Tuesday, September 21, 2010

Kerinduan Untuk Billy

Bekasi, 20 September 2010.

Malam ini entah apa dan kenapa, saya tiba-tiba teringat Billy, teman dekat di kampus dulu. Saya tidak sengaja teringat dia, lalu kemudian menjadi mengenangnya semalaman. Saya baru tiba di rumah hampir setengah 10 malam, rumah terasa sepi sekali, tidak ada orang, tidak ada bunyi televisi. Saya tahu papa sudah tidur, ena dan mama sama-sama belum pulang kerja. Biasanya ada Dila, adik lelaki saya yang sejak kemarin sore resmi pindah ke kosannya di Depok. Saya yang belum makan saat itu teringat Dila, bertanya sendiri, apa dia sudah makan atau belum ya? Jujur, dia tidak ada di sini, rumah jadi sepi sekali. Biasanya saat saya pulang kerja dia ada, sibuk dengan laptop, liat tv, atau mendengarkan lagu-lagu Jepang di dalam kamarnya, yang menurut saya lebih persis orang teriak-teriak diiringi alat musik. Saya bukan kakak yang sok menjadi perhatian, namun ketidakhadirannya untuk hari-hari kedepan selama mungkin hampir empat tahun, pasti akan terasa.

Mengingat adik lelaki saya malam itu, memikirkan dia sudah makan atau belum, mengingatkan saya tiba-tiba pada Billy. Saya mendadak ingat, dulu Billy sering meminta-minta makanan sama teman-teman perempuan di kampus karena tidak punya cukup uang. Salah besar kalau kemudian kalian mengira Billy berasal dari golongan keluarga yang tidak mampu. Kakaknya bekerja sebagai dokter di Jakarta, tinggal di perumahan Kemang Pratama dan rumahnya berseberangan dengan rumah Helmy Yahya. Di rumah itu Billy menumpang hidup di Jakarta. Apakah kalian kira dia tidak cukup mampu membeli sepiring nasi dengan lauk ala kadarnya? Gunakan saja logikamu.

Sebagai anak lelaki, Billy lebih memilih meminta-minta makan dan dijajani oleh teman-teman perempuannya dibanding minta-minta uang dengan kakaknya. Lahir sebagai bungsu, yang saat itu masih harus diurusi kuliahnya, belum punya penghasilan, numpang tinggal dirumah kakaknya yang sudah berkeluarga, membuat Billy, saya rasa, gengsi.

Orangtua Billy tinggal di Manado. Rasa gengsi yang tadi di atas saya kira, bukanlah kira-kira yang salah. Saya ingat dulu Billy pernah bercerita, dia malu kalau uangnya habis dan kemudian harus meminta-minta kepada kakaknya. Dia malu karena di usia yang ia anggap cukup tua saat itu, ia masih merepotkan orang tua. Saya masuk kuliah di usia 17 tahun dan Billy lebih tua tiga atau empat tahun dari saya.

Malam ini saya jadi begitu kangen Billy. Bagaimana kabarnya Manado gila itu sekarang? Saya ingat hampir enam tahun lalu ketika pertama mengenal Billy. Hari-hari pertama menjadi mahasiswa baru di kampus. Hari itu ada latihan paduan suara untuk acara wisuda. Selepas latihan hari sudah petang tapi masih banyak senior dari tiap-tiap jurusan sibuk berkumpul sambil meneriakan nama jurusannya. Bermaksud agar mahasiswa baru dari jurusan tersebut berkumpul di tempat mereka. Saya lega ketika keluar dari Balairung tidak ada satu pun senior yang meneriakan, "Belanda kumpul di sini! Woi, yang anak sastra belanda kumpul dulu di sini! Sastra Belanda... Sastra Belanda...!" Saya tahu mama dan papa sudah menunggu di parkiran. Baru saja saya melangkah menuju tempat parkir, saya lihat segerombolan laki-laki berkumpul memegang karton besar bergambar bendera Belanda dengan tulisan "VIVA NEDERLAND." Mereka memegang jaket kuning juga, sama seperti saya. Antara bingung dan heran, saya hanya celinguk-celinguk melihat apakah ada juga mahasiswa lain yang mendatangi mereka dan menganggap betul mereka ialah senior kami. Sebagai mahasiswa baru wajar kalau tampang bodoh dan dungunya masih terbaca jelas. Saya hanya berhenti, memandangi sebagaian dari mereka tanpa mendekat sedikit pun. Salah satu dari mereka menghampiri saya. Lelaki bertubuh jangkung, putih dan rambutnya gondrong. "Eh, lo anak Belanda ya?" tanyanya. Yang saya ingat saya hanya mengiyakan dan tau-tau sudah berkumpul saja dengan mereka dan beberapa mahasiswa baru lainnya. Saya lupa bagaimana persisnya hari itu, yangs aya ingat lelaki gondrong itu meminta saya membawa permen dan memberikannya besok pukul enam pagi di tempat kami berkumpul sekarang. Perkumpulan singkat itu berakhir dengan tanda tanya. Saya dan beberapa mahasiswa lain langsung bergerombol dan dan saling bertanya-tanya, ragu sendiri. Apakah mereka betul-betul senior kami? Apakah besok pagi betul-betul harus datang membawa permen? Tapi saya memutuskan sendiri untuk tidak datang keesokan paginya.

Perkiraan saya benar. Keesokan hari, siang, amsih ada latihan paduan suara. Saya duduk berkumpul dengan teman-teman SMA. Saya menceritakan kejadian kemarin sore kepada mereka. Di tengah-tengah latihan, pelatih paduan suara UI, Pak Dibyo, meminta perwakilan sukarela dari mahasiwa baru untuk maju ke panggung, satu perempuan dan satu lelaki. Yang menjadi perhatian saya adalah sosok mahasiswa baru yang lelaki itu, bertubuh jangkung, berkulit putih dan gondrong. Ia maju ke tengah panggung diikuti sorak sorai dari teman-temannya, ia berkata "Nama saya Billy Lutam, jurusan Sastra Belanda."

Sial! Saya kena tipu!Itu pertama kali saya mengenal Billy, mahasiswa baru yang sukses menipu saya dengan mengaku sebagai senior (gadungan). Seperti berjodoh, saat semester pertama di mulai, ternyata saya satu eklas dengannya. sejak itu saya dan Billy menjadi dekat sebagai sahabat.

Billy masih berbicara dengat logat Manado yang kental. Seperti anak daerah yang baru datang ke Jakarta, masih norak. Haha! Berbeda dengan kebanyakan anak lelaki lain yang senang bolos kuliah, Billy sangat rajin. Di semester pertama dia tidak pernah bolos satu kali pun. Dia bilang dulu saat SMA di Manado dia sekolah di sekolah katolik, tinggal di asrama kalau tidak salah, dengan pastur yang begitu galak dan ketat peraturan. Karena terbiasa tidak bolos maka hal itu ia terapkan juga saat kuliah. Tapi seperti umumnya lingkungan dan kawan bisa merubah kebiasaa. Di semester dua saya kira Billy lebih sering bolos kuliah dan kemudian hal itu yang membuat dia tidak lulus kuliah wajib Belanda dan harus mengulang kelas tersebut bersama mahasiswa angkatan 2005.

Saya hampir tidak pernah sekelas dengan Billy lagi di kelas-kelas dan semester-semester berikutnya. Tapi kami, saya dan Billy serta teman-teman lain masih suka berkumpul di kantin bersama-sama, berbagi cerita dan hal lainnya. Hal-hal tak penting dan sepele yang justru senang kami bicarakan dan tertawakan.

Sosok Billy buat saya bisa begitu dewasa atau begitu konyol seperti bocah. Banyak hal yang membuat saya mengingat dia. Dia, yang selalu (saya tahu ini gurauan) mengakui semua teman perempuannya sebagai pacar. Yang sering memeluk dan tiba-tiba mencium pipi atau kening mereka sambil cekikikan. Orang gila! Haha!

Tingkah Billy dan logat Manadonya yang khas membuat dia dikenal di kampus, bukan saja dikenal dosen, senior dan junior, sampai penjual makan di kantin atau satpam kampus pun banyak yang mengenal dia. Saya melihat Billy sebagai sosok yang ramah dan mudah bergaul. Dia yang kalau cerita pasti menggebu-gebu, kemudian saya dan teman-teman sering tertawa, bukan karena ceritanya tapi karena cara penyampaiannya. Ah, saya kangen mendengar Billy bercerita.

Billy, pernah begitu marah dan mengamuk dengan orang-orang satu bus kota, karena dia ditodong dalam sebuah perjalanan di wilayah Rawamangun, tapi tak seorang pun mau menolongnya hanya karena wajah Manadonya dikira keturunan Chinese. Setelah penodong itu berhasil menggasak dompet dan handphone-nya, Billy berteriak kepada semua orang di dalam bus kota itu, bahwa dia 100% orang Indonesia. Saya ingat sekali ketika dia begitu menggebu-gebunya bercerita tentang kisah itu.

Billy juga yang saya kira merupakan salah satu teman lelaki saya yang terdekat yang paling gila dan nekat. Dia pernah tidur semalaman di statiun kereta UI hanya karena pulang kemalaman, tidak bisa masuk ke kosan, dan tidak ada teman laki-lakinya yang ketika itu mengangkat telepon untuk membiarkan dia bermalam dikosan mereka. Saya ingat dia bercerita kepada saya, kemudian saya bertanya bagaimana dia begitu nekat dan berani tidur ditempat seperti itu. Dengan sederhananya ia menjawab, "Gw duduk aja dulu di peron statiun, terus gw liatin deh gimana caranya pengemis-pengemis itu tidur di sana. Mereka cuma ngambil koran-koran bekas yang ada, terus cari tempat yang cukup nyaman, terus tidur deh. Gw cuma ngikutin aja."

Billy, sudah setahun lebih saya tidak bertemu dia, sejak dia kembali tinggal di Manado. Terakhir kali yang saya ingat saya bertemu dia saat puasa tahun 2009 lalu di rumah Anggie. Setelah lulus kuliah tahun 2008, yang saya ingat hanya dua kali saya bertemu Billy. Pertama, beberapa bulan setelah lulus kuliah, saat itu hari ulang tahunnya. Pacarnya, Genih, mengundang saya serta beberapa teman dekat Billy yang lain untuk membuat surprise party di kampus. Kedua, saat buka puasa itu. Saya ingat betapa mengamuknya Mr. H sepulang dari acara buka puasa itu, karena Billy memeluk dan mencium pipi saya saat itu. Jika saja ia mau mengerti itu adalah ciuman dan pelukan dari seorang sahabat.


"Surprise Party untuk ulang tahun Billy di Klaster, FIB-UI"


Ketika ayahnya meninggal, saya tahu Billy menjadi begitu depresi. Saat itu tahun terakhir saya di kampus. Lalu saya tahu dari seorang teman bahwa ia menjadi sering mabuk-mabukan dan mulai sering bolos-bolos kuliah lagi. Padahal saya tahu ada masa di semester-semester belakang dimana Billy menjadi begitu rajin kuliah dan mendapat nilai bagus, IP tiap semesternya pun naik. Tapi kejadian itu saya rasa begitu memukul dia. Dan, kurang lebih setahun lalu, belum sampai sih, Ibunya pun meninggal. Pukulan itu kembali menghantam dia.

Perubahan kadang terjadi pada sesuatu yang tidak pernah kita kira. Begitu juga halnya dengan Billy. Ia yang dulu begitu riang dan gila, saya rasa sedikit menjadi berubah. Saya tidak bisa menilai utuh sesungguhnya, karena sekarang saya dan Billy hampir tidak pernah bertemu lagi. Namun, saya tahu dukanya masih terasa. Foto yang ia pasang pada contact Blackberry-nya tidak pernah dirubah. Setidaknya sejak contact itu ada pada Blackberry saya. Gambar itu masih sama. Foto Billy dengan ibunya di saat ia wisuda dan sama hal dengan statusnya, masih saja tertulis "Merasa ada 'sesuatu' yang telah hilang dalam hidupku."

Billy kembali tinggal di Manado setelah ibunya meninggal. Sekarang saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Bekerja dimana atau apa yang sekarang ia lakukan. Terakhir kali saya berhubungan dengan dia itu hanya melalui BBM kurang lebih 2 minggu lalu. Saya lupa kami bicara apa, yang jelas percakapan itu begitu singkat. Ia berhenti membalas ketika saya menanyakan pekerjaannya sekarang. Malam ini saya menghubungi dia di BBM, menanyakan apa kabarnya, tapi tidak ada balasan.


Billy, bagaimana pun keadaan kamu di sana sekarang, saya harap kamu baik-baik saja dan ceria seperti dulu.


"Billy disaat wisuda saya"

1 comment: