Tuesday, May 31, 2011

Mentari Akhir Mei

kutinggalkan saja biru
perjalanan lalu
di senjasenja yang terbakar
meluruhlah segala tangis
rupamu

biar terbenam jingga
membawa kisah
"esok pagi juga datang lagi," katamu
mengirim burung bernyanyi
percaya saja

menutup cerita
denganmu
semoga berbahagia



Jakarta, 31 Mei, 2011

Mmwwwhhh!

Oleh: Seno Gumira Ajidarma


“Jadi apa yang akan kita lakukan kalau bertemu nanti?”

”Kita akan berciuman.”

“Berciuman?”

“Ya, habis mau apa lagi?”

“Bisa kan nggak usah pakai ciuman?”

”Ya bisa.”

“Tapi kenapa harus pakai ciuman?”

”Ya, nggak harus, tapi paki ciuman nggak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa?”

“Ya nggak apa-apa. Kenapa? Takut hamil?”

“Nggak.”

“Jadi kenapa?”

“Nggak apa-apa, seneng aja.”

”Nggak takut hamil?”

”Ciuman doank ya nggak pakai hamil-lah yaw!”

”Bisa aja kalau diterusin.”
 
“Ya nggak usah diterusin. Janjinya ciuman  doank.”

“Bisa aja keterusan.”

“Ya nggak apa-apa. Emang kenapa kalau keterusan?”

”Kamu bisa hamil.”

“Emang kenapa kalau hamil? Sudah punya suami ini!”



***


Mereka berciuman begitu rupa, lengket seperti ketan, tak peduli angin tak peduli hujan tak peduli badai tak peduli air bah melanda setinggi pohon kelapa. Ratusan ribu balatentara bergerak menyapu desa menyapu kota menyapu negara banjir darah tak terkira mengalir naik turun bukit mengempaskan dukalara kemana-mana. Banjir dari segala banjir menghanyutkan sejuta rumah sejuta sapi sejuta gerobak dan berjuta-juta pengungsi yang berteriak minta tolong dengan sia-sia tak bersuara ketika mega-mega seperti menari-menari melihat orang-orang mengambang menggapai-gapai sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia sia-sia melambai-lambai entah untuk apa diatas genting di atas gedung di puncak stupa di puncak gunung air bah tetap melanda.


Mereka masih terus menerus berciuman dengan asyik dengan getol dengan kemesraan terhambur begitu cepat padat seperti kilat berkerjap menggemparkan langit menggemparkan semesta sampai bintang-bintang berjatuhan seperti hujan terhambur menggebu-gebu mendesing-desing seperti roket o hujan meteor tercurah menyapu bumi melewati pasangan berciuman yang tak perduli betapa langit berkedip-kedip seperti mata maha raksasa yang mengerjap-ngerjap dahsyat menggila tiada berhahahihi tak kusangka dia begitu tega menjadi lupa kepada cinta kepada siapa saja yang berjanji di bawah pohon beringin sungsang agar tetap setia sampai mapus tiada tara o ciuman yang dahsyat yang menggelegak berabad-abad dengan bunyi kecipak seekor ikan bersayap yang begitu muncul dari dalam air langsing terbang ke angkasa.




Ciuman yang begitu dahsyat membuat langit merah terbakar dan dari segala sudut patung yang berciuman itu tetap tampak seperti siluet bagaikan matahari ikut berputar bersama mata yang memandangnya ke sribusatu sisi aduhai bayangkanlah sepasang patung berciuman bergerak-gerak patung batu bergerak-gerak bagaikan sepasang insan beneran berciuman dengan bibir-bibir batu yang telah lengket berlumut menjamur jauh melebihi ketan jauh melebihi ketan sungguh-sungguh lengket begitu lengket rekat mereka tak lepas kebas seperti berabad-abad bibir bertemu bibir membatu di tengah hujan meteor yang memusnahkan dinosaurus menghanguskan rimba raya menyisakan pulau-pulau karang berbukit batu dengan fosil sepasang manusia berciuman di dasar lautan pasir yang begitu gersang begitu merangsang menghangatkan badan sehingga ciuman tiada pernah lepas membatu tanpa lipstik di bibir-bibir yang semula terpisah separuh semesta dan saling menabrak seperti halilintar membakar-bakar.


Manusia-manusia purba dari segala penjuru berdatangan membawa pentung rotan pentung kayu pentung batu dan saling meraba pipu meraba rambut meraba mata meraba hidung meraba bibir meski jari tiada steril tak kenal bakteri tak kenal kuman tak kenal bibit penyakit mekantar-kantar o tubruk-menubruk cium-mencium gulat-menggulat bergeliat mengaum meraung harimau loreng harimau kumbang grrrhhh saling mengancam demi ciuman sepanjang sejarah tanpa catatan tanpa buku tanpa perpustakaan yang melarang pasangan berciuman diantara rak-rak memanjang meski huruf-huruf mengosongkan halaman berbaris keluar jalan mencari bukit batu di pulau karang asal bisa berciuman di bawah langit senja yang merah membakar tanpa saksi harapan mata yang saling memandang penuh cinta penuh harapan sebelum akhirnya kelak kecewa dalam pengkhianatan aaarrggghhh!!!!


***


“Berapa lama kita kan berciuman?”

“Sampai kebas.”

“Apa itu kebas?”

“Sampai mati rasa.”

“Berapa lama kita akan berciuman sampai mati rasa?”

“Kenapa emang?”
“Jam berapa gitu aku mesti pulang?”

“Kenapa mesti pulang?”

“Yah,tahu sendirilah.”

“Nggak, aku nggak tahu.”

“Payah, kamu sendiri seorang istri,kan? Apa nggak  pernah pura-puranya mengharap suamimu pulang?"

“Pura-puranya sih selalu.”

“Hahahaha!”

“Hihihihihi!”

“Hehehehe!”

“Hohohoho!”

Thursday, May 26, 2011

Aning Purwa, Pemberontakan Seorang Perempuan

Teringat saya pada percakapan kami siang itu di Kloneng. "Puisi-puisiku tentang pemberontakan," katanya saat saya bertanya tentang puisi-puisi yang ia buat. Saya membaca seluruh puisinya yang saya temukan dalam catatan di Facebook-nya di hari saya kembali dari Jogja.

Menyelami puisi Aning rasanya seperti tenggelam dalam pada sosok perempuan yang memberontak dari pasung. Keberanian, ketegaran, sekaligus ketabahan terpampang jelas dalam kata-katanya. Pemberontakan itu terasa begitu kuat menonjol, perlawanan, membebaskan dirinya dari segala jerat. Hukum yang terbentuk dalam kehidupan kerap membuat perasaan terpenjara. Namun Aning menunjukan keberanian, ketegaran,  sekaligus ketabahan yang terpampang jelas pada kata-katanya. Mengetahui sedikit kisah hidupnya dari teman saya, Suci, yang membawa saya berkunjung ke Kloneng, memberi gambaran yang lebih terang untuk memahami puisinya. Jelas bahwa ternyata kehidupan ternyata tak selalu mulus dan seindah yang diharapkan. Namun Aning berani! Berani menghadapi, berani melawan.

Maka nikmatilah pemberontakan dan keberanian Aning di bawah ini:


Surat Cinta Dari-NYA


Kepada :
Aning

Aning,
Apa kabarmu sayang?
kemarin,AKU telah mengirim seorang lakilaki yang selalu menyakitimu,
apakah kau baikbaik saja?

Mmm,AKU juga telah membuatmu tak menemukan tanda keadilan,
Dan aku jauhkan darimu,kebenaran yang terang itu,
Apakah kau tidak tersesat sayang?

Aning,
AKU bahkan telah membuatmu di fitnah dengan kejinya
Oleh orangorang yang tak pernah puas menyakitimu,
Juga oleh lakilaki yang menganiayamu itu,
Tetapi,kenapa kau malah memaafkan mereka?
Kenapa kau tak membalas mereka?
Tak mendendamkah kau atas semua yang mereka lakukan?
Ikhlas kah kau sayang?

Ah,Aning...
Kau teramat sabar,tabah,dan kuat rupanya...

Atau,sebenarnya kau ingin menangis,tapi malu?
Karena,bukankah kau sendiri yang bilang
Kepada anakmu,temantemanmu,dan kepada siapapun
Bahwa :

”Hidup itu jangan mengeluh,dan jangan menangis....!”
katamu.

Oia, bukankah AKU juga sudah membuat hak hakmu di rampas tho?
Termasuk anakmu,
Yang kau lahirkan dari rahimmu dengan meregang nyawa itupun,
Aku jauhkan dari pelukanmu.
Apakah kau merasa tersiksa sayang?

Oh Aning,
Tanpa sepengetahuanmu,
AKU diam diam mengamatimu sayang.
Memperhatikanmu....diam diam.....
Ketika kau turun ke jalanan
Menggauli pemulung,pengemis,anakanak jalanan juga orang gila,
Bahkan pada malam lebaran itu,
Ketika takbir berkumandang dan kau tak lagi bisa menikmatinya,
Dengan keluarga,baju baru,kuekue,ketupat,dan tethek mbengeknya lebaran,
Seperti yang bisa kau nikmati di lebaran lebaran sebelumnya.

Aning...Aning...
Kenapa kau malah tidur di trotoar bersama mereka?
Dan baru menyambangi Rumah-KU ketika subuh tiba?
Padahal,malam itu AKU menunggumu...
AKU ingin mengajakmu bepergian ke suatu tempat yang nyaman.
Ah,tapi kau lama sekali sayang...

Hmm...
Tanggal 25-09-2009
Bukankah usiamu genap ke-25 pada tanggal itu?

Dan maaf sayang.
AKU tak menyiapkan kue taart dengan lilinnya,
Juga lupa mengucapkan selamat ulang tahun padamu,
Aih,apakah aku telah pikun ya?
Ah,tidak juga...
Buktinya,
Setelah AKU kirim untukmu seorang lakilaki temperamental,
Setelah AKU jauhkan keadilan dan kebenaran darimu,
Setelah AKU membuat kau di fitnah dan di tuduh dengan kejinya,
Setelah AKU membuat hak hakmu di rampas paksa,
Setelah AKU membuat anakmu jauh dari pelukanmu....

Dan setelah bukti cinta-KU padamu,
Setelah semua cobaan,ujian,kesakitan,penderitaan,yang aku berikan itu,

Akhirnya,AKU berhasil membuatmu telanjang di hadapan-KU sayang,dan akhirnya,

Bercintalah kita...

Lalu,kaupun berkata setelahnya,

”Ya Allah,Ya Tuhan,Ya Robb,Ya Kariim,Ya Rahman,Ya Rahim...”
”Tuhan...Sungguh nikmat sekali bercinta dengan-MU,
Sungguh benar benar nikmat,terima kasih Tuhan....”

Dan itulah,kado terbaik untukmu,sayang...

Aning,
Setiap waktu,AKU selalu menunggumu untuk datang kepada-KU
Dengan ketelanjanganmu tentunya.

Rindukanlah AKU selalu...

Salam Hening, Salam Sunyi.


Dengan Cinta,

Tuhan


29-09-2009



Mainanku Hilang/Aku (lakilaki) Pengecut


Bapak...
Aku takut sekali
ijinkan aku bersembunyi
di bawah ketiakmu
karena,tadi sore...
aku memukuli kepala istriku
dan melebamkan matanya
juga merontokkan giginya
karena dia
melihat bangkaibangkai
yang aku sembunyikan
dengan rapat di dalam peciku

Ibu...
Aku takut sekali
Biarkan aku meringkuk
Di dalam rok mu
Karena,tadi malam...
Aku menendang perut istriku
Yang sedang mengandung anakku
Dan banyak darah mengucur ke tanah
Karena dia
Menyentuh janinjanin yang aku aborsi
Dari para wanita selingkuhanku

Hore...
Bapak,Ibu...
Aku senang sekali
Ternyata istriku tak menangis
Tak meronta
Tak berteriak!
Dia diam saja
Persis seperti boneka

Tuhan...
Yang Maha Pengasih dan Penyayang
Yang Maha Maha
Aku gembira sekali
Ternyata istriku tak melapor ke polisi
Dia mau saja aku kebiri
Dia tak berlari
Dan,
Dia tak memasukkan aku ke bui,
Jadi napi...!

Ha ha ha
Wahai kawan kawan ku...
Istriku ini
Sungguh lugu
Benarbenar mainan yang lucu
Dia tak pernah berinterupsi
Tak pernah

Aih...
Bapak,Ibu...
Selamat pagi
Aku merasa gagah sekali pagi ini
Tapi,
Di mana istriku?
Di mana mainanku?
Dia lepas dari tanganku
Pergikah dia?
Hilangkah?

Oh,Tidak...!
Aku belum puas
bermainmain dengannya
Dia mainan terbaikku
Di manakah dia?!

Ahh!!
Tak seorangpun
Ku biarkan menemukan dan memilikinya
Bila tak jadi milikku
Maka,
Tak seorangpun!

Di mana dia?
Akan aku hancurkan saja,aku kubur
Lalu,
Aku beli mainan baru
Dan ku mainkan
di atas pusara itu.


Gunungpati,18 September 2009



Sajak Anakku


Anakku,
tetestetes air mata
laksana batubatu mukul sepi
linangan bening
menggenangi waktu
kala suara menjalari pilu
dari kalbu
yang di koyak
palupalu,pakupaku,pisaupisau,
dan pelurupeluru
: ngilu

di rintih perih
di darahdarah
memerah senja
terseok....ku tukar,ku gadai
pun ku luruh nyawa
selamat datang di dunia,
anakku.

pun gundah menengadah
dalam usap berusap
jarijari mungil gigil,
cahaya hangat
mendekap.

dalam resah mata
disana do'a menjelaga
di larilari kecil,
kerinduan akan sapa
: I b u....!

anakku,
warna jaman,
tak mampu menikam sayang.
detak jantung,isyarat naluri
raga meraga,merupa engkau.

jerujujeruji di pasungan,
terpatahkan.
tampari saja
hidup dan kehidupan.

nafas ibu
tak sampai berhembus padamu.
dekap ibu
tak kuasa menyentuhmu.
pun begitu
akulah ibu,
yang redup untuk binarmu.

meski kunangkunang
menakuti malam,
bayangbayang menakuti tuan
dan purnama
menakuti bulan.

Anakku,jangan menangis.....!
gagahlah!
tegaplah!
menanglah dari menang.
dengan segenap
ruhjiwakasihkalburinduku.

berjuanglah!
berperanglah!
di hidupmu,

Jangan takut,
Anakku.....!


EloProgo
07 September 2009



Kejujuranku


Aku mengakui
aku adalah
serupa binatang ganas beringas
bertubuh manusia
berjiwa iblis

aku
suka ber hurahura
agar termanipulasi
huruhara sebenarnya
yang berkecamuk di otakku
karena aku
memang bermuka dua, tiga, atau mungkin lima

Lapar akan duniawi
menjadikanku rakus
dan benarbenar mabuk
karena,
tahukah engkau
wahai saudara-saudara

akulah
maling necis berjas
yang selama ini
merampas hak hak kalian

akulah
pecundang berpeci hitam
yang berakting religius
menjadi raja dari segala pendosa

sungguh bagiku
Tuhan pun semua kitabNya
adalah sepele tele
remeh temeh
percuma!!
tak berguna!!

akulah
pengecut berdasi bau trasi
yang tiap langkahku
adalah kebusukan yang maha busuk

akulah
lakon sandiwara berdarah
yang benarbenar darah

akulah
penikmat sajian
yang teracik apik
dari cincangan
atas kepala kepala
yang di penggal
dari tubuh kebenaran murni
yang ku anggap basi

akulah
siluman yang sedang leluasa berpesta
di gedung dan istana
tempat kalian menaruh hormat untukku

Ya!!
aku sangat menikmati
alunan kegaduhan
yang telah kucipta sendiri

aku ini...
memang binatang ganas beringas
bertubuh manusia
berjiwa iblis
aku sungguh siluman laknat
benar-benar pecundang
bermoral busuk
dan pengecut
berlidah api

ha ha ha ha ha ha

Ahh...!!!
semoga saja
kalian tak pernah
mempercayai kejujuranku ini

Karena aku
memang tak pernah jujur!!

ha ha ha ha ha ha


Semarang, 14 November 2009



Aku Ingin Waras


Apa yang kalian lihat?
kenapa sorotsorot mata itu,
sungguh sangat meledekku?
kenapa jarijari itu menuding hina padaku?
seraya dengan bangga tertawa bak dewa!
kalian berkata :

"Orang gila....!
Orang gila....!
Orang gila....!"

Arrggh....!
Kalian kira,aku ini gila?

Hah!
Ya...ya...aku ini gila....
Hmm...Memang...memang...

Bukankah,
aku dengan wajah asliku sekarang?
wajah asliku sendiri
wajahku sendiri
wajah,sendiri...

Aha!
aku ada ide...
kenapa tidak kalian saja yang mengajariku
bagaimana menjadi waras
atau,setidaknya
tunjukkan padaku
cara cepat menjadi waras
aku pun sungguh ingin waras seperti kalian...
agar aku bisa menuding
ke wajah yang gila menurutku...

Maka,
tariklah benang dari langit
dan ikatkan pada otakku,
di bagian belahan bumi yang lain
telah di sediakan negaranegara gila,
lengkap dengan undangundangnya

Silahkan abadikan
lirikan sinis atasku
maka,tidurlah pulas nanti
agar temukan juga kegilaanmu menemaniku

Dan biarkan
sejenak waktu aku berkeliaran
di semesta kewarasan
untuk bisa mengintip,
dan memastikan
sedang tertawakah DIA?
setelah bencanabencana
yang di cipta-NYA dengan penuh cinta

Sungguh...
DIA,
tak ingin terlihat,
tak mau terlihat,
tapi aku melihat-NYA

Dan aku,
tak lagi menggiring do'a
yang beribu kali menjadi tanya
tak sudah...


10 Oktober, 2009



Ayun-ayunan


Si ayunan
berkata :

"Janganlah engkau lena
dan terbuai padaku,
pada angin sepoi yang membelai
dan nikmatnya aku,

Cepatlah tersadar
jika datang badai
atau jika taliku putus,

Pun
terjatuh dariku
terguling
terjerembab ke jurang,

Jangan mengeluh,
dan menangis...!"


Semarang,23 September 2009


Wednesday, May 25, 2011

Denganmu, Dalam Perjalanan

Hujan yang berkunjung tanpa undangan, mengirimkan pagi yang gigil. Namun denganmu tetap saja menyenangkan. Sejak malam kita bersiap dalam sebuah perjalanan. Tak ada yang luput dari sapanya, rintik yang beralun itu, pohon-pohon, jalanan, kaca mobil, dan juga helai-helai rambut kita.

Perjalanan kita sederhana. Dengan kereta menuju sebuah kota yang hijau dimana-mana dan senyum yang harganya murah sekali. Di ujung jalan yang kita tatap, pagi masih saja mengabut. Namun sejuknya membuatku mengerti betapa rindu sungguh kunanti hangatnya jemarimu di bahu dan pinggulku kala mendekap.

Perjalanan kita diiringi lagu-lagu lama yang biasa saja, yang nyaman di telinga. Pemandangan kita hanya pedagang asongan yang menjajakan air juga linting tembakau yang senang kau sesap itu, ibu-ibu yang memikul sayur di pundaknya, juga petani yang berkelebat dalam kaca.

Denganmu begitu sederhana sekaligus luar biasa menyenangkan. Tak ada yang ingin kuubah dari malam yang mengirimkan kantuk, lalu kau membiarkanku lelap di bahumu, juga pagi sejuk yang menyapa seperti senyummu saat kubuka mata. Hujan-hujan malam dan senja yang indah menjadi teman kita.

Ketika kita tiba, ternyata tak ada yang lebih indah, saat kusadari dalam perjalanan aku jatuh cinta.



Jakarta, 25 Mei, 2011


Jogja's Story: Sugeng Tindak

Hari ini hari ketiga saya di Jogja, siang ini sudah harus kembali ke Jakarta. Waktu yang tersisa untuk jalan-jalan tidak banyak, jadi pagi ini tujuan saya dan Mbak Nova hanya ke Candi Prambanan. Seperti kemarin, pagi ini jam setengah tujuh pagi Suci sudah sampai di penginapan. Kami pergi sarapan bubur ayam dulu di dekat perempatan Kantor Pos besar itu. Tiga porsi bubur ayam plus dengan teh manis cuma Rp 15.000, harga segitu rasanya tidak mungkin di dapat kalau makan di Jakarta.

Selesai sarapan kami berjalan kaki sampai halte Trans Jogja di depan Taman Pintar, dekat benteng Vredeburg. Perjalanan kurang lebih satu jam menuju Terminal Prambanan. Karena hari Senin pengunjung di Candi tidak terlalu ramai. Sebelumnya saya belum pernah mengunjungi Candi Prambanan sama sekali. Saya sering melihatnya dari luar pagar saja jika sedang berkunjung ke Jogja atau menuju Solo dari arah Jogja.



Sejak gempa bumi yang mengguncang Jogja di tahun 2006 lalu, ternyata pemugaran di Candi Prambanan masih berlangsung sampai sekarang. Jujur saya kaget sekali. Ternyata mengembalikan batu-batu yang jatuh atau retak karena gempa bumi itu membutuhkan waktu yang begitu lama. Masih banyak terdapat tukang bangunan di area candi, tiang-tiang pancang juga masih terpasang di banyak tempat, beberapa candi bahkan tidak bisa dimasuki karena masih dalam perbaikan. Kurang lebih satu jam setengah kami bertiga berada di sana, setelah puas berkeliling kami langsung kembali menuju penginapan. 

Barang-barang bawaan saya dan Mbak Nova sudah dipacking sejak semalam jadi begitu sampai kami bersih-bersih sebentar dan langsung check out dari penginapan. Saya memesan taxi untuk ke bandara. Suci tadinya akan mengantar kami hingga ke sana dan akan langsung balik ke Borobudur, namun di tengah jalan ia minta turun di dekat tempat kosnya dan tidak jadi mengantar hingga bandara. 

Perjalanan di hari ketiga kami begitu singkat. Namun Jogja dengan segala keramah-tamahan penduduk dan kentalnya budaya yang terasa, membuat saya selalu rindu untuk datang kembali.



Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(Jogjakarta - KLA Project) 




The Untold Story

- Saat di Candi Prambanan ada seorang tour guide yang sedang membawa sepasang turis kakek dan nenek, saya kira awalnya mereka berbahasa Belanda, tapi ternyata turis tersebut orang Swiss dan berbahasa Jerman. Karena sering kali berpapasan, saat di salah satu candi akhirnya saya jadi ngobrol dengan tour guide-nya, dia ternyata juga bisa berbahasa Belanda dan pernah mendapat semcam summer course khusus tentang budaya selama dua bulan di Rotterdam. Ketika tahu saya bekas mahasiswa Sastra Belanda lantas saja dia merubah bahasanya dalam percakapan kami. Namun yang membuat saya takjub adalah, kok saya rasanya masih lancar mengerti dan berbicara dalam bahasa kumpeni itu ya, hahahaha! :P

Jogja's Story: New Atmospher

Hari kedua adalah special request saya kepada Mbak Nova untuk mengunjungi Candi Borobudur. Rumah Suci jaraknya juga dekat sekali dengan candi, jadi saya sekalian menyambangi dusunnya. Saya sudah bangun jam setengah lima pagi dan jam setengah tujuh Suci sudah siap menjemput saya di penginapan untuk pergi ke Candi Borobudur. Saya kira awalnya perjalanan ke sana akan ditempuh menggunakan bus, tapi ternyata Suci mengajak temannya, Ema, untuk membawa motor. Jadi saya dan Mbak Nova dapat tumpangan gratis ke sana. Jam setengah tujuh kami berempat menuju Borobudur, tidak sampai satu jam kami sudah tiba. Jalanan di hari minggu pagi masih sepi dan segar sekali rasanya melihat sawah di kanan kiri jalan. Pemandangan langka bagi saya yang terbiasa melihat gedung-gedung tumbuh menjulang.

Sampai di Borobudur, kami mampir sebentar di Joglo - guest house dan travel milik bapaknya Suci, kami langsung menuju candi dengan jalan kaki. Kali ini saya dapat compliment lagi untuk masuk Candi Borobudur gratis. Bapaknya Suci, kata teman saya yang dulu mengenalkan saya dengan Suci, adalah Lurah Borobudur (tapi Suci gak mau ngaku, hehe...). Mau lurah atau bukan, yang penting saat masuk candi dengan Suci bisa gratisan itu yang paling penting, hahaha! Suci sempat menelpon "orang dalam" dan kemudian kami diizinkan masuk tidak perlu melewati pintu antrian seperti pengunjung lainnya.

Terakhir kali saya mengunjungi Candi Borobudur ketika ada study tour saat kenaikan kelas ke kelas 3 SMA. Means kurang lebih sekitar tujuh tahun lalu. Rasanya berbeda, lebih gersang kalau saya lihat. Sekarang untuk naik ke atas candi juga diwajibkan menggunakan kain yang harus dipakai seperti sarung atau diikatkan di pinggang. Setelah Merapi meletus akhir tahun 2010 lalu, dua tingkat paling atas masih belum bisa dinaiki oleh pengunjung. Batal deh rencana saya mau mencoba menyentuh tangan patung Budha yang berada di dalam stupa. Padahal kata Suci sebelumnya bagian atas candi sudah sempat dibuka untuk pengunjung, mungkin kali ini saya yang kurang beruntung. Dari atas candi terlihat jelas perbukitan Manoreh dan Hotel Amanjiwo yang keren banget itu.

Setelah mengunjungi Candi Borobudur, kami sempat makan siang masih di area candi, kebetulan penjualnya juga masih bersaudara dengan Suci (tapi kali ini gak dapat compliment lagi, hihihi...). Lepas makan siang kami kembali ke Joglo dan menuju Kloneng. Kloneng ini adalah nama sebuah rumah atau mungkin bisa juga dibilang studio atau rumah seni. Lokasinya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah tinggalnya Suci, dan naik motor dari Joglo hanya 5 menit. Pemilik Kloneng ini adalah Mas Yoyo, seorang pelukis. Ada beberapa orang lain yang juga tinggal di sana bersama dengan Mas Yoyo, ada Mba Aning, Yasmi, Andri, dan Mba Maya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersaudara kandung. Kalau saya boleh bilang mereka adalah para pelaku seni yang hidup bersama. Suci sudah sering cerita tentang mereka, namun baru kali ini saya bertemu muka. 

Mas Yoyo dan salah satu lukisannya


Mba Aning dan Andri sering melakukan performance art. Mba Aning juga melukis, membuat puisi, kata Suci dia juga bisa menari dan pintar nyinden. Andri juga bisa melukis, bermain alat musik dan jago memahat. Yasmi juga bisa melukis dan aktif dalam acara-acara pertunjukan seni budaya. Kemarin, hanya Mba Maya yang tidak saya jumpai di Kloneng karena katanya sedang pergi ke Semarang. Kloneng sering dikunjungi dan diinapi oleh turis asing. Kemarin saat datang ke sana, Mas Yoyo bercerita bahwa akan ada tamu dari Spanyol yang akan datang besok.

Masuk ke Kloneng rasanya seperti masuk ke dalam studio seni, padahal rumah ini seperti rumah tinggal biasa berbentuk joglo. Saat masuk ke ruang tamu seluruh dinding dipenuhi oleh lukisan. Ada juga rak yang berisi pahatan-pahatan kayu, karyanya Andri. Di dekat sekat yang menuju ke ruangan dalam ada patung-patung dan kanvas yang penuh lukisan dan cat-cat air. Saya pribadi tertarik sekali dengan tempat ini.

Kunjungan kemarin yang tak sampai dua jam, saya hanya sempat berbincang tak banyak dengan Mas Yoyo, tentang lukisannya, tentang Kloneng dan tentang mereka. Dengan Mba Aning saya sempat ngobrol lumayan, berdua di teras, membicarakan teater dan puisi. Waktu saya cerita juga suka menulis puisi, Mba Aning langsung meminta membaca puisi-puisi saya. Tau saja dia bahwa saya pasti menyimpan sebagian di dalam handphone. Jadi saat minta langsung tembak tepat sasaran, "boleh baca puisinya yang di handphone?" Kalau begini sudah gak bisa mengelak, padahal saya justru malu kalau terang-terangan ada orang yang minta lihat puisi yang saya buat.

Ajakan untuk menginap dan tinggal lebih lama di sana terpaksa ditolak, karena Mbak Nova sudah keliatan bosan dan besok siang sudah harus balik ke Jakarta. Mba Nova memang sepertinya tidak tertarik dengan hal begini selain dia mau datang cuma karena mau lihat lukisan. Mungkin juga merasa "aneh" melihat mereka terutama Mas Yoyo yang agak-agak nyentrik penampilannya. Saya sendiri gak heran melihat gaya begitu, gampangnya saya bilang "namanya juga seniman." Padahal ajakan dari Mas Yoyo dan Mba Aning untuk main ke sungai dan naik ke gunung jika bisa tinggal lebih lama di sana, seru sekali rasanya jika terwujud.

Mas Yoyo (berdiri, paling kanan), Yasmi (atas, sebelah Mas Yoyo), Mba Aning (tengah, duduk), Andri (Jongkok, paling kiri)

Suasana desa yang begitu tenang, masih rimbun pepohonan, dekat dengan suara ricik air sungai rasanya damai sekali. Kejenuhan saya terhadap Jakarta dan rutinitas kerja sehari-hari membuat saya senang luar biasa saat bisa berkunjung ke tempat seperti ini. Memberi suasana baru, rasanya bebas dan bernafas lega. Lingkungannya betul-betul desa yang asri, tenang dan bebas stress. Apalagi ngobrol dan bertemu dengan orang-orang di Kloneng yang bergelut aktif dengan dunia yang saya gemari -mereka pelaku seni dan saya penikmat seni- kok rasanya seperti di rumah sendiri.

Pulang dari Kloneng, saya, Suci dan Mba Nova menyempatkan mampir ke Candi Mendut dan Candi Pawon. Ema langsung pulang ke rumahnya di Muntilan selepas dari Kloneng. Jadi kami bertiga naik Delman pergi ke sana. Sehabis berkunjung ke dua candi tersebut kami balik langsung ke Terminal Borobudur dan naik bis ke Terminal Jombor dan dilanjutkan dengan Trans Jogja.

Tujuan (yang terpaksa dikunjungi) berikutnya adalah Ambarukmo Plaza (Amplaz). Jangan tanya kenapa saya mampir ke mall yang di Jakarta mungkin isinya lebih bagus, lebih besar dan lebih keren. Kalau bukan karena tas saya rusak, haram rasanya saya liburan ke luar kota lalu menyambangi mall yang sudah bosan saya lihat di Jakarta. Saya gak mau lama-lama membuang waktu di dalam mall, jadi setelah membeli sebuah tas selempang di Planet Surf dan sempat makan sebentar, langsung saja kami kabur dari sana. Keluar mall saya dan Mbak Nova sempat mampir tak sengaja di salah satu kedai penjual oleh-oleh. Lalu kami balik ke arah penginapan dengan Trans Jogja. Suci turun di tengah jalan dan berpisah dari kami karena ada urusan lain. Saya dan Mbak Nova berhenti di halte Trans Jogja di depan benteng Vredeburg dan jalan kaki mampir ke Mirota Batik sebentar.

Karena rasanya rambut sudah lengket, kulit panas, dan badan mau remuk, saya memutuskan naik becak dari Malioboro ke penginapan. Tarif becaknya cuma Rp 5000 tapi karena sempat nyasar abangnya ngotot minta ditambah dua ribu perak begitu sampai. Masuk kamar saya langsung mandi dan keramas. Selesai itu sukses counterpain  dibalurkan keseluruh punggung dan betis yang cenat cenut. Mantep banget rasanya! Tidur saya malam itu pulas betul.



The Untold Story:


- Seorang teman dekat mengirimi sms saat tahu saya sedang berada di Mirota. Ia bilang di bagian atas Mirota ada gazebo yang bisa didatangi pengunjung. Katanya seru minum bir dari atas sana sambil lihat pramusaji yang ganteng, haha!Yang senang minum bir dan mau lihat pemandangan malam kota Jogja mungkin boleh dicoba. Saya sendiri bahkan baru tahu kalau di atas Mirota Batik itu ada gazebonya.




Foto: dari Facebook-nya Mba Aning

Tuesday, May 24, 2011

Jogja's Story: Gotta Get Away!

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. 
Masih seperti dulu.
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna.
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu.
Nikmati bersama suasana Jogja.
(Jogjakarta - KLA Project)


Akhirnya pergi juga saya ke Jogja hari Sabtu kemarin, dengan tiket pesawat yang super duper murah yang saya dapatkan beberapa bulan lalu. Total harga tiket pulang-perginya cuma Rp 150.000. Tiket ini sebetulnya di beli dengan tujuan mengunjungi rekan kerja lama kami, Grace, yang menikah di sana (21/5). Rencana awalnya ada empat orang yang akan berangkat, tapi akhirnya saya cuma pergi berduaan dengan Mbak Nova, supervisor saya di kantor lama. Mantan pacar saya tentu gagal ikutan ke Jogja setelah saya putus dengannya. Mita, juga gak jadi ikutan karena sudah keseringan request cuti sebelumnya dan minggu depan ada pernikahan sepupunya juga, jadi dia memilih untuk gak jadi ikutan. Meski cuma berdua liburan tetap harus terlaksana!

Saya menghubungi salah seorang kenalan saya di Borobudur, Suci, untuk membantu mencarikan penginapan dan menemani saya dan Mba Nova selama berada di Jogja. Sebelumnya penginapan yang sudah saya pesan telanjur dibatalkan, karena sempat berencana menginap di rumah neneknya Mbak Nova di dekat Candi Prambanan, namun mendadak ada perubahan, sehingga saya harus mencari penginapan lain lagi, dan hampir semua penginapan dekat dengan Malioboro yang saya telepon pasti sudah full booked. Suci berhasil mendapatkan kamar untuk saya akhirnya, dengan catatan tempatnya sederhana sekali.

Sabtu sore saya tiba di Jogja dan langsung menuju Wisma Hidayah di Jl. Agus Salim. Posisi penginapan cukup strategis, berdekatan dengan alun-alun utara, kalau mau jalan kaki ke Malioboro juga tidak jauh, sekitar 10 menit Tarif per malamnya hanya Rp 125.000 sudah termasuk AC dan Televisi, cuma memang benar-benar sederhana sekali tempatnya. Karena ini perjalanan backpacker abal-abal, buat saya gak masalah, toh cuma  dipakai untuk numpang mandi dan tidur.

Kira-kira 10 menit setelah kami sampai di penginapan, Suci tiba, tidak lama basa-basi kami langsung  menuju alun-alun utara, Mbak Nova ngidam mau makan Bakmi Pele, tapi begitu sampai di sana pedangangnya baru mau siap-siap menggelar dagangannya. Gagal makan mie akhirnya kami lanjut menuju Malioboro. Namun di perempatan Kantor Pos besar di pusat kota, dekat dengan Bank BNI, Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Sebelas Maret, saya dan Mbak Nova berhenti dulu untuk makan bakwan malang di pinggir jalan. Karena saat itu tepat malam minggu suasananya ramai sekali. Daerah ini sepertinya menjadi tempat favorite anak-anak muda Jogja untung malem mingguan. Sepanjang jalan juga ramai dengan pedagang makanan.

Selesai makan di perempatan itu, kami mau mampir ke Benteng Vredeburg namun terlanjur tutup. Akhirnya tujuan dilanjutkan ke jalan Malioboro. Mbak Nova sempat mau cari penginapan lain di daerah Sastrowijayan, kami sempat mampir ke sebuah penginapan di sana, namun pihak hotel belum bisa memberi konfirmasi apakah besok siang bisa ada kamar yang kosong. Kami naik becak bertiga ke alun-alun selatan terus lanjut makan malam di Kopi Joss, dekat Statiun Tugu. Malam itu dihabiskan dengan menelusuri jalan Malioboro dari ujung-ke ujung dan pulang jalan kaki balik ke penginapan.


Jl. Malioboro



The Untold Story:

- Satu hal yang paling saya suka jika liburan ke daerah, terutama Jogja atau Solo, selain udara yang masih bersih adalah keramahan penduduknya masih begitu kental terasa. Mulai dari tukang becak, ibu-ibu yang berjualan di pinggir jalan, sampai petugas Trans Jogja yang tidak jutek seperti di Trans Jakarta. Mereka tidak seperti masyarakat Jakarta kebanyakan yang menjunjung tinggi individualisme.

- Jalanan di sekitar Malioboro saat malam minggu begitu ramai sekali dengan mobil dan motor, tentu juga dengan andong dan becak serta sepeda, bahkan sampai orang yang berjalan di trotoar saja berdesak-desakkan, tapi rasanya hampir-hampir saya tidak mendengar adanya bunyi klakson yang bising sama sekali seperti di Jakarta. Saya membayangkan jika keadaan seramai itu terjadi di Jakarta, mungkin saya memilih tidak keluar rumah sama sekali.

- Malam hari ketika saya jalan kaki pulang menuju penginapan dan melewati kembali perempatan besar di dekat Kantor Pos ada pertunjukan live musik bertajuk "Lupus Warisan Unik". Di perempatan ini katanya sering dijadikan tempat pagelaran seni dan budaya juga.

Saturday, May 21, 2011

Di Kotamu Semoga Kau Ingat Aku

Kutitipkan cinta di kantung kemejamu. Dekat ke dadamu. Hati. Semoga terus berdegup seiring detak jantungmu. Lalu kau ingat aku. Di kotamu.

Semoga tak luntur katunmu yang biru. Menyerap peluhpeluh perjalanan. Cinta yang kusisipkan itu akan mengerti. Merasai juga aku. Bekal untukmu membahagiakan nanti.




Bekasi, 21 May, 2011
06:51

Sunday, May 15, 2011

Berontak

Ayo lari, ayo lari
Terbangkan
Jiwa-jiwa dari belenggu
Dari ikat di kakimu
Lupakan norma
Yang dibuat sekadar nama

Larilah, lari
Rasakan geliat
Tubuhmu angin
Ambil napas panjang-panjang
Hembuskan
Angkasa yang kita tuju

Koyak-koyak daging ruhmu
Lawan pasung yang merantai
Lari saja, lari
Lupakan tangis yang mampus oleh ingus
Jangan kau toleh belakang lagi



Bekasi, 15 Mei, 2011

Bagaimana Lagi

ya Tuhan,
bagaimana lagi aku harus mempersiapkan hati
untuk kembali dilempar
ke dasar jurang kecewa?



Mei 2011

Telaga Hitam

Tengah pagi mengetuk telaga. Meletakkanmu dalam ingatan, tak berkesudahan. Hitam telaga itu, berpendar tiba-tiba. Membayang-bayang sosokmu.

Kau, ternyata maya.

Masih waraskah aku menginginkanmu?



Bekasi, 15 Mei, 2011


Saturday, May 14, 2011

Meninggalkan Kenangan

Kadang dalam sebuah perjalanan panjang kita ingin bersiap. Ketika itu mungkin kau ingin membawa semuanya sebagai bekal. Mengingat perjalanan yang akan kau lalui entah seberapa jauhnya. Kau ingin membungkus segala kenangan dengan kain lebar yang biru, melipatnya rapih, rapat lalu kau kunci dalam koper. Yang tersisa mungkin masih bisa kau selipkan di saku atau kantung celanamu.

Berdiri di peron menanti kereta, yang derunya selalu mengingatkan pada masa lalu. Terkadang menjemput sekaligus menjauhimu. Dengan desau angin sore yang kau bisa baca gelisahnya. Dan semburat jingganya senja. Semua orang menanti sama sepertimu. Mungkin sebagian mereka menerka bagaimana rasa perjalanan nanti.

 Tidakkah kau lihat aku selalu duduk di sudut stasiun? Menanti kereta yang datang membawa kenangan. Memandang lalu lalang petualang-petualang hidup itu. Kadang juga aku menantikan kedatangan seseorang. Aku masih saja mencari kereta yang tepat datang menjemputku.

Namun kadang dalam perjalanan mesti ada rasanya yang perlu ditinggalkan, agar bebanmu tak terlalu berat menunggang bahu. Lantas kuputuskan melepas beberapa kenangan untuk ditinggalkan. Melepasnya seperti kupu-kupu. Mereka akan terbang untuk hinggap mencari rumahnya sendiri. Mungkin tersangkut di pepohonan, atau pada bunga ilalang yang bentuknya seperti sikat botol itu. Atau suatu hari nanti, di suatu pagi, saat kau buka pintu ia bertamu di terasmu.



Tuhan Akan Kirimkan

nanti, akan Tuhan kirimkan
seseorang yang baik hati
juga mencintaiku
nanti, rasanya
pasti menyenangkan


Bekasi, 14 Mei, 2011


Sembilu

Rahasiamu menjelma sembilu.
Panggung ini tetap punya rasa.
Lepas dulu topengmu.
Baru kau menjemputku.


Bekasi, 13 Mei, 2011


Benteng

kubangun tembok besar
tebal dan tinggi
dari baja
sebab di dalam telah kuletakkan
hatiku
agar baik-baik saja
terhindar dari senggatmu.

mematikanku.



Jakarta, 13 Mei, 2011


Mimpi Kecil

Perempuan itu terlalu sering berlari sambil menangis. Sebab mimpi-mimpinya lebih sering menjadi puing sebelum hinggap di langit. Atau jika suatu sore ia hanyutkan mimpi itu di perahu, pada sebuah sungai, ia mungkin lebih dulu luruh sebelum bertemu Neptunus.

Tapi ia tak pernah bosan. Menuliskannya lagi dalam selembar kertas, melipatnya dengan rapih, dan menerbangkannya menjelma burung-burung yang terbang menuju surga. Atau juga melarungnya pada sungai yang ia yakin pasti bertemu muara.

Mimpi juga memiliki perjalanan, yang tidak selalu mulus, ia tahu betul itu.Maka ia tak bosan menatap langit sambil berbaring, memohon dan berbicara kepada Tuhan.

“Mimpi kecilku, wujudkanlah, Tuhan, meski lamat-lamat.” bisiknya pada setiap hela.



Jakarta, 13 Mei, 2011

Biarlah


Biarlah… lagi-lagi aku menjadi sosok pemaaf yang menahan segala sakit. Nanti kuterbangkan saja seperti kupu-kupu. Melepasnya dengan kedua tangan yang terbuka di suatu senja. Menikmatinya.

Aku belajar memahami, mengerti, bahwa tidak semua mimpi mampu menjelma sempurna. Meski kadang terpikir, itu kan hanya mimpi kecil, iya kah Tuhan tak malu untuk tak mengabulkannya?

Tapi biarlah…

Akan dirajut lagi segala mimpi. Merapihkan doa-doa yang terhempas di setiap perjalanan.



Jakarta, 13 Mei 2011

Ketika Suatu Pagi Begitu Menyakitkan

ribuan tanda tanya berterbangan
hinggap di kepala, pada helai-helai rambutmu
yang kelam. lalu merayap ke dada.
kenapa sesak ini lagi?
sembilu yang dikirimkan dalam tawamu
seolah tak mengerti rasanya
sakit hati, yang betah tinggal di dalam rumah
yang ku sebut hati.

ada rahasia yang seharusnya tak perlu
di dengar telinga
ketika burung pagi masih asik bernyanyi
terbang dalam gugusan
sementara angin sepoi
aku jatuh
dalam lubang yang digali
kesakitan tak terperi

saat kubuka mata
kenapa langit di timur
mendadak abu-abu



Jakarta, 12 Mei, 2011


Kukubur Kenangan

ada lubang yang kugali
untuk kuburmu
pada suatu pagi yang benderang
dan hangat. tapi getir hatiku
ku berlari ke belakang
masa silam
mengumpulkan segala kenangan
tentangmu

pertemuan dalam ruang
di sebuah persimpangan maya
ketika hatimu puing
dan tak tahu ingin kemana
ketika namaku disebut
yang ternyata pernah juga
kau berikan untuknya
lalu segala cerita juga tawa
kekesalan malam-malam kita
juga gelak sebab kelakar mesra

untuk apa kuletakkan lagi semuanya
dalam kotak kaca
yang selalu kupandangi ketika
rindu hinggap di atas genting

hujan telah menciptakan sungai
mengalir deras di pipiku
peti kayu telah kusiapkan
yang akan membusuk seiring waktu
melebur pada ragamu bersamaan
kuletakkan segala kenangan di dalamnya

kuburmu siap, sayang
telah kugali, tanganku sendiri
kenangan akanmu
kulupakan
lelaplah kau bersama rahasia
yang kau buat hanya untuknya



Jakarta, 12 Mei, 2011



Pagi Ini Aku Hanya Ingin Lelap

pagi ini aku hanya ingin mendekap
pada sebuah dada yang dermaga
di mana perahu tahu di situlah tempatnya
berlabuh

aku ingin terbaring memeluk
sebuah punggung yang hangat
dan tangan yang wangi bunga
mengelus lembut rambutku
tanpa perlu kemudian merasa gelisah
ditinggalkan

pagi ini aku hanya ingin lelap
dalam tangis kesal
sekaligus memukul wajahmu
sosok yang mengirimkan
sesak itu



Jakarta, 12 Mei, 2011


Apalagi

Apalagi yang bisa kau kirimkan, Tuhan, selain sakit hati?


Jakarta, 12 Mei, 2011

Pergilah Kalian

Jika harus seperti mula
Tak apa
Pergilah kalian
Berdua
Tinggalkan aku
Pada rahasia yang kalian buat

Ia minta kau menyimpannya
Baik-baik
Dalam sebuah ruang
Tanpa perlu ku tahu
Sebenar-benarnya
Hal yang kau sebut tak mungkin
Ialah mungkin
Ketika diucap
Pada suatu malam hening
Yang mengantarmu pada mimpi

Ia mencintaimu.
Masih saja, ternyata.



Jakarta, 12 Mei, 2011


Tuesday, May 10, 2011

My Best Friend's Wedding #2

Ini dia satu lagi kawan baik saya yang menikah hari Sabtu (7/5) lalu. Kisah perjalanan cinta mereka lucu. Ayu dan Akbar pacaran sejak kuliah. Mereka dekat sejak Akbar masih kuliah di Surabaya. Saya selalu pengen ketawa ngakak kalau ingat mereka pacaran dulu. Mereka ini pasangan yang jadi korban iklan provider-provider telepon murah. Mengingat pacaran dengan jarak yang cukup jauh, jadi adanya promosi telepon murah sangat mendukung hubungan cinta mereka. hehehe!

Saya ingat suatu malam, dimana saya dan Ayu menginap di rumah Dista sepulang dari menonton Kinan saat menjadi finalis Abang None beberapa tahun lalu. Saat itu sudah tengah malam, saat saya dan Dista sudah bersiap untuk tidur Ayu ternyata masih asik telepon-teleponan dengan Akbar meski matanya sudah separuh tertutup dan ngomongnya lebih persis orang ngelindur. Telepon itu tidak berhenti sampai saya ketiduran. Esok paginya saat saya tanya sampai jam berapa dia telepon Akbar semalam, dengan enteng dia bilang sampai subuh.

Dulu saat Akbar masih di Surabaya saya juga ingat ketika Ayu bercerita bahwa Akbar paling susah dihubungi saat sedang menghadapi ujian di kampus. Pernah hampir seminggu Ayu cuma kerepotan menghubungi Akbar tapi tidak ada jawaban sama sekali. Sampai nangis-nangis cuma karena mengira Akbar mungkin marah. kepada dia Ternyata setiap ada ujian di kampus, Akbar selalu memasukan handphone-nya ke dalam lemari belajarnya, dikunci dan baru dibuka setelah ujian selesai.

Menurut saya dan Shanti, pasangan yang satu ini kalau pacaran suka enak sendiri, kaya alay deh, tapi gak peduli meski diledekin abis-abisan. Kalau mereka sudah telepon-teleponan, rasanya mau ada gempa bumi atau tsunami sekali pun kuping mereka akan tetap nempel ke handphone masing-masing. Karena pasangan ini sama-sama suka dengan Maliq and D' essentials, kalau sudah tidak ada topik pembicaraan di telepon, pasti salah satu dari mereka akan meminta yang lainnya untuk menyanyikan lagu-lagu Maliq. Saya rasa satu album juga dinyanyikan sampai habis. Ampuuuuunnnn deeeh....

Sejak menjelang pernikahan (sejak punya pacar sih tepatnya, hehe!) saya suka beranggapan sendiri Ayu itu seperti raib ditelan bumi, gak pernah kedengaran kabar beritanya. Setiap ada acara kumpul-kumpul dengan teman kuliah dia hampir gak pernah datang. Kalau bukan saya yang proaktif menanyakan kabar dia, pasti ga akan pernah ngabarin duluan.

Kemarin ini, beberapa hari menjelang hari pernikahannya saya sampai bingung ada beberapa orang teman yang mengirimkan saya sms dan bertanya tentang pernikahannya. Jadi gak sih? Di mana? Jam berapa? Lah, kenapa pada nanyain ke saya ya. Saya memang dekat dengan Ayu tapi yang mau nikah ini siapa sih sebenarnya?! Saya saja dan beberapa teman lain yang dikirimi seragam untuk acara pernikahannya tidak pernah dapat kabar yang intens. Sekali lagi saya bilang, saya yang lebih pro aktif bertanya.

Pagi hari tepat di hari H. Jam masih pukul setengah enam pagi, ada sms masuk dari Martha. "Mei, nikahannya ayu tuh kapan ya? dimana? jam berapa?" Saya langsung melek, rasanya jadi gak bisa tidur lagi, padahal semalam saya baru tidur jam satu pagi. Gimana sih nih bocah, pikir saya. Kan acaranya nanti malam. Saya jadi keingat, bahwa rasanya selain berita lewat grup di Blackberry Messenger saya tidak mendapat pengumuman lain mengenai pernikahannya Ayu. Tidak melalui milis tidak juga ada di Facebook. Apa jangan-jangan anak-anak yang tidak punya Blackberry tidak dapat kabar sama sekali.

Saya tahu ini hari H-nya dan Ayu pasti sudah sibuk dari pagi untuk persiapan ini itu, tapi saya pikir daripada tidak saya tanya sama sekali, malah nanti kacau kayanya. Jadi pagi itu setelah saya bangun lagi jam 10 pagi, saya kirim BBM ke Ayu.

"Yu, udah repot ya?"
"Iya. Deg-degan nih!"
"Eh, mau tanya deh. Selain di grup, lo kirim kabar lagi gak sih tentang nikahan lo ke anak-anak. Gw heran deh kok malah pada nanyain nikahan lo ke gw ya? Lo adem-adem aja sih gak kedengeran kabarnya, kawin gak sih sebenernya?!"
"Kabarin kok."
"Di mana? Facebook?"
"Iya."
"Wall ke wall? atau lewat invitation? kalau lewat invitation gw juga gak dapet lho, yu."
"Gw nyuruh adek gw. Gak dapet ya?"
"Rio lupa kali tuh. Gak ada soalnya."
"Duh, terus gimana dong ya enaknya?"
"Sms aja deh."


Karena itu masih pagi, dan acara resepsi dimulai jam tujuh malam, saya rasa meski pun mepet tapi gak ada salahnya untuk mengirim sms ke semua anak-anak. Jadi saya bilang ke Ayu, sms saja mereka. Bagus kalau mereka sudah tahu dari yang lain, tapi juga sekadar sebagai pengingat saja sms itu, siapa tahu masih ada yang belum dapat kabarnya. Ujung-ujungnya Ayu minta saya untuk mengirimkan sms kepada semua teman-teman kuliah. Setelah sms dikirim lumayan banyak yang jadi "protes" ke saya. (Kok saya lagi ya?). Adis langsung kirim BBM, katanya sms saya seperti serangan fajar. Si Koko Ricky juga bilang kenapa mepet banget acaranya. (Hadeeehh, acaranya kagak mepet kali, pemberitahuannya yang mepet karena kesalahan teknis. Dikira si Ayu baru mutusin semalem mau kawin apa?!)


Ya, dari segala lika-liku dan kisah kisruh teman saya yang satu ini, akhirnya mereka jadi nikah juga intinya malam itu. Hehe! Meski akhirnya teman-teman yang datang tidak seramai saat pesta pernikahan Dista yang hanya berjarak satu minggu, acaranya tetap meriah. Buat Ayu dan Akbar, selamat berbahagia!!!






Kuhapus Jejakmu

kuhapus jejakmu dalam malam
tanpa perlu ada lagi yang kita simpan dalam ingatan
kau pekat
jauhlah jauh
merayap pada dinding
kelam
sementara jam henti berdetik


Jakarta, 10 Mei, 2011


Pernah Lewat

pagi, seperti kereta di stasiun, menjemput sekaligus menjauhi. saat kau ingat, hanya kenangan, ia pernah lewat.


Lenyap

Semua orang mendadak menyebalkan
Sesak hinggap menjadi beban menindih
Mengubahmu menjadi malam pekat
Lalu senyap, lalu lenyap


Bekasi, 9 Mei, 2011


Monday, May 9, 2011

Sofina

Dia akan mengusapi rambut saya saat rebah dipangkuannya, menyenandungkan lagu-lagu melayu yang saya tak pernah tau judulnya apa, sampai saya lelap. Jika ditengah malam saya tidak bisa tidur karena banyak nyamuk, dia akan bangun, mengambil lotion anti nyamuk dan membalurkannya ke seluruh kaki dan tangan saya. Dia juga yang pada pagi buta paling cerewet membangunkan saya untuk shalat subuh.

Ada kalanya beberapa minggu sekali saya, Non, dan dia pergi ke pasar Mayestik pagi-pagi buta, selepas subuh, belanja banyak bahan untuk masakan. Biasanya saat dirumah akan diselenggarakan pengajian atau sedang banyak orang yang kumpul. Biasanya kami pulang naik bajaj, dempet-dempetan bertiga dengan kantong-kantong plastik penuh sayuran, ikan, dan bahan makanan lainnya.

Saya ingat tugas pasti saya darinya setiap lebaran. Habis subuh dia dan Non pasti sudah sibuk mengisi ketupat untuk dimasak. Menjelang pagi dia akan meminta saya memarut pepaya muda yang sudah direbus untuk sayur ketupatnya. Iya, bertahun berturut-turut tugas saya selalu memarut pepaya muda sehari sebelum lebaran. Di belakang rumahnya ada tersisa sedikit tanah yang suka ditanami apotik hidup dan bunga-bunga olehnya. Di situlah dia akan minta anak laki-laki dan suami dari pembantunya di rumah untuk memasang terpal ala kadarnya. Nanti dia minta 'Ndet untuk cari kayu bakar. Dia merajang air hingga mendidih dalam sebuah kaleng besar untuk memasak ketupat. Menjelang senja ketupat kami matang, ia akan membiarkan O'om, pembantu yang bekerja sejak lama dirumahnya untuk memasak ketupat keluarganya ditempat yang sama.

Semua tetangga dilingkungan itu memanggilnya Ibu. (Dulu saat Ayah masih ada para tetangga juga memanggilnya Ayah saja). Sebagian keluarga memanggilnya "Dis". Ia selalu genit di depan cermin, mencocokan topi-topi atau kerudung untuk mengaji dengan baju muslimnya agar berwarna serasi. Tetap ingin kelihatan paling modis diantara ibu-ibu pengajian lainnya. Ia pembuat Pindang Patin dengan Tempoyak yang paling nikmat di seluruh dunia, yang pernah saya kenal.


Hampir enam tahun lalu, penyakit itu menggerogotinya. Saya pernah terpaksa mencekoki cairan kental berwarna hijau yang keluar dari dalam perutnya dan ditampung dalam kantong sebesar botol infus untuk diminum kembali olehnya. Kala itu ia sakit dan hanya itu satu-satunya cara untuk bertahan atas penyakitnya. Setiap pagi saya dibantu Non dan Mba War, baby sitter anaknya Non untuk meminumkan cairan itu ke mulutnya. Rasanya saya tak pernah mengalami hari-hari paling buruk selain masa itu. Setiap pagi saya harus menyiapkan selang sebesar kelingking sepanjang setengah meter dan suntikan besar untuk memasukan cairan itu. Selang itu harus dimasukan sampai melewati kerongkongannya, dan menuangkan cairan menjijikan itu. Tangan saya selalu gemetar dan berlinangan airmata saat melakukannya. Rasanya seperti menyiksa hidup-hidup orang yang saya sayangi. Tapi hanya itu yang harus dilakukan setiap pagi. Hanya itu. Tak lama setelah cairan itu masuk, saya harus bersiap diri merasa lega sekaligus sesak tak tertahan melihatnya muntah-muntah dan kesakitan.

Masa-masa itu adalah saat terberat. Ketika setiap malam saya harus bangun dan melihatnya sekarat, 20 kali ia muntah-muntah dalam sehari sehingga dibawah tempat tidur kami sudah tersedia baskom untuk menampung muntahannya. Ia akan muntah-muntah sekaligus sesak napas dan menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi perutnya. Pernah saya sampai berada di posisi yang tidak tahu harus berbuat apa lagi, sehingga saya hanya bisa meringkuk sambil menangis sesenggukan di pojok tempat tidur sementara Non dan pembantu-pembantu di rumah membantunya meredakan sakit.

Dua tahun lalu saya mengunjungi makamnya sendirian. Saya ingat ketika itu hari Rabu dan siang itu terik sekali. Saya datang dan duduk di depan makamnya, diam saja tapi tidak berhenti menangis selama kurang lebih dua jam. Tukang sapu makam dan penjual buah lontar yang ada di dekat situ memandang saya aneh, saya masih ingat tatapan mereka. Saya berada kedua kalinya dalam masa-masa paling berat dalam hidup saya waktu itu dan tidak tahu harus mencari siapa untuk mengadu. Jadi saya mengunjungi makamnya, berbicara dalam hati dengannya.

Sejak dia pergi saya hanya pernah dua kali kembali ke rumah itu. Tepat seminggu setelah hari pemakamannya dan satu hari lagi entah kapan, yang pasti rumah itu sudah berubah. Setelah itu saya tak pernah lagi kembali ke sana. Saya hanya mengambil sweater rajutan dari benang putih yang dia pakai hampir setiap hari ketika sakit dan sebuah pigura, fotonya bersama Ayah. Foto terakhir sebelum Ayah pergi. Itu saja yang saya ambil pada hari saya meninggalkan rumah itu, jika pun dianggap saya meminta warisan.


Kemarin ada yang meminta saya pulang ke rumah itu. Katanya sekadar main dan singgah saja pun tak apa. Saya hanya tersenyum. Terkadang memang keinginan saya untuk sekadar mampir ke sana muncul, tapi bukan keinginan yang kuat. Saya bahkan rasanya hampir tidak pernah melewati daerah di sekitar situ lagi untuk waktu yang cukup lama. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya.

Saya pasti akan datang ke sana lagi, nanti. Masih entah kapan.