Thursday, June 7, 2012

Dari Sebuah Senja di Bulan Juni

Suatu hari, semestinya kita mampir di sebuah senja, Ma. Duduk bercengkrama tentang kisah lama, tentang airmata jatuh yang jadi kupu-kupu, di taman kota yang dulu kerap kita singgahi.

Di sini senja selalu merah. Di jalanan beraspal yang pengap oleh deru debu dan gegas gesa orang-orang. Seharusnya tak perlu dinding rumah dan pergelangan tangan mereka dihiasi dengan jam yang tak berhenti berdetak itu. Kecemasan dan gelisah yang buru-buru. Kemudian hidup hanya jadi batu.

Kota sering kali menjelma peron stasiun. Ramai dan sepi saling berdesakkan. Orang-orang menunggu kereta yang mengangkut segala kenangan serta harapan. Menanti pertemuan kemudian bersiap dengan kehilangan. Di peron stasiun semua orang mengadakan pementasan. Melemparkan kata demi kata dan tawa yang tumpang tindih dengan luka.

Senja mengirimkan ingatan tentang kota yang berubah menjadi taman hiburan. Wanita-wanita yang tak habis berbicara tentang sepatu dan rias wajah. Hilir mudik dengan topeng warna-warni di wajah mereka yang gelap. Sesekali mampir ke kamar mandi, merapihkan letak bulu mata palsu mereka yang mungkin geser. Sementara di ujung jalan langit selalu abu-abu di mata sebagian yang lainnya.

Aku tak ingin hidup hanya menjadi sekumpulan diksi yang sia-sia. Habis digerogoti lara dan detak detik waktu yang hampa. Namun juga aku tak bisa selalu menjadi peri. Hinggap di bunga-bunga dengan sayap warna-warni. Sebab musim tak selamanya semi. Hidup sering kali memaksa kita menjadi iblis yang mencipta neraka di kepala dan dada orang-orang. 
 . 

Di bawah tempat tidur masih kita simpan sekaleng mimpi-mimpi orangtua. Dan mengajari anak-anak kita kelak merapal doa agar celaka jauh dari mereka.

Suatu senja nanti kita duduk di sebuah taman kota, Ma. Ketika tubuh dan jiwa khatam jadi pengembara. Maka sore hanya tentang desau angin yang menggelitik daun-daun untuk jatuh dan tiada.


Jakarta, Juni 2012


pic from here