Thursday, March 1, 2012

Kupu-Kupu

Senja baru saja lewat ketika aku sampai di rumah. Penat sekali rasanya hari ini. Aku langsung menuju kamar, merebahkan diri di atas ranjang. Suamiku belum pulang.

Jendela kamarku terbuka. "Huh, kebiasaan," dengusku kesal. Pasti ia lagi-lagi lupa menutup jendela sebelum berangkat kerja. Padahal sudah berkali-kali ia kuperingatkan jangan lupa menutup jendela kamar sebelum meninggalkan rumah. Aku bukan takut dengan pencuri. Tapi aku benci kalau ada serangga yang masuk. Capung lah, kumbang, tawon, terutama kupu-kupu.

Taman di rumah sebelah penuh ditanami bunga. Itu yang kukira menjadi penyebab banyaknya serangga yang terbang di dekat sini. Aku tidak masalah dengan bunga-bunganya, tapi aku benci jika serangganya yang mampir ke dalam kamarku.

Aku hampir tertidur sebelum kulihat seekor kupu-kupu hitam menyelinap masuk melalui jendela itu. "Brengsek," ucapku, melihat kupu-kupu itu menari-nari genit di dalam kamarku. Lalu ia hinggap di atas bingkai foto pernikahanku yang terpajang di atas meja di sebelah lemari pakaianku.

Letih yang merasuki tubuh membuatku malas beranjak dari atas kasur. Ingin rasanya kuambil sapu lidi, dan memukul kupu-kupu itu hingga remuk sayapnya. Tapi dari atas kasur aku hanya mengawasinya, mengikuti gerak-geriknya. Menjijikkan.

Aku heran pada kebanyakan orang yang menganggap kupu-kupu itu serangga yang cantik, lucu. Cih! Kupu-kupu itu penipu. Tidakkah kalian pernah sadari, betapa aneh dan jelek muka kupu-kupu itu? Seperti wajah nenek-nenek yang merengut. Betapa liciknya kupu-kupu itu bagiku. Menggunakan sayapnya untuk memikat hati. Menari-nari supaya terlihat indah, menebarkan warna-warna. Padahal ia hanya wujud metamorfosis dari ulat yang menjijikan itu. Yang senang menggeliat-geliat, seperti belatung yang suka hinggap di bangkai. Busuk.

Kupu-kupu hitam itu masih melayang-layang di dalam kamar. Berputar-putar. Membuatku pusing. Terus saja menari-nari, mengepak-ngepak sayapnya yang hitam seperti kelelawar.

***

Pelan-pelan terdengar suara lirih seorang wanita bernyanyi. Wanita setengah baya itu bergaun hitam, bernyanyi sambil berputar-putar, mengepakkan tangannya ke atas ke bawah, seolah ingin terbang tinggi. Aku tidak tahu lagu apa yang disenandungkannya, yang jelas suaranya membuat telingaku sakit.

Dia terus berputar-putar di sana, di sebuah panggung. Bernyanyi dengan suara pas-pasan dan meliuk-liukkan badannya dengan kaku. Mirip belatung. Matanya berkedip genit, berusaha memikat para lelaki. 

Setelah selesai menyanyikan sebuah lagu, ia turun dari panggung. Menghampiri seorang lelaki muda yang sedari tadi menunggunya. Dan mereka berlalu, pergi meninggalkan pentas itu.

***

Aku ingin melempar muka sundal itu dengan sendal butut. Meneriakinya sebagai wanita tak tahu malu. Aku ingin menghujaninya dengan bertubi-tubi makian, hingga dia mampus. Biar dia sadar, siapa yang dia coba ganggu. Dasar setan!

Betul-betul pembohong payah. Ketika kulabrak, dia bilang tidak ada hubungan apa-apa dengan suamiku lagi. Lalu, apa maksudnya menelpon suamiku tiap hari, tiap malam, sms berkali-kali, memanggilnya sayang, minta ketemuan? Menjaga silahturahmi dengan mantan selingkuhannya, begitu? Alasannya cuma teman berbagi cerita. Cerita apaan? Masa lalu di atas ranjang?

Anaknya sudah dua, masih saja demen selingkuh. Pintar betul wanita itu cari lelaki yang lebih muda. Jelas saja alasannya, biar lebih puas di atas kasur. Pasti suaminya sudah loyo, sehingga tak menyeimbangi libido tinggi istrinya yang sundal itu. Apalagi katanya suaminya gak perhatian, kaku, gak romantis. Bisa kubayangkan kasihan betul nasibnya. Aku jadi ingin ngakak di depan mukanya.

Kabarnya dia sekarang lagi gencar mengajari anak perempuannya menyanyi dan menari. Hahaha, tahu betul dia bagaimana membekali anaknya yang beranjak remaja itu menjadi sundal sepertinya. Betul memang ungkapan buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya. Pasti nanti bocah itu juga pintar memikat lelaki untuk memuaskan tubuhnya, menggoda laki-laki beristri dengan nyanyian dan liukan tubuhnya yang seperti belatung.

Aku kira dia mendapat karma karena perselingkuhannya itu. Karena menggoda suamiku, atau menggoda laki-laki yang lain. Karena mengkhianati suaminya, keluarganya. Anak keduanya, bocah laki-laki yang masih batita itu, menderita TBC dan kesulitan berjalan serta berbicara. Sudah hampir dua tahun usianya, masa masih merangkak saja. Mampus! Rasakan hukumanmu dari Tuhan, sundal kampung! Jelas saja anakmu jadi susah berjalan, wong waktu kau hamil keseringan dikangkangi laki-laki.

***

Aku tersentak bangun ketika mendengar bunyi pintu kamar dibuka.

"Ketiduran ya?" tanyanya sambil mengecup keningku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menyadarkan diriku yang masih dilanda kantuk. Samar-samar aku masih mendengar suara wanita bernyanyi.

"Sayang, kamu pasti lupa tutup jendela lagi sebelum pergi tadi, ya? Lihat," kataku sambil menunjuk kupu-kupu hitam itu yang sekarang bertengger di dinding.

Ia berdiri, menggambil sapu lidi di sebelah tempat tidur. Praaaakk!!! Kupu-kupu itu lalu jatuh ke lantai. Sayapnya patah, remuk. Dipungutnya, dan dimasukkan ke dalam tempat sampah.

"Sudah mati, sayang. Sudah mati."



Jakarta, Maret 2012










No comments:

Post a Comment