Friday, December 31, 2010

Aku Dan Ketakutan

Perasaan gamang, kosong atau hampa dalam kehidupan kiranya adalah wajar. Disorientasi dalam hidup, mungkin pernah dirasakan semua orang. Ketakutan dan kebimbangan akan apa yang sebaiknya kamu lakukan. Atau semacam ketidakyakinan. Itulah anomali. Namun buatlah mimpi-mimpi agar kamu tetap merasa hidup. Dan jangan biarkan perasaan seperti itu terlalu lama merajalela.

Jika tahun baru adalah harapan untuk segala hal yang lebih baik, maka meninggalkan sesuatu atau mungkin beberapa hal lama -yang tidak cukup baik pastinya- adalah seperti keharusan. Dan ialah ketakutan itu.


Ada kalanya kita seperti mencoba bersahabat dengan musuh. Padahal kita tahu sesungguhnya ia mampu menikam kita kapan saja. Aku sudah terlalu baik rasanya selama ini. Bersahabat, memesrainya seperti kawan lama. Sehingga rasanya aku perlahan menjelma musuh itu sendiri. Membenci diriku dan segala hal. Memusuhi keberanian. Menjauhi rintangan. Karena akulah menjelma ketakutan itu.


"Carilah apa yang membuatmu hidup dan hadapi resikonya. Itu petualanganmu, tantangan hidupmu. Auramu biru, kamu akan lebih nyaman bekerja dalam situasi lapangan. Buatlah petualanganmu, kamu pasti akan selalu hidup. Petualangan pasti penuh dengan rintangan. Itu seninya. Jadi ketika kita sampai pada tujuan, hasilnya pasti akan nikmat sekali." Seseorang mengatakan itu padaku pada suatu malam yang kehilangan cahaya bulan. Membaca auraku melalui tanggal kelahiran dengan metode numerolgi phytagoria. Aku tidak pernah memintanya, jadi anggap percaya tidak percaya. Walaupun rasanya benar semua.


Tahun akan berlalu lagi. Yang baru akan merajut lagi cerita-cerita yang tak akan kita duga seperti apa rupanya. Dan pada akhir ia selalu menyisihkan kenangan untuk kita simpan. Tapi ketakutan di tahun baru tak ingin lagi aku sertakan dalam perjalanan. Akhir ialah kehilangan dan kini saatnya mengucapkan salam perpisahan.
"Selamat Tinggal."


Mungkin tahun baru akan dimulai sebagai perjalan berat, semacam tanjakan tajam dan berliku-liku. Tahun baru mungkin mengawali perpisahan. Tapi keputusan harus dibulatkan. Dan keyakinan harus dikuatkan. Bumi masih akan berputar, matahari esok masih yang itu juga, angin resah dan hujan masih akan tetap mengelilingimu. Tapi itulah perjalanan. Kau tak selamanya kekeringan, kau tak selamanya kebasahan. Sebab setelah gurun berpasir mungkin saja kau temui lautan luas. Dan sesungguhnya jika kau tak mampu menghindar dari ketakutan, maka hadapi saja!


Life is a journey, not destination. So, enjoy the ride!*



Satu malam sebelum tahun menutup kalender.



*dari Twitter-nya Cia, @thranduilion, percakapannya dengan seorang sahabat lama di Live Journal.

Thursday, December 30, 2010

Catatan Sebelum Sebuah Tahun Menghilang


masih terlalu pagi sebetulnya untuk menangis hari ini. tapi ketika kita memikirkan segala memori yang telah diukir dalam sebuah kumparan tahun, dan kemudian banyak hal yang menerbitkan airmata, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. tahunmu sendiri yang merajut segala kenangan.

tahun ini adalah kekosongan, kehilangan, kesepian, ketakutan. aku hanya seperti melewati lorong gelap. melalui segalanya tanpa menyerap banyak makna. seperti kehilangan pegangan, kau tahu kan rasanya? seperti piano tua yang membisu saja di ruang bawah tanah rumahmu. tertutup debu tanpa lagi mendenting suara merdu. tak dapat kita dengar melodi indahnya.

dalam duabelas bulan ini kabut hitam seperti setia mengerudungi jalan-jalanku. mendadak aku membenci banyak hal, termasuk hidupku sendiri. semangat, gairah seperti jenuh singgah berlama-lama. datangnya lebih sering kadang-kadang. sepi dan ragu dan takut dan tak ada motivasi. itu saja. aku tak menikmati.

tahun ini ialah kesedihan panjang. ialah ranting-ranting pohon yang meranggas, yang kehilangan hijau daun yang gugur dalam rintihan. yang berduka tak lagi berteman cahaya. segala keinginan menjauh meski aku tetap membangun mimi-mimpi kecil setiap pagi. aku seperti senang membodoh-bodohi diri. meringkuk nyaman dalam kehangatan yang fatamorgana. sebab aku terlalu takut keluar dari pelukan itu.

namun dalam segala kegelisahan, dalam rasa yang begitu nelangsa, Tuhan masih begitu berbaik hati. masih Ia sisipkan keceriaan, mewujudkan doa-doa yang sudah sekian lama terlupa, bahkan. betapa Tuhan Maha Baik Hati, bahwa ia tak pernah lupa aku pernah meminta. saat aku sudah begitu putus asa, pasrah saja, Ia --entah dengan cara yang bagaimana-- mengabulkannya. seharusnya aku begitu bersyukur, begitu malu bahkan, ketika aku sering-seringnya tak lagi mempersembahkan sujud-sujud panjang, Tuhan masih saja tetap terjaga mendengar segala doa.

Tuhan, sebuah tahun akan menghilang, tapi kenangan tetap tertinggal. Matahari esok masih matahari yang itu juga. maka aku masih ingin berharap, jika aku masih pantas meminta. segala hal yang jauh lebih baik lagi, itu seperti permohonan seragam, maka aku hanya ingin kebahagiaan. dan jauhkanlah segala takut dan ragu. aku butuh lebih dari sekadar keberanian dan lebih dari sekadar keyakinan. karena pun engkau Tuhan Yang Maha Bijaksana, maka berikanlah semua sesuai porsinya. Jika sakit adalah pembelajaran yang membuatku menjadi jauh lebih dewasa dan berani, maka timpakanlah ia kepadaku, namun kuatkanlah juga aku bersamanya.




Rendevous - Cintamu di Jogjakarta

Barangkali aku bayi yang baru lahir dari rahim dunia
Masih buta, masih meraba
Jadi, jangan kau tanya tentang cinta

Cintamu yang abadi di Jogjakarta,
Telah tiada
Ini Jakarta!
Jangan kau harap bayang-bayangnya menjelma padaku
Besok pagi ketika mataku menatap cahaya,
lalu kau bilang cinta selamanya

Pertemuan kita sederhana, tiba-tiba
Aku masih mengais mencari susu di payudara ibuku
Bukan kupu-kupu yang rekah dari kepompongnya
Lalu terbang sendiri, tergesa

Mataku baru hendak menatap dunia
Masih hendak berkelana
Jangan kau tawarkan cinta
Membelenggu kakiku yang bahkan baru hendak merangkak

Mengapa kau tak kembali saja
Ke makamnya, mencari jasadnya
Mungkin esok senja mampu kau temukan jiwanya
Yang mencintaimu segenap raga

Pertemuan kita biasa saja
Tidak ada gejala yang mampu menimbulkan cinta
Pulanglah...
Malam sudah tiba
Ini Jakarta
Aku masih ingin terlelap dalam hangat
dekapan dada ibuku



15 Maret 2009

Ketika Tahun Melipat Kalender

Desember sudah hampir menutup pintu. Dan aku masih seperti ingin menengok ke belakang, memastikan tak ada kenangan yang nanti terlupa. Katamu, bukan Desember saja yang menyimpan cerita, meski ia selalu menjadi bagian penutup dalam jejakmu.

Kita masih akan punya cerita baru. Di depan banyak yang menunggu. Ketika nanti kau akan pelan-pelan memungutinya satu demi satu, memasukannya ke dalam kotak paling indah dalam hatimu. Tahun yang silam selalu membekali kenangan dalam perjalanan panjang kita di awal tahun. Kenangan yang melukiskan keriaan dan airmata.

Perjalanan akan masih penuh misteri. Kita seperti menelusur jalan setapak dalam hutan yang berkabut, tanpa sinar matahari, semua tampak samar. Mungkin saat kabut menghilang kau jumpai langit biru yang diam-diam mengamatimu melalui celah daun-daun hijau yang membisu menatapmu. Hanya hening saja. Atau juga danau yang menyambutmu. Dengan air yang berkilau ditimpa mentari. Hangat yang memelukmu. Bunga-bunga yang bersemi.

Ketika tahun melipat kalender, apa yang tersisa dari kita hanyalah kenangan; yang membekali tiap perjalanan ke depan. Pada penutup selalu ingin kita titipkan salam, pada yang tertinggal dan bagi yang telah pergi. Perjalanan kita masih panjang. Aku hanya butuh berani. Desember akan menanti, setia lagi sebagai penutup dan menyiapkan kenangan. Sampai jumpa tahun depan, katanya.



Jakarta, 29 desember 2010



Wednesday, December 29, 2010

Pudar

sebab dalam hatiku menggema suara
yang begitu rahasia;
yang tak pantas
didengar cinta
dan matamu tak lagi merupa
jendela yang bercahaya



Bekasi, 29 Desember 2010

Friday, December 24, 2010

Jangan Khawatirkan

suatu ketika
nanti
jika tak lagi ku kau ketemui
di tempat kita biasa bertemu

jangan khawatirkan
aku pergi
dan baik-baik saja
(sudah kurasa cukup kau menemani)





Bekasi, 24 Desember 2010

Thursday, December 23, 2010

Kita Sesungguhnya

Begitu takut
Begitu ragu

Sesungguhnya hampa
Sesungguhnya kosong

Dalam nyata
Kita sesungguhnya
Begitu tiada




Manggarai, 23 Desember 2010

Saturday, December 18, 2010

Betapa Ia Ada Setelah Tiada

Sebuah catatan setelah menghadiri acara Mengenang Asep Sambodja di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 17 December 2010.


Sudah seminggu lebih sosok itu meninggalkan kita semua. Asep Sambodja, meninggal pada Kamis, 9 December 2010 di Bandung karena kanker usus yang di deritanya. Asep seorang mantan wartawan, penyair, penggiat teater, sutradara dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), meninggalkan begitu banyak cerita dan kenangan bagi semua yang pernah mengenalnya. Acara Mengenang Asep Sambodja semalam diadakan untuk saling bertukar cerita, berbagi kisah, menyebarkan percik-percik kenangan yang pernah dirasakan oleh semua yang hadir di sana. Sehingga kita mengingat beliau dengan penuh cinta.

Saya tidak akan tahu tentang adanya acara ini kalau tidak melihat status seorang kenalan di Facebook, Mba Novi, teman sekelas S2-nya Pak Asep, tiga hari sebelumnya. Kemarin sore sepulang kerja saya sempatkan hadir di sana. Menurut kabar acara akan dimulai pukul 18:00, saya tiba pas sekali, tapi masih sepi. Saya cukup sering menghadiri acara di TIM tapi tidak pernah ke PDS HB Jassin, jadi begitu tiba saya agak kebingungan menemukan tempatnya. Setelah menanyai beberapa tukang parkir dan security baru saya sampai ke tujuan.

Bagi yang belum pernah ke sana, jangan kira ini seperti Graha Bakti Budaya, Galeri Cipta, atau bahkan Teater Besar di TIM. Tempat ini nyempil, letaknya di belakang Planetarium. Tempat yang begitu sederhana sekali, mungkin terlihat tidak terurus, tepatnya semacam perpustakaan. Dari info yang saya baca di internet tempat ini selalu rela digunakan secara gratis bagi siapa saja yang mau memakainya untuk acara-acara sastra dan budaya.

Saat saya datang hanya ada dua orang bapak yang sedang mengobrol di depan pintu sambil merokok. Penampilannya seperti kebanyakan orang yang sering -kalau kalian pernah ke TIM, IKJ atau FIB UI- dijumpai di tempat-tempat nyastra. Saya tanya apa betul acara untuk Asep Sambodja di sini, mereka mengiyakan. Saat mereka bertanya saya datang dari mana kemudian saya jawab, "Dari UI." Bapak itu langsung menebak, "muridnya Asep ya?!" Saya menganguk. "Tunggu aja di dalam, acaranya abis maghrib, tapi kalau mau ngerokok dulu, di luar sini," kata bapak itu sambil ketawa.

Saya memilih menunggu di dalam. Belum ada orang. Hanya dua orang penjaga, yang satu menunggu di tempat penitipan tas, yang satu lagi sedang sibuk membereskan kursi-kursi. Di sana ada meja panjang yang sudah ditata kursi disekelilingnya dan ada meja kecil yg diisi penuh cangkir-cangkir, air mineral, kopi bubuk dan gula. Saya tau pasti ini disediakan untuk acara tersebut, hanya banyak yang belum datang saja. Saya melihat sekeliling, ke rak-rak buku. Duh, insting maling saya muncul deh saat melihat rak buku di sebelah kiri pintu penuh sama buku-buku Sapardi Djoko Damono, sebagian saya sudah punya tapi ada beberapa yang belum saya miliki bahkan belum pernah saya baca. Pengen nyolong jadinya, haha!

Tidak lama setelah itu sudah mulai banyak yang berdatangan.Jelas banyak yang tidak seangkatan dengan saya. Bapak-bapak yang sudah beruban, ibu-ibu, dan beberapa orang muda. Saya merasa familiar dengan sebagian wajah yang muncul, tapi tidak kenal nama. Dari sebagian yang hadir saya mengenali Mba Medy Loekito, mantan ketua Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sosok yang sering sekali saya lihat di Facebook (FB)-nya Pak Asep, saya juga memiliki FB-nya, tapi tidak pernah bertemu muka. Saya melihat seorang teman waktu di FIB dulu, saya juga lupa namanya, hanya ingat dia dulu mahasiswa Sastra Jerman (teman sekelas Ena dulu ternyata saat kuliah umum PDPT, namanya Bertho). Dengan para yang hadir di sana, saya hanya saling bertukar senyum saja. Sementara yang saling kenal, saling menyapa, seperti bertemu teman lama.

Iboy akhirnya muncul juga. Tadinya Shanti juga mau datang, tapi tidak nongol sampai kami pulang. Tak lama saya bertemu Mba Novi, berkenalan secara resmi, karena dengannya saya juga tidak pernah bertemu, kami pernah beberapa kali saling bersapa saja melalui FB. Mengenalnya lewat status-status atau catatan-catatan Pak Asep yang sama-sama kami komentari. Setelah kepergian Pak Asep saya dan Mba Novi beberapa kali justru jadi saling bercerita dan bertukar info tentang Pak Asep. Mba Novi sepertinya lebih mengenal banyak orang-orang di sana. Setelah dia menyapa sebagian besar orang yang hadir, dia juga yang memperkenalkan saya dan Iboy sebagai murid Pak Asep dengan Mba Medy Loekito, Ibu Diah Hadaning(penyair), Ibu Nonny dan Ibu Kartini, yang juga salah seorang pendiri YMS, mereka teman-teman Pak Asep saat di Mediasastra dan Cyber Sastra dulu.

Acara dimulai tepat pukul setengah tujuh malam. Tak lebih dari 40 orang yang hadir di sana. Acara itu menyebar hanya lewat sms-sms saja, katanya. Saya sendiri baru melihat acara ini diposting dalam Milis Apresiasi Sastra oleh Tulus Wijanarko di hari yang sama, sudah sekitar siang hari. Pak Martin Aleida menjadi moderator dalam acara itu. Acara itu begitu sederhana, semacam orang-orang yang berkumpul untuk berdiskusi, saling bertukar cerita saja. Pak Endo, sosok yang dianggap begitu dekat dan mengenal Pak Asep memulai ceritanya. Asep yang ia kenal dulu sejak pertama kali saat Fakultas Sastra (FS) UI masih di Rawamangun, katanya merupakan generasi pertama yang merasakan pindahnya FS ke UI Depok. Asep yang merupakan anak daerah (beliau lulus dari SMA 1 Ungaran, Semarang), membawa "sesuatu" ke dalam lingkungan kampus UI. Ia dan beberapa orang temannya ternyata juga yang mendirikan Komunitas Bambu.

Asep Sambodja masuk sebagai angkatan 1987 di Jurusan Sastra Indonesia, UI. Menjadi ketua himpunan mahasiswa jurusan sastra indonesia periode 1990-1991. Istrinya, Mba Yuni juga masuk di jurusan yang sama, namun di tahun 1992. Pak Martin bilang, ia selalu melihat Mba Yuni setia mendampingi Pak Asep kemana pun, saat Pak Asep melakukan riset, atau dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Saya juga berpendapat begitu, dari foto-foto di FB-nya saja terlihat mereka mesra, selalu bersama. Ada sebuah foto yang saya paling ingat, Mba Yuni dan Pak Asep berpose di atas genting rumah, tulisan di foto tersebut, "ini bukan simulasi banjir, tapi iseng saja." Betapa hal gila pun mereka lakukan bersama. Dan saya senang, ketika Pak Asep telah pergi namun account FB-nya tetap dilanjutkan oleh Mba Yuni.

Asep Sambodja, menurut sebagian dari mereka merupakan sosok yang pendiam, santun, sopan. Menurut Pak Tikno yang hanya beberapa kali bertemu muka dengannya, Asep merupakan sosok yang begitu peka membaca apa yang terjadi di sekitarnya. Hal itu terbukti dari puisinya yang berjudul "Kepada Kakao,Semangka, Jagung dan Kapuk Randu." Yang bercerita, jika kita masih ingat, tentang seorang nenek yang harus dipenjara hanya karena mencuri dua buah biji kakao. Mungkin tak banyak yang akan menulis tentang hal itu, katanya.

Asep Sambodja dianggap begitu serius oleh sebagian mereka. "Serius tapi terlihat main-main dalam puisinya," kata Medy Loekito. Mengutip tulisannya, "Puisi-puisi Asep S. Sambodja yang termuat dalam kumpulan sajak "Menjelma Rahwana", membawa saya pada kesimpulan bahwa Asep memiliki "kekuatan" lebih dalam mencipta puisi-puisi bernuansa humor." Misalnya contoh dari penggalan puisi "Sajak Malam Pertama":

ini seandainya kita jadi duduk berdua
di pelaminan semalaman
barangkali aku bisa tersenyum tanpa henti
barangkali kau menahan tangis tak habis-habis
-- kutahu karena kau ingin cepat-cepat ke ranjang

Atau dalam penggalan puisi "Hidup Tak Main-main":

Chairil bilang
Aku mau hidup seribu tahun lagi

lalu kutengok kuburnya, di Karet
kasihan, penyair tak bisa
mewujudkan impiannya


dan penyampaian canda dalam puisi "Tuhan, Sudahkah Kau Baca Koran Hari Ini?"

Sudah, kusarankan padaMu
Berlangganan koran mulai hari ini
Barangkali ada yang lucu


Medy Loekito dalam tulisannya pada catatan pengantar kemarin malam menuliskan, Asep berhasil memberikan nilai komunikatif yang tinggi melalui ungkapan humornya, meskipun memiliki kelemahan imagery yang memang umum terdapat pada puisi-puisi prosaic.


Seorang bapak, Arumdono, kalau tidak salah namanya bercerita bahwa Asep Sambodja ialah sosok yang ia kenal begitu teguh memegang pendiriannya. Begitu kukuh sampai titik darah penghabisan jika ia mempertahankan pendapatnya. Lalu, Pak Asep yang saya kira begitu memahami Sastra Lekra (tema yang ia pakai untuk penulisan tesisnya) ternyata menurut Pak Endo justru tidak begitu. Sastra Lekra menjadi sesuatu yang disembunyikan, dirahasiakan keberadaannya. Asep, menurut Endo, seorang yang mempunyai keingintahuan tinggi terhadap hal itu. Namun, orang seangkatannya yang tidak betul-betul hidup saat Lekra hadir dalam dunia sastra, tidak akan bisa betul-betul memahaminya. Karena banyak buku-buku yang sudah dimusnahkan, ditiadakan, dan tidak pernah bisa ditemui lagi.

Ibu Kartini yang tadi di awal saya katakan merupakan salah satu pendiri YMS juga bercerita tentang Pak Asep. Ia bercerita lebih mengenai kondisi Pak Asep setelah sakit. Ia seperti menahan tangis, matanya berkaca-kaca. Ia bilang, selama Pak Asep sakit ia dan beberapa teman selalu memanjatkan doa setiap jam 9 malam. Ia yakin Tuhan mengabulkan doa-doa mereka, setidaknya Tuhan tahu apa yang terbaik untuk Pak Asep, katanya. Sementara ia bercerita Ibu Nonny yang duduk dibelakang saya terisak terus menerus. Saya melihatnya, ia menunduk saja, mengepalkan tangannya diantara dahi dan matanya. Bersyukurnya, bahwa dalam kesehatan yang begitu kritis, keluarganya masih dilimpahi rezeki yang besar oleh Tuhan sehingga Mba Yuni masih bisa bilang, katanya, untuk biaya rumah sakit dan penyembuhan kami masih mampu.

Saya sungguh begitu menahan tangis saat Mbak Novi membaca puisi Pak Asep yang berjudul "Doa".

Ya allah
Apalagi yang harus kuminta
Sebab semuanya telah kau berikan
Semuanya
Semuanya
Bahkan yang tak kuminta
Bahkan yang tak kuminta...

Tanjung Priuk, 27 Juni 2010


Betul sekali apa yang Mba Novi katakan saat itu, menurut saya. Setidaknya pikiran dia dan saya sama tentang puisi itu. Mba Novi bilang, bagi yang tidak mengetahui kondisi Pak Asep mungkin hanya berfikir ini puisi yang bagus. Tapi bagi yang mengetahuinya, ini puisi tentang sakit yang di deritanya. Dari tanggal ditulisnya puisi itu pun, saya bisa menerka mungkin itu saat-saat pertama waktu Pak Asep mengetahui kondisi kesehatannya. Ya Tuhan, bahkan yang tak ia minta... Bahkan yang tak ia minta...

Ada kesedihan, haru dan sesak yang tiba-tiba meruak kembali. Bagi saya mirip rasanya seperti ketika pertama kali mendapat kabar tentang kepergian beliau. Yang membuat saya hanya bisa diam saja. Meresapi saja yang saya dengar. Namun, siapa yang tidak tertawa ketika Iboy bercerita bahwa kami, sebagian murid-muridnya yang berasal dari Sastra Belanda memanggilnya "Mas Adam" karena kumisnya yang mirip Adam Suseno, suami Inul Daratista.

Fay, salah satu teman seangkatan Pak Asep dulu yang hadir di sana semalam mengatakan, ia begitu heran sebetulnya, Pak Asep dalam kondisinya yang begitu kritis masih saja bisa online di FB. Ya, begitu memang, saya juga merasakannya. Pak Asep begitu eksis rasanya di FB dalam sakitnya. Ada saja status yang ditulis hampir setiap hari, puisi-puisi yang iya tulis, masih sibuk saja berkomentar di sana sini. Saya pribadi bahkan memantau perkembangan kondisi beliau sebagian besar karena infonya saya dapatkan dari FB-nya dan FB para sahabatnya. Kata Mba Novi, Pak Asep menganggap itu hiburannya. Karena beliau tidak terlalu suka menonton televisi dan melalui FB ia bisa tetap berkomunikasi dengan teman-temannya, bertemu murid-muridnya, orang-orang yang ia kenal.

Bagi saya, ada dua perkataan Pak Asep yang tidak akan pernah saya lupa. Ketika ia berkata kepada saya, "Mentari, jangan pernah kapok belajar, ya!" Saya masih ingat betul ini beliau katakan saat Saut Situmorang seperti tidak senang dengan salah satu komentar saya di sebuah catatan Pak Asep. Jika kalian mengenal Saut Situmorang tentu kalian tahu bagaimana kira-kira cara ia mengomentarinya. Tapi Pak Asep menyemangati saya. Kedua beliau pernah bilang, "Teruslah menulis! Menulis jelek masih jauh lebih bagus dibandingkan tidak menulis sama sekali." Ya, saya akan terus menulis, Pak!

Saya lebih dahulu izin pulang sebelum acara selesai. Sekitar setengah sembilan saya dan Iboy sudah undur diri, sementara mereka di sana masih terus bercerita. Pasti saya ketinggalan cerita-cerita lain yang mungkin belum pernah saya dengar tentang Pak Asep. Pada tulisan ini saya tidak menuliskan detail satu per satu apa yang dikatakan orang-orang yang hadir semalam tentang Pak Asep. Saya merangkum secara keseluruhan saja. Dan, Ibu Diah, yang tadi datang bersama Mba Novi, ketika saya izin pulang, ia menjabat, memegang tangan saya dan berkata, "Ibu lihat kamu lho waktu baca puisi di kampus waktu itu." Saya tersenyum dan bilang, "Terima kasih ya, Bu."

Meski semua cerita yang saya dengar semalam menerbitkan airmata, mengenang Pak Asep dengan cara begini bukan berarti bersedih-sedih ria terus menerus. Saya yakin ia pasti sudah bahagia. Semalam pun kami bisa tertawa lagi dalam ketiadaannya. Semua yang hadir di sana, pasti memiliki kesan atau kenangan yang berbeda-beda terhadap Pak Asep. Namun, apa yang mereka semua ceritakan, begitu menunjukan betapa beliau begitu dicintai, dihormati dan disayangi semua yang pernah mengenalnya. Bahkan Martin Aleida berkata, "Kita semua pasti akan meninggal, jika saya meninggal nanti, saya ingin mencontoh Asep Sambodja, salah satunya."



Bekasi, 18 Desember 2010


PS:
- Setelah meninggalnya Pak Asep banyak sekali kawan, kerabat, murid, dan siapa pun yang mengenal beliau menulis puisi, obituari, atau sajak-sajak mengenai beliau. Sebagiannya bisa diliat di Oase, Kompas.com (puisi duka untuk Asep Sambodja)


- Mohon maaf ya kalau ada kesalahan penulisan nama atau data, silahkan dikoreksi.

Tuesday, December 14, 2010

Bencana

puncak yang murka
laut yang marah

tidakkah kalian membaca isyarat
bumi yang menua



Jakarta, 16 November 2010

Monday, December 13, 2010

Kebahagiaan Yang Pernah Singgah

kebersamaan pada kita menjelma semacam luka
makin dalam dan menganga
kita seperti bersiap
melakukan perjalanan panjang
perlahan memudarkan rasa

cerita kita serupa daun yang menua
di ujung dahan itu
gugur perlahan, terbakar
hilang di bumi

kebersamaan seperti sia-sia
topeng yang kita pakai dalam pertunjukan
di atas panggung
hanya mempupuri duka yang tergambarkan
oleh raut
namun di belakang panggung
kita menjadi lakon nyata
yang sudah mati rasa

kamu adalah kebahagian yang pernah singgah
tapi aku tak ingin memupuk semacam luka
kubiarkan engkau pergi


Jakarta, 11 December 2010

Sunday, December 12, 2010

Pusara Cinta

cinta
kita

menggali makam sendiri
mencari liang untuk kita tiduri nanti
pada masa yang paling abadi

pada tanah merah
yang kadang basah atau kerontang
kita tentu mencari selimut yang paling nyaman untuk menemani
sehingga nanti kita bisa indah bermimpi

rasa masih begini anomali
nama kita tak akan mengukir lagi
di nisan yang sama

kita sudah sampai di sini
aku akan mengenang, menziarahi
sekadar mempusarai
kita pernah sehati




-Dalam perjalanan ke Depok, 11 Desember 2010-

Tangis

dalam tangis
pergilah
bebaslah
berbahagialah!

Saturday, December 11, 2010

Seandainya Kita di Gunung Kidul, 10 Desember 2010*

: Shanti Hapsari, Erlinda, Dian Rosanah, Friska Asta Desintia, Nurul Handayani, Dahlia Isnaini, Pratiwi Dayang Buana, Annisa Rufaida.


mungkin kita akan taburkan
bunga melati, mawar dan kenanga
agar ia mewangi
pada panggung yang sebenarnya

mungkin kita kirimkan doa-doa
membunyi segala surat-surat suci
pada tanah yang masih basah

mungkin kita juga menangis
menatap nanar makamnya
atau dalam hati saja kita berkata-kata
mengucap perpisahan

seandainya kita di Gunung Kidul
10 Desember 2010
kita memeluknya...


Jakarta, 11 December 2010

* Untuk Asep Sambodja

Friday, December 10, 2010

Asep Sambodja Dalam Kenangan

--kenapa selalu ada yang pergi
sebelum tahun berganti
sebelum pagi
sebelum kucium tanganmu sekali lagi


biasanya kutunggu berita pagi
tapi bukan ini
bukan lagi kau pergi
untuk tak kembali

(Desember Mengantarmu Pergi - Asep Sambodja)


Saya mengenal beliau lebih dari empat tahun yang lalu, saat itu memasuki semester enam di kampus UI, ketika saya mengambil kelas Penulisan Populer (Penpop) yang diajar olehnya. Beliau adalah dosen dari jurusan Sastra Indonesia sementara saya mahasiswa jurusan Sastra Belanda yang memang senang "belanja" mata kuliah dari jurusan tersebut. Saya masih ingat saat itu ketika saya bercerita mengambil mata kuliah itu, Ena bilang, "Eh, dosen kuliah Penpop lo itu kan penyair!" Langsung saja saya bangga. Sebelum itu saya seperti hanya beberapa kali mendengar namanya, Asep Sambodja.*

Ketika kelas dimulai semester itu, saya seperti mendadak jatuh cinta dengannya, dengan mata pelajarannya, dengan kumisnya. Kelas Penpop itu hanya diisi tak lebih dari 15 mahasiswa dan seingat saya semuanya adalah mahasiswa Sastra Belanda dari angkatan 2004 -angkatan saya-. Kami sering memanggilnya "Mas Adam" (tentu saja panggilan rahasia antara para mahasiswa saja, karena kumis beliau yang mirip Adam Suseno, suami Inul Daratista), kami senang cekikikan sendiri dan lirak lirik saat Pak Asep duduk, terlihat berfikir, tidak mengatakan apa-apa, kemudian beliau menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya. Khas dia sekali, seperti selalu begitu jika sedang mengajar.

Pak Asep dalam kenangan saya adalah sosok dosen yang begitu baik. Dia seperti pendiam, tidak banyak bicara, tapi sering bercerita. Mukanya selalu pasang tampang serius, membuat segan. Tapi saya tidak pernah melihat beliau marah di dalam kelas karena murid-muridnya datang terlambat (seringnya karena masih mencetak tugas yang harus dikumpulkan hari itu namun baru selesai di menit-menit terakhir sebelum kelas dimulai) atau telat mengumpulkan tugas tulisan. Saya masih ingat, pertama kali ia meminta saya berdiri ditengah-tengah kelas dan membacakan cerpen yang saya tulis (tema saat itu adalah anak kembar dan karena saya kembar makanya beliau minta saya yang membaca). Saat itu diluar hujan deras sekali dan jika mau tahu, sama derasnya dengan keringat yang membanjiri tubuh saya saat itu. Malu rasanya kalau ingat hari itu. Saya seperti menyesal kenapa membuat tulisan yang begitu panjang, rasanya tak habis-habis dibaca. Saya tidak pernah suka disuruh membaca tulisan saya sendiri, sampai sekarang, saya tidak pintar membaca. Tapi, dari situ saya belajar. Pak Asep hanya mengajar saya satu semester. Tapi kesannya melekat sampai sekarang.

Di tahun akhir kuliah, saya kemudian menjadi lebih intens berhubungan dengan beliau di Friendster (saat itu masih gaul-gaulnya main Friendster), dari situ saya mulai banyak membaca puisi dan tulisan beliau. Saya membaca hampir semua tulisan di Blog-nya. Memang tidak bisa dibilang sering, tapi dalam keterkadang-kadangan beliau sering mengajari saya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai sastra. Karena beliau jugalah saya jadi menggemari menonton teater.

Setelah lulus dari kampus, saya masih berhubungan dengannya dan masih saja ia mengajari saya meski hanya lewat email dan Facebook. Sejak April tahun ini rasanya, karena permintaan saya pula Pak Asep sering meng-tagged nama saya pada tulisan-tulisannya. Ia juga merekomendasikan kepada saya beberapa milis penyair yang sebaiknya saya ikuti. Walaupun tidak aktif setidaknya dua hal itu membuat saya terus membaca puisi setiap hari. Beliau pernah pula mengatakan, "lebih baik menulis jelek daripada tidak berani menulis sama sekali," itu seperti terus mengiang di telingaku.


Sejak mengetahui beliau sakit, sudah hampir lebih tiga bulan terakhir, setiap hari saya selalu mengunjungi Facebook-nya. Membaca puisinya atau sekadar melihat statusnya untuk mengetahui keadaannya. Dalam keadaan sakit sekalipun beliau tetap aktif menulis. Saya salut! Beberapa kali saya mengirimi beliau pesan, yang dibalas hanya dengan jawaban-jawaban singkat. Saya kira beliau mestilah terlalu sakit dan mungkin yang bertanya dan mengiriminya pesan tidak hanya saya saja. Saya pernah baca tulisan seorang sahabatnya yang kecewa sepertinya ketika Pak Asep tidak mau menjawab teleponnya, ketika istrinya, Mbak Yuni, bilang bahwa Pak Asep sedang tidak bisa ngomong, katanya. Seharusnya itu dimengerti. Siapa yang akan dengan senang hati terus-terusan menjawab pertanyaan yang sama tentang penyakitnya?

Oktober lalu, akan menjadi kenangan tak terlupakan untuk saya. Ketika Pak Asep meminta saya membacakan puisinya, yang khusus dibuat sebagai kado perayaan ulang tahun untuk Sapardi Djoko Damono di FIB, UI. Permintaan yang tiba-tiba, permintaan terakhirnya. Permintaan yang membuat saya kalang kabut sendirian. Excited sekaligus nervous. Saya pribadi begitu mengagumi sosok Sapardi sejak di bangku kuliah dulu. Saya hanya pernah bertemu dua kali sebelumnya di kampus, dulu sekali. Saya sering kegirangan sendiri kalau bertemu beliau atau membicarakannya. Entah Pak Asep mengetahui hal ini atau tidak, tapi permintaannya kepada saya untuk membaca puisinya di atas panggung untuk perayaan itu rasanya seperti mendapat durian runtuh. Katanya, "gak perlu takut, Mentari, ini bukan festival baca puisi." Setelah selesai menjalankan amanat hari itu, sekarang dapat saya katakan saya begitu bangga mewujudkannya.

Setelah lulus dari kampus saya tidak pernah lagi bertemu Pak Asep. Pada pertunjukan teater "Limbuk Njaluk Married" karyanya yang dipentaskan november 2010 lalu, sebetulnya saya berharap sekali bertemu dirinya, karena saya tahu sebelumnya Pak Asep akan datang, tapi harapan itu hilang ketika justru digantikan berita sedih, di hari itu beliau mengalami pecah usus yang membuat kondisinya tidak memungkinkan untuk hadir.

Pagi ini berita itu datang dari seorang teman. "Mei, Pak Asep meninggal." Saya hanya diam saja. Tidak menangis. Tapi pikiran dan hati saya berkecamuk seperti tidak mau percaya. Dag dig dug yang tak berhenti, merinding sekujur tubuh saya. Setelah mengkonfirmasi dan mencari tahu dari beberapa orang lain, saya baru yakin. Pada Blackberry saya terus menampilkan halaman Facebook Pak Asep, ucapan duka cita terus datang bertambah dan bertambah banyak. Saya melihatinya saja, seperti tidak mau percaya. Di YM, di BBM dan sms beberapa teman menghubungi saya. Isinya sama semua. "Mei, Pak Asep meninggal." Lalu Erlin menelpon saya, saya tau dia habis menangis, atau mungkin masih menangis waktu itu. Saya tidak mau menangis. Jadi percakapan itu singkat saja.

Sorenya percakapan dengan beberapa orang sahabat yang dulu pernah juga mengikuti kelas Penpop beliau, membuat saya sedih sekali. Tapi kami mengenangnya, mengingatnya, menceritakan kembali hal-hal di kampus dulu tentangnya.

Malam ini hujan turun deras. Saya mengingatmu, Pak. Tak akan ada lagi yang mengomentari puisi-puisi saya lagi nanti, tak ada yang mengajari saya lagi nanti. Janji waktu itu, Pak, buku yang hendak bapak berikan kepada saya jika saya sempat datang ke kampus lagi di bulan September bahkan tak pernah terwujud.

"Jika dalam doa-doa malamku hari ini aku menangis sama derasnya dengan hujan yang turun, aku bukannya tak ikhlas melepasmu. Selamat jalan, Pak Asep. Doaku selalu untukmu."



*Asep Sambodja, seorang mantan jurnalis, penyair, penggiat teater, dosen di FIB UI meninggal pagi ini, 9 Desember 2010 di Bandung. Beliau diketahui menderita kanker usus sejak pertengahan tahun ini. Semangatnya untuk sembuh, ketabahannya serta kesetiaanya pada sastra menjadikan contoh bagi kita semua yang mencintainya. Selamat jalan, guruku, Asep Sambodja (1967 - 2010)


Bekasi, 9 december 2010

Thursday, December 9, 2010

Selamat Jalan, Asep Sambodja

desember adalah kehilangan
ketika sebuah berita mengabarkan kepergianmu
aku tidak menangis
tapi dadaku sesak sekali
merinding dan mendadak bisu

pak, sudah hilangkah sakit itu?
sakit yang dulu pernah kau bilang
sakit sekali
tenanglah sekarang!
lukamu hilang, deritamu terbang

yang tersisa kini adalah kenangan
aku akan mempusarai segala yang tertinggal
semangat dan ketabahanmu
semua ilmu yang kau ajarkan
keberanian untuk menulis

kehilangan adalah perjalanan panjang
menyusun remah-remah kenangan yang tersisa
duka yang melarut dalam detik-detik yang
setia bergulir tak henti-henti
terserah juga kita, bagaimana memaknai

ketika pagi ini gerimis
maka turunlah semua tangis
tapi doa-doa kami yang berkumandang
menjelma sayap-sayap doa
mengantarkan kepergianmu

selamat jalan, Asep Sambodja.
rebahlah semua derita...

Jakarta, 9 desember 2010

Wednesday, December 8, 2010

Don't Worry About Her. She is Fine!*

She can deal with stress and carry heavy burdens. She smiles when she feels like screaming and she sings when she feels like crying. She cries when she’s happy and laughs when she’s afraid. Her love is unconditional. There’s only one thing wrong with her, she forgets what she’s worth.


*Dari tulisan Alfi Yusrina

Friday, December 3, 2010

Sakit

waktu akan menyembuhkan luka
mengering dan menghilang
begitukah?

ada luka yang tidak akan pernah sembuh
di hatiku!

"Jangan menjadi perempuan bodoh!" ada yang berbisik.

Jakarta, 3 desember 2010

Kita Adalah Nol

kau tidak akan kehilangan
sebab kita tidak pernah punya apa-apa
tak ada yang (sungguh-sungguh) datang
dan pergi

kita tak kan pernah kehilangan
semua milikNya
milikNya

kita adalah nol


Jakarta, 3 desember 2010

Thursday, December 2, 2010

Aku Menulis Namamu Di Gerimis

aku menulis namamu di gerimis*
pada hujan yang turun malam-malam
atau datang kepagian
supaya kau jatuh, membaur
bersama genangan

aku menulis namamu di gerimis
biar kau mengalir
pergi jauh ke muara

pulang saja ke asalmu!




Jakarta, 2 Desember 2010

*diambil dari novel "Tea For Two"

Wednesday, December 1, 2010

Desember Lagi

masihkah membawa cerita lama?
kisah kita, kepedihan abadi itu
memutar ulang kenangan di dalam kepalaku

hujan yang selalu datang malam-malam
persimpangan jalan
yang menyimpan luka-luka

desember, membawakah kisah baru?
atau mengakhiri segala
yang lalu?


Jakarta, 1 desember 2010