporer, yang bahkan diklaim telah melakukan sebuah “revolusi estetika” dalam fiksi kontemporer Indonesia, ternyata begitu membosankan “coretan-coretan biografis pendeknya”, yang nota bene cuma ditulis untuk media cetak yang gaul, ngepop. Bahasa yang sama sekali nggak kita banget, terlalu prosais mirip tulisan-tulisan di majalah dinding sekolah menengah kota-kota besar Indonesia, plus isu-isu yang dalam perspektif “cultural studies koran” pun terasa begitu tidak newsgenic, cuma menambah kesan betapa permainan font, warna, dan ilustrasi Si Parasit Lajang terasa sangat superfisial, dibuat-buat, sekedar biar dianggap beda belaka. Arty-farty. Eufemisme pretensi kerendahhatian ambisi dalam disclaimer Pra-Gagas buku – bahwa Ayu Utami bercerita dengan “ringan” tentang “hal remeh yang merupakan jerawat di muka raksasa persoalan”, yaitu “berbagai peristiwa di sekitar” yang kita anggap “biasa” dan “cenderung” lewatkan, padahal “berasal dari persoalan besar yang sering tak [kita] sadari” – gagal untuk menyembunyikan klaim terselubung betapa besar sebenarnya misi yang dibayangkan diemban buku “Seks, Sketsa, & Cerita” Ayu Utami ini.


Sebuah contoh berikut ini saya harap bisa menunjukkan apa yang saya anggap sebagai salah satu kontra-diksi antara teks dan konteks yang merupakan persoalan besar yang tak disadari, mungkin karena dianggap “hal remeh” seperti yang dikesankan, tanpa ironi sedikitpun, oleh Pra-Gagas buku di atas.


Kalau kita hubungkan judul buku Si Parasit Lajang dengan kenyataan diri penulisnya yang hidup “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki, maka di manakah “kelajangan” yang diklaim begitu heroik sebagai sexual liberation yang dibedakannya secara hierarki nilai dari perkawinan konvensional itu? Istilah “lajang” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti seperti istilah “single” dalam bahasa Inggris, yaitu seseorang yang jangankan menikah, pacar pun gak punya. Jomblo 100%. Seseorang yang hidup sendiri tanpa pasangan, baik yang berbeda jenis kelamin (kalau heteroseksual, seperti Ayu Utami) ataupun yang berjeniskelamin sama (kalau homoseksual), atau “not involved in an established romantic or sexual relationship” menurut Oxford English Dictionary (OED). Bagaimana mungkin Ayu Utami bisa mengklaim dirinya sebagai seorang “lajang”, yang “parasit” lagi, padahal dia hidup kumpul kebo dengan seorang laki-laki! Kerancuan pemakaian istilah seperti ini cukup dominan dalam bukunya itu hingga menimbulkan kecurigaan atas pengetahuannya tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin justru karena kekurangpahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tulisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang dianggap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis, di budaya Barat sana! Sebuah parasitisme konseptual!

Monday, March 14, 2011

Diantara Petang

Jalanan yang tak lengang dan kamu yang tenggelam, sementara senja baru saja datang.
Ada ruang yang selalu saja mengumandang tanya, sebetulnya seperti apa permainan kita?
Gemetar dalam kesendirian.



Jakarta, 14 Maret 2011

Dan Masih Saja

Ada serpih sesak yang tertinggal
Kesendirian yang sering ditakuti
Malam-malam yang rindu pelukan

Mengenangmu
Semalam yang datang tanpa hujan
Apa yang mampu kusembunyikan?

Masih saja menangisi
Kepergianmu


Jakarta, 14 Maret 2011

Peluncuran Buku "Asep Sambodja Menulis"

Peluncuran buku ASEP SAMBODJA MENULIS: Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra
karya Asep Sambodja

Hari: Selasa, 22 Maret 2011
Jam: 13.00-16.00 WIB
Tempat: Auditorium Gedung IV (Ruang 4401) FIB UI

Pembicara:
1. Maria Josephine Kumaat-Mantik (dosen FIB UI)
2. Putu Oka Sukanta (sastrawan)
3. Hilmar Farid (sejarawan)

Moderator: Novi Diah Haryanti

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.
Selain itu juga ada penjualan buku dari penerbit Ultimus, WWS, dan Bukupop

Saturday, March 12, 2011

Merindu Mei

di musim penghujan ini mei, randu hutan pun memekarkan kapasnya, dengan wangi yang kurasakan pernah kucium di kulit bahumu. kamu ingat, mengapa aku memanggilmu mei?

karena kita bertemu di bulan mei, di kala mentari masih malu melihat bahu kita yang telanjang. lalu kita tahu, mei itu jadi penghabisan kita bertemu.


lalu kau menghilang, seperti senja. dan di bulan mei tahun berikutnya, kau datang lagi. dengan bau yang sama.

''mei itu abadi bagi kita,'' katamu, di sela guncangan tubuhmu.

tapi, apakah yang abadi, mei? cuma bulan, cuma jumpa, cuma ingin. bukan milik.

ya, engkau milik yang lain. bukan aku. kau milik dia yang menguasai januari sampai desembermu, tanpa mei. karena di mei, kau ''milikku''.

''tidakkah engkau dapat puas hanya dengan begitu?" pintamu.

puas mei? bagaimana aku bisa puas dengan sebelas bulan yang kubayangkan seperti jarum menyusup di kulitku. kau tanpa kabar, tanpa alamat. padahal, setiap saat, dapat kucium tubuhmu, dengan bau yang membuatku cemburu. kepalaku mei, tak pernah alpa mengiangkan namamu. imajinasiku selalu kembara antara berharap bertemu dan ingin sudah. aku terpenjara dalam rasa yang ambigu, merindu tapi takut jumpa.

di kamarku mei, kamu tahu, tak ada kalender dengan 12 bulan itu. hanya ada satu bulan, bulan kamu. karena telah lama kukhayalkan, jika setiap bulan adalah mei, tentu kita tak haus begini. tapi, di luar kamar, tetap saja bulan berputar tak seperti mauku. kau hanya hadir di pagi mei, mengetuk kamarku, dan melesat seperti mentari yang acap mencium bahu telanjangku, seperti di gigir pantai awal kita bertemu.

''telah kurangkum setahun ini di dalam diriku, ambillah...'' bisikmu.

mei, engkau hanya kumiliki dalam malam. separo impian, selebihnya igauan.




Friday, March 11, 2011

Date A Girl Who Reads

Pernah ada lelaki yang mengatakan saya seorang yang boros karena terlalu sering membeli buku. Padahal seingat saya rasanya saya tidak pernah kehabisan uang untuk hal lain hanya karena membeli buku. Semenjak bekerja dua setengah tahun yang lalu saya tidak pernah lagi saya meminta uang kepada orangtua saya untuk membeli baju, membeli buku, membeli sepatu, jalan-jalan, atau sekadar ongkos pulang pergi dari rumah ke kantor. Dengan gaji yang saya dapat, sejauh ini masih bisa saya sisihkan sebagian untuk ditabung setiap bulannya. Saya masih tidak mengerti sampai sekarang dimana letak borosnya. Apa saya pernah meminta-minta hanya karena kehabisan uang yang disebabkan membeli buku? Rasanya tidak.

Saya masih ingat sekali, lelaki itu pernah bertanya dan saya tertawa ngakak mendengarnya, waktu itu bapak saya baru selesai membuat sebuah lemari buku, khusus untuk diletakan di dalam kamar saya saat itu saya sedang merapihkan buku-buku untuk disusun kembali, "Itu yang fotokopian buku juga? Ga ada yang mau dibuang apa? Kan udah pernah dibaca, menuh-menuhin aja, masa baru punya lemari langsung penuh lagi. Terus nanti beli buku lagi, sama aja bohong dong ga ada tempatnya lagi." Fotokopian itu adalah buku-buku cerita anak berbahasa belanda yang saya copy waktu kuliah dulu. Walaupun sudah pernah dibaca, rasanya haram bagi saya untuk membuang buku. Kalaupun harus disingkirkan artinya akan saya berikan kepada orang lain yang jelas akan merawat buku itu, setidaknya membacanya, bukan dibuang, masuk ke tong sampah lalu tidak tahu bagaimana nanti nasib buku-buku itu.

Lelaki itu pernah marah dan tidak mau saya ajak pergi ke toko buku. Pernah memang dia akhirnya menemani saya ke toko buku tapi setelah sampai di sana dia yang memburu-buru saya untuk segera keluar. Sarannya, kalau datang ke toko buku, langsung saja pilih buku yang mau dibeli kemudian bayar. Selesai. Tidak perlu berjam-jam muter-muter di sana melihat-lihat buku yang tidak dibeli pun akhirnya. Saya jadi bertanya, apa jangan-jangan ada orang yang phobia dengan toko buku, ya?!

Ada pun lelaki itu cemburu dan kesal jika saya menghabiskan waktu di rumah untuk membaca buku. Walaupun saya duduk di sampingnya saat membaca. Katanya saya tidak perhatian kepadanya, saat dia ada di sisi saya kenapa saya lebih senang melekatkan mata pada kata-kata di dalam buku. Lelaki yang kerapnya melarang saya tidur larut karena membaca buku atau menulis, kadang-kadang. Sehingga saya sering pura-pura sudah tidur, tidak membalas sms-nya, padahal saya asik membaca atau menulis. I am writer and reader in solitude.

Beberapa minggu lalu saya putus dengan lelaki ini. Saat saya bekerja ternyata dia datang ke rumah menemui ibu bapak saya, membicarakan hubungan kami. Beberapa hari kemudian ibu saya mengajak saya bicara tentang itu saya ada katakan beberapa hal mengenai alasan saya memutuskan hubungan kami. Saya tanyakan kepada ibu saya apa yang dia sampaikan di hari itu. Lepas dari hubungan kami, satu hal yang paling menarik perhatian saya dari semua ucapan yang ibu saya katakan adalah lelaki ini secara halus atau tanpa ia sadari mungkin meminta ibu menasehati saya agar jangan terlalu boros, menghambur-hamburkan uang untuk membeli buku. "Liat aja lemari buku di kamarnya udah ga muat, tapi terus-terusan beli buku. Mau ditaro dimana lagi? Jadi pada numpuk kan di atas meja, ga rapih gitu, berdebu jadinya. Lagian beli buku kan sekali dibaca udah selesai. Dibilangin, Ma, jangan boros-boros beli buku melulu." Sebenarnya saat berbicara dengan ibu saya malam itu saya sambil menangis, berderai-derai airmata, tapi ketika ibu cerita begitu, saya otomatis ketawa terbahak-bahak. Sumpah!

Lelaki itu jelas tidak tahu siapa orangtua saya kalau begitu. Mereka adalah orang yang lebih rela membelikan anaknya buku daripada membelikan mainan. Dulu bapak saya membayarkan uang berlangganan majalah Bobo sampai saya duduk di kelas 1 SMP dan ibu setiap bulan selalu membawa saya serta adik-adik ke Gramedia dan membiarkan kami berkeliaran di sana, lalu kembali dengan membawa buku setumpuk. Mereka tidak pernah mengeluh karena membelikan kami begitu banyak buku. Sekarang saya dan Ena yang membayarkan uang berlangganan majalah National Geographic untuk kami di rumah. Lalu sekarang ada yang mencoba menasehati orangtua saya agar saya tidak membeli buku terlalu banyak, saya kira itu sebuah kebodohan akut.

Tulisan saya ini seperti membicarakan orang lain, ya? Memang. Dan maaf kalau terkesan begitu. Tapi saya cuma ingin menulis apa yang ingin saya tulis. Maaf kalau ada yang tersinggung. Tulisan ini saya buat setelah pagi ini membaca sebuah catatan di Facebook saudara kembar saya. Judulnya "Date A Girl Who Reads." Silahkan menyimak....


Date a girl who reads. Date a girl who spends her money on books instead of clothes. She has problems with closet space because she has too many books. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.

Find a girl who reads. You’ll know that she does because she will always have an unread book in her bag.She’s the one lovingly looking over the shelves in the bookstore, the one who quietly cries out when she finds the book she wants. You see the weird chick sniffing the pages of an old book in a second hand book shop? That’s the reader. They can never resist smelling the pages, especially when they are yellow.

She’s the girl reading while waiting in that coffee shop down the street. If you take a peek at her mug, the non-dairy creamer is floating on top because she’s kind of engrossed already. Lost in a world of the author’s making. Sit down. She might give you a glare, as most girls who read do not like to be interrupted. Ask her if she likes the book.

Buy her another cup of coffee.

Let her know what you really think of Murakami. See if she got through the first chapter of Fellowship. Understand that if she says she understood James Joyce’s Ulysses she’s just saying that to sound intelligent. Ask her if she loves Alice or she would like to be Alice.

It’s easy to date a girl who reads. Give her books for her birthday, for Christmas and for anniversaries. Give her the gift of words, in poetry, in song. Give her Neruda, Pound, Sexton, Cummings. Let her know that you understand that words are love. Understand that she knows the difference between books and reality but by god, she’s going to try to make her life a little like her favorite book. It will never be your fault if she does.

She has to give it a shot somehow.

Lie to her. If she understands syntax, she will understand your need to lie. Behind words are other things: motivation, value, nuance, dialogue. It will not be the end of the world.

Fail her. Because a girl who reads knows that failure always leads up to the climax. Because girls who understand that all things will come to end. That you can always write a sequel. That you can begin again and again and still be the hero. That life is meant to have a villain or two.

Why be frightened of everything that you are not? Girls who read understand that people, like characters, develop. Except in the Twilightseries.

If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2 AM clutching a book to her chest and weeping, make her a cup of tea and hold her. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you. She’ll talk as if the characters in the book are real, because for a while, they always are.

You will propose on a hot air balloon. Or during a rock concert. Or very casually next time she’s sick. Over Skype.

You will smile so hard you will wonder why your heart hasn’t burst and bled out all over your chest yet. You will write the story of your lives, have kids with strange names and even stranger tastes. She will introduce your children to the Cat in the Hat and Aslan, maybe in the same day. You will walk the winters of your old age together and she will recite Keats under her breath while you shake the snow off your boots.

Date a girl who reads because you deserve it. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you’re better off alone. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads.

Or better yet, date a girl who writes.

-taken from The Monica Birds-


Wednesday, March 9, 2011

Bahagia Untuk Kamu

Friendship marks a life even more deeply than love. ...friendship is never anything but sharing.

-Elie Wiesel -

--------------------------


Dia pernah meminta saya menjadi pacarnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu kami tidak bertemu langsung. Ucapan itu keluar saat saya dan dia sedang chatting, seperti biasa yang kami lakukan. Saya masih ingat sekali sore itu. Saya duduk di warnet berbicara dengan dia melalui layar komputer. Hanya kata-kata, tanpa tatap muka tanpa suara. Lalu dia begitu saja meminta saya menjadi pacarnya. Dan saya menangis.


Saya rasa itu salah satu hal bodoh yang pernah saya perbuat. Menangis di warnet saat seseorang meminta saya menjadi pacarnya. Saya tidak marah, tidak juga senang, saya sedikit kesal sebetulnya. Saya merasa dipermainkan saat itu. Saya hanya merasa takut dan merasa tidak mungkin. Hubungan kami memang dekat. Hampir setiap hari kami mengobrol, kadang berbicara di telepon. Tapi jarak yang jauh membuat hubungan dekat itu menjadi tidak mungkin bagi saya.

Ia lelaki biasa yang datang dengan cara tidak biasa di dalam hidup saya. Saya mengenalnya di pertengahan tahun 2006. Secara tidak sadar perlahan dia membantu saya melupakan rasa sakit akibat ditinggalkan seseorang. Percakapan-percakapan kami terjadi makin sering setiap harinya, menjadikan kami dekat satu sama lain. Hanya jarak yang rasanya tidak pernah akur dengan kami.

Saat saya mengenalnya dia sudah memiliki pacar yang sudah tujuh tahun lebih dipacarinya saat itu. Dengan entah bagaimana tetap saya jatuh cinta dengannya. Meski kemudian saya mengenal juga pacarnya dan perempuan itu sempat membenci saya diam-diam karena mengetahui kedekatan kami. Lalu beberapa tahun setelah itu akhirnya mereka putus saat memasuki usia sembilan tahun hubungan percintaannya. Rencana pernikahan sudah di dalam angan sebetulnya. 

Dia meminta saya menjadi kekasihnya kira-kira setengah tahun setelah putus dengan perempuan itu. Itulah kenapa saya merasa kesal sebetulnya. Saya tahu dia masih terus saja memikirkannya. Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka, saya lantas tidak percaya jika hanya dengan waktu kurang dari enam bulan dia bisa berniat mencari pacar lagi. Dan meminta saya. Kami sama-sama mengerti ketertarikan yang timbul di antara jarak yang membentang dihadapan kami. Sama-sama menyadari ketidakmungkinan kebersamaan itu. Kenapa dia nekat meminta saya kalau begitu?

Sore itu saya mengungkapkan betapa saya juga menyukainya, mengharapkannya, tapi saya tidak mau bertindak bodoh dengan nekat mengiyakan permintaannya sementara saya tahu betul jarak ini tidak akan terasa baik-baik saja untuknya kedepan. Dia tetap bersikeras. Menyatakan keseriusannya kepada saya. Lalu kemudian dia menjadi jengkel dan menyelesaikan pembicaraan kami saat itu.

Saya pulang, menangis dan berfikir. Menyesal juga. Sehingga malam itu akhirnya saya memutuskan mengiriminya sebuah e-mail. Saya katakan bahwa saya mau. Mau mencoba menjalaninya bersama dia, mau mencoba segala ketidakmungkinan itu. Saya hanya berharap besok pagi saya menemukan e-mail balasan darinya. Besok, lusa, besok lusa saya menunggu dan tidak ada balasan yang masuk. Saya merasa bodoh. Malu sekaligus. "Kenapa saya mengirim e-mail itu?" pikir saya terus-menerus.

Saya tidak mau meneleponnya atau mengiriminya sms. Hari kelima setelah malam itu dia baru terlihat online lagi. Tapi tidak ada sapaan, tidak ada balasan apa-apa. Meski saya juga online saya tidak mau memulai percakapan. Lalu tepat seminggu berlalu. Sore itu. Dia menyapa saya di tempat biasa kami chatting. Lalu memulai percakapan itu.

"Meida, saya minta maaf karena tidak membalas e-mail kamu dan membiarkan kamu menunggu begitu lama. But I know I am wrong. Saya kira memang sebaiknya kita berkawan saja. Maaf karena saya sudah menyakiti kamu seperti ini, tapi saya harap kamu mengerti. We're still best friends forever."


Setelah sore itu, hampir dua bulan rasanya saya tidak pernah berkomunikasi dengan dia.


--------------------------

Sembilan bulan yang lalu kurang lebih saya bercakap panjang dengannya lagi setelah banyak waktu diantara kami menghilang. Malam itu, seperti empat tahun yang lalu saat Piala Dunia tak habis-habisnya menjadi topik pembicaraan kami, saya mengingat sms-sms yang dikirimkan tengah malam, membicarakan sepak bola tak kunjung usai hingga pagi datang. Malam ini bukan hanya karena bola tapi juga cerita hidupnya dan saya.

Setelah melupakan sakit hati itu saya dan dia tetap berkomunikasi dengan baik, tetap berbagi cerita, tetap bercanda ria, tetap akrab. Namun memang kesibukan yang kemudian datang dan waktu yang tidak lagi seperti dulu rasanya terkadang merenggangkan kami berdua. Percakapan semakin jarang. Namun setiap perbincangan terjadi rasa persahabatan di antara kami masih terasa lekat.

"Meida, saya ada rencana untuk menikah tahun depan."

"Really? When? You know what? So do I."

"Oh, really? Great! So, we will getting married in the same year."

"Yup! So, when?"

"Hmm, awal tahun. Dekat Chinese New Year. Maybe on February. And how about you?"

"I have planning to get married maybe before Ramadhan next year. But actually i wanna do it when my birthday, hehehe! Just my dream."

"That's good, Meida. I am just happy now. Just can't believe it we are talking about marriage tonight. I will be a husband and you will be a nice wife. Sounds great, right?!"

"Yup! I am happy too."

"You know something? The greatest thing is after four years we're still best friends in these 'condition'."

"Hahaha! Yes, correct."

"Meida, mungkin kita tak punya banyak waktu lagi seperti dulu untuk saling bertukar cerita. But you still count on me to sharing everything."

"I know. Thank you to say that."


--------------------------------


Kemarin malam...


"Hye Meida, I want to tell you. I invite you to my wedding. But I know you won't come, right? Hehe!"

"Hi, yes, you know I can not come but I am really happy for you. I am really surprised actually when this morning you told me that you will married this week. I thought it will be next month, that is why I send you a message last night."

"How about you?"

"Don't ask! I was broke up two weeks ago."

"What??? How come? Why don't you tell me about this?"

"I can not tell everyone very soon about this. But I made this decision, I know the risk, I know what I want. And everything is gonna be okay. I am just fine now. ...."

...

"Meida, I respect your decision. I just hope all the best for your future. I am happy if you are happy. You can tell me if you need someone to share."



Percakapan kami semalam singkat namun lebih dari sekadar itu. Dia tahu apa alasan-alasan saya putus dengan kekasih saya. Dan dia tidak menyalahkan apa-apa, tidak memberikan masukan apa-apa, dia sedikit bertanya dan banyak mendengarkan saja.


--------------------------------


Ada suatu masa dimana saya pernah meleburkan semua foto-fotonya dan semua hasil cetakan pembicaraan saya dengannya. Saya pernah menjadi begitu gila dan bodoh karenanya. Memandangi foto-fotonya dan menangis sendiri karena begitu rindu. Sering kali saya mencetak semua hasil pembicaraan kami untuk dibaca kembali dikala rindu datang menderas. Ada masa dimana saya sesekali membenci dia, menjauh darinya dan hubungan kami merenggang. Ada masa dimana jarak dan waktu betul-betul menjadi musuh bagi persahabatan kami, sehingga tak ada lagi masa untuk saling bertukar cerita. Tapi seperti yang dulu dia selalu ucapkan sebagai kata penutup di setiap akhir pembicaraan kami, we're best friends forever.

Kami mungkin bukan lagi remaja yang senang tertawa membicarakan apa saja. Membodoh-bodohi diri dan mengahayal-hayal tentang hidup kami berdua. Kami mungkin kehilangan banyak cerita, kehilangan banyak petang yang sering kami lewatkan bersama dulu dalam suatu jarak yang membentang. Tapi di balik semua kehilangan itu, ia masih menjadi salah satu kawan terbaik yang saya miliki begitu juga mungkin saya baginya. 

Sabtu besok dia akan menikah. Saya tidak akan bisa datang ke pernikahan itu. Tapi saya sungguh berbahagia dia menemukan tambatan hatinya. Perempuan yang juga mencintainya. Berbahagia karena dia akan menikah.

Bahagiaku untukmu, Imran dan Haida.


 

Tuesday, March 8, 2011

Story of Me In Twain's Songs

Here are the rules:
- Choose a singer/band/group
- Answer using ONLY titles of songs by that singer/band/group

So I pick Shania Twain instantly


1. Are you male or female?
Man, I feel like a woman!

2. Describe yourself
She’s Not Just A Pretty Face

3. What do people feel when they're around you?
Nah!

4. How would you describe your previous relationship?
Leaving is The Only Way Out

5. Describe your current relationship?
(Wanna Get To Know You) That Good!

6. Where would you want to be now?
Honey, I’m Home!

7. How do you feel about love?
Party For Two

8. What's your life like?
It’s Alright

9. What would you ask for if you had only one wish?
Is There Life After Love?

10. Say something wise
Ces’t La Vie!

Monday, March 7, 2011

Berumah Di Atas Angin

: R

masih saja tak kupahami setelah percakapan senja kita
sampai kapan kau membiarkan tubuhmu debu
rela saja terbang kemana-mana, tanpa arah tak bertujuan.


pernahkah lelah singgah pada bahumu yang semacam bidang, menampung apa saja, dan kau bilang petualangan hidup, inilah. nikmati maka. sementara kadang gila pikirku kau melayang-layang seperti tak bersarang. tak pernahkah bahkan gelitik ilalang yang bergoyang-goyang itu menggodamu hingga jatuh, ingat pulang ke tanah?


"sarangku angin, pulang kesana. rumahku selama masih mampu ku terbang, berpetualang." mengutip tiran itu bahkan kau katakan "hanya kuburan yang dapat meluruskan si bongkok."


ah, buat apa aku menunggu. bahkan perempuanmu pun tak bisa . membelah tangannya melepaskan rantai yang sedang sibuk kau urai. mencari takdirnya sendiri.



Jakarta, 7 Maret 2011

Friday, March 4, 2011

Curhatan Pagi

Pagi ini saat tiba di kantor ada yang mengirimkan pesan di YM saya. Mbak Novi. Awalnya cuma menanyakan apakah saya jadi ke Bali. Percakapan itu berlanjut sampai akhirnya saya jadi curhat tentang masalah percintaan saya yang baru kandas minggu lalu. Ini bukan obrolan serius, sekadar iseng berbagi cerita saja. Tapi setiap perbincangan bagi saya selalu ada pesan atau pun kesan yang melekat. Pagi ini dengan Mbak Novi, curhat singkat yang memberikan pesan-pesan dalam.

"Percaya deh, ikhlas dan tenang. Ketika kamu sudah siap, akan banyak yang menghampirimu. Seperti aku juga dulu setelah putus, akan menemukan orang-orang ajaib. Jalan dan belajar dari mereka.

Pikiran adalah doa. Dia lebih cepat melompat dibanding kata-kata. Susahnya berfikir positif tapi selalu sadari. Jadi kita berhenti berfikir negatif."
Lalu... Mbak Novi kirimkan puisi Chairil Anwar ini;


Jadi... isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup laki-laki, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
...Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa
Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Dan juga lirik lagu ini...

I am woman, hear me roar
In numbers too big to ignore
And I know too much to go back an' pretend
'cause I've heard it all before
And I've been down there on the floor
No one's ever gonna keep me down again
 
 Oh yes I am wise
But it's wisdom born of pain
Yes, I've paid the price
But look how much I gained
If I have to, I can do anything
I am strong (strong)
I am invincible (invincible)
I am woman

You can bend but never break me

'cause it only serves to make me
More determined to achieve my final goal
And I come back even stronger
Not a novice any longer
'cause you've deepened the conviction in my soul


I am woman watch me grow

See me standing toe to toe
As I spread my lovin' arms across the land
But I'm still an embryo
With a long long way to go
Until I make my brother understand

Oh yes I am wise

But it's wisdom born of pain
Yes, I've paid the price
But look how much I gained
If I have to I can face anything
I am strong (strong)
I am invincible (invincible)
I am woman
Oh, I am woman
I am invincible
I am strong

I am woman
I am invincible
I am strong
I am woman


Mbak Novi, terima kasih. Pelukku untuk kamu...


pic from here



Bali Day #3 - I am (Still) Happy

Pagi ini kami semua bangun agak siang. Pak Ngurah, driver kami pun datang jam 10 pagi. Bangun tidur kami langsung beres-beres pakaian dan semua barang-barang yang akan dibawa pulang kembali ke Jakarta. Pagi ini kami akan langsung check-out dari penginapan. Setelah keluar dari penginapan kami pergi sarapan nasi pedas, ga jauh dari tempat menginap. Hari ini tujuan utamanya cuma Tanah Lot. Selepas sarapan kami langsung meluncur di sana.

Sampai siang kami berada di Tanah Lot. Cuma muter-muter, foto-foto, bikin Tattoo. Dari Tanah Lot perjalanan dilanjutkan ke daerah Legian. Anggie, Iboy, Sekar dan Oneng mau pijat dulu di sebuah tempat dekat sana, sementara saya dan Anda yang ga mau dipijat memutuskan untuk muter-muter saja sambil cari minuman. Kami jalan melewati gang-gang sempit yang ga tau mengarah kemana. Sampai akhirnya menemukan sebuah cafe di Poppies 1. Jadi kami berhenti untuk minum sekalian Anda ga tanggung-tanggung pinjem charger dari waiter di sana untuk Blackberry-nya.

Sekitar jam lima sore, anak-anak yang tadi dipijat pun selesai sudah. Kami janjian ketemu di Mc Donald di depan Pantai Kuta untuk makan dulu. Setelah makan acara dilanjutkan dengan belanja di sepanjang jalan di daerah seminyak, tidak terlalu jauh dari Pantai Kuta. 

Jam delapan malam semuanya sudah kelihatan capek dan aimless, akhirnya kami memutuskan untuk langsung saja menuju airport. Hampir semua dari kami kehabisan baterai handphone, jadi kami pikir lebih baik untuk segera menuju airport supaya kami bisa ganti pakaian, pergi ke restoran yang bisa men-charge handphone kami yang sekarat baterainya, dan istirahat sebentar.

Pesawat kami seharusnya boarding jam 22:15. Saya, Anggie, Oneng dan Iboy akan pulang satu pesawat. Sekar terpisah sendiri, boarding jam 22:00. Sekar akhirnya menuju Jakarta lebih dulu. Sementara kami? Pesawat kami delay hampir dua jam. Baguuuuss....! Mati gaya lah sudah. Kami tiba di Jakarta hampir jam satu dini hari. 

Dalam perjalanan singkat ini, saya cuma meyakini satu hal, bahwa saya masih bisa merasakan bahagia. Saya masih punya teman-teman yang selalu ada dan setia bersama saya.




Bali Day #2 - Ubud, I wanna live here forever

Perjalanan pagi ini dimulai menuju Ubud. Saya sudah bangun dari jam setengah enam pagi tapi yang lain masih sibuk ngorok. Mereka baru mulai melek mata jam setengah tujuh. Padahal kan kemarin malam saya yang tidur paling larut. Dasar keboo... Hehe! Pagi ini dari hotel kami langsung menuju kosan si Mamat di Sanur untuk jemput Anda. Dari sana perjalanan lagsung dilanjutkan ke Ubud. Begitu memasuki wilayah Ubud saya langsung jatuh cinta setengah mati deh. Saya rela diasingkan di sini. Sumpah! Hehehe....

Tujuan kami pagi ini adalah Museum Antonio Blanco. Saya belum pernah ke sini sebelumnya. Anda bilang tempat kosnya yang lama ga jauh dari sini. Duh, saya pengen tinggal di sini saja selamanyaaaaa.... I won't have time to be bored! Tempatnya tenang, bersih, dan suasananya bagus banget. Cocok nih buat tempat pelarian. Jadi ingat BBM Friska malam sebelum saya berangkat ke Bali. Dia bilang, "semoga suasana Ubud bisa membawa ketenangan di hatimu."

Salah satu sudut jalanan menuju Museum Antonio Blanco - Ubud
Kami turun tepat di dekat sebuah pura. Di depannya ramai orang-orang sedang menyiapkan ogoh-ogoh karena sebentar lagi hari raya Nyepi di Bali. Di dekat sana ada semacam balai terbuka, banyak anak-anak kecil latihan menari. Semuanya laki-laki. Sementara saat kami masuk ke depan pura yang ada di sebelahnya, di halamannya juga sedang ada latihan menari. Yang di sini justru semuanya anak-anak perempuan. Ini salah satu hal yang saya selalu cinta dari Bali. Sebanyak apa pun budaya dari luar yang masuk, sebanyak apa pun orang asing yang tinggal di sana, masyarakat bali masih saja memegang kuat tradisi dan budayanya. Coba bayangkan Jakarta, dimana bisa kalian lihat anak-anak kecil menari tradisional setiap waktu? 

Sebelum ke Museum Antonio Blanco saya dan teman-teman makan dulu di sebuah tempat makan yang ada di salah satu gang kecil di sana. Meski cuma gang kecil tapi penuh dengan butik, restoran, dan rumah-rumah untuk home stay. Anda bilang waktu Ubud Writers and Readers Festival 2010 kemarin salah satu acaranya diselenggarakan di gang ini. Ada juga cafe yang Anda tunjukan kepada saya, katanya setiap minggu sering diadakan acara diskusi sastra di sana. Sounds cool, isn't it?

Selesai makan kami terus ke Pasar Ubud, belanja sedikit dan kemudian langsung ke Museum Antonio Blanco. Tempatnya bagus sekali. Sayang sekali di dalam museumnya dilarang mengambil foto. Tapi di museum ini ada Belih yang baik sekali mengantarkan kami sejak awal. Mulai dari memberikan welcome drink, menemani kami berfoto-foto dengan burung-burung di taman museum itu, sampai mengantarkan kami ke dalam melihat-lihat lukisan. Belih ini rela menjadi fotografer buat kami yang narsis foto-foto melulu. Kadang saat sedang mengambil gambar dia cekikikan sendiri melihat tingkah laku kami.

Selepas dari Museum Antonio Blanco kami sempat makan nasi campur di salah satu warung, masih di sekitar Ubud rasanya.Selesai makan siang perjalanan berlanjut ke Pasar Sukowati, dan kemudian lanjut ke Pantai Padang-padang. Pantai ini mungkin sudah makin ramai dikenal turis. Letaknya yang agak tersembunyi, kata Anda pantai ini sepi biasanya. Tapi hari ini beda total sama cerita Anda. Ramai sekali!!! Banyak turis yang berjemur di sana, banyak yang berenang dan surfing. Akhirnya mungkin hanya sekitar 15 menit berada di sana kami memutuskan untuk pergi.

Tujuan kami selanjutnya adalah pantai Double Six. Karena melihat waktu menjelang sore, kami memutuskan untuk duduk-duduk saja di sana sambil menunggu sunset. Setelah itu kami menuju Warung Made di kawasan Seminyak. Di sini sih acaranya selain makan juga sekalian curhat tentang cinta, hahaha! Makan malam kami tidak terlalu lama, karena selepas makan kami masih harus mengantar Shanti yang akan kembali ke Jakarta malam ini. Berkurang satu perempuan galau di perjalanan ini. :D


Setelah dari aiport kami mampir dulu di Legian. Mungkin hanya sekitar satu jam kami berada di sana, hanya menikmati suasana malam di Legian. Setelah itu kami langsung balik ke hotel. Saat itu rasanya sudah hampir jam duabelas malam. Saya, Iboy dan Anda memutuskan untuk berenang di penginapan. Tapi Anda yang baru secelup aja masuk ke kolam langsung memutuskan ga jadi ikutan karena kedinginan. Huh, payah deh! Sekar dan Anggie akhirnya ikut nyebur ke kolam setelah sempat jalan-jalan keluar beli minuman tengah malam buta. Baru hampir jam dua pagi kami balik ke kamar. Malam ini saya tidur hampir jam setengah empat pagi. Besok hari terakhir kami di Bali, perjalanan akan sedikit santai.



Thursday, March 3, 2011

Bali Day #1 - Escape

Bali I'm comiiiiinnggg!!!

Yup! Liburan singkat sekaligus pelarian tepat waktu. Saya dan enam orang teman kuliah dulu memutuskan untuk liburan ke Bali. Liburan yang tanpa perencanaan. Liburan perempuan-perempuan galau. Haha! Saya ingat sore itu tiba-tiba saja menghubungi saya di Blacberry Mesengger (BBM) dan mengajak saya untuk ikut liburan ke Bali, weekend akhir bulan ini. Malam harinya saya langsung menghubungi dia kembali dan memutuskan untuk ikut pergi. Dan besok paginya tiket langsung dipesan.

Rencana liburan yang tidak direncanakan ini membuat saya dan teman-teman berangkat dengan waktu dan pesawat yang berbeda-beda, tapi saya pikir gak masalah. Toh, di sana kita juga kumpul ramai-ramai lagi. Shanti berangkat lebih dulu, sendirian, Jumat malam, last flight dari Jakarta. Sekar berangkat Sabtu subuh-subuh sekali. Saya dan Oneng berangkat Sabtu sore dengan pesawat yang sama. Sementara Iboy dan Anggie berangkat Sabtu malam.

Kata Friska kenapa yang ikut dalam perjalanan ini seperti ada benang merahnya. Semuanya perempuan-perempuan yang galau, bermasalah dengan cinta, katanya. Saya sih ketawa saja, ada benarnya juga rasanya. Atau kebetulan saja. Atau memang senang-senang kami saja disebut begitu. Yang galau-galau bebas ngapain saja, namanya kan juga sedang galau! Hahaha....

Hari Sabtu yang ditunggu. Saya sengaja tidak mau diantar dari rumah ke bandara. Saya ingin menikmati kesendirian saya. Jadi papa hanya mengantar saya dari rumah sampai ke shelter bus Damri di dekat komplek rumah. Ternyata berangkat sendirian menyenangkan juga. Seru! Di pikiran saya selama perjalanan menuju bandara, memikirkan bagaimana tiket ke Jogjakarta untuk akhir Mei yang sudah saya beli itu nanti saya pergunakan untuk menjadi solo traveller.

Well, sampai di bandara saya tiba agak mepet karena sepanjang perjalanan diguyur hujan dan macet yang gak habis-habis, Oneng sudah datang lebih dulu sudah siap dengan burger di tangannya untuk saya. Setelah proses check-in kira-kira baru 10 menit kami duduk ternyata sudah disuruh masuk pesawat. Saya dan Oneng tidak duduk bersebelahan. Untung saya dapat duduk dekat jendela, jadi selama satu setengah jam saya melihat pemandangan ke luar, saya hanya tidur kalau pemandangannya cuma awan saja. Putih.

Sampai di Bali sudah hampir gelap. Shanti, Sekar dan Anda yang jemput kami di sana. Dari bandara Ngurah Rai kami langsung meluncur ke Rock Bar, di Ayana Resort, Jimbaran. Beberapa kali ke Bali, ini kali pertama saya ke sini. tempatnya kereeeeeeennnnn banget!!! Kami tiba disana pas banget sunset, that was perfect! Awesome!

Rock Bar

Sunset di Ayana Resort


Beberapa jam kami di Rock Bar cuma duduk-duduk, foto-foto dan minum-minum menghilangkan capek. Keasikan santai di Rock Bar ternyata jam sudah menunjukan pukul 10.00 waktu Bali, means pesawat Anggie dan Iboy sebentar lagi mendarat. Kami langsung segera kabur untuk menuju bandara lagi menjemput mereka. Dalam perjalanan Anggie dan Iboy ribut BBM yang isinya cuma "Woooiii, dimanaaaaa???" Untungnya jalanan dari Ayana Resort menuju bandara ga terlalu macet.  So, setelah semua datang dan kumpul kita langsung menuju penginapan kami, Jayakarta, Seminyak.

Pacar Anda, si Mamat malamnya datang ke penginapan kami. Lupa rasanya bagaimana, saya yang lagi putus cinta ini malah jadi curhat sama dia. Sebenarnya antara ingin gak ingin cerita, tapi jadi curhat semalaman deh. Bagus juga rasanya diceramahin bule, langsung nancep di hati omongannya (dan tatapannya yang bikin ga bisa ngomong bohong). Saya lupa akhirnya tidur jam berapa. Anda dan Mamat balik hampir jam setengah dua pagi kalau gak salah. Dan teman-teman saya yang lain sudah pergi tidur duluan. Akhirnya saya nyusul tidur dengan hati yang lebih lega (jujur lho ini). Besok pagi Pak Ngurah, driver kami selama di Bali sudah akan stand by jam delapan pagi untuk perjalanan ke Ubud.

So, here we are....