"... dia tahu apa yang dia lakukan. Dan mungkin kita tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti. Setidaknya, itu membuat kita tidak mengutuk dia atau membalas dia."
"Setiap kita punya sisi gelap, .... Setiap kita punya bayang-bayang."
(Lalita, hal. 206)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu salahkah rasa kesetanan seorang manusia dibalas oleh rasa kesetanan manusia lain juga?
Patutkah manusia disebut manusia jika mampu melukai manusia lain dengan cara yang begitu menjijikan? Apakah manusia tidak sadar dirinya manusia saat mereka berbuat nista?
Tidakkah manusia menjadi setan saat mereka lupa rasa kemanusiaan mereka, lalu perbuatan mereka menjelma sakit hati bagi manusia lain?
Lalu salahkah rasa kesetanan seorang manusia dibalas oleh rasa kesetanan manusia lain juga?
Sakit itu manusiawi, katanya. Entah kata siapa. Bagaimana dengan sakit yang merasuk hingga kau bisa rasakan tulang-tulangmu perlahan hancur, hatimu dihisap kebahagiaannya, pikiranmu penuh dengan sakit yang tiap-tiap malam menjelma mimpi buruk dan kau tak punya daya lagi. Lemas. Lalu mati. Itukah rasa kemanusiawian?
***
Hatiku terlampau remuk. Dan mulutku tak bisa berhenti mengutuk. Luka itu tumbuh sebagai bara yang senantiasa panas dan nyala. Bagaimana aku mampu mengampuni? Sebab rela saja tidak semudah yang kau kira.
Dekap. Dekap aku, Sayang. Biarkan aku meraung dalam pelukmu. Meronta sambil menjeritkan hati yang tersayat. Aku tidak akan pernah diam. Sebab luka menjelma dendam. Dan aku tidak mengerti tentang sakit hati ini. Dekap aku! Biar aku tahu kau di sini. Hanya untukku.
Ajari aku bagaimana caranya berdamai dengan sakit hati. Dengan sisi lain manusia yang tak ku mengerti. Sebab aku tak tahu bagaimana cara mengampuni. Mungkin suatu hari, mulutku akan berhenti merapal mantra serta kutukan yang mewabahkan derita. Kelak, aku akan menerima juga menyadari bahwa tiap kita memiliki sisi gelap.
Dekap. Dekap aku, Sayang. Biarkan aku meraung dalam pelukmu. Meronta sambil menjeritkan hati yang tersayat. Aku tidak akan pernah diam. Sebab luka menjelma dendam. Dan aku tidak mengerti tentang sakit hati ini. Dekap aku! Biar aku tahu kau di sini. Hanya untukku.
***
Tapi kini biarkan aku tertawa, serta mengirimkan kembali luka, untuknya. Mengirimkan sebuah foto bergambar kita, penuh mesra. Tertuliskan: Hanya sampah yang dibuang tanpa perasaan!
No comments:
Post a Comment