Friday, December 10, 2010

Asep Sambodja Dalam Kenangan

--kenapa selalu ada yang pergi
sebelum tahun berganti
sebelum pagi
sebelum kucium tanganmu sekali lagi


biasanya kutunggu berita pagi
tapi bukan ini
bukan lagi kau pergi
untuk tak kembali

(Desember Mengantarmu Pergi - Asep Sambodja)


Saya mengenal beliau lebih dari empat tahun yang lalu, saat itu memasuki semester enam di kampus UI, ketika saya mengambil kelas Penulisan Populer (Penpop) yang diajar olehnya. Beliau adalah dosen dari jurusan Sastra Indonesia sementara saya mahasiswa jurusan Sastra Belanda yang memang senang "belanja" mata kuliah dari jurusan tersebut. Saya masih ingat saat itu ketika saya bercerita mengambil mata kuliah itu, Ena bilang, "Eh, dosen kuliah Penpop lo itu kan penyair!" Langsung saja saya bangga. Sebelum itu saya seperti hanya beberapa kali mendengar namanya, Asep Sambodja.*

Ketika kelas dimulai semester itu, saya seperti mendadak jatuh cinta dengannya, dengan mata pelajarannya, dengan kumisnya. Kelas Penpop itu hanya diisi tak lebih dari 15 mahasiswa dan seingat saya semuanya adalah mahasiswa Sastra Belanda dari angkatan 2004 -angkatan saya-. Kami sering memanggilnya "Mas Adam" (tentu saja panggilan rahasia antara para mahasiswa saja, karena kumis beliau yang mirip Adam Suseno, suami Inul Daratista), kami senang cekikikan sendiri dan lirak lirik saat Pak Asep duduk, terlihat berfikir, tidak mengatakan apa-apa, kemudian beliau menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya. Khas dia sekali, seperti selalu begitu jika sedang mengajar.

Pak Asep dalam kenangan saya adalah sosok dosen yang begitu baik. Dia seperti pendiam, tidak banyak bicara, tapi sering bercerita. Mukanya selalu pasang tampang serius, membuat segan. Tapi saya tidak pernah melihat beliau marah di dalam kelas karena murid-muridnya datang terlambat (seringnya karena masih mencetak tugas yang harus dikumpulkan hari itu namun baru selesai di menit-menit terakhir sebelum kelas dimulai) atau telat mengumpulkan tugas tulisan. Saya masih ingat, pertama kali ia meminta saya berdiri ditengah-tengah kelas dan membacakan cerpen yang saya tulis (tema saat itu adalah anak kembar dan karena saya kembar makanya beliau minta saya yang membaca). Saat itu diluar hujan deras sekali dan jika mau tahu, sama derasnya dengan keringat yang membanjiri tubuh saya saat itu. Malu rasanya kalau ingat hari itu. Saya seperti menyesal kenapa membuat tulisan yang begitu panjang, rasanya tak habis-habis dibaca. Saya tidak pernah suka disuruh membaca tulisan saya sendiri, sampai sekarang, saya tidak pintar membaca. Tapi, dari situ saya belajar. Pak Asep hanya mengajar saya satu semester. Tapi kesannya melekat sampai sekarang.

Di tahun akhir kuliah, saya kemudian menjadi lebih intens berhubungan dengan beliau di Friendster (saat itu masih gaul-gaulnya main Friendster), dari situ saya mulai banyak membaca puisi dan tulisan beliau. Saya membaca hampir semua tulisan di Blog-nya. Memang tidak bisa dibilang sering, tapi dalam keterkadang-kadangan beliau sering mengajari saya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai sastra. Karena beliau jugalah saya jadi menggemari menonton teater.

Setelah lulus dari kampus, saya masih berhubungan dengannya dan masih saja ia mengajari saya meski hanya lewat email dan Facebook. Sejak April tahun ini rasanya, karena permintaan saya pula Pak Asep sering meng-tagged nama saya pada tulisan-tulisannya. Ia juga merekomendasikan kepada saya beberapa milis penyair yang sebaiknya saya ikuti. Walaupun tidak aktif setidaknya dua hal itu membuat saya terus membaca puisi setiap hari. Beliau pernah pula mengatakan, "lebih baik menulis jelek daripada tidak berani menulis sama sekali," itu seperti terus mengiang di telingaku.


Sejak mengetahui beliau sakit, sudah hampir lebih tiga bulan terakhir, setiap hari saya selalu mengunjungi Facebook-nya. Membaca puisinya atau sekadar melihat statusnya untuk mengetahui keadaannya. Dalam keadaan sakit sekalipun beliau tetap aktif menulis. Saya salut! Beberapa kali saya mengirimi beliau pesan, yang dibalas hanya dengan jawaban-jawaban singkat. Saya kira beliau mestilah terlalu sakit dan mungkin yang bertanya dan mengiriminya pesan tidak hanya saya saja. Saya pernah baca tulisan seorang sahabatnya yang kecewa sepertinya ketika Pak Asep tidak mau menjawab teleponnya, ketika istrinya, Mbak Yuni, bilang bahwa Pak Asep sedang tidak bisa ngomong, katanya. Seharusnya itu dimengerti. Siapa yang akan dengan senang hati terus-terusan menjawab pertanyaan yang sama tentang penyakitnya?

Oktober lalu, akan menjadi kenangan tak terlupakan untuk saya. Ketika Pak Asep meminta saya membacakan puisinya, yang khusus dibuat sebagai kado perayaan ulang tahun untuk Sapardi Djoko Damono di FIB, UI. Permintaan yang tiba-tiba, permintaan terakhirnya. Permintaan yang membuat saya kalang kabut sendirian. Excited sekaligus nervous. Saya pribadi begitu mengagumi sosok Sapardi sejak di bangku kuliah dulu. Saya hanya pernah bertemu dua kali sebelumnya di kampus, dulu sekali. Saya sering kegirangan sendiri kalau bertemu beliau atau membicarakannya. Entah Pak Asep mengetahui hal ini atau tidak, tapi permintaannya kepada saya untuk membaca puisinya di atas panggung untuk perayaan itu rasanya seperti mendapat durian runtuh. Katanya, "gak perlu takut, Mentari, ini bukan festival baca puisi." Setelah selesai menjalankan amanat hari itu, sekarang dapat saya katakan saya begitu bangga mewujudkannya.

Setelah lulus dari kampus saya tidak pernah lagi bertemu Pak Asep. Pada pertunjukan teater "Limbuk Njaluk Married" karyanya yang dipentaskan november 2010 lalu, sebetulnya saya berharap sekali bertemu dirinya, karena saya tahu sebelumnya Pak Asep akan datang, tapi harapan itu hilang ketika justru digantikan berita sedih, di hari itu beliau mengalami pecah usus yang membuat kondisinya tidak memungkinkan untuk hadir.

Pagi ini berita itu datang dari seorang teman. "Mei, Pak Asep meninggal." Saya hanya diam saja. Tidak menangis. Tapi pikiran dan hati saya berkecamuk seperti tidak mau percaya. Dag dig dug yang tak berhenti, merinding sekujur tubuh saya. Setelah mengkonfirmasi dan mencari tahu dari beberapa orang lain, saya baru yakin. Pada Blackberry saya terus menampilkan halaman Facebook Pak Asep, ucapan duka cita terus datang bertambah dan bertambah banyak. Saya melihatinya saja, seperti tidak mau percaya. Di YM, di BBM dan sms beberapa teman menghubungi saya. Isinya sama semua. "Mei, Pak Asep meninggal." Lalu Erlin menelpon saya, saya tau dia habis menangis, atau mungkin masih menangis waktu itu. Saya tidak mau menangis. Jadi percakapan itu singkat saja.

Sorenya percakapan dengan beberapa orang sahabat yang dulu pernah juga mengikuti kelas Penpop beliau, membuat saya sedih sekali. Tapi kami mengenangnya, mengingatnya, menceritakan kembali hal-hal di kampus dulu tentangnya.

Malam ini hujan turun deras. Saya mengingatmu, Pak. Tak akan ada lagi yang mengomentari puisi-puisi saya lagi nanti, tak ada yang mengajari saya lagi nanti. Janji waktu itu, Pak, buku yang hendak bapak berikan kepada saya jika saya sempat datang ke kampus lagi di bulan September bahkan tak pernah terwujud.

"Jika dalam doa-doa malamku hari ini aku menangis sama derasnya dengan hujan yang turun, aku bukannya tak ikhlas melepasmu. Selamat jalan, Pak Asep. Doaku selalu untukmu."



*Asep Sambodja, seorang mantan jurnalis, penyair, penggiat teater, dosen di FIB UI meninggal pagi ini, 9 Desember 2010 di Bandung. Beliau diketahui menderita kanker usus sejak pertengahan tahun ini. Semangatnya untuk sembuh, ketabahannya serta kesetiaanya pada sastra menjadikan contoh bagi kita semua yang mencintainya. Selamat jalan, guruku, Asep Sambodja (1967 - 2010)


Bekasi, 9 december 2010

No comments:

Post a Comment