Perempuan Hujan

ketika awan mendung, aku akan berlari keluar, bertelanjang kaki dan menari bersama rinai hujan. Dalam basah akan kutemukan inspirasi, maka pada kata-kata ini kukristalkan dingin kisahnya

Perahu Nelayan

  • Girls and A Boy
  • Perahu Nelayan
  • Sketsa Hujan

Monday, November 28, 2016

Tentang Rindu

Ada yang selalu dikenang dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Dan ini tentang rindu...


Entah sudah berapa lama saya tidak lagi pernah duduk berjam-jam termangu di depan layar komputer, merenungkan hidup dan perjalanan, merasai cinta yang hilir mudik di hati dan membuatnya berdegup lebih kencang, lalu menuliskan kisah-kisah tentangnya. Entah sudah berapa lama hidup berjalan begitu saja tanpa lagi dirasa-rasai gairahnya. Entahlah...

Tiap kali membuka blog ini, tiap kali itu juga saya merasa terseret dalam pusaran lorong waktu yang membawa saya kembali pada kenangan di tahun-tahun silam, tahun-tahun ketika begitu banyak orang yang datang dan membawa kisahnya masing-masing, pembicaraan-pembicaraan panjang tengah malam, serta kehidupan dan gegas-gesanya yang selalu hadir di tiap pagi.

Katakanlah, mungkin saya merasa jenuh.
Mungkin juga sepi.
Atau rindu.


pic from here









Posted by Mentari Meidaa at 11:43 PM No comments:

Friday, August 12, 2016

Cahaya Pagi

Selalu, yang terkenang darimu
Adalah cahaya pagi
Ketika pijar pertama dan embun
Berkilau karenanya
Bahkan di sudut waktu yang muram
Oleh lembab udara yang kesal
Yang terkenang darimu adalah
Cahaya pagi



25 July 2016

Posted by Mentari Meidaa at 10:35 PM 1 comment:
Labels: Puisi Hujan

Menenun Ingatan

apa yang tersisa sepeninggal kita adalah rasa yang menjadi usang
dan dinding waktu yang beku. waktu kita sampai di sini.

lalu kau dan aku sama-sama merapihkan buku, menyusun serak-serak lembar kenangan
yang padanya kita titipkan semacam harapan.

hingga sampai suatu waktu, kelak kita diserang rindu dan kita akan mulai memintal dari lembar usang berdebu itu, menenum ingatan, tentang rasa yang t'lah dilupakan

dan kelak pula saat itu kita kembali saling menyalahkan
siapa yang lebih dahulu meninggalkan.


Jakarta, 26 Juni 2014
Posted by Mentari Meidaa at 10:26 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Tersiksa Sepi

apakah sepi yang membuatmu
menyerukan sunyi berulang-ulang
dan dadamu kosong; nyeri
yang kekal serupa mata belati

malam begitu lindap dan hujan turun di beranda
di dalam kamar kau tersiksa rasa yang ganjil
yang membuatmu kerap bertanya-tanya
apa benar karma itu ada?



Jakarta, 11 July 2014
Posted by Mentari Meidaa at 10:21 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Simpang Jalan

aku sampai pada suatu titik
berhenti
menggemakan namamu dalam kepala
mendebarkanmu dalam dada

kau simpang jalan itu
arahmu takkan kulalui lagi

hujan terlalu deras
untuk terus berlari
atau mengambil jalan pulang



Jakarta, 15 Juli 2014
Posted by Mentari Meidaa at 10:17 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Selingkuh

dalam pejam matanya
menciummu
yang dibayang
wajahku



Jakarta, 23 November 2015
Posted by Mentari Meidaa at 10:14 PM 1 comment:
Labels: Puisi Hujan

Dalam Ingatan

sebab dalam ingatanku
kau tak pernah memilihku
maka jangan salahkan jika aku pergi
lalu kemudian kau merasa kehilangan
dan menyesal


Salemba, 13 Desember 2015
22:56
Posted by Mentari Meidaa at 10:06 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Untuk: Capung Hijau

aku adalah daun kering yang jatuh
layu, sebelum tiba di tangamu
menjelma bunga rekah mewangi

aku adalah daun kering yang melayang
di pusaran angin yang
gemetar -
jatuh dan dilupakan

kau adalah aroma wangi pagi
di muka jendela
ingin kuhirup erat
lagi dan lagi

di tanganmu aku
adalah bayi yang ringkuk dan ingin
mendekap di dadamu
sepanjang hari



Salemba, 1 Mei 2016
Posted by Mentari Meidaa at 10:03 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Pulang Ke Kotamu

aku gentayangan
dengan perasaan gamang berkepanjangan
apa yang ingin aku kenang sebetulnya?
sebab di jalanan ini kita tak pernah
melangkah menggores cerita

pulang ke kotamu

hanya kebodohan-kebodohan
yang menghantui diri
lagi dan lagi
apa yang aku cari?

(seakan) ada yang berkata.

"kau pandir
dan terus menerus menggali 
kecewa"



16 Mei 2016
Posted by Mentari Meidaa at 9:59 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Di Kotamu

di kota ini tak ada lagi kenangan
yang kubawa pulang
aku merasa asing, sepi dan sendiri
bau pagi hanyalah tentang sakit hati
kenangan lama hanyalah tentang kecewa

kau selalu muncul sebagai rasa penasaran
dan aku mencintai kemungkinan-kemungkinan
yang diciptakan kepalaku sendiri



Jakarta, 17 Mei 2016
Posted by Mentari Meidaa at 9:54 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Senja Yang Cemas

barangkali adalah air laut yang pasang surut cinta kita itu. kau menjadi asin gelombang yang terus menyapu jejak kakiku di gigir pantai itu. lukaku perih dan tak kunjung sembuh, tapi seperti yang kelak kau tahu, aku selalu saja mencari dan menghampirimu.

kehilangan adalah hal yang sederhana, katamu, maka berbahagialah. tapi senja selalu menuntunku pada cemas. menculik satu demi satu kelip bintang yang sering kita eja di beranda malam-malam.

telah sekian lama aku lupa bagaimana menyalakan lentera di kepalaku. untuk tetap ingat bahwa matamu lah kunang-kunang penghias gulita. untuk tidak alpa bahwa aku pernah mengasihimu.

tapi senja selalu menuntunku pada cemas. bagaimana nanti aku mengingatmu saat gelap? sementara kenangan semakin surut pada magrib yang basah.



Jakarta, 17 Mei 2016

Posted by Mentari Meidaa at 9:51 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Kau Yang Dijemput Hujan

kau yang dijemput hujan, singgah datang ke rumahku
katamu, hujan hanya persoalan dingin dan basah
ada yang berbisik dalam hatiku,
"ada yang ingin menipumu"

bagaimana bisa kau menduga aku tak tahu
bahwa hujan selalu tentang kesedihan
yang turun tanpa boleh berharap
menggapai langit

ketika hujan berhenti
aku tak menemukanmu
dimana-mana



Jakarta, 17 Mei 2016
Posted by Mentari Meidaa at 9:45 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Sepeninggalmu Adalah Doa Serta Jalan Terjal Yang Berliku

sepeninggalmu adalah doa,
serta jalan terjal yang berliku

sebetulnya aku benci untuk selalu
mengambil arah menuju stasiun,
menjemput kereta, untuk pergi
dan tak tahu kapan kembali
tapi apa yang tersisa dari kota ini,
selain aku yang tersudut

sebab sejak mula aku thahu
kau takut merindukanku


"ada yang cemburu," bisikmu.



Salemba, 23 April 2016
Posted by Mentari Meidaa at 9:40 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Tuesday, May 17, 2016

Review Film AADC 2: Meski Kecewa Tetap Kupuja

Ini memang semua salah Rangga. Gara-gara kamu, Rangga, saya dua kali nonton AADC 2 (kalau bukan karena muka ganteng kamu, saya ogah deh nonton dua kali). Pertama kali saya sudah kuat-kuatkan hati melangkahkan kaki ke bioskop, saya khawatir baper menghadapi kamu. Tapi apa ternyata? Kamu bikin kecewa! 14 tahun pergi ke New York, pulang-pulang kok jadi tukang gombal. 

Untungnya saya nonton AADC 2 serombongan bareng temen kuliah, yang beberapa di antaranya sudah mewanti-wanti untuk jangan terlalu berekspektasi tinggi. Keluar dari bioskop, meski saya kecewa tapi seengaknya saya masih bisa ketawa ngomongin kamu bareng teman-teman.

Beberapa hari setelah nonton AADC 2 saya kemudian nonton AADC pertama, dimana kamu masih jutek banget dan jarang senyum. Sedikit bicara, tapi sekalinya bersuara bikin saya terpesona. Kamu di New York kenapa sih, Rangga? Pulang-pulang kok malah lebih sering cengengesan. Untung kamu masih ganteng (jadi saya tetap suka).



Kamu tau Rangga? Hampir semua media yang saya baca menghujat kamu, AADC 2 dan seisinya. Mulai dari Alya yang gak ada, soundtrack yang kurang nyantol di telinga, sampai produk sponsor yang banyak banget disempilin ke dalam film. Tapi fokus utama saya adalah omongan tentang perubahan karakter kamu. Rangga yang cool dan jutek mendadak banyak omong dan jadi tukang gombal, usia sudah kepala tiga malah ngajak tunangan orang muterin Jogja semaleman dan bikin baper. Saya pribadi paling kecewa dengan ending film kamu yang lebih mirip FTV murahan yang ada di televisi lokal. Bayangin aja, suasana sudah dibangun sedemikian rupa menuju klimaks; kamu datang nemuin Cinta di galerinya minta kesempatan kedua, karena "ditolak" lalu kamu pergi, si Trian papasan sama kamu lantas mempertanyakan semua ke Cinta, dan Cinta memilih meninggalkan Trian dan mengejar kamu ke bandara sambil ngebut di jalan raya (diiringi lagu Ratusan Purnama, soundtrack yang buat saya kurang mantep rasanya), tapi apa? Cinta malah slebor dan nyaris kecelakaan, backsound lagu mendadak berhenti dan..., krik... krik...!

Hancur sudah!

Suasana tegang yang telah dibangun lantas dihancurkan begitu saja cuma gara-gara si Cinta yang nyetirnya slebor. Oh... My... God! Cinta, cinta... apa kamu kurang minum Aqua, sampai gak fokus begitu? Apa perlu Milly lagi yang nyetirin kamu ke bandara ngejar Rangga? Inget, dia lagi hamil, Ciiin...!

Saya kira film AADC 2 ini akan berakhir lagi di bandara. Entah seperti apa; mungkin Cinta mengejar-ngejar kamu lagi sambil meneriakan namamu dan kamu ga jadi berangkat, atau ya terserahlah bagaimana, tapi harapan saya kurang lebih seperti itu.

Buat saya bandara itu tempat sakral bagi AADC. Bagaimana enggak, adegan Cinta ngejar-ngejar kamu di bandara sambil berharap kamu ga pergi, lalu kalian ciuman di sana, saya kira itu jadi kesan yang special bagi banyak pecinta AADC. Coba ingat-ingat lagi, teaser AADC 2 di Line juga ber-setting di bandara, iklan Aqua khusus untuk film ini juga menampilkan adegan di bandara, bahkan puisi Aan Mansyur, Batas,  juga menyebut-nyebut bandara.

Mungkin memang jadi akan mudah ditebak ending-nya jika Cinta tidak nyaris kecelakaan dan  berhasil nyusul kamu ke bandara. Tapi saya kira jika adegan di bandara tetap dimunculkan itu akan jadi sebuah dejavu yang menyenangkan, yang membawa penonton pada kenangan kisah cinta masa SMA kalian dulu.

Aah, tapi ya sudahlah... 

Kenyataannya harus berlalu lagi satu purnama sampai Cinta akhirnya menyusul kamu ke New York, nongol-nongol langsung cemburu cuma karena ngeliat pujaan hatinya dipeluk perempuan lain, dan kalian jadi kejar-kejaran di Central Park kayak ABG kemarin sore. Kamu liat muka malu-malunya Cinta? Wajah yang sudah kepalang ngambek tapi berubah jadi mesem-mesem saat kamu bilang bahwa perempuan yang memeluk kamu tadi itu cuma karyawan kamu yang kegirangan karena gajinya habis dinaikkan. Duh, ciiiin...! Dan ya, seperti yang saya kira sudah diduga dan ditunggu-tunggu para penonton, kalian kembali berciuman. Maka, sang Pangeran dan Putri akhirnya hidup bahagia selama-lamanya. The end (baca: STANDART!)

Tapi begini, Rangga. Kemudian suami saya meminta saya menemani dia nonton AADC 2 karena dia juga penasaran sama kisah kalian berdua. Alhasil, dua kali saya nontonin kamu. Mungkin karena saya sudah lebih legowo, saya jadi lebih menikmati dan mampu memperhatikan hal-hal lain yang luput karena euforia yang menggebu saat nonton pertama kali. Setelah itu kebetulan sekali malamnya saya menemukan sebuah artikel yang ditulis sahabat saya, dan ini merupakan satu-satunya artikel yang saya temukan yang dengan positif menuliskan tentang film kalian.

Meski saya tidak setuju dengan ke-lebay-annya yang bilang bahwa AADC 2 dan Riri Riza pantas dapat Citra, tapi saya setuju berlipat-lipat kali dengan pendapatnya soal primming yang berhasil dibangun sang sutradara. Dikatakan bahwa bahwa primming media memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial. Perilaku yang dicontoh dari perilaku yang diperlihatkan melalui media seperti film. Hal ini tentu saja dimaksudkan kepada persoalan Riri Riza yang berhasil mengemas sastra, seni rupa dan pertunjukan di dalam film AADC 2 ini dengan baik. Harapannya tentu saja para penonton bisa lebih tertarik untuk  mencintai seni dan sastra seperti yang tunjukan oleh karakter Cinta dan Rangga di dalam film.

Dan salah satu hal itu sudah terbukti dari laris manisnya buku puisi Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini, yang diburu para penggemar AADC 2. Baru kali ini saya melihat dan mendengar bahwa buku puisi langsung sold out di banyak tempat bahkan sulit dicari hanya dalam waktu beberapa hari setelah dirilis (pada tanggal yang bersamaan dengan film AADC 2). Aan Mansyur dalam akun instagramnya bahkan mengatakan mendapat sekitar 20.000 pesan masuk di WA, Line dan BBM-nya dan mengaku keteteran melayani pembeli bukunya.

Jika AADC 2 banyak dihujat oleh penggemar yang kecewa dengan banyak hal, saya pribadi setelah dua kali menonton rasanya akan lebih bertepuk tangan karena film ini setidaknya berhasil membuat banyak orang mau membaca dan membeli buku puisi.

AADC 2, meski (awalnya) kecewa namun tetap kupuja.


Jakarta, 17 Mei 2016

Posted by Mentari Meidaa at 2:21 PM 1 comment:

Wednesday, February 24, 2016

The Kite Runner

The Kite Runner is my first read of the year 2016. I just finished it a couple hours this afternoon before writing this article. Mulanya saya melihat di sebuah website yang saya lupa namanya bahwa buku ini ada dalam daftar 25 buku yang harus dibaca sebelum mati. Lalu saya ingat sang suami sepertinya punya buku ini. Ngubek-ngubek rak buku dan benar saja buku ini nangkring masih mulus dan sedikit berdebu. Suami saya sendiri bilang belum pernah membacanya, padahal di dalam buku ada tandatangannya dan tercatat tahun 2005. Saya mulai membacanya di awal Januari dan ya seperti di awal tadi saya katakan Februari ini baru saja saya menyelesaikan membacanya. Sebulan lebih, itu waktu yang sangat lama bagi saya untuk menyelesaikan sebuah buku. Buku yang ceritanya bagus dan menarik buat saya biasanya paling lama 10 hari sudah kelar saya baca.

The Kite Runner buku yang bagus. Sangat bagus! Kalau kalian belum pernah membacanya, saya sarankan beli dan baca segera. Kalau ga punya uang untuk beli, pinjam atau cari PDF gratisannya lah.

Saya orang yang sangat sensitif. Melihat atau mendengar hal-hal yang di luar batas nilai kemanusiaan biasanya mudah sekali membuat saya berlinang airmata dan gak bisa tidur berhari-hari. Lebay? Iya! Tapi ini serius.  Sudah hampir 5 tahun belakangan ini saya berusaha semaksimal mungkin menghindari menonton ataupun sekedar mendengar berita tentang kriminalitas, tentang hal-hal yang menyayat-nyayat perasaan. Menonton hard news saja bisa dapat "drama". Saya bisa tiba-tiba mematikan televisi jika mendadak ada berita seperti itu. Karena sungguh, saya betul-betul gak bisa tidur dan terbayang-bayang terus tentang hal-hal tersebut jika mendengar atau melihatnya.

Hal itu juga berlaku untuk film dan buku, buat saya. Selain cerita horor, saya akan sangat menghindari untuk menonton dan membaca buku yang bikin saya ga bisa tidur. Dulu saya masih nekat menonton film-film yang bikin hati betul-betul terenyuh dan menangis. Kemudian sekitar dua tahun lalu saat film 12 Years of Slave masuk dalam nominasi oscar dan saya menonton dvd-nya, film ini bercerita tentang perbudakan di Amerika. Pada sebuah scene dimana seorang ibu (budak) ini memohon kepada calon tuannya untuk juga membeli anak laki-lakinya supaya ia bisa ikut turut bersamanya dan berjanji akan menjadi budak paling setia, tapi sang calon tuan menolaknya, tepat di situ, pada moment itu saya menangis dan sekaligus mematikan dvd-nya. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi memutar untuk melanjutkan menonton film itu.

Hal serupa juga terjadi saat saya membaca The Kite Runner. Ada saat dimana saya pertama kali betul-betul menutup buku ini, berdiam lama, dan mengimajinasikan apa yang terjadi pada buku itu, lalu menangis dan saya merasa tidak akan sanggup untuk melanjutkan membaca ceritanya. Saya absen lebih dari dua minggu dan lebih memilih buku lain untuk dibaca. Namun ingatan saya pada kisah di halaman terakhir sebelum saya menutup buku tersebut terus memanggil-manggil, membuat saya terpaksa menantang diri saya sendiri untuk melanjutkan membaca buku ini. Walaupun resikonya adalah saya berkali-kali menangis, lagi dan lagi menutup buku itu dan berdiam lama, membayangkan yang terjadi dan berhenti lagi. Kemudian tidak bisa tidur. Terus saja begitu. Tapi semakin saya berhenti dan menutup buku itu, keinginan untuk melanjutkannya jauh lebih besar lagi.

The Kite Runner menceritakan tentang Amir dan Hassan, dua anak Afghanistan; kisah hubungan tuan dan pelayan, namun juga sahabat dan saudara. Hassan seorang pelayan yang tulus, sahabat yang baik, seseorang yang rela melakukan apa pun demi tuannya. Amir, juga menyayangi Hassan sekaligus cemburu terhadap keberanian dan kebaikannya. Sampai suatu saat, ketika Amir dihadapkan pada suatu keadaan dimana ia bisa menjadi berani dan menolong Hassan namun ia lebih memilih lari dan berkhianat.

Amir pindah ke Amerika saat perang dimulai di Afghanistan. Setelah sekian lama memulai hidup yang baru di Amerika, Amir akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afghanistan karena sebuah surat yang dikirimkan kepadanya. Sebuah rahasia besar akhirnya terungkap. Masih ada jalan menuju kebaikan. Untuk menebus dosanya, rasa bersalahnya, dan pengkhinatannya terhadap Hassan. Beranikah Amir?

The Kite Runner ialah kisah tentang kemanusiaan. Begitu menyentuh hati dan begitu kuat.

Saya pribadi selama membaca buku ini terus menerus membayangkan bagaimana nasib anak-anak yang tinggal di daerah perang, yang harus menjalani kehidupan begitu sulit dan tumbuh tanpa melihat adanya harapan. Dunia pada kenyataannya bisa menjadi sebuah tempat yang begitu kejam, dimana orang-orang tumbuh tanpa memiliki rasa kemanusiaan. Hati saya betul-betul terenyuh dan sakit. Mungkin saja kisah Amir dan Hassan bisa dianggap menjadi sebuah cerita yang happy ending. Namun di luar itu saya masih saja berpikir, di sisi lain dunia tempat saya berbaring nyaman menuliskan hal ini, perang masih berkecamuk dan entah berapa ribu anak yang sedang mengalami kisah serupa seperti di dalam buku ini dan masih belum menemukan happy ending-nya.

Pic from here


Salemba, 7 Februari 2016




Posted by Mentari Meidaa at 10:38 PM No comments:

Tuesday, February 2, 2016

Semalam Hujan Jatuh Di Alun-alun Kota

Di kota itu kelak kujumpai kau mengumpulkan gerimis sisa semalam


Semalam hujan jatuh dialun-alun kota
Dan wajahku tengadah pada purnama
Cahaya...
Aku tak punya gambar tentang kau yang berjalan menujuku
Atau tentang kita yang bercengkrama
Atau tentang jemari yang digenggam dan kupandang
kau tersenyum

Aku tak punya gambar tentang kau yang pergi
Tentang kau yang memilih dia di kota ini
Tapi semalam hujan turun di alun-alun kota
Dan rintiknya jatuh di wajahku yang tengadah

Larut menghapus duka



Salemba,1 Februari 2016
Posted by Mentari Meidaa at 1:43 AM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Kekasih Lain Kota

"Kamu baik-baik saja?
Semalam aku mimpi kamu mati."



Salemba, 1 Februari 2016
Posted by Mentari Meidaa at 1:33 AM No comments:

Thursday, January 28, 2016

AriReda Setia Menyanyikan Puisi

Cikini kemarin malam (27/1) riuh rendah oleh tepukan penonton yang menyaksikan konser "AriReda Menyanyikan Puisi" tepatnya di Taman Ismail Marzuki. Konser yang diselenggarakan selama dua hari itu sukses menarik ratusan penonton untuk hadir menikmati kesyahduan serta keindahan musik yang sederhana. tiket yang dijual pun ludes tak tersisa menurut kabar dari panitia.

sederhana, memang itulah kata yang tepat dalam menggambarkan musik yang dibawakan Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Sajak-sajak yang liris, musik yang teduh diiringi dentingan gitar, kesederhanaan itulah yang ternyata sungguh berdaya menyirih ratusan pengunjung yang memadati Teater Kecil kemarin malam. 28 buah musikalisasi puisi dibawakan dan sukses mendapatkan standing applouse dari penonton di akhir pertunjukan.

Turut hadir pula dalam konser semalam penyair Sapardi Djoko Damono --yang puisinya kerap kali dinyanyikan AriReda--, Jubing Kristianto, dan Tetangga Pak Gesang.

Audiens yang hadir di sana bukan saja dari kalangan yang seusia dengan penyanyinya, banyak wajah mudah yang turut meramaikan Teater Kecil semalam. Hal ini cukuplah membuktikan bahwa AriReda telah mampu membuat siapa saja jatuh hati.

Duet AriReda pertama kali muncul di bulan Oktober tahun 1982 di kampus UI berkat almarhum komedian Pepeng. AriReda mulai menyanyikan puisi di tahun 1987 ketika diajakoleh AGS Arya Dipayana dalam proyek Pekan Apresiasi Seni. Sejak itulah hingga kini mereka setia menyanyikan puisi. Menyajikan musik yang mampu menenangkan hati dan telinga pendengarnya, namun keriangan juga ikut serta di dalamnya.

Album musikalisasi puisi pertama mereka "Becoming Dew" lahir di tahun 2007. Judul tersebut terambil dari baris terakhir sajak Sapardi Djoko Damono, Don't Tell Me, terjemahan John H. McGlynn dari sajak "Jangan Ceritakan". Tahun 2016 ini tepat 33 tahun AriReda bersama. Konser "Menyanyikan Puisi" digelar dalam rangka peluncuran album kedua mereka yang bertajuk sama. Album tersebut diluncurkan pada November 2015, berisi sembilan buah lagu yang sajaknya berasal dari puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Gunawan Muhammad, Toto Sudarto Bachtiar, dll. Album Menyanyikan Puisi pun menjadi salah satu album terbaik 2015 versi majalah Tempo.


duo favorite yang tak pernah berhenti mengagumkan di setiap pertunjukannya
 
Posted by Mentari Meidaa at 11:56 PM No comments:
Labels: Rinai Pribadi

Monday, January 18, 2016

Kelak Akan Kupertanyakan

Kelak nanti suatu hari kukunjungi kotamu.Pertama dan terakhir kali akan kupertanyakan tentang cinta yang selama ini hanya diterka-terka. Akan juga kusampaikan beribu-ribu tanya kenapa.

Hingga senja berubah warna
Hingga malam turunkan gerimis
Dan desir angin menjadi gigil di tubuhku

Saat itu kutamatkan kisah tentangmu.



Salemba, 16 Jan 2016
Posted by Mentari Meidaa at 2:54 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Kukubur Namamu

Aku kubur namamu pada ingatanku yang paling dalam. Kugali makam untuk kenangan-kenangan.
Senja mengubah warna lantas apa tentang kita?
Cintaku tak bisa apa-apa.

Kereta tak datang lagi di stasiun. Hanya keresahan yang lindap menyusup hening di antara rel-rel kereta yang dalam ingatanku pernah mengantarkan dirimu di masa lalu.

Tapi apa arti pulang bagiku?
Di simpang jalan telah kulihat kau memilih jalan lain. Tak menuju rumah.


Salemba, 15 Jan 2016
Posted by Mentari Meidaa at 2:52 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Thursday, January 14, 2016

Jakarta: We Are Not Affraid

Tadi pagi saya baru bangun tidur saat buka handphone grup di Whatsapp ramai ngomongin soal bom di Sarinah, Jakarta. Saya langsung nyalain tivi, hampir semua channel yang saya lihat lagi memberitakan hal yang sama. Saya buka Path dan Facebook hampir semua teman-teman menyampaikan perihal yang sama. Saat lihat berita tersebut di tivi gak dipungkiri saya merasa deg-degan. Lokasi rumah saya di Salemba mungkin jaraknya gak lebih dari 7 km dari lokasi kejadian. Tepat seminggu yang lalu saya dengan beberapa teman nongkrong di sana, di Jl. Sabang, tepat di belakang lokasi meledaknya bom hari ini dan di waktu yang hampir sama. Saya membayangkan bagaimana rasanya kalau saja bom itu meledak seminggu yang lalu. Saya harus berbuat apa?! Lari? Minta tolong ke siapa? Iya, saya akui merasa agak cemas dan khawatir.

Makin siang makin ramai orang-orang memberitakan hal ini. Tapi seorang teman di Path bikin saya merasa betul-betul muak, kesel, sebel. Dia mem-posting banyak sekali foto-foto kejadian bom di Sarinah itu, mulai dari lokasi yang hancur berantakan hingga foto-foto korban yang berlumuran darah dan luka-luka. Posting fotonya tanpa henti. Sejenak terlintas saya mau unshare saja ini orang. Suka heran sama orang-orang seperti ini yang gak ngerti apa namanya. Gak berempati atau cari sensasi. Tidak peka atau cari muka. Entahlah. Yang jelas bikin saya murka.

biar macet biar banjir aku tetap cinta

Ya beginilah, selain masyarakat kita yang cenderung reaktif, ini pula salah satu yang diinginkan teroris; menyebarkan keresahan.Prinsipnya membunuh satu orang untuk menularkan ketakutan kepada ribuan orang.   Kemudian orang-orang mulai ramai bilang jangan gunakan hashtag PrayForJakarta karena penggunaan hashtag itu efeknya international. Penjelasan sederhananya, masyarakat dunia yang tadinya gak tau apa-apa jadi tau bahwa di Jakarta sedang ada apa-apa. Lantas apabisa dicegah? Jawabannya: ENGGAK! Yup, karena hashtag PrayForJakarta tetap muncul dimana-mana. Tapi setelah itu apa lagi yang muncul? Foto-foto soal Jakarta melawan terorisme juga tak kalah banyaknya. Hashtag-hashtag "JakartaBerani", "WeAreNotAffraid", "JakartaAgainstTerrorist", dll, muncul menggantikan gambar-gambar ngeri tadi. Bahkan foto polisi kece yang lagi beraksi sampe tukang sate yang tetep jualan di sekitar lokasi kejadian jadi topik yang tak kalah serunya di media sosial.

Yang puitis pun ada untuk Jakarta


Tapi inilah Jakarta, Ibu Kota yang kata banyak orang lebih kejam daripada ibu tiri. Dan mengutip kata senior saya Feba, if you survive in Jakarta, you can survive anywhere else in this world. Jakarta tidak lemah dan kami tidak takut. 

tukang sate aja berani, masa kamu takut.



Posted by Mentari Meidaa at 10:14 PM No comments:

Saturday, January 9, 2016

Kita Pengkhianat

aku telah tau sejak dulu, bahwa perjumpaan kita hanya akan menuju pada pengkhianatan.
(sketsa daun-daun jatuh - Galih Pandu Adi)


tahun-tahun kita berlalu dalam desir angin
yang sepi dan kering
detik-detik berdetak berkejaran
dan kenangan tumbuh menjadi belati
aku tak pernah bisa menerkamu
dan pula, bagaimana cinta di dadamu
tahun-tahun berlalu dan kita
telah jauh tersesat
kita tumbuh menjadi
pengkhianat
berkilah dengan kenyataan
dan berakhir dengan memaki
diri sendiri


Salemba, 13 Desember 2015
Posted by Mentari Meidaa at 10:42 PM No comments:
Labels: Puisi Hujan

Project 366 Hari - Bukan Resolusi


Sudah sembilan hari berlalu dari awal tahun dan baru kali ini lagi saya kunjungi blog yang sudah terlalu lama mati suri. Lihat saja "Jejak Perjalanan" saya dari tahun ke tahun sejak awal nge-blog di sini jumlah tulisan bukannya semakin bertambah yang ada malahan makin menyusut. Sibuk kerja, sibuk ngurus anak, ngurus rumah, ga ada waktu, ga punya ide, dan segambreng alasan lain bisa saya sebutkan untuk jadi pembelaan. Padahal sih alasan utamanya males. Hehe! Males baca, males memutar otak, males cari inspirasi akhirnya mau nulis rasanya buntu.

Tapi tahun baru (yang sebetulnya biasa saja) selalu dijadikan moment yang tepat untuk melakukan perubahan, gerakan baru, membuat resolusi. Ah, rasanya basi ya. *wink* Padahal mau berubah, mau melakukan sesuatu yang baru ga perlu nunggu tahun baru, iya kan? Tapi ya begitulah tahun baru, melulu soal membuat resolusi, meninggikan harapan, membangun mimpi (soal realisasi urusan belakangan, hihihi). Apa salah? Tentu tidak dong. Ini kan yang namanya optimis.

Saya ga mau membuat resolusi apa-apa di tahun ini. Tapi saya punya keinginan dan juga harapan. Gak perlu satu-satu disebutkan apalagi dijabarkan panjang lebar. Satu hal saja, saya hanya ingin sekali melanjutkan lagi sesuatu yang sudah pernah dimulai sejak lama, melakukan hal yang begitu saya gemari, yaitu rajin kembali untuk menulis di sini. Ga terlalu muluk kan?

Sebelum memulai tulisan ini, saya mengunjungi sebagian besar teman-teman blogger di sini yang dulu mereka juga aktif sekali merangkai kata, tapi kesimpulan yang saya lihat rata-rata mereka semua juga semakin sepi menulis, walaupun sebagian masih kadang-kadang mem-posting tulisan. Entahlah, mungkin mereka sudah "pindah rumah" tapi sebetulnya masih aktif menulis atau memang nge-blognya sudah ditinggalkan.

Keinginan saya untuk kembali aktif nge-blog ini sempat saya ungkapkan di sebuah media sosial dan lantas dikomentari seorang teman, Iboy bilang "yuk, nulis satu hari satu tulisan." Weleh-weleh banget rasanya, tapi kemudian saya pikir lagi sebetulnya gak sulit lho satu hari satu tulisan itu. Kan ga ada kewajiban menulis jurnal panjang, atau cerpen atau tentang sesuatu yang rumit. Maka, dengan pede saya meyakini bahwa saya bisa melakukan project 366 hari ini. Saya ga akan bilang bahwa itu artinya setiap hari saya akan memposting sebuah tulisan di sini, tapi ini jadi tolak ukur saya bahwa di akhir tahun nanti jumlah tulisan dalam blog ini di tahun 2016 akan sebanyak 366 buah. *hup, hup, semangat* :D

Ini sudah hari kesembilan sejak awal tahun baru, tidak ada kata terlambat. 366 tulisan hanya harapan saya, terwujud atau tidaknya kembali sebagaimana besar usaha diri ini untuk mewujudkannya. Ini bukan resolusi. Hanya tolak ukur sederhana akan konsistensi yang saya rencanakan sendiri.

gambar dari sini




Salemba, 9 January, 2016
Posted by Mentari Meidaa at 10:29 PM No comments:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Mentari Meida Rahmala

Mentari Meida Rahmala
Masih suka menulis meski kadang-kadang. Tinggal di Jakarta. Bisa dikontak di: mentari.meida@gmail.com

Jejak Perjalanan

  • ►  2019 (5)
    • ►  February (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (2)
    • ►  December (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2017 (1)
    • ►  March (1)
  • ▼  2016 (23)
    • ▼  November (1)
      • Tentang Rindu
    • ►  August (12)
      • Cahaya Pagi
      • Menenun Ingatan
      • Tersiksa Sepi
      • Simpang Jalan
      • Selingkuh
      • Dalam Ingatan
      • Untuk: Capung Hijau
      • Pulang Ke Kotamu
      • Di Kotamu
      • Senja Yang Cemas
      • Kau Yang Dijemput Hujan
      • Sepeninggalmu Adalah Doa Serta Jalan Terjal Yang B...
    • ►  May (1)
      • Review Film AADC 2: Meski Kecewa Tetap Kupuja
    • ►  February (3)
      • The Kite Runner
      • Semalam Hujan Jatuh Di Alun-alun Kota
      • Kekasih Lain Kota
    • ►  January (6)
      • AriReda Setia Menyanyikan Puisi
      • Kelak Akan Kupertanyakan
      • Kukubur Namamu
      • Jakarta: We Are Not Affraid
      • Kita Pengkhianat
      • Project 366 Hari - Bukan Resolusi
  • ►  2015 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  August (3)
    • ►  March (1)
  • ►  2014 (6)
    • ►  November (3)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  May (2)
    • ►  March (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2012 (96)
    • ►  December (4)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (7)
    • ►  August (8)
    • ►  July (7)
    • ►  June (1)
    • ►  May (8)
    • ►  April (18)
    • ►  March (10)
    • ►  February (17)
    • ►  January (7)
  • ►  2011 (262)
    • ►  December (10)
    • ►  November (7)
    • ►  October (9)
    • ►  September (13)
    • ►  August (20)
    • ►  July (38)
    • ►  June (36)
    • ►  May (34)
    • ►  April (30)
    • ►  March (31)
    • ►  February (24)
    • ►  January (10)
  • ►  2010 (180)
    • ►  December (20)
    • ►  November (14)
    • ►  October (27)
    • ►  September (9)
    • ►  August (31)
    • ►  July (26)
    • ►  June (2)
    • ►  May (35)
    • ►  April (16)

Followers


Today's Qoute

quotes Meida likes


Goodreads Quotes

Labels

  • Fragmen Hujan (9)
  • Genangan Mimpi (42)
  • Kisah Ujung Pelangi (166)
  • Mengupas Jejak (11)
  • Mengutip Langkah (24)
  • Percikan (32)
  • Puisi Hujan (236)
  • Rinai Pribadi (70)

Pengukir Jejak

  • Cerita EKA
    Apa yang Layak Dibaca Saat Memulai Hidup dari Awal
  • Mbak Enno
    Algernon Project: Marie's Letter
  • Penjual Kenangan - Kak Iwied
    luka kali ini
  • Iboy
    Blogging dalam Genggaman
  • Pelangi Anda
    Ada yang baru tahun baru ini
  • Doa di Putik Kamboja
    di sebuah padang yang kita namai surga
  • secangkir cokelat panas
    Jalan Menikung
  • Adis Friska
    Usus buntu, operasi dan asuransi
  • Jin Botol - Oneng
    Nyaman = "Meninabobokan" Part III
  • Story of Gie...
    Iseng
  • Ruang Kata - Mbak Novi
    "Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi"
  • Butterbeer - Dista
    Si Anak Gelendotan
  • Rumah Putih Mas Ia
    Perselingkuhan Hitam Putih
  • Acit
    Te Makkelijk om Vlienders te Hebben...!!!
  • Kantong Ajaib - Daboe
    My (Silly) Obsession
  • Rumah Asep Sambodja
    The Reader: Kenapa Hanna Schmitz Bunuh Diri?
  • Lingkar Diri - Mas Ia
    sekali saja, mau?
Perempuan Hujan. Copyright 2010. Powered by Blogger.