Wednesday, September 29, 2010

Oktober Datang

oktober datang lagi
membawa kembali kenangan tentang kamu
masa silam dulu
getar-getar yang sama
sakit hati itu masih adakah?

hye kamu, apa kabar?

Monday, September 27, 2010

Gegas Gesa Waktu

gegas, gegaslah waktu
cepat-cepat, buru-buru
seperti kau ketinggalan kereta
seperti kau bangun kesiangan

melesatlah laju, waktu!
cepat berlalu


agar kembali segera
Sabtu Minggu



Suatu Masa

Ada suatu masa kehilangan begitu terasa.
Meninggalkan goresan dalam ingatan.
Menyimpan rahasia dalam gudang masing-masing.

Masa lalu. Detik-detik lalu. Gegas buru buru mengejar yang kita namakan mimpi.

Kau dan aku, siapa yang tiba di garis akhir lebih dulu?

Saturday, September 25, 2010

Dan Semua Masih Akan Bersamamu, Sayang Padamu

Segalanya masih akan bersamamu: awan yang suka terserak, warna senja yang selalu baru, wajah telaga di belakang rumah, bahkan angin, yang tak pernah kausapa tetapi yang suka menyombongkan diri sebagai yang paling setia selama ini, .... Kalau nanti aku, alhamdulilah, harus pergi semua masih akan tetap tinggal bersamamu;.... semua masih akan bersamamu, sayang padamu.

- Sapardi Djoko Damono -

-------------------------------------


Cerita dalam perjalanan ini, maghrib yang sendu. Laksana petir yang mengagetkan namun membuat kelu, lidah tak mampu berkata-kata, aku hanya bisa menghela panjang. Diambang nyata tapi tak percaya. Seperti membuka album kenangan, kamu masa lalu yang aromanya sudah pudar, sempat terlupa namun tetap merekat.

Duabelas tahun persahabatan, ada masa dimana kita begitu dekat namun waktu yang mengubah ruang diantara kamu dan aku. Saat-saat kamu menjadi jauh dan aku melihat perubahan itu dalam sebuah jarak dan diam. Perlahan namun sangat pasti, kamu menjadi begitu berbeda.

Aku tidak pernah mau lagi membaurkan diri dalam hidupmu, kita masih bersama namun ada yang merentang ditengahnya.Sejak kita pernah hampir-hampir bertengkar besar karena aku berusaha menasehati kamu dan kamu kira aku begitu ikut campur dan sok tahu tentang hidupmu, aku pikir baiklah, siapa aku ini, jalani saja hidupmu. Aku akan tetap ada memandangimu tanpa pernah lagi mau mengatur.

Kesedihan muncul bersamaan dengan kehilangan. Dan aku kehilangan kamu, maka aku menjadi sedih di masa-masa dulu. Dan juga malam ini.


Ena, yang bercerita. Mendadak. Dan sesuatu yang mendadak memang cukup mengejutkan. Sama seperti terkejutnyaku saat telinga menerima berita itu. Suara itu yang masuk ke telinga, rasanya susah payah dicerna dalam otak. Antara mendengarkan lebih jeli dan berfikir keras, betul-betul meyakinkan diri bahwa ini nyata. Cerita ena ini betul-betul terjadi.

Aku menghela panjang sendiri. Dan ribuan kata tanya "kenapa" menggerayangi kepala dan seluruh tubuhku, hingga romaku berdiri. Sesak, kelu, dingin, marah, ingin menangisi kamu sekaligus ingin menampar mukamu, menempeleng kepalamu, agar kamu sadar dari mabuk dan dosa selama ini yang menyelimuti kamu.

Mungkin ini sebab ena juga menyimpan rahasia, cerita ini, lebih dari setahun dariku. Mungkin ia tahu betul bagaimana nanti aku akan bereaksi dan beremosi. Ena bercerita perlahan, begitu hati-hati, dan terkesan memilih-milih kata agar tidak membuatku begitu terkejut dan begitu emosional, mungkin. Awal cerita saja dia sudah mengultimatum, agar demi dewa atau setan manapun aku tidak akan mengisahkan ini kepada orang lain. Tolol kah kalian?! Kamu sahabat dan ena saudara serahimku, mengapa kalian begitu sepakat tidak bercerita. Kamu juga, setelah hampir dua tahun baru berani mengungkap semua. Kata ena, dengan sikap yang tetap konyol dan goblok yang biasanya justru membuat kami tertawa. Tapi, siapa yang mau tertawa dengan kisah ini.

Kenapa sih, K? Kenapa? Aku tidak mau lagi mencampuri, tapi aku juga tidak mau pura-pura tidak peduli. Aku tidak mau kamu marah lagi sebab merasa aku sok tahu atas hidupmu. Tapi ini bukankah menjadi kelewat batas? Aku mengenal kamu. Kamu itu anak baik-baik yang menjelma gadis nakal, yang salah langkah dan tersesat dalam arti mencari jati diri saat kita masih sama-sama remaja.

Masa kuliah, saat kita terpisah, betul-betul jauh, aku tetap mengingat kamu. Terkadang masih sedih terhadap dirimu sebab aku kehilangan sosok pertamamu yang bertahun-tahun lalu aku kenal. Lalu terkadang saat bertemu teman-teman lama, mereka menanyaimu, dan gosip-gosip tak enak yang merebak tentang kamu. Aku begitu marah dan kesal jika mereka menebarkan racun kata-kata itu. Mati-matian membela kamu atas semua berita-berita itu. Tapi sekarang aku begitu benci. Benci sebab kisah ini membenarkan semua dugaan mereka yang selalu aku lawan. Dan aku begitu bodoh, sebab aku yang memang tidak tahu apa-apa.

K, jika peristiwa ini mampu menjadi jalan untuk kamu kembali ke sosok dulu, aku mungkin masih akan bersyukur kepada Tuhan. Berubahlah, K! Apa pun yang kamu buat, bahkan jika itu dosa sekalipun aku dan ena akan selalu menyayangi kamu.

Ini hidupmu, ini ceritamu. Aku tidak mau menghakimi, aku tidak mau menilai. Orang berdosa memang lebih banyak berdiam aku rasa, berahasia, sebab rahasia itu adalah dosa. Ketakutan datang bersama dosa itu. Karena ketakutan itu maka kamu berahasia. Kamu menyimpan rahasia besar kepada orang-orang, bahkan kepada semua keluargamu, semua, K, semua. Bahkan mama dan papamu tidak tahu. Tidak tahu kalau mereka sudah punya cucu.

K, demi Tuhan segala Tuhan, aku mengasihi dan mengasihani kamu. Demi anakmu itu, bertahanlah dengan lelaki itu, agar nanti suatu hari kamu bisa mengambil anakmu lagi dari keluarga yang baik hati itu. Keluarga yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanmu. Mereka kan mengangkatmu dan lelakimu sebagai anak, agar anakmu hanya menjadi cucunya saja. Walau keluarga itu membawanya jauh. Mereka masih mengirimkan foto-foto balitamu itu, memberikannya pakaian dan makanan, merawatnya sebagai cucu, dan menjelaskan kepada pangeran kecil itu bahwa kamu dan lelaki itu adalah mami dan papinya yang harus jauh darinya sementara.

Kamu sedih saat mereka mengirimkan sekumpulan foto anakmu didalam kolam besar penuh dengan bola-bola warna warni, dan kamu bilang wajah pangeran kecil itu begitu terlihat bahagia. Namun bahagia yang bukan darimu. Saat kamu tidak bisa meninabobokannya, memberikan susu dan pakaian untuknya, kamu menangis. Maka, rubahlah hidupmu demi pangeranmu!

Aku memutar kembali ingatan pada saat hampir di wisuda, tahun terakhir di kampus, kamu menghubungi kami, ingin meminjam uang karena kamu bilang kamu kecelakaan, berada di RS dan tidak ingin memberitahu orangtuamu. Jumlah itu cukup besar dan kami memutuskan tidak memberikannya kepadamu. Setelah kisah ini disampaikan, aku tahu sekarang bahwa kamu betul-betul "kecelakaan." Kamu sendiri bilang, melalui ena, jika saja saat itu kami memberikan uang itu mungkin keadaannya sekarang akan berbeda.

Pikiranmu dan lelaki itu yang ingin membawa bayi tak berdosa itu ke panti asuhan dan membiarkan ia diasuh oleh orang-orang yang bahkan kalian tidak pernah kenal. Jika ketika itu aku turut memberikan uang dan kamu betul-betul melakukan itu, sudah pasti aku akan membunuhmu, K!

K, aku tidak mau tiba-tiba datang kepadamu, menanyaimu, pura-pura tidak tahu, tapi setelah 6 tahun kita tidak bertemu aku sekarang begitu ingin memeluk kamu. Mengatakan bahwa aku tetap sayang kamu, sebisa mungkin aku membantu, seperti kamu meminta kepada ena dicarikan pekerjaan.

Berubahlah dengan peristiwa ini, hiduplah kembali dengan cara yang baru. Tuhan masih memberimu kesempatan. Dengan caramu sendiri yang entah bagaimana, beritahukanlah orangtuamu, nanti, segera. Aku tahu kamu pasti menangis. Maka demi airmata, demi darah, dan anakmu itu, berubah dan berbahagialah lagi.

Pada tulisan ini aku begitu ragu-ragu menulis semua rahasia dan detail yang ada. Tapi aku menulis untuk kamu, mengenang kamu. Nanti, K, aku akan menemuimu, segera, dan memeluk dirimu erat-erat dan mengatakan "aku sayang kamu.!"






------------------------

PS: Dava, tante tidak pernah bertemu kamu. Tante bahkan baru tahu bahwa kamu ada. Tante berdoa untukmu dan mamimu agar kalian bahagia. Dan agar Tuhan terus memberikan berkah dan rezeki kepada keluarga yang baik hati itu, yang senantiasa menjagamu.

Maka suatu hari nanti jika mamimu tetap bertahan dengan papimu, demi mengambilmu kembali, sayangilah mereka dan mengertilah, sayang. Mereka sesungguhnya begitu menyayangimu!

Tuesday, September 21, 2010

Kerinduan Untuk Billy

Bekasi, 20 September 2010.

Malam ini entah apa dan kenapa, saya tiba-tiba teringat Billy, teman dekat di kampus dulu. Saya tidak sengaja teringat dia, lalu kemudian menjadi mengenangnya semalaman. Saya baru tiba di rumah hampir setengah 10 malam, rumah terasa sepi sekali, tidak ada orang, tidak ada bunyi televisi. Saya tahu papa sudah tidur, ena dan mama sama-sama belum pulang kerja. Biasanya ada Dila, adik lelaki saya yang sejak kemarin sore resmi pindah ke kosannya di Depok. Saya yang belum makan saat itu teringat Dila, bertanya sendiri, apa dia sudah makan atau belum ya? Jujur, dia tidak ada di sini, rumah jadi sepi sekali. Biasanya saat saya pulang kerja dia ada, sibuk dengan laptop, liat tv, atau mendengarkan lagu-lagu Jepang di dalam kamarnya, yang menurut saya lebih persis orang teriak-teriak diiringi alat musik. Saya bukan kakak yang sok menjadi perhatian, namun ketidakhadirannya untuk hari-hari kedepan selama mungkin hampir empat tahun, pasti akan terasa.

Mengingat adik lelaki saya malam itu, memikirkan dia sudah makan atau belum, mengingatkan saya tiba-tiba pada Billy. Saya mendadak ingat, dulu Billy sering meminta-minta makanan sama teman-teman perempuan di kampus karena tidak punya cukup uang. Salah besar kalau kemudian kalian mengira Billy berasal dari golongan keluarga yang tidak mampu. Kakaknya bekerja sebagai dokter di Jakarta, tinggal di perumahan Kemang Pratama dan rumahnya berseberangan dengan rumah Helmy Yahya. Di rumah itu Billy menumpang hidup di Jakarta. Apakah kalian kira dia tidak cukup mampu membeli sepiring nasi dengan lauk ala kadarnya? Gunakan saja logikamu.

Sebagai anak lelaki, Billy lebih memilih meminta-minta makan dan dijajani oleh teman-teman perempuannya dibanding minta-minta uang dengan kakaknya. Lahir sebagai bungsu, yang saat itu masih harus diurusi kuliahnya, belum punya penghasilan, numpang tinggal dirumah kakaknya yang sudah berkeluarga, membuat Billy, saya rasa, gengsi.

Orangtua Billy tinggal di Manado. Rasa gengsi yang tadi di atas saya kira, bukanlah kira-kira yang salah. Saya ingat dulu Billy pernah bercerita, dia malu kalau uangnya habis dan kemudian harus meminta-minta kepada kakaknya. Dia malu karena di usia yang ia anggap cukup tua saat itu, ia masih merepotkan orang tua. Saya masuk kuliah di usia 17 tahun dan Billy lebih tua tiga atau empat tahun dari saya.

Malam ini saya jadi begitu kangen Billy. Bagaimana kabarnya Manado gila itu sekarang? Saya ingat hampir enam tahun lalu ketika pertama mengenal Billy. Hari-hari pertama menjadi mahasiswa baru di kampus. Hari itu ada latihan paduan suara untuk acara wisuda. Selepas latihan hari sudah petang tapi masih banyak senior dari tiap-tiap jurusan sibuk berkumpul sambil meneriakan nama jurusannya. Bermaksud agar mahasiswa baru dari jurusan tersebut berkumpul di tempat mereka. Saya lega ketika keluar dari Balairung tidak ada satu pun senior yang meneriakan, "Belanda kumpul di sini! Woi, yang anak sastra belanda kumpul dulu di sini! Sastra Belanda... Sastra Belanda...!" Saya tahu mama dan papa sudah menunggu di parkiran. Baru saja saya melangkah menuju tempat parkir, saya lihat segerombolan laki-laki berkumpul memegang karton besar bergambar bendera Belanda dengan tulisan "VIVA NEDERLAND." Mereka memegang jaket kuning juga, sama seperti saya. Antara bingung dan heran, saya hanya celinguk-celinguk melihat apakah ada juga mahasiswa lain yang mendatangi mereka dan menganggap betul mereka ialah senior kami. Sebagai mahasiswa baru wajar kalau tampang bodoh dan dungunya masih terbaca jelas. Saya hanya berhenti, memandangi sebagaian dari mereka tanpa mendekat sedikit pun. Salah satu dari mereka menghampiri saya. Lelaki bertubuh jangkung, putih dan rambutnya gondrong. "Eh, lo anak Belanda ya?" tanyanya. Yang saya ingat saya hanya mengiyakan dan tau-tau sudah berkumpul saja dengan mereka dan beberapa mahasiswa baru lainnya. Saya lupa bagaimana persisnya hari itu, yangs aya ingat lelaki gondrong itu meminta saya membawa permen dan memberikannya besok pukul enam pagi di tempat kami berkumpul sekarang. Perkumpulan singkat itu berakhir dengan tanda tanya. Saya dan beberapa mahasiswa lain langsung bergerombol dan dan saling bertanya-tanya, ragu sendiri. Apakah mereka betul-betul senior kami? Apakah besok pagi betul-betul harus datang membawa permen? Tapi saya memutuskan sendiri untuk tidak datang keesokan paginya.

Perkiraan saya benar. Keesokan hari, siang, amsih ada latihan paduan suara. Saya duduk berkumpul dengan teman-teman SMA. Saya menceritakan kejadian kemarin sore kepada mereka. Di tengah-tengah latihan, pelatih paduan suara UI, Pak Dibyo, meminta perwakilan sukarela dari mahasiwa baru untuk maju ke panggung, satu perempuan dan satu lelaki. Yang menjadi perhatian saya adalah sosok mahasiswa baru yang lelaki itu, bertubuh jangkung, berkulit putih dan gondrong. Ia maju ke tengah panggung diikuti sorak sorai dari teman-temannya, ia berkata "Nama saya Billy Lutam, jurusan Sastra Belanda."

Sial! Saya kena tipu!Itu pertama kali saya mengenal Billy, mahasiswa baru yang sukses menipu saya dengan mengaku sebagai senior (gadungan). Seperti berjodoh, saat semester pertama di mulai, ternyata saya satu eklas dengannya. sejak itu saya dan Billy menjadi dekat sebagai sahabat.

Billy masih berbicara dengat logat Manado yang kental. Seperti anak daerah yang baru datang ke Jakarta, masih norak. Haha! Berbeda dengan kebanyakan anak lelaki lain yang senang bolos kuliah, Billy sangat rajin. Di semester pertama dia tidak pernah bolos satu kali pun. Dia bilang dulu saat SMA di Manado dia sekolah di sekolah katolik, tinggal di asrama kalau tidak salah, dengan pastur yang begitu galak dan ketat peraturan. Karena terbiasa tidak bolos maka hal itu ia terapkan juga saat kuliah. Tapi seperti umumnya lingkungan dan kawan bisa merubah kebiasaa. Di semester dua saya kira Billy lebih sering bolos kuliah dan kemudian hal itu yang membuat dia tidak lulus kuliah wajib Belanda dan harus mengulang kelas tersebut bersama mahasiswa angkatan 2005.

Saya hampir tidak pernah sekelas dengan Billy lagi di kelas-kelas dan semester-semester berikutnya. Tapi kami, saya dan Billy serta teman-teman lain masih suka berkumpul di kantin bersama-sama, berbagi cerita dan hal lainnya. Hal-hal tak penting dan sepele yang justru senang kami bicarakan dan tertawakan.

Sosok Billy buat saya bisa begitu dewasa atau begitu konyol seperti bocah. Banyak hal yang membuat saya mengingat dia. Dia, yang selalu (saya tahu ini gurauan) mengakui semua teman perempuannya sebagai pacar. Yang sering memeluk dan tiba-tiba mencium pipi atau kening mereka sambil cekikikan. Orang gila! Haha!

Tingkah Billy dan logat Manadonya yang khas membuat dia dikenal di kampus, bukan saja dikenal dosen, senior dan junior, sampai penjual makan di kantin atau satpam kampus pun banyak yang mengenal dia. Saya melihat Billy sebagai sosok yang ramah dan mudah bergaul. Dia yang kalau cerita pasti menggebu-gebu, kemudian saya dan teman-teman sering tertawa, bukan karena ceritanya tapi karena cara penyampaiannya. Ah, saya kangen mendengar Billy bercerita.

Billy, pernah begitu marah dan mengamuk dengan orang-orang satu bus kota, karena dia ditodong dalam sebuah perjalanan di wilayah Rawamangun, tapi tak seorang pun mau menolongnya hanya karena wajah Manadonya dikira keturunan Chinese. Setelah penodong itu berhasil menggasak dompet dan handphone-nya, Billy berteriak kepada semua orang di dalam bus kota itu, bahwa dia 100% orang Indonesia. Saya ingat sekali ketika dia begitu menggebu-gebunya bercerita tentang kisah itu.

Billy juga yang saya kira merupakan salah satu teman lelaki saya yang terdekat yang paling gila dan nekat. Dia pernah tidur semalaman di statiun kereta UI hanya karena pulang kemalaman, tidak bisa masuk ke kosan, dan tidak ada teman laki-lakinya yang ketika itu mengangkat telepon untuk membiarkan dia bermalam dikosan mereka. Saya ingat dia bercerita kepada saya, kemudian saya bertanya bagaimana dia begitu nekat dan berani tidur ditempat seperti itu. Dengan sederhananya ia menjawab, "Gw duduk aja dulu di peron statiun, terus gw liatin deh gimana caranya pengemis-pengemis itu tidur di sana. Mereka cuma ngambil koran-koran bekas yang ada, terus cari tempat yang cukup nyaman, terus tidur deh. Gw cuma ngikutin aja."

Billy, sudah setahun lebih saya tidak bertemu dia, sejak dia kembali tinggal di Manado. Terakhir kali yang saya ingat saya bertemu dia saat puasa tahun 2009 lalu di rumah Anggie. Setelah lulus kuliah tahun 2008, yang saya ingat hanya dua kali saya bertemu Billy. Pertama, beberapa bulan setelah lulus kuliah, saat itu hari ulang tahunnya. Pacarnya, Genih, mengundang saya serta beberapa teman dekat Billy yang lain untuk membuat surprise party di kampus. Kedua, saat buka puasa itu. Saya ingat betapa mengamuknya Mr. H sepulang dari acara buka puasa itu, karena Billy memeluk dan mencium pipi saya saat itu. Jika saja ia mau mengerti itu adalah ciuman dan pelukan dari seorang sahabat.


"Surprise Party untuk ulang tahun Billy di Klaster, FIB-UI"


Ketika ayahnya meninggal, saya tahu Billy menjadi begitu depresi. Saat itu tahun terakhir saya di kampus. Lalu saya tahu dari seorang teman bahwa ia menjadi sering mabuk-mabukan dan mulai sering bolos-bolos kuliah lagi. Padahal saya tahu ada masa di semester-semester belakang dimana Billy menjadi begitu rajin kuliah dan mendapat nilai bagus, IP tiap semesternya pun naik. Tapi kejadian itu saya rasa begitu memukul dia. Dan, kurang lebih setahun lalu, belum sampai sih, Ibunya pun meninggal. Pukulan itu kembali menghantam dia.

Perubahan kadang terjadi pada sesuatu yang tidak pernah kita kira. Begitu juga halnya dengan Billy. Ia yang dulu begitu riang dan gila, saya rasa sedikit menjadi berubah. Saya tidak bisa menilai utuh sesungguhnya, karena sekarang saya dan Billy hampir tidak pernah bertemu lagi. Namun, saya tahu dukanya masih terasa. Foto yang ia pasang pada contact Blackberry-nya tidak pernah dirubah. Setidaknya sejak contact itu ada pada Blackberry saya. Gambar itu masih sama. Foto Billy dengan ibunya di saat ia wisuda dan sama hal dengan statusnya, masih saja tertulis "Merasa ada 'sesuatu' yang telah hilang dalam hidupku."

Billy kembali tinggal di Manado setelah ibunya meninggal. Sekarang saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Bekerja dimana atau apa yang sekarang ia lakukan. Terakhir kali saya berhubungan dengan dia itu hanya melalui BBM kurang lebih 2 minggu lalu. Saya lupa kami bicara apa, yang jelas percakapan itu begitu singkat. Ia berhenti membalas ketika saya menanyakan pekerjaannya sekarang. Malam ini saya menghubungi dia di BBM, menanyakan apa kabarnya, tapi tidak ada balasan.


Billy, bagaimana pun keadaan kamu di sana sekarang, saya harap kamu baik-baik saja dan ceria seperti dulu.


"Billy disaat wisuda saya"

Monday, September 20, 2010

Ladang Berbuah Beton

Lebih dari 15 tahun lalu, aku masih ingat diseberang rumahku ada kali. Meski bukan yang ditemukan pertama kali oleh mata ketika membuka pintu, kali yang airnya mengalir itu meski tIdak jernih digordeni rumah-rumah tetangga.

Aku senang pergi ke rumah guru ngajiku. Dari dapur belakang, kali itu bisa terlihat langsung. Ada tangga menuju ke bawah. Kalau musim hujan menderas maka airnya yang coklat hampir mencapai lantai.

Di seberang kali itu ada ladang dan padang. Bersawah dan menghidupi petani kampung. Setiap sore aku sering menyeberang ke padang sana. Berlari-lari, menangkap capung dan kepik. Kemudian kesenanganku adalah menginjaki batang padi yang habis dibakar. kresek-kresek.... Bunyinya garing.

Jika musim kering, petani di situ menanami ladangnya dengan semangka. Juga menjual mentimun dan kacang panjang yang bisa dipetik langsung dari pohonnya oleh pembeli. Jika siang banyak petani duduk di pinggir kali menunggui ladangnya berbuah dan panen.

Menyeberang ke ladang butuh usaha bagi anak kecil umur 7 tahun. Aku bisa memilih dua jembatan. Melewati jembatan baru namun kecil dari batang pohon kelapa yang telentang. Atau jembatan lama, lebar tapi beberapa tiang sangga dan kayu untuk menapaknya sudah renta dan bercelah. Di seberang jembatan itu ada rumah kosong. tidak berpenghuni sejak aku pindah kemari. Rumah besar bertingkat dua, besar dan kotor. Ada rambat bunga telang dan rongsok tumbuh di sana. Jika main petak umpet aku senang bersembunyi di rumah itu. Hangat di siang hari sekaligus membuat merinding.

Enam tahun aku meninggalkan kota ini. Aku anak kota sekarang. Tak lagi main di kali, ladang dan padang, sembunyi-sembunyi di rumah kosong. Aku lebih senang bergaya ke mall, high heels lebih trend dibanding sendal jepit yang penuh lumpur.

Enam tahun pergi dan enam tahun pula sudah aku kembali tinggal di sini. Sore kemarin baru aku sadari, mana padang dan ladang itu? Mana kepik dan capung yang dulu aku tangkapi. Kali itu sudah kerontang. Rumah kosong itu menjelma rumah gedongan bercat orange berpagar besi. Tanah bekas ladang dan padang itu kini sudah berbuah kemodernan jaman. Beton dan atap tumbuh diatasnya yang beraspal hitam.

Kemana petani itu pergi sekarang?

Thursday, September 16, 2010

Fatamorgana


aku seperti memberi isyarat
dan kau membaca diam-diam
kita hanya tak berjumpa
bukan berarti aku fatamorgana

Dalam Ingatan

mungkin kita ialah urai-urai benang yang terpisah dari gelungan
meski kukejar-kejar bukan takdir kita bertemu, walau di kotamu
sementara langkah kita adalah foto kusam dalam album kenangan
rekat-lengket hanya dalam ingatan


Sunday, September 5, 2010

Stuck!

I hate when I can not writing anything!