Friday, November 26, 2010

(Semacam) Sajak dan Doa : Cinta Kami Untuk Asep Sambodja

UNTUK GURUKU
Oleh : Mentari Meida


: Asep Sambodja

Bapak...
teruslah berdoa, jangan berhenti
karena aku di sini tak usai-usainya mendoakan kesembuhanmu berjuanglah! sembuhlah!
lawan sakit itu semampumu

cinta teman-teman, keluarga,
murid-muridmu tak kan habis-habisnya
ikhlas dan tulus untukmu
maka tetaplah pupuk semangatmu

doa-doa masih terus mengalir
menderas setiap harinya
dari yang paling dekat di sisimu
sampai yang hanya memandangmu dalam jarak
percayalah!

jangan pernah berhenti berdoa
jangan putus berusaha
jika ini pun adalah derita
semoga Allah memuliakanmu di akhirnya
atas segala kesabaran dan ketabahan

Doaku untukmu, guruku.


Bekasi, 23 November 2010




KEPADA ASEP SAMBODJA
Oleh : Mentari Meida


hanya kata-kata ini yang bisa kuberikan
anggaplah ini doa
semoga menguatkan fisikmu
yang sedang diuji
yang sedang digerogoti

kau sendiri kan pernah bilang:
beginilah rasanya memasuki usia senja
sebentar-sebentar melihat jam
seperti ada yang dinanti
seperti ada yang menjemput*

taukah, Pak?
jalan setapak memang sepi
di tepinya hanya ada semak
dan lampu jalan
biasanya pun redup

aku tahu engkau ingin
ingin sekali
saat kau sakit, ada Ibu
yang bisa memelukmu erat-erat
yang mengusap kepalamu perlahan
sambil membisikan doa-doa
-yang ia hafal dengan baik-
untuk kesembuhanmu

di sini,
kami masih menemani
kawan-kawan masih ada
istrimu juga
jadi, tetaplah ceria
seperti pesan malaikat yang baik hati itu kan

semoga dzat yang maha besar
mengirimkan segala kebaikan
kepada raga dan jiwamu
semoga dzat yang maha kuasa
mendatangkan kesembuhan
mengangkat segala yang buruk
yang dibebankan sekarang
dari fisikmu

Cepat sembuh, Pak Asep!
Kami mendoakan.


Jakarta, 6 Agustus 2010

* dari puisi Asep Sambodja "Senja di Hati"





SAJAK BUAT KAWAN
Oleh : Heri Latief


 : Asep Sambodja

di kaki gunung merapi
dingin malam di awal musim hujan ini
kawan, kenangan itu memanggilnya
rembulan mempesona batinnya
terbacalah sebaris syair sajaknya
refleksi diri dalam hidup sederhana

kita ada kerna kita mencatat kejadian
jatuh bangun perjuangan anak bangsa
melukiskan pengalaman di kanvas kehidupan

: tetap semangat membela keadilan!

Amsterdam, 22/11/2010





ASEP
Oleh : Heri Latief


jauh di sana, di dekat jogja, kawanku asep sambodja sedang terbaring sakit berat. asep adalah penyair yg kukenal sejak akhir tahun 2000 di milis penyair (nanang suryadi).

beberapa kali aku jumpa asep d jakarta, kita pernah nongkrong bersama istrinya yuni di pinggir jalan di depan tim (cikini), ngobrol sembari ngopi dalam suasana yang akrab.

asep itu kawan yang asik diajak bicara soal sastra dan politik. asep pernah menulis esai tentang kumpulan puisiku "ilusiminimalis" (2003).

asep itu penyair yang punya ijasah sarjana sastra (ui), tulisannya yang terakhir banyak mengulas soal "lekra".

asep kawanku, smoga kau kuat menghadapi cobaan hidup ini, tetaplah semangat!


Amsterdam, 23112010





UNTUK TEMAN KAMI, ASEP SAMBODJA
Oleh : Aulia Akbari


Bila Allah mengabulkan doamu, maka sungguh DIA menyayangimu...
Bila Allah lambat mengabulkan doamu, maka sungguh DIA pun menyayangimu tapi DIA hanya ingin mengujimu...
Bila Allah tidak mengabulkan doamu, maka sungguh DIA pun tetap menyayangimu tapi DIA merancang sesuatu yg lebih baik untukmu...
Maka dari itu, kang asep harus tetap semangat, terus berdoa dan berprasangka baik yaa...



MENDENGAR TENGARAMU
Oleh : Tulus Wijanarko


:untuk Asep Samboja

"Mari tuliskan, saudara."

Suaramu seperti datang dari masa-masa pancaroba. Sebuah abad ketika ujung pena terbiasa gentar menjumput tinta—sedang peristiwa bersilapan dari halaman-halaman surat-kabar. Tak ada tanda seru. Juga rahang berbilur biru.

Kata-katamu bahkan serupa dua kerabat tak sengaja berpapasan di perjalanan. Tetapi, oh, “mari tuliskan”, adalah medan pertempuran tanpa tapal-batas. Arena yang tak terlunaskan anak panah para satria. Selaksa cakrawala yang mustahil digariskan Kurusetra lama.

Engkau mengangsurkan tangan ketika cuaca betapa rentan—meski bukankah memang demikian laku setiap pertengahan musim? Engkau sediakan lembar-lembar terbuka agar riwayat selalu dicatat dan dicernakan. Engkau seperti hendak memastikan segala berhak mendapat tempat. Semua layak diperiksa seksama. “Tuliskan, saudara, tuliskanlah!”

Hari ini telah jauh kita mengeja perang demi perang. Dan serupa tengara fajar pertama, masih erat kau genggam pena yang sama. Jejakmu ditandai di padang-padang luas. Tanpa nafas tersengal. Apalagi rasa sesal.
Seperti waktu itu, kembali kusahuti seruanmu.

"Tentu, saudara, mari selalu kita tuliskan!"

11/2010




SURAT SEORANG PEREMPUAN KECIL (UNTUK ASEP SAMBODJA)
Oleh : Hanna Fransisca


(Catatan Puisi yang Tak Serius)*
Zhu Yong Xia

ini puisi soal negara
puisi ini tidak terlalu serius
sama seperti negara yang tidak serius memberantas korupsi


Kang Asep Sambodja yang baik, suratmu telah aku terima dengan baik. 85 puisi yang berisi nyanyian hati seorang pecinta. Pecinta yang tulus berbakti kepada negeri, dengan cara yang paling ngeri. 85 nyanyian, 85 rintihan, 85 makian, 85 cinta bakti terhadap negeri, yang akan membuat pembaca paling dengki sakit hati.

Jika ada dokter yang gugup membaca puisi, maka ia adalah dokter yang penuh dengki. Jika ada presiden yang gelap hati lantaran namanya disebut dengan lantang lewat puisi, maka ia adalah presiden yang layak untuk bunuh diri. Jika ada anggota parlemen yang garang lantaran menentang puisi, maka ia adalah gerombolan orang yang tak layak dihormati. Jika ada segerombolan kaum tengik yang engkau sebut berkali-kali, sehingga mengguncang tubuhmu ribuan kali, maka itulah hakikat puisi ini.

Tapi jika ia adalah rakyat yang seumur hidupnya tak pernah mencuri, sehingga namanya layak diabadikan dalam puisi, maka itulah yang sesungguhnya engkau impikan setiap hari.

Membaca puisi yang engkau tulis, seperti mengingat seseorang yang lekat dalam ingatan. Seseorang itu adalah Han Fei Zi, yang jasadnya telah ribuan tahun terkubur, akan tetapi kata-katanya senantiasa mengancam orang-orang yang gugup membaca puisi. Izinkan aku, dalam kesedihan ini, membawamu pada pada jasad lapuk yang masih sangat berharga itu. Han Fei Zi, seorang filsuf besar dari bangsa Han (seorang Pangeran dari negara Han), yang aku yakin engkau pasti mengenalnya dengan baik. Ia hidup pada 475 SM, dan wafat pada 221 SM. Izinkan aku, dalam kegetiran membaca puisi-puisimu, menceriterakan kembali jasad lapuk yang sengaja ingin kubangkitkan kembali lantaran sabdanya yang tetap hidup hingga kini.

Pada usia 20, Han Fei berangkat ke negeri Chu untuk belajar pada Xun Qing, seorang filsuf dan pemikir China yang dianggap sebagai Aristoteles China. Xun Qing adalah pencetus pandangan bahwa: manusia sejak awalnya jahat dan mementingkan diri sendiri, maka pengawasan dengan cara pendidikan moral dibutuhkan untuk membimbingnya dalam jalan yang benar. Dari aliran pemikiran inilah Han Fei menarik kesimpulan bahwa: “Manusia pada dasarnya jahat, tapi bisa menerima peraturan hukum.”

Bayangkanlah, jika Han Fei Zi kembali bangkit dari kubur, lalu membaca puisi yang “tidak terlalu serius” yang engkau tujukan kepada presiden: ini puisi soal negara/ puisi ini tidak terlalu serius/ sama seperti negara yang tidak serius memberantas korupsi... Han Fei Zi, sama seperti aku sekarang, dipastikan tengah tertawa dengan luka menganga.

Baiklah, supaya sama-sama tidak terlalu serius, dan untuk mengimbangi Puisi yang Tidak Terlalu Serius ini, aku ingin melanjutkan cerita filsafat Han Fei Zi yang juga dituturkan dengan cara tidak terlalu serius. Adalah seekor macan, begitu tutur Han Fei Zi dalam kelakarnya, tiba-tiba muncul di tengah perkampungan. Semula penduduk kampung dan binatang lain lari ketakutan. Tapi, saat macan itu mengaum garang, seorang bocah berteriak keras: “Macan itu ompong! Macan itu ompong, dan tidak memiliki cakar!” Adakah yang lebih tidak serius, dari kelakar macan ompong yang tak memiliki taring? Lapindo, Century, Pertamina, adalah gusi-gusi lunak yang membikin Han Fei Zi tertawa terbahak-bahak seraya menuding presiden yang ditulis dalam puisi. Belum lagi membaca 84 puisi lain yang bicara tentang parlemen, polisi, jaksa, tentara, dan setumpuk gusi-gusi lunak lain yang selalu terlihat dalam mulut lebar terbuka. Lalu apakah ini yang disebut negara?

Jika negara telah terlanjur berbuat jahat, maka orang yang paling wajib bertindak mulia pun akan tergerak hatinya untuk berbuat serupa. Penyair adalah mahluk yang paling peka untuk mencatat. Mencatat apa yang terjadi di sekelilingnya, serta mencatat apa yang telah menimpa dirinya. Jika anggota parlemen menjadi bahan bidikan, pemimpin negara menjadi pusat pertaruhan, dan para koruptor menjadi sarang hujatan; maka bagaimanakah jika puisi juga mencatat kejahatan orang yang semestinya menerima predikat paling mulia? “Bahkan seorang dokter, di negara yang telah mencabut hukum dan moral dalam dirinya, telah ikut membuang kemuliaannya,” begitu engkau berpikir dalam surat puisimu yang ke tiga, dengan judul Dokter Lukman yang Kukenal. “Saya beritahukan bahwa untuk mengetahui penyakit di pinggang bapak/ ada tiga tahapan yang harus diambil/ setiap tahapnya 80 juta/ jadi semuanya 240 juta…”

Sahabatku, Asep Sambodja yang baik, perbandinganmu antara kebusukan anggota parlemen dan birokrasi negara, dengan Dokter Lukman yang Kukenal di dalam satu puisimu (dari 85 puisi yang dihimpun dalam buku ini), adalah sungguh-sungguh sebuah paradoks yang keterlaluan. Engkau terlihat begitu frustrasi dan kehilangan akal. Bahkan dari segi teknik, engkau telah dengan sengaja membuang semua metafor yang halus dan indah dalam puisi, menjadi sesuatu yang verbal dan gampang dibaca. Ada apakah dengan dirimu? Beruntunglah engkau menyebut puisimu adalah puisi yang tak serius, sehingga aku bisa bisa dengan enteng menanggapinya, menjadi sesuatu yang tak kalah “tidak seriusnya”. Tahukah engkau, bahwa dalam perbincangan yang tidak serius, Han Fei Zi juga memiliki referensi tentang hal ini? Ia mengatakan, setelah moral tidak lagi menjadi pegangan, maka: “Seorang tabib tidak menghisap darah atau nanah dari tubuh pasien karena kebaikannya, melainkan karena keuntungan yang akan diperolehnya.”

Demikianlah, puisi yang “tak serius”, di tengah negara yang sama tak seriusnya dengan puisi ini, akan menjadi hal yang sangat serius di tangan pembaca yang serius mencintai negerinya. Tentu ada beberapa puisi yang engkau anggap sebagai puisi sunyi yang berisi doa dan renungan terhadap diri. Tentang catatan kepada sahabat, tentang renungan kematian, dan tentang kefanaan hidup, yang ditulis dengan metafor yang sangat indah, --sebagai bukti bahwa engkau adalah penyair. Semua catatan ini, dari yang disebut “tak serius” hingga yang serius “melekat pada diri puisi”, telah ikut melengkapi sekian catatan perih yang engkau rasakan saat ini: sebagai seorang pribadi, sekaligus sebagai penyair yang tak pernah habis mencintai negerinya dengan sepenuh hati.

Jakarta, Oktober 2010


*Catatan pembuka pada buku puisi terbaru Asep Sambodja “Berhala Obama dan Sepatu Buat Bush.”






TETAPLAH SEMANGAT KAWAN, BUAT SAHABATKU ASEP SAMBODJA
Oleh : Donny Anggoro


Ketika saya masih merintis dan berjuang bersama kawan-kawan YMS saya mengenal Asep yang kala itu bekerja sebagai wartawan di media dot com Satunet. Sebagai sesama penulis diam-diam Asep memperhatikan karya-karya saya entah itu cerpen, puisi dan esei. Ya, kami sama-sama berjuang sebagai penulis sastra cyber generasi pertama yang pada awal kehadirannya dicibiri banyak orang, terutama sastrawan senior yang khawatir posisinya bakal tergerus.
Selanjutnya pertemuan-pertemuan kami terjadi kebetulan dan juga janjian. Kami sering ketemu di TIM tepatnya di PDS HB Jassin tempat para penulis berkumpul. Di PDS saya juga pernah duduk sebangku dengan Asep ketika didapuk menjadi moderator diskusi buku puisi untuk Munir "Nubuat Labirin Luka" dimana Asep bertindak sebagai pembicaranya.

Pertemuan saya terakhir dengan Asep ketika di Galeri Cipta TIM sekitar bulan Mei 2010 (barangkali) saat acara temu pengarang Remy Silado. Asep yang saya temui masih sehat dan gemuk tidak seperti dalam foto yang baru saya lihat di FB sekarang ini. Kami berbagi cerita tentang film THE READER yang ditulis dalam blog Asep. Saya memberinya sebuah majalah indie tentang teater sebagai kenang-kenangan karena saya tahu Asep juga seorang penggiat teater di samping sebagai sastrawan. Meski hadiah kecil barangkali majalah tersebut bisa memberi inspirasi buatnya dalam berkarya.

Sampai saya menerima kabar dari Ratna Djumala, sahabat yang kini bekerja sebagai asisten Riris Sarumpaet bahwa Asep menderita penyakit dan sedang dirawat di Jogja. Esoknya saya meluangkan waktu menelepon Asep dari kantor. Yang menerima Yuni, istri Asep. Sayangnya Asep tidak menerima telepon saya. Katanya Asep lagi nggak bisa ngomong. Tak banyak yang bisa saya lakukan selain hanya doa dan pijaran semangat yang bisa saya berikan dari jauh.

Mas Asep tetaplah semangat.
Saya selalu mengenangmu sebagai sahabat dan penulis yang baik.
Semoga Tuhan memberimu kekuatan dalam menghadapi cobaan ini.




UNTITLED (1)
Oleh : Widi Dwinanda


Kusampirkan doaku di jemuran,
seperti judul puisimu
Dan itu kuhadapkan langsung ke langit
Agar langsung dibawa angin menuju Tuhan
tanpa perantara..

Jika tubuh sudah lelah terkulai,
Tidur tanpa lelap menahan nyeri
Tapi, yakinlah
Tuhan tidak pernah tidur
di duniamu, dunia kita, bahkan di dunia khayal manusia itulah harapan

Sampiran doa itu bukan hanya dariku
Semua menitipkan doa dan harapan di setiap hembusan nafas untukmu.  Seribu cinta pun sudah terbang pada satu arah, yaitu : semangatmu karena jiwamu, telah jadi jiwa kami..

-- Bandung, 23 November 2010 ---

Kang, hidup adalah harapan…  Sejak kita lahir sampai akhir...
Jangan berhenti dengan menyerah, ya, kang…

Kami semua sayang akang…
Mba Yuni terutama, kami semua rindu, menjejakkan kaki di lantai Teater Daun, merkeringat bersama…
dan satu hal… akang sudah jadi motivasi saya untuk berani belajar dan salah…
begitupun saya, ingin akang terus memotivasi diri…




UNTITLED (2)
Oleh :  Mas Triadnyani*


Asep… taman rumahmu penuh warna-warni. Ada yang putih dan ada yang merah. Kupu-kupu, lebah, dan berbagai serangga berkenan singgah di tamanmu. Sebuah taman indah disirami oleh kasihNya.


*Nama account Facebook –nya.




“Para penulis, izinkan saya menyalin karya-karya kalian. Ini sekadar iseng-iseng saya mengumpulkan beberapa tulisan di Facebook dari para kenalan (mungkin sahabat, saudara, murid atau kerabat dari Pak Asep) yang ditujukan dan dibuat khusus untuk Asep Sambodja. Tulisan dan doa-doa yang mengalir untuknya setiap hari semoga menguatkan beliau dalam sakitnya. Semuanya menunjukan betapa besar cinta kami untukmu, bapak… Jadi tetaplah bersemangat. Doa kami selalu untukmu.

Silahkan membaca dan kirimkanlah doa-doa terbaik kalian untuk kesembuhan Pak Asep Sambodja.”


1 comment: