Sebuah catatan setelah menghadiri acara Mengenang Asep Sambodja di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 17 December 2010.
Sudah seminggu lebih sosok itu meninggalkan kita semua. Asep Sambodja, meninggal pada Kamis, 9 December 2010 di Bandung karena kanker usus yang di deritanya. Asep seorang mantan wartawan, penyair, penggiat teater, sutradara dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), meninggalkan begitu banyak cerita dan kenangan bagi semua yang pernah mengenalnya. Acara Mengenang Asep Sambodja semalam diadakan untuk saling bertukar cerita, berbagi kisah, menyebarkan percik-percik kenangan yang pernah dirasakan oleh semua yang hadir di sana. Sehingga kita mengingat beliau dengan penuh cinta.
Saya tidak akan tahu tentang adanya acara ini kalau tidak melihat status seorang kenalan di Facebook, Mba Novi, teman sekelas S2-nya Pak Asep, tiga hari sebelumnya. Kemarin sore sepulang kerja saya sempatkan hadir di sana. Menurut kabar acara akan dimulai pukul 18:00, saya tiba pas sekali, tapi masih sepi. Saya cukup sering menghadiri acara di TIM tapi tidak pernah ke PDS HB Jassin, jadi begitu tiba saya agak kebingungan menemukan tempatnya. Setelah menanyai beberapa tukang parkir dan security baru saya sampai ke tujuan.
Bagi yang belum pernah ke sana, jangan kira ini seperti Graha Bakti Budaya, Galeri Cipta, atau bahkan Teater Besar di TIM. Tempat ini nyempil, letaknya di belakang Planetarium. Tempat yang begitu sederhana sekali, mungkin terlihat tidak terurus, tepatnya semacam perpustakaan. Dari info yang saya baca di internet tempat ini selalu rela digunakan secara gratis bagi siapa saja yang mau memakainya untuk acara-acara sastra dan budaya.
Saat saya datang hanya ada dua orang bapak yang sedang mengobrol di depan pintu sambil merokok. Penampilannya seperti kebanyakan orang yang sering -kalau kalian pernah ke TIM, IKJ atau FIB UI- dijumpai di tempat-tempat nyastra. Saya tanya apa betul acara untuk Asep Sambodja di sini, mereka mengiyakan. Saat mereka bertanya saya datang dari mana kemudian saya jawab, "Dari UI." Bapak itu langsung menebak, "muridnya Asep ya?!" Saya menganguk. "Tunggu aja di dalam, acaranya abis maghrib, tapi kalau mau ngerokok dulu, di luar sini," kata bapak itu sambil ketawa.
Saya memilih menunggu di dalam. Belum ada orang. Hanya dua orang penjaga, yang satu menunggu di tempat penitipan tas, yang satu lagi sedang sibuk membereskan kursi-kursi. Di sana ada meja panjang yang sudah ditata kursi disekelilingnya dan ada meja kecil yg diisi penuh cangkir-cangkir, air mineral, kopi bubuk dan gula. Saya tau pasti ini disediakan untuk acara tersebut, hanya banyak yang belum datang saja. Saya melihat sekeliling, ke rak-rak buku. Duh, insting maling saya muncul deh saat melihat rak buku di sebelah kiri pintu penuh sama buku-buku Sapardi Djoko Damono, sebagian saya sudah punya tapi ada beberapa yang belum saya miliki bahkan belum pernah saya baca. Pengen nyolong jadinya, haha!
Tidak lama setelah itu sudah mulai banyak yang berdatangan.Jelas banyak yang tidak seangkatan dengan saya. Bapak-bapak yang sudah beruban, ibu-ibu, dan beberapa orang muda. Saya merasa familiar dengan sebagian wajah yang muncul, tapi tidak kenal nama. Dari sebagian yang hadir saya mengenali Mba Medy Loekito, mantan ketua Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sosok yang sering sekali saya lihat di Facebook (FB)-nya Pak Asep, saya juga memiliki FB-nya, tapi tidak pernah bertemu muka. Saya melihat seorang teman waktu di FIB dulu, saya juga lupa namanya, hanya ingat dia dulu mahasiswa Sastra Jerman (teman sekelas Ena dulu ternyata saat kuliah umum PDPT, namanya Bertho). Dengan para yang hadir di sana, saya hanya saling bertukar senyum saja. Sementara yang saling kenal, saling menyapa, seperti bertemu teman lama.
Iboy akhirnya muncul juga. Tadinya Shanti juga mau datang, tapi tidak nongol sampai kami pulang. Tak lama saya bertemu Mba Novi, berkenalan secara resmi, karena dengannya saya juga tidak pernah bertemu, kami pernah beberapa kali saling bersapa saja melalui FB. Mengenalnya lewat status-status atau catatan-catatan Pak Asep yang sama-sama kami komentari. Setelah kepergian Pak Asep saya dan Mba Novi beberapa kali justru jadi saling bercerita dan bertukar info tentang Pak Asep. Mba Novi sepertinya lebih mengenal banyak orang-orang di sana. Setelah dia menyapa sebagian besar orang yang hadir, dia juga yang memperkenalkan saya dan Iboy sebagai murid Pak Asep dengan Mba Medy Loekito, Ibu Diah Hadaning(penyair), Ibu Nonny dan Ibu Kartini, yang juga salah seorang pendiri YMS, mereka teman-teman Pak Asep saat di Mediasastra dan Cyber Sastra dulu.
Acara dimulai tepat pukul setengah tujuh malam. Tak lebih dari 40 orang yang hadir di sana. Acara itu menyebar hanya lewat sms-sms saja, katanya. Saya sendiri baru melihat acara ini diposting dalam Milis Apresiasi Sastra oleh Tulus Wijanarko di hari yang sama, sudah sekitar siang hari. Pak Martin Aleida menjadi moderator dalam acara itu. Acara itu begitu sederhana, semacam orang-orang yang berkumpul untuk berdiskusi, saling bertukar cerita saja. Pak Endo, sosok yang dianggap begitu dekat dan mengenal Pak Asep memulai ceritanya. Asep yang ia kenal dulu sejak pertama kali saat Fakultas Sastra (FS) UI masih di Rawamangun, katanya merupakan generasi pertama yang merasakan pindahnya FS ke UI Depok. Asep yang merupakan anak daerah (beliau lulus dari SMA 1 Ungaran, Semarang), membawa "sesuatu" ke dalam lingkungan kampus UI. Ia dan beberapa orang temannya ternyata juga yang mendirikan Komunitas Bambu.
Asep Sambodja masuk sebagai angkatan 1987 di Jurusan Sastra Indonesia, UI. Menjadi ketua himpunan mahasiswa jurusan sastra indonesia periode 1990-1991. Istrinya, Mba Yuni juga masuk di jurusan yang sama, namun di tahun 1992. Pak Martin bilang, ia selalu melihat Mba Yuni setia mendampingi Pak Asep kemana pun, saat Pak Asep melakukan riset, atau dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Saya juga berpendapat begitu, dari foto-foto di FB-nya saja terlihat mereka mesra, selalu bersama. Ada sebuah foto yang saya paling ingat, Mba Yuni dan Pak Asep berpose di atas genting rumah, tulisan di foto tersebut, "ini bukan simulasi banjir, tapi iseng saja." Betapa hal gila pun mereka lakukan bersama. Dan saya senang, ketika Pak Asep telah pergi namun account FB-nya tetap dilanjutkan oleh Mba Yuni.
Asep Sambodja, menurut sebagian dari mereka merupakan sosok yang pendiam, santun, sopan. Menurut Pak Tikno yang hanya beberapa kali bertemu muka dengannya, Asep merupakan sosok yang begitu peka membaca apa yang terjadi di sekitarnya. Hal itu terbukti dari puisinya yang berjudul "Kepada Kakao,Semangka, Jagung dan Kapuk Randu." Yang bercerita, jika kita masih ingat, tentang seorang nenek yang harus dipenjara hanya karena mencuri dua buah biji kakao. Mungkin tak banyak yang akan menulis tentang hal itu, katanya.
Asep Sambodja dianggap begitu serius oleh sebagian mereka. "Serius tapi terlihat main-main dalam puisinya," kata Medy Loekito. Mengutip tulisannya, "Puisi-puisi Asep S. Sambodja yang termuat dalam kumpulan sajak "Menjelma Rahwana", membawa saya pada kesimpulan bahwa Asep memiliki "kekuatan" lebih dalam mencipta puisi-puisi bernuansa humor." Misalnya contoh dari penggalan puisi "Sajak Malam Pertama":
ini seandainya kita jadi duduk berdua
di pelaminan semalaman
barangkali aku bisa tersenyum tanpa henti
barangkali kau menahan tangis tak habis-habis
-- kutahu karena kau ingin cepat-cepat ke ranjang
Atau dalam penggalan puisi "Hidup Tak Main-main":
Chairil bilang
Aku mau hidup seribu tahun lagi
lalu kutengok kuburnya, di Karet
kasihan, penyair tak bisa
mewujudkan impiannya
dan penyampaian canda dalam puisi "Tuhan, Sudahkah Kau Baca Koran Hari Ini?"
Sudah, kusarankan padaMu
Berlangganan koran mulai hari ini
Barangkali ada yang lucu
Medy Loekito dalam tulisannya pada catatan pengantar kemarin malam menuliskan, Asep berhasil memberikan nilai komunikatif yang tinggi melalui ungkapan humornya, meskipun memiliki kelemahan imagery yang memang umum terdapat pada puisi-puisi prosaic.
Seorang bapak, Arumdono, kalau tidak salah namanya bercerita bahwa Asep Sambodja ialah sosok yang ia kenal begitu teguh memegang pendiriannya. Begitu kukuh sampai titik darah penghabisan jika ia mempertahankan pendapatnya. Lalu, Pak Asep yang saya kira begitu memahami Sastra Lekra (tema yang ia pakai untuk penulisan tesisnya) ternyata menurut Pak Endo justru tidak begitu. Sastra Lekra menjadi sesuatu yang disembunyikan, dirahasiakan keberadaannya. Asep, menurut Endo, seorang yang mempunyai keingintahuan tinggi terhadap hal itu. Namun, orang seangkatannya yang tidak betul-betul hidup saat Lekra hadir dalam dunia sastra, tidak akan bisa betul-betul memahaminya. Karena banyak buku-buku yang sudah dimusnahkan, ditiadakan, dan tidak pernah bisa ditemui lagi.
Ibu Kartini yang tadi di awal saya katakan merupakan salah satu pendiri YMS juga bercerita tentang Pak Asep. Ia bercerita lebih mengenai kondisi Pak Asep setelah sakit. Ia seperti menahan tangis, matanya berkaca-kaca. Ia bilang, selama Pak Asep sakit ia dan beberapa teman selalu memanjatkan doa setiap jam 9 malam. Ia yakin Tuhan mengabulkan doa-doa mereka, setidaknya Tuhan tahu apa yang terbaik untuk Pak Asep, katanya. Sementara ia bercerita Ibu Nonny yang duduk dibelakang saya terisak terus menerus. Saya melihatnya, ia menunduk saja, mengepalkan tangannya diantara dahi dan matanya. Bersyukurnya, bahwa dalam kesehatan yang begitu kritis, keluarganya masih dilimpahi rezeki yang besar oleh Tuhan sehingga Mba Yuni masih bisa bilang, katanya, untuk biaya rumah sakit dan penyembuhan kami masih mampu.
Saya sungguh begitu menahan tangis saat Mbak Novi membaca puisi Pak Asep yang berjudul "Doa".
Ya allah
Apalagi yang harus kuminta
Sebab semuanya telah kau berikan
Semuanya
Semuanya
Bahkan yang tak kuminta
Bahkan yang tak kuminta...
Tanjung Priuk, 27 Juni 2010
Betul sekali apa yang Mba Novi katakan saat itu, menurut saya. Setidaknya pikiran dia dan saya sama tentang puisi itu. Mba Novi bilang, bagi yang tidak mengetahui kondisi Pak Asep mungkin hanya berfikir ini puisi yang bagus. Tapi bagi yang mengetahuinya, ini puisi tentang sakit yang di deritanya. Dari tanggal ditulisnya puisi itu pun, saya bisa menerka mungkin itu saat-saat pertama waktu Pak Asep mengetahui kondisi kesehatannya. Ya Tuhan, bahkan yang tak ia minta... Bahkan yang tak ia minta...
Ada kesedihan, haru dan sesak yang tiba-tiba meruak kembali. Bagi saya mirip rasanya seperti ketika pertama kali mendapat kabar tentang kepergian beliau. Yang membuat saya hanya bisa diam saja. Meresapi saja yang saya dengar. Namun, siapa yang tidak tertawa ketika Iboy bercerita bahwa kami, sebagian murid-muridnya yang berasal dari Sastra Belanda memanggilnya "Mas Adam" karena kumisnya yang mirip Adam Suseno, suami Inul Daratista.
Fay, salah satu teman seangkatan Pak Asep dulu yang hadir di sana semalam mengatakan, ia begitu heran sebetulnya, Pak Asep dalam kondisinya yang begitu kritis masih saja bisa online di FB. Ya, begitu memang, saya juga merasakannya. Pak Asep begitu eksis rasanya di FB dalam sakitnya. Ada saja status yang ditulis hampir setiap hari, puisi-puisi yang iya tulis, masih sibuk saja berkomentar di sana sini. Saya pribadi bahkan memantau perkembangan kondisi beliau sebagian besar karena infonya saya dapatkan dari FB-nya dan FB para sahabatnya. Kata Mba Novi, Pak Asep menganggap itu hiburannya. Karena beliau tidak terlalu suka menonton televisi dan melalui FB ia bisa tetap berkomunikasi dengan teman-temannya, bertemu murid-muridnya, orang-orang yang ia kenal.
Bagi saya, ada dua perkataan Pak Asep yang tidak akan pernah saya lupa. Ketika ia berkata kepada saya, "Mentari, jangan pernah kapok belajar, ya!" Saya masih ingat betul ini beliau katakan saat Saut Situmorang seperti tidak senang dengan salah satu komentar saya di sebuah catatan Pak Asep. Jika kalian mengenal Saut Situmorang tentu kalian tahu bagaimana kira-kira cara ia mengomentarinya. Tapi Pak Asep menyemangati saya. Kedua beliau pernah bilang, "Teruslah menulis! Menulis jelek masih jauh lebih bagus dibandingkan tidak menulis sama sekali." Ya, saya akan terus menulis, Pak!
Saya lebih dahulu izin pulang sebelum acara selesai. Sekitar setengah sembilan saya dan Iboy sudah undur diri, sementara mereka di sana masih terus bercerita. Pasti saya ketinggalan cerita-cerita lain yang mungkin belum pernah saya dengar tentang Pak Asep. Pada tulisan ini saya tidak menuliskan detail satu per satu apa yang dikatakan orang-orang yang hadir semalam tentang Pak Asep. Saya merangkum secara keseluruhan saja. Dan, Ibu Diah, yang tadi datang bersama Mba Novi, ketika saya izin pulang, ia menjabat, memegang tangan saya dan berkata, "Ibu lihat kamu lho waktu baca puisi di kampus waktu itu." Saya tersenyum dan bilang, "Terima kasih ya, Bu."
Meski semua cerita yang saya dengar semalam menerbitkan airmata, mengenang Pak Asep dengan cara begini bukan berarti bersedih-sedih ria terus menerus. Saya yakin ia pasti sudah bahagia. Semalam pun kami bisa tertawa lagi dalam ketiadaannya. Semua yang hadir di sana, pasti memiliki kesan atau kenangan yang berbeda-beda terhadap Pak Asep. Namun, apa yang mereka semua ceritakan, begitu menunjukan betapa beliau begitu dicintai, dihormati dan disayangi semua yang pernah mengenalnya. Bahkan Martin Aleida berkata, "Kita semua pasti akan meninggal, jika saya meninggal nanti, saya ingin mencontoh Asep Sambodja, salah satunya."
Bekasi, 18 Desember 2010
PS:
- Setelah meninggalnya Pak Asep banyak sekali kawan, kerabat, murid, dan siapa pun yang mengenal beliau menulis puisi, obituari, atau sajak-sajak mengenai beliau. Sebagiannya bisa diliat di Oase, Kompas.com (puisi duka untuk Asep Sambodja)
- Mohon maaf ya kalau ada kesalahan penulisan nama atau data, silahkan dikoreksi.