ada yang dirajut setiap pagi,
sambil membaca puisi
atau minum secangkir hangat kopi;
harapan
ketika awan mendung, aku akan berlari keluar, bertelanjang kaki dan menari bersama rinai hujan. Dalam basah akan kutemukan inspirasi, maka pada kata-kata ini kukristalkan dingin kisahnya
Friday, January 28, 2011
Sunday, January 23, 2011
Tidak Lelahkah Kau
: Shanti Hapsari
telah kutanyakan padamu
tidak lelahkah kau
menjadi pokok berbunga
yang setia mematung saja
di tepi jalan sepi itu
menanti pengembara yang berjalan
setiap hari di sana
tanpa memandang kembangmu
karena ia lurus saja mencari
matahari yang jelas bersinar
sementara ranting-rantingmu
serupa jari-jari berdoa
meski sudah kau palangi gerbangmu
dan pintumu pun kau kunci
ia menyelinap kedalam mimpimu
lewat lubang galian pencuri*
tidakkah baiknya kau
mempusarai saja mimpi
lalu tetap terjaga
letihlah, sayang,
menjadi rumput yang diam-diam
memandangi punggung langit
cari saja embun
yang membasuh tiap lukamu
setia hingga pagi
atau serangga yang senang hinggap
membuatmu tertawa hingga petang
pada saat mentari terbenam, awan berarak bagai bendera
aku pun mulai merenung:
apa pula makna mencintai seseorang yang di luar raih tanganku ini**
Bekasi, 22 Januari 2011
*Penggalan dari terjemahan puisi jepang "Sudah Kupalangi Gerbangku" oleh SDD
**Terjemahan puisi jepang " Pada Saat Mentari Terbenam" oleh SDD
telah kutanyakan padamu
tidak lelahkah kau
menjadi pokok berbunga
yang setia mematung saja
di tepi jalan sepi itu
menanti pengembara yang berjalan
setiap hari di sana
tanpa memandang kembangmu
karena ia lurus saja mencari
matahari yang jelas bersinar
sementara ranting-rantingmu
serupa jari-jari berdoa
meski sudah kau palangi gerbangmu
dan pintumu pun kau kunci
ia menyelinap kedalam mimpimu
lewat lubang galian pencuri*
tidakkah baiknya kau
mempusarai saja mimpi
lalu tetap terjaga
letihlah, sayang,
menjadi rumput yang diam-diam
memandangi punggung langit
cari saja embun
yang membasuh tiap lukamu
setia hingga pagi
atau serangga yang senang hinggap
membuatmu tertawa hingga petang
pada saat mentari terbenam, awan berarak bagai bendera
aku pun mulai merenung:
apa pula makna mencintai seseorang yang di luar raih tanganku ini**
Bekasi, 22 Januari 2011
*Penggalan dari terjemahan puisi jepang "Sudah Kupalangi Gerbangku" oleh SDD
**Terjemahan puisi jepang " Pada Saat Mentari Terbenam" oleh SDD
Wednesday, January 19, 2011
Casanova
jejakmu menerbitkan bunga-bunga surga
kuntum yang rekah di taman para hawa
ialah mereka;
perawan-perawan wangi
permaisuri raja-raja
janda kesepian
mungkin juga biarawati
kau bara
yang merah dalam legam
melahirkan panas, gelora
yang berkepanjangan
pada setiap hati yang mendamba
menggetarkan
rumput yang menggelitik angin
menggodanya siang-siang
malam-malam
kau langit padam dengan rembulan
ribuan bintang tubuhmu
mulutmu segala puja puji
pelukmu darah mendidih
deras hujan yang melahirkan gigil
mendebarkan
Wahai, kau petualang!
Jakarta, 19 Januari 2011
kuntum yang rekah di taman para hawa
ialah mereka;
perawan-perawan wangi
permaisuri raja-raja
janda kesepian
mungkin juga biarawati
kau bara
yang merah dalam legam
melahirkan panas, gelora
yang berkepanjangan
pada setiap hati yang mendamba
menggetarkan
rumput yang menggelitik angin
menggodanya siang-siang
malam-malam
kau langit padam dengan rembulan
ribuan bintang tubuhmu
mulutmu segala puja puji
pelukmu darah mendidih
deras hujan yang melahirkan gigil
mendebarkan
Wahai, kau petualang!
Jakarta, 19 Januari 2011
Monday, January 17, 2011
Seseorang Yang Biasa Saja
bahunya jingga senja
hangat sore tempat bersandar airmata
ringkuk nyaman bayi
seperti dalam buaian
bintang kejora matanya
yang juga jendela tempat mimpi
dipandang berulang kali
dengan harapan itu tak pernah terlalu tinggi
seseorang yang biasa saja
yang menggengam tanganku kala sakit
mengelusnya, sambil berkata:
semua akan baik-baik saja
yang setiap malam
mengecup kening dan berbisik,
selamat malam, kekasih
tidurlah, lelaplah...
padanya, setia akan tiba
karena cinta yang sebenarnya
tanpa merasa hilang
tak ada yang kurang
*terinspirasi dari "Curhat Buat Sahabat" milik Dewi "Dee" Lestari
Jakarta, 17 Januari 2011
hangat sore tempat bersandar airmata
ringkuk nyaman bayi
seperti dalam buaian
bintang kejora matanya
yang juga jendela tempat mimpi
dipandang berulang kali
dengan harapan itu tak pernah terlalu tinggi
seseorang yang biasa saja
yang menggengam tanganku kala sakit
mengelusnya, sambil berkata:
semua akan baik-baik saja
yang setiap malam
mengecup kening dan berbisik,
selamat malam, kekasih
tidurlah, lelaplah...
padanya, setia akan tiba
karena cinta yang sebenarnya
tanpa merasa hilang
tak ada yang kurang
*terinspirasi dari "Curhat Buat Sahabat" milik Dewi "Dee" Lestari
Jakarta, 17 Januari 2011
Melankoli
Beberapa kali aku menangis ketika berbicara denganmu dalam suatu jarak yang memisahkan kita. Aku tidak tahu apa alasannya. Kadang, kamu tiba-tiba saja muncul setelah sekian lama kita kehilangan aroma kata-kata. Dadaku mendadak saja sesak, mataku panas, dan airmata itu mengalir di pipiku.
Jangan sebut aku sombong. Tidak begitu. Kamu yang terkadang acuh, tahu!
"Setelah sekian lama, masih saja berprasangka. Seperti baru kenal."
"Memang, kadang rasanya seperti bukan yang aku kenal."
"Tegaaa...."
"Hanya kadang, kan. Mungkin juga dalam kadang itu justru aku seperti yang bukan aku."
"Hmm, lebih cocok begitu."
Hari ini begitu melankoli. Sendiri saja di rumah ini menikmati gerimis. Tanpa ada sesiapa pun. Berbaring-baring sendiri di dalam kamar dan merasai kesepian. Kamu tau apa yang paling menyakitkan dari rasa kesepian? Adalah ketika kita sadar bahwa memang tiada siapa-siapa yang kita punya.
"Apa yang kamu lakukan saat merasa kesepian?"
"Mengingatmu."
"Ah, jawaban gombal. Aku tanya beneran."
"Aku jawab beneran. Denganmu tidak ada yang perlu digombali lagi."
"Kalau begitu aku ralat pertanyaannya. Sebelum mengenalku, apa yang kamu lakukan saat merasa kesepian?"
"Sebelum mengenalmu, aku juga punya seseorang seperti kamu. Jadi ya begitu."
"Gak kreatif jawabanmu."
"Memang kenyataannya begitu."
Tiada sesiapa pun yang memahami sepiku. Mungkin salah karena inginku terlalu tinggi. Mungkin mauku yang selalu bertolak belakang. Berfikir sendiri. Bertanya pada Tuhanku yang Maha Mengerti. Duh, betapa bodohnya aku membiarkan waktu berlalu tanpa apa-apa. Sementara detik terus berlari-lari kecil dalam harimu.
Bagaimana kita mencatat kenangan ini nanti? Kamu ada tapi tiada. Aku maunya kamu nyata! Sementara katamu kenangan kita adalah lagu dalam piringan hitam. Tak tercatat tetapi selalu ada setiap diputar.
Mengingatmu adalah ketika pagi membaca puisi. Kata-kata yang terbit menyebarkan wangi di rumput-rumput yang bercinta dengan embun semalaman. Atau ilalang yang berselingkuh dengan angin. Ah, kamu....
Bekasi, 16 Januari 2011
Jangan sebut aku sombong. Tidak begitu. Kamu yang terkadang acuh, tahu!
"Setelah sekian lama, masih saja berprasangka. Seperti baru kenal."
"Memang, kadang rasanya seperti bukan yang aku kenal."
"Tegaaa...."
"Hanya kadang, kan. Mungkin juga dalam kadang itu justru aku seperti yang bukan aku."
"Hmm, lebih cocok begitu."
Hari ini begitu melankoli. Sendiri saja di rumah ini menikmati gerimis. Tanpa ada sesiapa pun. Berbaring-baring sendiri di dalam kamar dan merasai kesepian. Kamu tau apa yang paling menyakitkan dari rasa kesepian? Adalah ketika kita sadar bahwa memang tiada siapa-siapa yang kita punya.
"Apa yang kamu lakukan saat merasa kesepian?"
"Mengingatmu."
"Ah, jawaban gombal. Aku tanya beneran."
"Aku jawab beneran. Denganmu tidak ada yang perlu digombali lagi."
"Kalau begitu aku ralat pertanyaannya. Sebelum mengenalku, apa yang kamu lakukan saat merasa kesepian?"
"Sebelum mengenalmu, aku juga punya seseorang seperti kamu. Jadi ya begitu."
"Gak kreatif jawabanmu."
"Memang kenyataannya begitu."
Tiada sesiapa pun yang memahami sepiku. Mungkin salah karena inginku terlalu tinggi. Mungkin mauku yang selalu bertolak belakang. Berfikir sendiri. Bertanya pada Tuhanku yang Maha Mengerti. Duh, betapa bodohnya aku membiarkan waktu berlalu tanpa apa-apa. Sementara detik terus berlari-lari kecil dalam harimu.
Bagaimana kita mencatat kenangan ini nanti? Kamu ada tapi tiada. Aku maunya kamu nyata! Sementara katamu kenangan kita adalah lagu dalam piringan hitam. Tak tercatat tetapi selalu ada setiap diputar.
Mengingatmu adalah ketika pagi membaca puisi. Kata-kata yang terbit menyebarkan wangi di rumput-rumput yang bercinta dengan embun semalaman. Atau ilalang yang berselingkuh dengan angin. Ah, kamu....
Bekasi, 16 Januari 2011
Sunday, January 16, 2011
Tiada
yang ada
tiada
tak pernah
ada
tak menyapa
yang ada
tiada
apa-apa
yang terasa
benar-benar, ternyata
tiada
tak pernah
ada
Bekasi, 16 Januari 2010
tiada
tak pernah
ada
tak menyapa
yang ada
tiada
apa-apa
yang terasa
benar-benar, ternyata
tiada
tak pernah
ada
Bekasi, 16 Januari 2010
Friday, January 14, 2011
Hujan Menghutan Kabut*
perjalanan perih
kita serupa dua orang buta, meraba-raba
aku mencari kebahagiaan
engkau entah mencari apa
gerimis berderai-derai
hatiku kebas
tak makin mengakar kemana jua
perlahan nanti begitu juga
dengan hatimu
badai makin kencang
kita makin gagu
gigil senang menyerang
sementara aku kehilangan pedang
siapa menjelma panglima
lawankan gelegar petir untukku
hujan begitu deras
tiap pagi, tiap siang, tiap malam
pandanganku mengabut
tersesat pada hujan yang kau kirimkan
Jakarta, 14 Januari 2011
*status siang Cunong S. Suraja
kita serupa dua orang buta, meraba-raba
aku mencari kebahagiaan
engkau entah mencari apa
gerimis berderai-derai
hatiku kebas
tak makin mengakar kemana jua
perlahan nanti begitu juga
dengan hatimu
badai makin kencang
kita makin gagu
gigil senang menyerang
sementara aku kehilangan pedang
siapa menjelma panglima
lawankan gelegar petir untukku
hujan begitu deras
tiap pagi, tiap siang, tiap malam
pandanganku mengabut
tersesat pada hujan yang kau kirimkan
Jakarta, 14 Januari 2011
*status siang Cunong S. Suraja
Thursday, January 13, 2011
Yang Tidak Terbeli
baru saja empat hari ibunya pergi ke negara empat musim itu, ia merasa ketakutan pagi ini. mungkin udara yang begitu muram membuat hatinya merasa berduka. hujan hampir setiap malam turun begitu kencang, membuat ia selalu merapatkan lagi selimut sampai ke dagunya. ia memikirkan ibunya. bagaimana jika ibunya tidak pernah kembali lagi? akan seberapa berat hidupnya nanti? dengan ayahnya yang makin menua dan sakit-sakitan, adik perempuannya yang kebetulan sedang sakit dan terlihat seperti mayat berjalan. lunglai. dan adik lelakinya yang masih harus menyelesaikan kuliahnya.
sebagai anak pertama ia merasa ada beban yang begitu berat yang harus dipikulnya. belum lagi lelaki yang selalu menitipkan harapan setiap malam di bahunya. semacam ada kotak kaca berisi mimpi-mimpi yang tidak pernah letihnya lelaki itu mendesak-desakkan isinya sehingga kotak itu bisa menampung lebih banyak mimpinya. sementara ia ingin mengatakan, "aku tidak sanggup lagi."
kadang, ada sebuah kondisi yang membuat kita tidak mampu melawannya. gadis itu, dengan segala bebat yang selalu dibawanya kemana-mana, merasa lebih baik ia menerima pinangan lelaki itu. lelaki yang tidak dicintainya. meskipun akan mederita berkepanjangan tapi akan membantu keluarganya dalam situasi yang lebih baik. lelaki itu akan menolongnya. setidaknya, ia masih punya tempat untuk bersandar dan ada yang memeluknya ketika ia menangis.
Tuhan maha pembuat rencana. maka ia percaya saja, bahwa masih ada keriaan yang rahasia yang telah Tuhan persiapkan untuknya nanti. ia hanya harus belajar merelakan mimpi-mimpinya sendiri. mimpi-mimpi yang tidak pernah terbeli. tidak pernah terbeli...
Tuhan maha pembuat rencana. maka ia percaya saja, bahwa masih ada keriaan yang rahasia yang telah Tuhan persiapkan untuknya nanti. ia hanya harus belajar merelakan mimpi-mimpinya sendiri. mimpi-mimpi yang tidak pernah terbeli. tidak pernah terbeli...
Wednesday, January 5, 2011
Ia Hanya Bunga
: Jajang Nurjaman
kuntum bunga rekah menebar wangi
harum madu di tamanmu
kau ingin menjelma embun
yang mengecup lembut pipinya
setiap pagi sebelum mentari
lebih dulu membangunkannya dari mimpi
bunga rekah menebar wangi
mengundang lebah-lebah menari, disekelilingnya
sementara ia hanya bunga
yang menggoda setiap mata
mungkin bukan salahnya juga merona
kau burung gereja yang hinggap
di dahan pohon itu
menyanyikan lagu merdu untuknya
(meski bagimu mungkin itu lantunan lirih)
menghiburnya, mungkin juga menggodanya
menemani sepinya
pada taman yang tak berpenghuni
tapi ia hanya bunga
merekah yang menebar wangi
yang senang menggoda
tanpa acuh dengan risaumu
Jakarta, 5 Januari 2010
kuntum bunga rekah menebar wangi
harum madu di tamanmu
kau ingin menjelma embun
yang mengecup lembut pipinya
setiap pagi sebelum mentari
lebih dulu membangunkannya dari mimpi
bunga rekah menebar wangi
mengundang lebah-lebah menari, disekelilingnya
sementara ia hanya bunga
yang menggoda setiap mata
mungkin bukan salahnya juga merona
kau burung gereja yang hinggap
di dahan pohon itu
menyanyikan lagu merdu untuknya
(meski bagimu mungkin itu lantunan lirih)
menghiburnya, mungkin juga menggodanya
menemani sepinya
pada taman yang tak berpenghuni
tapi ia hanya bunga
merekah yang menebar wangi
yang senang menggoda
tanpa acuh dengan risaumu
Jakarta, 5 Januari 2010
Tuesday, January 4, 2011
Ia, Begitu Rahasia Menyimpan Duka
aku pernah melihat tawa
dari bibirmu yang merekah merah
canda yang kau kirimkan
pada percakapan petang kita
rindu yang kau sisipkan pelan-pelan
di bawah bantalku, pada malam-malam hujan
agar kita saling berpeluk dalam mimpi
mendadak, senyummu menjelma kemuraman pagi
yang tak disapa mentari
hatimu memalsu, menggambar raut
yang pura-pura, hanya menempel
sebagai topeng berwajah ceria
aku ingin menjelma kuntum bunga
yang merekahkan senyummu kembali
pelukan gerimis yang menenangkan resah daun-daun
dari angin sore yang nakal
menyanyikan lantunan tik... tik... tik...
namun kau bukan ilalang
yang mudah goyang
kau pokok yang angkuh
yang membisu cerita, diam saja
merahasiai bagaimana bunga-bunga
mekar lagi dari tubuhmu
aku rumput yang tumbuh
di bawah teduhmu
menemanimu saja
sambil bertanya-tanya
kenapa?
Jakarta, 4 Januari 2011
dari bibirmu yang merekah merah
canda yang kau kirimkan
pada percakapan petang kita
rindu yang kau sisipkan pelan-pelan
di bawah bantalku, pada malam-malam hujan
agar kita saling berpeluk dalam mimpi
mendadak, senyummu menjelma kemuraman pagi
yang tak disapa mentari
hatimu memalsu, menggambar raut
yang pura-pura, hanya menempel
sebagai topeng berwajah ceria
aku ingin menjelma kuntum bunga
yang merekahkan senyummu kembali
pelukan gerimis yang menenangkan resah daun-daun
dari angin sore yang nakal
menyanyikan lantunan tik... tik... tik...
namun kau bukan ilalang
yang mudah goyang
kau pokok yang angkuh
yang membisu cerita, diam saja
merahasiai bagaimana bunga-bunga
mekar lagi dari tubuhmu
aku rumput yang tumbuh
di bawah teduhmu
menemanimu saja
sambil bertanya-tanya
kenapa?
Jakarta, 4 Januari 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)